Thursday, August 28, 2008

Imperium Amerika


IMPERIUM Amerika adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan salah satu ciri penting konstelasi ekonomi politik internasional dewasa ini. Beberapa tahun lalu, ahli ekonomi politik terkenal Chalmers Johnson menggunakan istilah ini dalam sebuah buku yang mengkhawatirkan dampak upaya Amerika Serikat mempertahankan "imperium" nya yang luas lewat kekuatan militer maupun melalui kekuatan modal dan pasarnya yang dahsyat. Tujuannya: memaksakan model pengintegrasian ekonomi dunia menurut kehendaknya sendiri.
Istilah ini jadi lebih populer sejak pemerintahan George W Bush mengumandangkan perang melawan "teror". Para pengkritiknya, di dalam dan luar negeri, menanyakan logika penggunaan teror dan kekerasan oleh AS sendiri konon juga untuk membasmi teror. Beberapa cendekiawan Amerika mempertanyakan alasan mengaitkan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al Qaidah. Rezim Saddam memang bengis, tapi amat sekuler banyak ulama dan tokoh Islam sudah menjadi korbannya.
Sebagian cendekiawan menuduh aparat keamanan AS menggunakan penyiksaan dalam menginterogasi orang-orang yang diduga berkait dengan aktivitas terorisme sehingga melanggar prinsip hak asasi manusia yang konon dijunjung tinggi dalam nilai nilai Amerika. Sebagian lagi menggugat retorika Bush, Cheney, Rumsfeld, dkk., yang menyatakan Saddam harus didongkel demi membuat Irak negeri yang demokratis sambil menanyakan mengapa AS mendukung rezim rezim pro Amerika di Timur Tengah dan kawasan lain yang sama otoriternya. Ada pula yang menuduh kebijakan keimigrasian Amerika yang baru (bersifat diskriminatoris terhadap orang yang berasal dari Timur Tengah dan negeri lain seperti Indonesia) sebagai pengejewantahan dari sikap rasisme yang bodoh dan melanggar nilai nilai Amerika.
Agaknya korban utama dari "Imperium Amerika" ini adalah demokrasi dan hak asasi itu sendiri. Memang, sepanjang sejarah, AS tak pernah bisa konsekuen dengan retorikanya tengok sejarah perbudakannya dan nasib "orang aslinya". Belum lagi sejarah intervensinya kepada negeri negeri kecil di Amerika Tengah sejak awal abad ke-20, "penahanan" terhadap warga keturunan Jepang di masa Perang Dunia II, serta kekejian yang menyertai Perang Vietnam yang sempat meluas menjadi pengeboman "rahasia" di Kamboja. Dan masih banyak lagi contohnya.
Tapi dalam hal ini Amerika juga tidak unik. Indonesia di bawah Orde Baru, misalnya, tak pernah bisa konsekuen dengan retorikanya tentang masyarakat Pancasila yang adil dan makmur. Namun, salah atau benar, AS masih dianggap sebagai simbol nilai nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang universal. Mungkin ini hasil kedigdayaan industri fantasi Hollywood serta kehebatan media massa seperti CNN dalam menyajikan berita dari sudut pandang tertentu. Bisa jadi untuk sebagian ini juga hasil kebijakan pemerintahnya sendiri yang secara periodik mengeluarkan laporan tentang kondisi hak asasi di mancanegara. Namun kemunduran demokrasi dan hak asasi di AS yang belakangan terjadi, sudah pasti adalah kemunduran buat perjuangan di mana mana.
Di Indonesia, dan negeri lainnya, kekuatan anti-demokrasi (entah yang menggunakan slogan nasionalis, keagamaan, atau yang lainnya) akan panen. Lihat saja, di Indonesia sudah muncul nostalgia pada rezim Soeharto yang tamak serta kerinduan terhadap tangan besi militer. Ini pun dipupuk oleh pejabat Amerika dan Australia yang dalam pidatonya menganggap TNI sebagai satu satunya institusi yang berjalan dengan baik di negeri ini. Tidak ingatkah mereka dengan nasib para aktivis korban penculikan yang sampai kini masih hilang? Dengan mereka yang pernah merasakan kerasnya sepatu lars di Aceh, Papua, Timor Timur -dan juga di tempat seperti Tangerang, yang menjadi salah satu ajang unjuk rasa buruh beberapa tahun terakhir?
Sebetulnya kita tak usah terlalu heran dengan kemunduran ini. Amerika adalah negeri yang begitu besar, luas, dan kompleks. Ciri ciri demografis, sosial, ekonomi, dan budayanya begitu bervariasi. Ia adalah satu tapi sekaligus majemuk. Ia penuh kontradiksi internal. Orang yang baru pertama kali mengunjungi Washington, DC, akan terperanjat. Tak terlalu jauh dari Gedung Putih, terletaklah daerah daerah kumuh, miskin, dan penuh kekerasan. Tidak jauh dari pusat pemerintahan yang menganggap diri sebagai "jagonya" demokrasi itu terletak permukiman orang orang terkucil, merana, dan secara sosial ekonomi mempunyai posisi yang amat lemah.
Amerika yang penuh kontradiksi ini berisikan kekuatan yang pro maupun anti demokrasi dan hak asasi manusia. Seperti juga di banyak negeri lain, ia berisikan pejuang persamaan hak dan lingkungan hidup, tapi juga berisikan orang orang yang mempunyai pandangan dunia yang picik. Karena kepentingan mereka sendiri misalnya dalam industri senjata atau industri minyak mereka dengan senang hati memobilisasi sentimen rasis serta ketakutan dan kebingungan dalam masyarakat. Kebingungan ini sudah dilandasi jurang sosial seperti kaya miskin yang makin luas, tapi kini ditambah dengan ketakutan hebat yang menyertai peristiwa 11 September. Peristiwa torsebut sebetulnya membawa berkah pada mereka seperti juga kekuatan anti-demokrasi di seluruh dunia.
Kini terjadi banyak demonstrasi di AS menentang solusi militer yang kelihatannya digandrungi pemerintahan Bush. Demonstrasi ini melibatkan ribuan rakyat biasa. Tinggal merekalah yang menjadi tanda bahwa nilai nilai demokrasi dan kemanusiaan universal masih hidup di sebagian masyarakat Amerika. Mungkin dalam jangka panjang, hanya merekalah lawan yang setimpal terhadap Imperium Amerika.

Vedi R. Hadiz, Staf pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Nasional Singapura
TEMPO, 2 Februari 2003

Monday, August 18, 2008

Globalisasi Pemiskinan


Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).

Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.

Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat yang sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual

Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.

Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.

Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.

Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.

Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.

Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.

Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.


Negara lemah

Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).

Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.

Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.

Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.

Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.

Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, inefisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.

Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) dalam jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).


Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

KOMPAS, 8 Agustus 2008