Tuesday, January 6, 2009

Menimbang Kebiadaban Israel


Dunia kembali dibuat geger oleh Israel. Semua mata memandang kepadanya dengan pandangan negatif. Gempuran yang dilakukannya di Jalur Gaza sejak akhir Desember lalu hingga kini kian meneguhkan bahwa Israel bukan hanya kejam, tetapi juga tidak beradab.

Ukuran apa pun yang dipakai untuk memahami keangkuhan Israel tersebut, semuanya tidak ada yang bisa membenarkan, kecuali Israel sendiri, dan tentu saja, pihak-pihak yang mendukungnya.

Dari perspektif hukum internasional, sebuah negara melakukan serangan kepada pihak lawan karena ia menggunakan prinsip jus ad bellum (alasan yang membenarkan). Biasanya, negara yang menyerang itu diserang lebih awal oleh lawannya.

Namun, prinsip jus ad bellum ini tidak boleh hanya berhenti di situ saja. Ia harus diikuti oleh prinsip kedua, yakni jus in bello (bagaimana melakukan serangan). Di sini, Israel mengalami persoalan yang amat asasi. Ukuran normatif dalam hal ini ialah Konvensi Geneva 1949.

Dalam perang, apa pun alasannya, anak-anak, wanita, orang lemah, termasuk orang yang telah berusia dan sakit, harus dilindungi. Malah, lawan yang sudah menyerah dan terluka pun tidak bisa lagi disentuh, tetapi wajib hukumnya untuk dilindungi. Kata dilindungi di sini jelas berarti bahwa orang- orang yang masuk kategori di atas haruslah ditolong dalam masa perang. Israel bukannya menolong dan melindungi, tetapi malah menyerang dan mengorbankan mereka. Nah, hanyalah kata biadab yang bisa menggambarkan perilaku Israel tersebut.

Biadab
Selanjutnya ditegaskan, dalam perang, sasaran serangan tidak boleh diarahkan ke permukiman sipil, fasilitas publik, dan rumah-rumah ibadah. Israel menerjang semua larangan tersebut. Fasilitas publik dirontokkan. Penduduk sipil disapu dan dibunuh. Maka, hanyalah kata biadab yang pas untuk Israel.

Dari perspektif prinsip, hukum perang menganut dua pilar utama. Pertama, prinsip military necessity dan proportionality. Serangan balasan yang dilakukan Israel untuk memberi pelajaran kepada Hamas belum bisa dikategorikan dalam prinsip military necessity, sebab serangan-serangan Hamas tersebut bukanlah serangan masif yang membuat Israel akan musnah. Begitu juga dengan prinsip proporsionalitas, serangan Israel jauh melenceng. Masalahnya, skala yang ditimbulkan oleh serangan Israel jauh lebih dahsyat dampak negatifnya dibandingkan serangan-serangan roket Hamas. Ini bisa diibaratkan dengan seseorang yang membawa sebilah belati harus dilawan dengan serangan panser. Tidak proporsional.

Karena itu pulalah, dalih self defense (bela diri) yang dipakai Israel dalam membenarkan tindakannya, yakni prinsip reprisal (tindakan balasan) karena Hamas menyerang duluan dengan roket-roket, tidak mendapat pembenaran yuridis.

Harus memiliki batas
Masalahnya, pembenaran tindakan bela diri dalam hukum internasional hanya dibolehkan bila serangan bersenjata yang dilancarkan (armed attack occur) sebelumnya itu bersifat overwhelming (keterlaluan) dan no choice of means atau tak memberi pilihan dan alternatif (lihat kasus hukum kapal Caroline di perbatasan Kanada dan Amerika Serikat). Serangan roket demi roket yang dilakukan oleh Hamas terhadap Israel belumlah bisa dipandang sebagai serangan overwhelming dan tak memberi alternatif bagi Israel. Israel tidak harus melakukan serangan membabi buta hanya karena adanya serangan roket-roket Hamas.

Lepas dari pandangan-pandangan yuridis di atas, Pasal 51 Piagam PBB jelas menegaskan bahwa negara anggota PBB, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif, boleh saja menggunakan hak bela dirinya bila terjadi serangan bersenjata melawan negara anggota PBB. Namun, ada syaratnya, yaitu tindakan bela diri itu haruslah lebih dahulu ada ukuran dan penilaian yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB dan ukuran serta penilaian tersebut mesti didasarkan atas pertimbangan demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional.

Maka, saya pun teringat dengan Michael Walzer yang menulis buku Just and Unjust War. Kata Walzer, kendatipun kita mendapatkan pembenaran moral dan hukum untuk melakukan serangan, serangan tersebut tetap harus memiliki batas karena aksi serangan kita tetap harus tunduk pada sejumlah norma, yakni larangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang tak berdosa.

Hamid Awaludin Dubes RI untuk Rusia
KOMPAS, 6 Januari 2009

2 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

Kenapa kita sibuk memperhatikan apa yang terjadi di negara lain? sedangkan negeri kita sendiri masih di injak-injak orang-orang tidak bertanggung jawab? kita sibuk merenung betapa kejamnya israel membumi hanguskan kota-kota palestina, membantai rakyat palestina sedangkan di negeri ini pernah terjadi pembantaian massal terhadap orangt-orang yang sekedar hanya diduga terlibat apa yang disebut sebagai hantu komunisme. Di negeri ini bahkan pernah terjadi kebiadaban yang melebihi kekejaman Israel dimana kekejaman yang terjadi juga di sokong oleh Amerika Serikat. Dan kita sampai sekarang menjadi pengekor kebudayaan Amerika Serikat.

KULYUBI ISMANGUN said...

Biarlah sekarang saya akan jawabkan untuk kawan-kawan, apa itu kebudayaan imperialis Amerika Serikat. Dia tidak lain dari lembaga integral dari perdagangan luar negeri Amerika Serikat. Melalui kebudayaan imperialis Amerika Serikat ini selera orang dibentuk menjadi selera Amerika Serikat, selera perdagangan internasional Amerika Serikat. Kebudayaan komprador Amerika Serikat adalah kebudayaan kolportir dari kebudayaan imperialis Amerika Serikat ini. Dan kolportir selalu melebih-lebihkan, karena itu efeknya selalu lebih jahat dari efek yang ditimbulkan oleh majikannya sendiri. Maka juga kebudayaan komprador Amerika Serikat adalah 'kebudayaan' yang di samping mengembangkan ngakngikngok, twist dan sebangsanya, juga jadi propagandis-propagandis gelap dari Impala, dan sebangsanya. Dan kawan-kawan pun tahu, bahwa bertambah luks mobil itu, bertambah panjang radius daya gempurnya terhadap lebaga-lembaga revolusi kita. Tidak percaya? Tanyalah pada pihak polisi, apa-apa saja mobil para penjahat besar itu? Makin jahat dia, makin luks mobilnya.
Betul, hidup-matinya imperialis Amerika Serikat terletak pada hidup-matinya perdagangan internasional. Dan kalau kita bilang tentang pasaran Amerika Serikat setelah Perang Dunia II ini terjadi kemerosotan besar. Tiongkok sebagai pasaran terbesar Amerika Serikat sekarang lenyap dari kekuasaan perdagangan luar negeri Amerika Serikat, demikian pula halnya dengan Vietnam Selatan, Korea Selatan. Tetapi Amerika Serikat harus terus mengekspor, biar pun yang diekspornya menjadi berkurang karena merosotnya pasar. Tetapi dia harus melakukan ekspor. Maka dilakukanlah ekspor dan negara-negara lain harus menerimanya. Ekspor ini adalah ekspor serdadu, ekspor amunisi, dalam peti-peti atau dalam keadaan meledak, sebagai kompensasi dari ekspor barang-barang perdagangan pada waktu sebelum Perang Dunia II. Dari sini kita mengerti apa sebabnya Armada VII harus gentayangan ke Samudera Indonesia. Itu juga semacam ekspor di samping tikus dan racun tanaman. Karena itu waspadalah selalu pada imperialisme Amerika Serikat, pada kebudayaannya sebagai bagian integral dari politik perdagangan luar negeri, dan waspadalah pada komprador dan kebudayaannya. Bukan hanya waspada, tetapi kita semua harus secara frontal, serentak, aktif dan ofensif menjebol imperialisme Amerika Serikat dan kebudayaan imperialismenya. Kalau kita tidak berhasil menjebolnya di atas tanah air sendiri, itu musuh nomor satu kita, bagaimana bisa kita membangun kebudayaan nasional plus mengobarkan kebangkitan tani?
Kalau Armada VII betul-betul gentayangan di Samudera Indonesia, itu tepat menurut logika imperialis. Itulah ekspor serdadu plus amunisi sebagai bagian dari politik perdagangan luar negeri Amerika Serikat. Tetapi kita semua tidak akan gentar, apalagi Amerika Serikat dan bonekanya sudah pada keok di mana dia mulai mengacau. Juga dia akan mengalami kekeokannya di tanah air kita tersayang. Kita semua akan bangkit melawan, bahkan juga bayi-bayi kita yang sudah terbiasa menghisap udara yang mengandung listrik revolusi.
Sebagai akhir kata, ingin saya menyampaikan sekali lagi pada kawan-kawan sekalian, bahwa tak mungkin kita membangun kebudayaan nasional pada satu pihak tanpa menjebol kebudayaan imperialis Amerika Serikat pada lain pihak. Mungkin ada yang bertanya, mengapa imperialis Amerika Serikat, mengapa bukan hanya Inggris dengan proyek neokolonialisnya yang bernama 'Malaysia?' Karena kita tahu betul, kawan-kawan, bahwa tanpa imperialisme Amerika Serikat, imperialisme-imperialisme lain itu akan rontok tanpa daya, juga imperialisme Inggris plus proyek neokolonialismenya baik di 'Malaysia' maupun Rhodesia.
Maka yang paling tepat kita serukan sekarang ini ialah:
Ganyang imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan komprador Amerika Serikat di Indonesia!