Thursday, March 7, 2013

Leadership From Within


Leadership is the art of getting people to do what they don’t want to do and have them enjoy the experience (Lewis MacKenzie).

Pemimpin itu menggerakkan, mengarahkan, dan menginspirasi orang lain untuk melakukan sesuatu menurut yang dia bayangkan dan kehendaki. Karena memimpin adalah menggerakkan, akan semakin efektif jika seorang pemimpin memahami psikologi anak buah atau masyarakat, insentif apa yang membuat mereka semangat untuk bergerak mengikuti ajakan atau perintah pimpinannya.

Biasanya orang segera berpikir, insentif uanglah yang paling efektif untuk menggerakkan orang. Pendapat ini tidak salah, namun tidak akan berlaku bagi masyarakat yang bekerja dengan idealisme serta menghayati nilai-nilai spiritual secara intens. Para pejuang maupun pendukung kemerdekaan dan kelahiran negara RI bukan tergerak karena insentif uang. Mereka bahkan mempertaruhkan kekayaannya yang termahal: harta, jiwa, dan nyawa.

Di situ terjalin hubungan emosional, spiritual, dan ideologis antara pemimpin dan rakyat. Para pemimpin menggerakkan rakyat dengan idealisme dan hati. Di sini berlaku ungkapan: the leadership starts from within. And we all possess the seeds of greatness. Siapa pun yang jadi pemimpin harus mulai dari diri sendiri dengan menumbuhkan dan mengaktualkan potensi serta benih-benih kebajikan dan keunggulan yang ada pada setiap orang, sehingga seorang pemimpin adalah juga sosok teladan.


Ratusan judul buku tentang leadership telah ditulis para ahli. Antara lain dikatakan, ideas, facts, and figures may inform the world. But emotion moves it. Napoleon Bonaparte pernah berucap: It is not the size of the army but the power within the army. Dua ungkapan diatas mempertegas bahwa kekuatan untuk mengubah keadaan bermula dari kekuatan pikiran, mental, dan hati pemimpinnya. Contoh pemimpin dalam sejarah yang paling spektakuler dan getaran pengaruhnya masih dirasakan sampai hari ini adalah Muhammad, yang oleh umat Islam diyakini sebagai sosok utusan Allah.

Ada lagi sosok lain seperti Yesus, Budha Gautama, atau Mahatma Gandhi. Gagasan, semangat dan cinta kasih mereka untuk memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban unggul masih menggelorakan para pengikutnya tanpa janji insentif uang dan jabatan, mengingat semuanya telah meninggal. Tokoh-tokoh diatas memimpin dengan hati. Mereka memiliki kepribadian tangguh, rela mengorbankan segalanya untuk kebaikan orang lain.

Kalaupun mereka itu dianggap terlalu jauh, berada di langit sehingga sulit ditiru, sesungguhnya kita bisa melihat dan merasakan orang-orang di sekeliling kita. Sosok paling dekat adalah ibu. Yang hebat dan menonjol dari ibu bukan kepintarannya, melainkan cinta kasih dan doanya yang tulus, yang tak pernah padam agar anak-anaknya tumbuh menjadi orang baik. Apa pun yang dilakukan seorang ibu demi kebaikan dan kemajuan anak-anaknya.


Di lingkungan sekolah pun mudah kita baca dan rasakan. Para siswa akan merasakan siapa-siapa guru yang mengajar dengan hati, dan siapa yang sekadar berbagi ilmu minus cinta kasih dan rasa empati pada para siswa. Demikian juga di kantor. Jabatan setinggi apa pun, ilmu pengetahuan seluas apa pun, tanpa didasari cinta kasih, semangat menolong dan memajukan orang lain pasti tidak cukup efektif untuk menggerakkan orang.

Persyaratan intelektual seorang pemimpin yang biasa dimajukan oleh para ahli antara lain adalah memiliki visi ke depan, keterampilan manajerial, komunikatif, berani ambil risiko dan menjadi pendengar yang baik. Namun, itu semua pada akhirnya akan sangat ditentukan inner quality dari seseorang, yaitu kadar keikhlasan, kesediaan berkorban, dan rasa cinta terhadap tugas dan masyarakat yang hendak dilayani.

Keikhlasan dan cinta merupakan sumber kekuatan yang amat dahsyat bagi seorang pemimpin. Orang yang ikhlas tidak akan haus tepuk tangan dan pujian sehingga hidup dijalaninya dengan wajar, tenang, dan tidak menciptakan jarak dengan semua anak buahnya. Cinta membuat seseorang menjadi pribadi yang melimpah. Selalu ingin memberi, bukannya mendapatkan, apalagi mengambil.

Bayangkan jika cinta dan ikhlas ini menyertai persyaratan seorang pemimpin seperti disebut di muka, pasti akan produktif, bermakna dan dicintai lingkungannya. Pemimpin yang didasari cinta dan ikhlas tak akan khawatir mengalami post-power syndrome karena kekuatan pribadinya tidak disandarkan pada status dan jabatan formalnya, melainkan pada kepercayaan dan ketulusan yang berakar pada dirinya. Dia tidak khawatir jatuh karena tidak merasa di puncak ketinggian, dia juga tidak takut terinjak karena tidak merasa di bawah. Dia berusaha melebur ke dalam hati masyarakat. Hati rakyat adalah singgasananya.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 1 Maret 2013

No comments: