Saturday, March 30, 2013

Salah Satu Kelebihan Anas Urbaningrum


Apa yang akan diungkapkan melalui tulisan ringan ini, hanyalah sekedar guratan kesan perjumpaan sejarah saya dengan Anas Urbaningrum semasa sama-sama aktif di Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dekade 1990-an. Lantaran hanya salah satu kelebihan, di satu sisi berarti memang Anas Urbaningrum memiliki kelebihan-kelebihan lainnya. Pada sisi lain –sebagaimana sekeping mata uang logam– ia sesungguhnya juga manusia biasa yang punya kelemahan-kelemahan.

Salah satu kelebihan Anas Urbaningrum semenjak ia menjabat sebagai Ketua Bidang Penelitiaan dan Pengembangan (Litbang), kemudian menjadi Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Nasional (PPN) PB HMI Periode 1995-1997 era Taufiq Hidayat, hingga akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1997-1999 di Yogyakarta, adalah daya ingat atau kemampuannya menghafal nama-nama orang yang berjumpa dengan dirinya.

Anas tidak hanya hafal nama-nama kader HMI, namun juga asal cabang, kuliahnya atau bahkan pacarnya siapa, jika si kader curhat padanya. Pimpinan OKP, Kelompok Cipayung pada masa kepemimpinannya di PB HMI, tokoh-tokoh di era reformasi, atau mahasiswa yang pernah mengundangnya sebagai pembicara di suatu forum pasti ia ingat namanya —sekalipun agak lama tidak bersua dengan dirinya.


Kepada orang-orang yang pernah mengorbitkan dirinya, Anas Urbaningrum juga tidak pernah lupa. Surat pribadi ucapan terima kasih (barangkali juga panggilan atau sms) ia layangkan. Semasa ia menjadi Ketua Umum PB HMI dan beberapa tahun selepasnya, saya pernah mendapat tugas untuk mengirim kartu ucapan Idul Fitri khusus secara pribadi buat para wartawan yang meliput kegiatan di PB HMI atau pernah bersentuhan dengan dirinya.

Suatu hari, di kantor PB HMI saya pernah bercerita sambil lalu pada Anas Urbaningrum tentang anak sulung saya. Selang beberapa bulan kemudian, dalam suatu pembicaraan santai sembari saya memijat punggungnya di sebuah kamar kontrakan di kawasan Paseban Kramat Raya ia bertanya, “Bagaimana kabar anakmu Chiara, Dwiki?” Jelas saya kaget sekaligus surprise, betapa ia masih ingat nama depan anak sulung saya. Sebagai anak buah, saya tersanjung sekaligus kagum betapa ia juga memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.

Mahmuddin Muslim, seorang rekan HMI yang kini aktif di ormas sayap PDI Perjuangan, Baitul Muslimin Indonesia, pernah berkisah pada saya. Kata Mahmuddin, “Ketika kali pertama bertemu Anas Urbaningrum, sebagaimana adab pada umumnya saya memperkenalkan diri. Anas menjabat tangan saya dengan erat dan hangat, seolah-olah bertemu dengan sahabat karib, sorotan matanya menatap mata saya sembari menyunggingkan senyuman khas Anas.”


Selepas pertemuan yang hanya sebentar tersebut, Mahmuddin menerawang dan menangkap kesan mendalam. Ujar dia, “Jabatan tangannya yang erat dan hangat sangat berbeda dengan kebanyakan tokoh yang pernah saya temui untuk pertama kali. Bukan hanya sekedar sentuhan ujung jari telapak tangan belaka ….”

Kekaguman Mahmuddin bertambah manakala beberapa waktu kemudian ia bertemu kembali dengan Anas Urbaningrum. Serta merta Anas menyapa; “Hai Mahmuddin Muslim, bagaimana kabarnya?” Menurut Mahmudin, “Hanya segelintir orang yang bisa hafal nama lengkap saya, apalagi momen pertemuan sebelumnya hanya sesaat dan telah berlangsung lama.”

Ada suatu literatur yang mengatakan bahwa salah satu ciri apakah seseorang berkarakter sebagai pemimpin atau bukan, dapat dilihat dari apakah dia hafal atau tidak kepada orang lain atau anak buahnya. Ciri ini akan membuat sang anak buah menjadi setia kepada pimpinannya. Konon, sebagai contoh nyata, para jenderal dan serdadu angkatan perang Perancis sangat setia di bawah komando Napoleon Bonaparte disebabkan ia hafal nama lengkap dan asal daerah dari ribuan bala tentaranya.


Apa yang saya alami dan juga kisah Mahmuddin di atas, niscaya dialami pula oleh sahabat-sahabat Anas Urbaningrum lainnya. Cara Anas bergaul dan membawa diri, apalagi dalam kapasitasnya sebagai tokoh politik dan public figure sungguh membuat orang yang mengenalnya secara pribadi (baik kawan maupun lawan politiknya) akan menaruh hormat sekaligus segan kepadanya.

Jika ada orang yang terang-terangan mencaci-maki Anas Urbaningrum maka bisa dipastikan orang tersebut belum atau tidak pernah mengenal pribadi Anas yang sebenarnya. Pasti ada suatu motif tertentu (tendensius) di baliknya. Atau dia kurang informasi rinci dan mendalam atas apa yang dilontarkannya. Jadi andaikata saya adalah lawan politik Anas, maka akan terlalu naif bila saya berkonfrontasi langsung kepadanya. Mengingat akan pembawaan dan karakter pribadinya –setidaknya seperti yang saya kenal selama ini, sungguh akan membuat siapa saja –baik kawan maupun lawan- berpikir seribu kali untuk menjatuhkannya. Apalagi tanpa bukti-bukti yang kuat.

Oleh karena itu, agar tidak menyinggung perasaan dan mencederai persahabatan sebagai sesama aktifis politik, maka cara paling aman bagi saya tentu dengan meminta orang lain atau saluran-saluran lain untuk berkoar-koar tentang kejelekan Anas Urbaningrum. Sekalipun hati nurani terdalam saya mengingkarinya, karena nyata-nyata saya telah memfitnahnya!


Namun demikian, dalam politik kadangkala fitnah adalah resep mujarab untuk menjatuhkan karir politik seseorang. Mencari sebatang jarum kejelekan di hamparan jerami memang amat susah, apalagi bila jarum tersebut sebenarnya tidak ada di sana. Maka tidak ada pilihan lain bagi saya kecuali menebar angin fitnah melalui pihak-pihak lain secara ‘profesional’.

Namun sejatinya sang penebar angin fitnah tidak sadar, bahwa badai yang terbentuk, cepat atau lambat, pasti akan menggulung dan memporak-porandakan dirinya sendiri, walau skenarionya tersebut sudah ‘nampak’ tersusun rapi. Kelak pasti terbukti oleh mahkamah sejarah, bahwa fitnah yang ditebarkannya saat ini akan membantingnya hingga terkulai lemah di bibir pantai dan di dasar lembah ….

Dwiki Setiyawan,
Sahabat Anas di HMI
http://dwikisetiyawan.wordpress.com

No comments: