Sunday, February 16, 2025

Aku Sakit, Kau Tak Menjengukku


PADA saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya. Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya.

Nah, sahabatku,” berkata Nabi, “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?

Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi, “Sayang sih, sayang wahai Nabi ....

Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?

Aduh, Nabi, gimana yaaa, ...” ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah dan menggumam-gumamkan nama-Nya. Tiap saat. Tiap detik. Tiap sekon. Tidak ada sela-selanya lagi buat yang lain. Ampuni aku, Nabi. Waktuku benar-benar sudah tidak ada, digantikan oleh Allah. Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu ....


Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui?

Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan agar kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?

Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca selawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca selawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah.


Akhirnya, kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks berselawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.

Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak.

Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja. Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.


Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol ... menagih cinta. Alangkah tak enak posisi macam ini!

Apa yang terjadi! Ternyata Beliau malah tertawa. “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?

Aku merasa pekewuh, Nabi ....

Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?

Kawan saya tersipu-sipu.

Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi. “Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja ....


Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik napas lega. Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!

Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa Nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat.

Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.

Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?

Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab, “Sayang sih, ya sayang ....” Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad. “Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?


Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekat, “Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini, Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliah modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu."


Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis.

Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?

Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, kau tidak menyapaku ....
” Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.

YK, 4 Februari 1989

Dikutip dari buku “Slilit Sang Kiai,” Emha Ainun Nadjib, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Ketiga, Mei 1992, hal. 10.

Aslinya dimuat di: Majalah TEMPO, Edisi: 49/18 / Tanggal: 1989-02-04 / Halaman : 27 / Rubrik : KL


Kalau Aku Sakit, Jangan Menjenguk

Tuhan menginformasikan suatu ketegasan salah satu bagian dari ketentuan ciptaannya:

عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ ۝٢٦

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.
[Al-Jinn (72): 26]

Maka saya tidak bisa melihat hantu, Jin atau Setan. Apalagi Malaikat. Kalau bersama KiaiKanjeng sering diminta mengusir hantu misalnya di Canberra Australia, Roma Italia atau London Inggris dll, itu tidak berarti saya tahu hantu, bisa melihatnya, bisa berkomunikasi dengan mereka, bahkan bisa bernegosiasi atau mengusir mereka dari suatu tempat.


Juga saya tidak punya kemampuan untuk melihat serangan rudal santet atau sebaran tenung, seperti yang KiaiKanjeng alami di Mandar menjelang Pilgub, di Tuban sesudah Pilgub, atau di Karanganyar dan Sukoharjo meskipun tak ada kaitannya dengan pemilihan pejabat apapun. Atau yang terparah yang membuat saya divonis oleh teman-teman Dokter di RS Sardjito UGM Yogya bahwa umur saya paling lama tinggal 3,5 bulan karena hyperteroid parah dan onderdil-onderdil pengolah makanan di tubuh saya sudah hancur hitam legam dihajar dengan uranium.

Saya bukan ustadz ruqyah, bukan dukun pengusir hantu, mistikus penyembuh orang kerasukan. Bukan pula ahli kebatinan atau pakar roh, meskipun banyak dikeluhi dan didesak untuk kegiatan semacam itu. Sesungguhnya saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban silaturahmi, mempersambungkan terselenggaranya dialektika kasih sayang dan keselamatan di antara sesama manusia.


Seorang perwira militer sakit parah dan sudah sekarat di RS Sardjito tapi tidak kunjung meninggal. Menurut kabar burung orang yang punya simpanan ilmu sakti di badannya, itu bisa menjadi penghalang atau menunda momentum kematiannya. Mana saya tahu. Saya diminta menangani keadaan itu, dan saya datang dengan niat menolong sesama manusia. Saya berkonsentrasi dan berdoa sebisa-bisa saya, kemudian setelah 15-20 menit yang bersangkutan dicabut nyawanya.

Istri almarhum berterima kasih kepada saya dan bertanya: “Berapa biayanya, Pak?” Saya tidak bisa menjawab, kecuali langsung ngacir pergi. Rupanya pengalaman masyarakat membuat mereka berkesimpulan bahwa hal-hal seperti itu adalah masalah profesional. Dan beliau meminta tolong saya dalam konsep bahwa saya adalah dukun profesional.


Berikutnya saya terbang khusus dari Yogya ke Jakarta karena keluarga seorang penyanyi yang sedang koma di RS Pondok Indah minta tolong kepada saya. Saya datang, tanpa pengetahuan dan kemampuan batin apa-apa, ternyata yang bersangkutan lantas meninggal sekitar 20 menit sesudah saya datang. Mereka berteriak-teriak menangisi almarhumah, pihak Rumah Sakit segera memindahkan tubuhnya ke ruang jenazah, diikuti oleh semua keluarganya, sehingga mereka terlupa bahwa di ruangan itu ada saya.

Saya pun ngeloyor pergi. Pindah ke RS Persahabatan di Rawamangun untuk melakukan pekerjaan yang sama. Berikutnya pindah ke RSPAD, seorang Ibu berproses sampai meninggal, dan kemudian saya menitipkan seadanya uang di dompet saya kepada sang suami. Besok lusanya saya mengantarkan istri saya Novia Kolopaking tugas nyanyi di sebuah Gedung, bersama panyanyi Krisdayanti. Sebelum naik panggung, Kris membisiki saya: “Cak, kapan kalau saya sakit tolong Cak Nun tidak usah datang menjenguk.

Lho kenapa?” saya bertanya. Kris menjawab: “Saya mendengar dari teman-teman bahwa kalau ada orang sakit dijenguk Cak Nun lantas meninggal dunia.


Pada kesempatan lain seorang wanita muda dalam keadaan hamil sekitar 5 bulan datang ke Patangpuluhan, mengeluhkan keadaannya dan pasrah bongkokan kepada saya. Seorang teman yang berprofesi pengacara saya mintai tolong menyiapkan kamar untuk tempat tinggal wanita hamil itu. Kan tidak mungkin dia tinggal di kamar saya di Patangpuluhan. Saya support biaya bulanannya sampai saat nanti dia melahirkan.

Banyak orang berpikir bahwa sayalah pasti yang menghamili wanita itu. Sebab kalau tidak, kenapa mau mengurusinya dan membiayainya. Tiba saatnya kelahiran saya bawa ke RS Panti Rapih. Ternyata bayinya sungsang. Saya mengajak Pathing atau Fatih, anggota Sanggar dan Teater Salahuddin yang menemani saya di Patangpuluhan ke Panti Rapih. Kami berdoa bersama memohon kepada Allah agar posisi bayi dinormalkan sehingga kelahirannya pun lancar. Sebab kalau harus pakai operasi caesar, saya harus menandatangani surat pernyataan kesediaan atas nama keluarga si pasien. Dan itu tidak mungkin saya lakukan. Alhamdulillah Tuhan tidak tega kepada saya, sehingga posisi bayi diubah oleh Malaikat dan kemudian kelahiran berlangsung normal.

Cak Nun dan Cak Fuad.

Tapi ternyata setelah bayi lahir sampai beberapa lama, Ibunya tetap tidak mau pergi. Tetap “nggandhol nasib” kepada saya. Akhirnya saya minta Imam Syuhada adik ipar saya untuk melacak latar belakang anak ini. Imam pergi sampai menemukan kampung wanita ini di sebuah desa di Kabupaten Pati. Imam bisa menemukan keluarganya, dan info bahwa anak ini ternyata dihamili oleh Pak Lurah. Keluarganya saya ultimatum untuk datang menjemput anak itu dan diajak kembali ke kampungnya. Puji Tuhan yang memudahkan semua proses pamungkas urusan wanita hamil ini.

Saya tidak mungkin mencatat semua, mendokumentasikan peristiwa-peristiwa semacam ini, termasuk ribuan orang terutama Jamaah Maiyah yang bermimpi saya temui. Bahkan saya ajari kalimat-kalimat wirid, yang ketika ketemu darat, dikonfirmasikan ternyata merupakan untaian wirid yang saya sendiri belum tentu mengetahuinya.

Emha Ainun Nadjib
Dikutip dari: CakNun.com dalam Rubrik Kebon No. 163. Terbit 14 April 2021


Kekasih Tak Bisa Menanti

Lirik : Emha Ainun Nadjib
Lagu: Harry Tjahjono
Album: Taubat (1997)

Akhirnya ‘kan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak bisa lagi menanti
Zaman harus segera berganti pagi

Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani

Tuhan
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran, ketabahan
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Ya Allah
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru

Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu kami adalah tangan-Mu sendiri
Tak satu kekuatan bisa menghalangi

Ya Allah
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Tuhan
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Datanglah kelahiran yang baru


YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=UvJAkGAPSas

No comments: