Thursday, April 13, 2023

Dimensi Flexing: Dari Moralitas Hingga Krisis Reputasi


Istilah flexing atau pamer kekayaan belakangan ini ramai dibicarakan di media sosial dan media massa, setelah netizen mengkritik hobi para pejabat publik dan keluarganya yang kerap memamerkan gaya hidup di luar kewajaran jika dibandingkan penghasilan mereka sebagai pejabat publik.

Pertanyaannya, apakah flexing yang mereka lakukan tersebut secara moral benar atau salah? Dan apa standarnya?

Baru-baru ini, The Straits Times melaporkan bahwa di Korea Selatan, flexing sekarang sudah menjadi sebuah norma, bukan sebuah penyimpangan. Korea Selatan menjadi negara yang paling banyak membeli barang mewah pribadi di dunia, dengan nilai mencapai 21,8 triliun won atau setara dengan Rp 246 triliun, menurut laporan Morgan Stanley pada tahun 2022.


Penelitian lain dari Shrevan Goenka dan Manoj Thomas di Cornell University pada tahun 2020 yang berjudul “The Malleable Morality of Conspicuous Consumption” atau “Moralitas yang Fleksibel dalam Konsumsi dan Pamer Barang Mewah” menyatakan bahwa perbedaan nilai moral dasar individu akan membentuk perbedaan pendapat mengenai bermoral tidaknya flexing. Individu yang mengutamakan nilai kesejahteraan sosial dan kesetaraan akan keberatan dengan flexing, sedangkan individu yang mengagungkan kesetiaan pada kelompok dan kepatuhan pada norma kelompok tertentu akan lebih permisif terhadap flexing.

Di sisi agama, sebagai contoh, dalam Islam terdapat kisah Nabi Sulaiman, penguasa bumi paling kaya pada zamannya, yang memilih ilmu daripada harta dan tahta saat ditanya oleh Tuhan. Harta dan tahta tidak berarti apa-apa baginya, karena dengan ilmu, ia bisa memimpin dengan bijaksana, yang pada akhirnya akan membuat harta dan kekuasaannya terus bertambah dengan izin Tuhan. Sebaliknya, dalam kisah Islam lainnya, Qorun, sepupu Nabi Musa yang kaya raya, gemar mempertontonkan hartanya namun pelit dan bakhil, sehingga diberikan azab kebinasaan dan dihancurkan oleh Tuhan dalam sebuah gempa bumi.


Di Indonesia, nilai moral tentang hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Sila ke-5 Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perilaku hidup sederhana, hemat, dan tidak bermewah-mewahan dan tidak pamer kemewahan (flexing) adalah perilaku yang selaras dengan Sila ke-5.

Bagi pejabat publik, pegangan moralitasnya ditetapkan dalam Kode Etik Pegawai pada setiap institusi publik di tingkat nasional maupun daerah, yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No 94/2021 dan UU Aparatur Sipil Negara No 5/2014. Salah satu poin dalam Kode Etik Pegawai yang relevan dengan larangan flexing adalah berpola hidup sederhana.


Sederet Persoalan
Ada beberapa masalah dan tantangan saat membahas nilai hidup sederhana, salah satunya terkait dengan Kode Etik Pegawai. Dari 20 sampel Kode Etik di institusi publik yang diobservasi, ada tiga kode etik yang tidak mencantumkan nilai hidup sederhana. Oleh karena itu, tanpa harus menyebut nama institusi, penulis menyarankan agar setiap institusi publik meninjau kembali dan memperbarui Kode Etik Pegawainya jika ada kekurangan.

Jika Kode Etik tersebut tidak memuat poin pola hidup sederhana, maka perilaku flexing tentu tidak dapat diberikan peringatan ataupun sanksi karena tidak ada ketentuan Kode Etik yang dilanggar. Institusi publik harus memastikan bahwa mereka tidak dianggap membiarkan gaya hidup bermewah-mewahan, terutama karena institusi tersebut dibiayai oleh uang pajak rakyat.

Namun, bahkan ketika Kode Etik Pegawai sudah lengkap ketentuannya, tantangan lain muncul di dalam institusi publik terkait dengan efektivitas sosialisasi, internalisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kepatuhan terhadap Kode Etik Pegawai. Juga perihal pemberian imbalan atas kepatuhan serta sanksi atas pelanggaran Kode Etik, dan upaya peningkatan kapasitas baik pada pejabat publik maupun pada fungsi-fungsi pelaksana kampanye kepatuhan terhadap Kode Etik Pegawai ini.


Komisi Aparatur Sipil Negara pernah menyoroti lemahnya penegakan Kode Etik Pegawai ini dalam policy brief-nya pada edisi Desember 2018, sebuah isu yang masih relevan seiring dengan terciduknya perilaku flexing para pejabat publik maupun keluarganya. Kelemahan ini harus ditangani dengan baik agar Kode Etik Pegawai dapat ditegakkan kembali dengan efektif.

Persoalan selanjutnya datang dari konten media sosial yang gampang dikonsumsi setiap saat. Konten flexing di media sosial sangat umum terjadi di seluruh dunia, terlihat serba enak dan mudah dilakukan, serta pelakunya mendapatkan popularitas. Godaan popularitas dan pengakuan publik di media sosial ini seringkali mempengaruhi para pejabat dan keluarganya yang gemar ber-flexing tanpa memperhatikan apakah yang dipamerkan itu milik sendiri, pinjaman, atau bahkan hasil korupsi.

Menjadi pertanyaan besar bagaimana cara terbaik bagi institusi publik untuk memonitor perilaku media sosial dari pejabat publik dan keluarganya.


Beruntungnya, netizen saat ini semakin pintar dengan menghubungkan perilaku flexing ini dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). LHKPN para pejabat yang gemar ber-flexing dikupas habis-habisan, diperbandingkan dengan harga barang-barang yang dipamerkannya, sehingga memunculkan dugaan korupsi atau manipulasi LHKPN. Hal ini memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengklarifikasi dan menginvestigasi pejabat publik tersebut.

Kasus flexing yang paling terkenal adalah kasus Mario Dandy, yang membuat ayahnya, Rafael Alun, pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diperiksa KPK karena laporan harta yang mencapai Rp 56 miliar. Rafael kemudian dipecat Kemenkeu karena telah memanipulasi LHKPN dan melakukan pencucian uang, dan kini diproses secara hukum oleh KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi. Selain Rafael, ada beberapa pejabat di Direktorat Jenderal Bea Cukai, Sekretariat Negara, Kementerian Perhubungan, Polri, Sekretariat Daerah Riau yang tercatat mendapatkan sanksi karena dirinya atau keluarganya melakukan flexing.


Persoalan terbesar yang merupakan dampak terburuk flexing adalah krisis reputasi institusi publik, seperti yang dialami oleh Direktorat Jendral Pajak Kemenkeu. Seruan di media sosial untuk tidak membayar pajak, sorotan negatif dari media sosial dan media massa, rasa malu menjadi pegawai pajak, hingga kesulitan menjalankan tugas sehari-hari sebagai pegawai pajak adalah ukuran telah terjadi krisis. Tidak ada yang menduga bahwa flexing ini akan memiliki dampak yang sedahsyat ini. Bahkan, perilaku tersebut kemudian membuka masalah lain seperti ketidaklincahan dalam penanganan krisis reputasi oleh institusi publik, yang dapat dilihat dari keteterannya Kementerian Keuangan dalam upaya meminimalkan dampak dari perilaku flexing ini.

Peringatan Presiden Joko Widodo kepada pejabat dan pegawai pemerintah untuk tidak bermewah-mewahan dan lebih fokus pada perbaikan pelayanan publik menjadi semakin relevan. Hal ini memang wajar disampaikan oleh pemimpin tertinggi negeri ini, agar “leadership by example” atau kepemimpinan dengan memberikan teladan perilaku hidup sederhana lebih ditegakkan secara konsisten. Jika ini tidak dilakukan, maka dapat diproyeksikan bahwa akan terjadi krisis kepemimpinan yang meluas di negeri ini, di mana ketentuan dalam kode etik tidak dihiraukan sendiri oleh para elit pemimpinnya.

Dengan adanya contoh perilaku dari pimpinan yang hidup sederhana, institusi publik dapat membangun sistem dukungan yang kuat bagi tegaknya Kode Etik Pegawai. Apalagi, dengan adanya pengawasan publik yang kuat, terutama dari netizen, hal ini juga menjadi bagian dari sistem dukungan untuk menjaga integritas institusi publik.


Mengefektifkan Manajemen Risiko dan Krisis
Perilaku flexing yang dikupas dalam tulisan ini jelas telah memicu keluarnya berbagai persoalan mulai dari standar moralitas, korupsi hingga krisis reputasi di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu. Deretan persoalan tersebut sebenarnya dapat diantisipasi melalui manajemen risiko dimana suatu risiko dapat dilokalisir, dihindari ataupun ditransfer. Jika sampai meluas hingga mengakibatkan krisis, hal ini menunjukkan adanya titik lemah dimana ada suatu tahapan manajemen risiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Mungkin saja perilaku flexing ini belum teridentifikasi sebagai risiko, sehingga ketika muncul dan publik bereaksi negatif, flexing langsung cepat menimbulkan krisis. Kemungkinan lainnya, flexing ini sudah masuk dalam identifikasi risiko, namun tidak dinilai sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi, sehingga mitigasinya tidak dianggap terlalu penting. Saat flexing mengemuka di media sosial, tim monitoring kemudian mendeteksi sentimen negatif dari publik yang cepat meluas dan di luar kendali. Akibatnya, krisis tetap terjadi.


Oleh karena itu, identifikasi, penilaian risiko, dan mitigasi yang sudah ada harus ditinjau ulang dan diperbaiki dengan mempertimbangkan bahwa monitoring/pengawasan oleh publik melalui media sosial dapat dengan cepat mengubah persoalan yang sebelumnya dianggap sepele menjadi sesuatu yang berdampak besar. Hal ini berlaku tidak hanya tentang flexing, tapi juga kemungkinan pelanggaran Kode Etik Pegawai yang lain, baik di Kementerian Keuangan, maupun di institusi publik lainnya, di mana tingkat kesiapan manajemen risiko mungkin masih lebih rendah.

Jika krisis tetap terjadi, institusi publik harus lebih siap menghadapinya dengan penguasaan manajemen krisis agar dampaknya dapat diminimalkan. Aturan manajemen krisis, komunikasi krisis, serta simulasi krisis, secara rutin harus terus menerus dilatih sehingga penanganan krisis di institusi publik menjadi lebih seragam, terstruktur, dan efektif. Dengan demikian, institusi publik akan lebih siap dan lebih mampu menghadapi berbagai macam tantangan yang mungkin timbul di masa yang akan datang.

Moch N. Kurniawan,
Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University
Jawa Pos, 11 April 2023

No comments: