Wednesday, February 7, 2018

Di Yaman, Perdamaian Makin Jauh


Konflik di Yaman semakin sulit diredakan setelah kelompok yang didukung Arab Saudi dan kelompok yang didukung Uni Emirat Arab terus terlibat dalam pertempuran.

Milisi bersenjata Dewan Transisi Selatan (STC) yang didukung Uni Emirat Arab (UEA) berhasil menguasai ibu kota sementara Yaman, Aden, setelah terlibat pertempuran dengan kelompok yang dipimpin Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi. Kelompok terakhir ini didukung penuh Arab Saudi, yang juga memimpin koalisi Arab menyerang milisi Houthi yang menggulingkan Hadi.

Wakil dari Arab Saudi dan UEA sudah bertemu untuk meredakan ketegangan di Aden. Mereka mengajak kedua pihak untuk fokus memerangi Houthi, tetapi belum berhasil. Kubu Hadi terkepung di Aden setelah baku tembak dengan STC.

Perang -di mana pun terjadi- yang jadi korban terbanyak selalu rakyat sipil yang lemah dan tak berdaya, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Arab Saudi tetap kukuh mendukung Hadi, sementara UEA tetap mendukung kelompok STC pimpinan Gubernur Aden yang dipecat Hadi, Aidarous al-Zubaidi. Sebagai presiden, Hadi telah memecat banyak pejabat yang didukung UEA, seperti Perdana Menteri Yaman Khaled Mahfoud Bahah dan Komandan Pengamanan Bandara Internasional Aden, Letkol Saleh al-Omairi.

Perpecahan di tubuh pemerintahan Hadi akan menyulitkan koalisi memenangi peperangan melawan kelompok Houthi yang ditengarai mendapatkan dukungan dari Iran. Arab Saudi dan UEA merupakan anggota koalisi Arab yang bertujuan mengusir kelompok Houthi yang merebut San'a, ibu kota Yaman, sejak tahun 2015.

Pertempuran di Aden ini menunjukkan rapuhnya pemerintahan Presiden Hadi serta perbedaan agenda antara Arab Saudi dan UEA. STC berjuang untuk kembali menegakkan negara Yaman Selatan yang terhapus sejak Yaman bersatu di bawah Presiden Ali Abdullah Saleh di tahun 1990.

Perbedaan ini, dan kuatnya kelompok Houthi, juga menunjukkan perang telah menghancurkan negara di selatan jazirah Arab ini. Realitas lokal yang cukup kompleks membuat perdamaian di Yaman sulit diharapkan datang dalam waktu dekat. Bahkan, kemungkinan Yaman kembali terpecah menjadi dua sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja.

Dalam setiap perang, yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Arang habis besi binasa.

Konflik antara Houthi yang menguasai wilayah bagian utara, dan STC yang ingin mendirikan negara di wilayah Yaman selatan, agaknya akan sulit terbendung. “Warga di selatan punya hak untuk mendirikan negara jika masyarakat internasional siap untuk mengakuinya,” ujar Zubaidi.

Meski petanya rumit, Arab Saudi dan UEA sama-sama tak mau kehilangan muka dalam mendukung kelompok yang selama ini memerangi Houthi. Arab Saudi terus berupaya agar hanya ada satu Yaman untuk memudahkan kontrol terhadap tetangganya di selatan itu.

Pertempuran di Aden memunculkan keputusasaan dari konflik yang telah memakan lebih dari 10.000 korban tewas akibat serangan pasukan koalisi Arab. Belum lagi jutaan warga Yaman yang menderita kelaparan, kolera, dan hancurnya hampir semua infrastruktur, baik di utara maupun selatan. Penderitaan warga ini seolah terabaikan karena ditutupi oleh kepentingan kekuasaan para elitenya.

Tajuk Rencana Kompas
KOMPAS, 5 Februari 2018

Abdurabbuh Mansour Hadi, Presiden Yaman yang diakui PBB.

Perang Yaman dan Separatisme Selatan

Aden, markas pemerintahan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang diakui PBB, dilanda konflik militer. Pada tanggal 29 Januari 2018 yang lalu, kelompok bersenjata dukungan Uni Emirat Arab telah mengudeta pemerintahan Hadi dukungan Arab Saudi.

Kelompok bersenjata yang setia pada Dewan Transisi Selatan (STC), gerakan politik yang ingin memisahkan diri dari Yaman utara yang dikuasai Houthi, memilih jalan militer. Seminggu sebelumnya, STC pimpinan Aidarous al-Zubaidi menuntut Hadi memecat Perdana Menteri Ahmed bin Dagher dan membubarkan kabinet kalau ingin pemerintahan berlanjut. Persis yang dilakukan Houthi tiga tahun lalu.

Perang Yaman pun memasuki babak baru. Kini kubu Hadi bukan hanya berperang melawan Houthi dukungan Iran dan loyalis mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, melainkan juga harus menghadapi STC. Perkembangan ini menyulitkan posisi koalisi Arab pimpinan Arab Saudi untuk melanjutkan perang di Yaman.

Kelompok pasukan Houthi, yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman utara.

Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) ingin menjadikan perang Yaman ajang legitimasi. Ia mengambil risiko besar membawa Arab Saudi berperang di Yaman demi mengembalikan Hadi ke tampuk kekuasaan sekaligus menyingkirkan pengaruh Iran.

Posisi Yaman memang sangat strategis. Menguasai Yaman sama dengan menguasai Selat Bab el-Mandeb, tempat lalu lalang puluhan tanker internasional. MBS juga ingin dipandang rakyat Saudi sebagai mujahid agar posisinya Putra Mahkota mendapat legitimasi.

Namun, di luar dugaan MBS, kendati perang telah berlangsung hampir tiga tahun, nyaris tidak ada kemajuan yang dicapai oleh koalisi pimpinan Arab Saudi. Houthi masih tetap menguasai sebagian besar wilayah Yaman utara, termasuk ibu kota Sana'a.

Upaya menyelesaikan perang bukan tidak ada. April 2016, dengan dukungan koalisi, pihak-pihak yang bertikai berunding di Kuwait dengan PBB sebagai mediator. Sayang, perundingan selama tiga bulan itu tidak membuahkan hasil.

Sepertinya sejarah akan berulang, namun dengan kompleksitas masalah yang lebih rumit. Dahulu memang ada dua negara, Yaman Utara dan Yaman Selatan.

Terpisah lama
Yaman utara dan Yaman selatan telah terpisah lebih dari satu abad ketika Yaman utara dijajah Turki Usmani dan Yaman selatan di bawah dominasi Inggris. Pada 1967, rakyat di selatan merdeka dari Inggris dan mendirikan Republik Demokratik Rakyat Yaman dengan ibu kota Aden.

Yaman Utara lebih dulu merdeka dari penjajah Turki, tetapi pada 1962 kaum nasionalis memberontak terhadap kaum loyalis. Perang saudara berlangsung enam tahun, dan berujung pada kemenangan kaum nasionalis. Mereka mendirikan Republik Arab Yaman dengan ibu kota Sana'a.

Tahun 1990, kedua Yaman bersatu. Namun, pada 1994 pihak selatan sempat memberontak meski akhirnya berhasil dipadamkan pihak utara.

Dari segi mazhab pun berbeda. Mayoritas penduduk selatan menganut Sunni mazhab Syafi'i, sedangkan mayoritas populasi utara menganut mazhab Syiah Zaidiyah. Kedudukan penting dalam struktur kaum Zaidi adalah imam keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad Rasulullah, dalam keagamaan sekaligus politik.


Rintangan lain yang dihadapi koalisi dalam menaklukkan lawan adalah perselisihan Uni Emirat Arab (UEA) dan Hadi serta ketidak-kompakan koalisi. Pihak UEA marah kepada Hadi yang telah memecat Gubernur Aden Mayor Jenderal Aidarous al-Zubaidi dan Perdana Menteri Khaled Mahfoud Bahah, padahal keduanya loyalis UEA. Keduanya dipecat bukan tanpa alasan, Hadi tahu bahwa mereka berusaha menggerakkan separatisme.

Zubaidi membentuk dan memimpin STC  beranggotakan 303 orang dengan mengabaikan Hadi, termasuk menolak menyerahkan Bandara Internasional Aden.

Zubaidi dipromosikan UEA dengan sokongan uang dan pasukan karena ada dugaan agenda UEA yang ingin mengendalikan Pulau Socotra yang strategis di Samudra Hindia dan serta mengontrol pelabuhan Aden.

Di luar itu, UEA telah menghabiskan 3 miliar dollar AS untuk pembangunan infrastruktur di selatan dan beberapa miliar dollar lagi untuk mempersenjatai kelompok separatis selatan. Ini menunjukkan UEA sedang memperluas pijakan, apalagi UEA memang sangat berkepentingan pada keamanan Selat Bab el-Mandeb.

Al-Qahyra (Cairo) Castle's Garden in Taiz, the capital of Yemen during the Rasulid's era. The Rasulid Dynasty was established in 1229 by Umar ibn Rasul. (wikipedia.org)

Saudi ketinggalan dalam soal ini karena enggan mengirim pasukan darat ke Yaman. Melihat tekanan internasional yang terus meningkat, UEA mengambil prakarsa sendiri. Perselisihan Saudi-UEA kian runcing karena UEA tak mau kompromi dengan partai mana pun yang dekat dengan Hadi dan Partai Islah di lingkaran kekuasaan.

Partai Islah adalah partainya Ikhwanul Muslimin yang mendukung Hadi. Perselisihan Saudi-UEA juga terkait dengan ditolaknya pesawat pengangkut mata uang Yaman yang dicetak di Rusia oleh UEA.

Saudi mengontrol wilayah utara dan timur, sementara UEA mengendalikan wilayah selatan dan Aden. Bank Sentral Yaman (BSY), yang loyal kepada Saudi, menuduh UEA menghambat masuknya mata uang Yaman agar ekonomi Yaman tercekik.

Presiden Ali Abdullah Saleh (kiri) dan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi (kanan), dua-duanya ketika masih muda.

Berubah haluan
Amerika Serikat sebagai sekutu Saudi, juga berubah haluan menghadapi perang ini. Akhir Desember lalu, AS menyatakan perang bukan solusi. Houthi diminta menghentikan serangan rudal ke wilayah Saudi sebagai syarat memulai perundingan damai.

Perkembangan yang tak diharapkan ini, ditambah ketiadaan prospek kemenangan, biaya perang yang cukup besar, dan makin lunturnya dukungan rakyat Yaman kepada Hadi, membuat Saudi ingin mengakhiri perang.

Ini diharapkan bisa dilakukan setelah rekonsiliasi dengan Iran. MBS pun menghubungi Baghdad untuk menjadi perantara perbaikan hubungan Riyadh dan Teheran. Namun, rekonsiliasi gagal karena Iran mensyaratkan Saudi menghentikan serangan ke Houthi dan tak lagi bekerjasama dengan Israel.

Selain jalur Iran, MBS pun mengambil jalur UEA. Ia mengutus Ahmed al-Asiri (mantan juru bicara militer koalisi Arab) ke Abu Dhabi untuk bertemu Ahmed, putra Saleh, dan membicarakan kemungkinan membentuk pemerintahan baru di Yaman dengan putra Saleh itu sebagai presiden.

Ahmed Ali Abdullah Saleh, adalah mantan pemimpin militer yang berkuasa, yang mengasingkan diri di UEA sejak lima tahun silam. Melalui Ahmed ini, Saudi dapat berhubungan dengan Saleh, tokoh yang telah ikut disingkirkan Saudi pada 2012.

Negeri Yaman memang memiliki posisi geografis yang sangat strategis.

Rekonsiliasi Saudi-Saleh dapat dilihat dari sikap Saleh yang berubah terhadap Houthi. Hubungan keduanya kemudian memburuk saat Khalid al-Radhi, anggota senior Partai Kongres Umum pimpinan Saleh, ditembak mati. Desember silam, di tengah konflik bersenjata terbuka antara Houthi dan loyalis Saleh di Sana'a, skenario Saudi mulai berjalan ketika Saleh mengajak koalisi Arab menghentikan serangan. Sayang, dua hari kemudian, 4 Desember 2017, Houthi membunuhnya. Pasukan Saleh pun mengalami demoralisasi. Gagallah upaya Saudi keluar dari Yaman dengan mengadu domba Houthi-Saleh.

Apakah kudeta STC terhadap pemerintahan Hadi bakal jadi peluang MBS untuk mundur dari Yaman? Belum tentu. Kendati STC kini berkonsentrasi pada upaya menundukkan pasukan Hadi di Aden, perang belum berakhir. Houthi masih akan berperang, paling tidak sampai STC mengembalikan sebagian wilayah Yaman utara yang kini masih diduduki pihak selatan sesuai demarkasi perbatasan tahun 1990.

Perang Yaman adalah perang saudara sesama muslim dan sesama bangsa Arab. Bahkan sama-sama meneriakkan takbir: "Allahu Akbar!"

Yang jelas, korban dari konflik panas ini tentu saja adalah rakyat sipil Yaman. Di utara, untuk sementara konflik internal antara Houthi dan loyalis Saleh dapat ditekan. Namun, ke depan, konflik terbuka sepertinya tak akan terhindarkan lagi, mengingat kedua pihak memiliki sejarah permusuhan yang panjang.

Ketegangan hubungan antara keduanya saat ini merupakan cermin dari perang saudara kaum loyalis (diwakili Houthi) dan kaum nasionalis (diwakili loyalis Saleh) tahun 1962-1968.

Isu Yaman pun makin rumit dan koalisi Arab ataupun PBB menghadapi kesulitan besar. Hanya Iran, Saudi, dan UEA yang mampu mengatasi, asal mereka bisa membuang ego masing-masing di meja perundingan.

Smith Alhadar
Penasihat ISMES,
The Indonesian Society for Middle East Studies
(Masyarakat Indonesia Peminat Kajian Timur Tengah)
KOMPAS, 5 Februari 2018

No comments: