Sunday, October 26, 2008

Rumuskan Dulu Etik Islam


Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwasanya beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Juga banyak ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hal itu. Pengertian akhlaq sendiri amat luas sekali. Karena itu yang penting bagi kita adalah bagaimana melihat dan menerangkan isi al-Quran itu secara keseluruhan. Jangan hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi harus kita tatap dalam satu keutuhan ajaran.

Kita akan keliru manakala mendekati al-Quran dari ayat ke ayat, sepotong sepotong. Dengan cara itu, sesungguhnya kita sedang mengeksploitir al-Quran untuk kita gunakan dalam rangka mengaplikasikannya dalam pemikiran kita. Cara itu tidak adil.

Baru dapat dikatakan adil, apabila kita memperlakukan al-Quran dan mendekatinya secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan ajaran. Dengan jujur bisa kita katakan, cara ini belum dilakukan. Bahkan sampai hari ini methodologinya pun belum dirumuskan. Asumsi-asumsi dasarnya perlu dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi satu sistem yang dapat dipraktekkan.

Dalam rangka ini dapat kita pertanyakan, apakah Islam mempunyai sistem pandangan tersendiri. Kalau memang kita yakin bahwa Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap seluruh aspek hidup dan kehidupan ini, maka kita dapat menyusun satu "Etik Islam". Apabila kita sudah dapat menyusun Etik Islam, maka persoalannya akan lebih mudah untuk menyusun sistem apa pun. Tetapi secara jujur memang harus kita akui bahwa sudah seribu tahun kita berhenti berfikir.

Pada beberapa buku klasik dikatakan bahwa pintu ijtihad itu sudah ditutup, sehingga kita tidak berhak lagi untuk memformulasikan apa pun di bidang hukum di bidang yurisprudensi. Kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan dulu. Padahal apakah salahnya jika kita pun merumuskan hal yang sama. Kenapa tidak berhak. Apa bedanya kita dengan para Imam dulu. Sehingga sesungguhnya kita pun dapat menyusun Syari'ah sebagaimana para Imam dulu, sebab bukankah Syari'ah yang dirumuskan para Imam itu pun merupakan hasil ijtihad mereka. Para yurist pada abad IX dan X Hijriah, tentu sifat ijtihadnya pun terikat oleh masanya, oleh tantangan-tantangan sejarahnya.

Soalnya sekarang adalah, mari kita pertanyakan apakah kita pada abad XV Hijriah ini sudah mempunyai methodologi untuk merumuskan Sistem Nilai Islam yang bersumber pada al Quran yang dapat kita namakan pandangan bersama tentang Islam, sehingga di atas itu kita dapat membangun segala macam sistem.

Jika kita bicara tentang rekonstruksi masyarakat Islam, rekonstruksi tata politik Islam, kesemuanya tidak akan mungkin apabila "the world view" itu belum dibuat secara sistematis.

Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 menegaskan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk dapat menginterpretasikan al-Quran. Karena jika kita terus menerus mengikuti para yurist yang dulu-dulu, maka Islam akan cenderung untuk begitu begitu saja. Kita hanya bangga dalam bayang bayang, tetapi dalam kenyataan kita hidup dalam kegetiran yang luar biasa.

Kita harus melakukannya sekarang. Jika tidak, kita akan dalam kebingungan intelektual keagamaan terus menerus sampai hari kiamat nanti.

Sumber: Dr. A Syafi’i Ma’arif, dalam Mencari Sistem Ekonomi Islam, editor: Djawahir Thontowi, SH dan Lukman Hakiem. Penerbit: LPPM UII, Yogyakarta. Cetakan I, 1985. Hal. 25 – 26.

Technorati Profile

5 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

Etika Islam

Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun realita". Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk (QS 91:7-8). Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be ?"(Apa yang seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do ?" (Apa yang harus dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif". Di dalam hidupnya manusia dinilai!!! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai!!! Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik-buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS 91:7-8). Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan". Imam Al Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya :
"Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari ilmu ma'rifat".

Di sini, Al Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian Ilahiyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea" hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea" bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan "ide". Kesadaran tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan Allah dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi asasinya yang disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian diri". Sebab kesejatian inilah yang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar bersandar pada kejernihan fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan kehendak Allah (fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya" (QS 30:30). Pada dasarnya fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide (ilham) tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Asy Syams ayat 7-8 :
"Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya" (QS 91:7-8)".

Betapa bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab pengetahuan-pengetahuan itu akan digunakan untuk melakukan hal-hal seperti : mencuri, korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari sini dapat dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik buruk secara apriori", bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun pengertiannya masih bersifat relatif dan hal itu akan lebih jelas jika disinari oleh wahyu ke-Tuhanan. Sebab ia tidak akan mampu menelusuri secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual" dalam menerima ide yang sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan jiwa kita diam, terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh jiwa berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan syahwatnya.
Kembali kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif, maka nilai tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa jadi, mencuri itu mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut didasari oleh hukum-hukum tentang permalingan, juga sekularisme, hedonisme, komunisme dan ateisme, dasar-dasar inilah yang akan menilai perilaku itu baik atau buruk. Begitupun tata nilai ke-Tuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan orientasi niat yang kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep "LIlahi ta'ala". Pendasaran kepada setiap "laku" manusia, mengandung tuntutan kesadaran, bukan paksaan!!! Perilaku seseorang tersebut baru bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi :
"Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya" (Hadist riwayat Bukhari Muslim).
Dalam hadist tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan niatnya. Suatu riwayat, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat".
"Maka barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya" (Al Hadits).
Di sini sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai atau tidak karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan shalat yang terhalang oleh pikiran yang tidak khusyu' akan berakibat pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti yang termaktub dalam Al Qur'an surat Al Maa'uun ayat 4-5 :
"Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai, terhambat oleh keinginan supaya dilihat orang lain) (QS 107:4-5).
Perbuatan macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan. Etika pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan ternyata hal ini hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan. Setia dan bertingkah baik an-sich tanpa memperhitungkan syarat lain, memang dapat digolongkan ke dalam "kebajikan". Namun belum tentu dapat dikategorikan dalam kebajikan jika ditinjau lebih jauh pada kondisi-kondisi lain, yakni pada apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa yang melatari perbuatan tersebut. Misalnya Abdullah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat :
1. Subyek yang berbuat, yaitu "Abdullah".
2. Obyek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah".
3. Obyek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin.
4. Obyek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang, karena Allah dll).
Pada faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai syarat yang ikut ambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai tindakan etis. Tegas sekali Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai tanggung jawab penghambaan kepada Kholiqnya.
Tanggung jawab Islam dalam syariat (etika ke-Tuhanan) selalu mengandung kedalaman dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai obyek nilai, juga di dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah, mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai kepada tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak Allah (Fitrah Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada syarat; Islam, Iman dan Ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai agama apabila meliputi ketiga kriteria tersebut.
Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan :
"Artinya: sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang Arab Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang Islam, maka Nabi menjawab, "Islam itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, engkau keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana. Lalu Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi menjawab, "Yaitu hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati, dan hendaknya engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya. Jibril bertanya lagi, apakah Ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau tidak bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam akhir Hadist itu dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para sahabatnya) : Dia itu Jibril, Ia datang kepadamu untuk mengajarkan tentang agamamu".
Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan : "Ku tundukkan dia, maka ia tunduk" yakni : beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri kepada-Nya.
Agama meliputi :
a. Islam : berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji).
b. Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental.
c. Ihsan : kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.
Maka setiap peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan adanya sikap "ihsan" (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat kalian). Hal inilah yang selalu menjadi permasalahan pokok dan mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk yang tidak lagi menjadi masalah, padahal kita bertahun-tahun melakukan peribadatan tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan sia-sia. Ihsan adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah roh setiap peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan salah satu rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun agama ini telah dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai baligh. Sebagaimana Hadist Rasulullah :
"Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasay, hadist sohih).
Selanjutnya Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan, tetapi tujuannya bukan LIlahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya, sebagaimana firman Allah surat Az Zumar ayat 2 :
"Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (QS 39:2).
Nash tersebut di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu, maka ia akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana akhlaq Allah, dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan paksaan.
Untuk itu kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita melaksanakan peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan di atas.

Anonymous said...

okalhvqqi
BddOEGOMDELDds

We supply [url=http://www.woolrich-arctic-parka.org]Woolrich Parka[/url] down jackets ,
[url=http://www.woolrich-arctic-parka.org]Check this out[/url] to visit our website [url=http://www.woolrich-arctic-parka.org]woolrich-arctic-parka.org[/url] .
Here for you can find the best [url=http://www.woolrich-arctic-parka.org/woolrich-arctic-parka-women-c-2.html]Woolrich Arctic Parka[/url] .

Now to buy so [url=http://www.woolrich-arctic-parka.org/]pas cher woolrich jackets[/url]

Anonymous said...

cheap ugg cheap ugg boots classic ugg boots [url=http://www.boots--classic.com/]cheap ugg[/url] www.boots--classic.com
ugg boots rummage sale ugg boots sale ugg boots jumble sale [url=http://www.ugg--bootssale.com/]ugg boots sale[/url] www.ugg--bootssale.com
cheap ugg boots cheap ugg boots cheap ugg boots [url=http://www.boots--free.com/]ugg boots free shipping[/url] www.boots--free.com
cheap nfl jerseys nfl jerseys nike nfl jerseys [url=http://www.nfl--jerseys.com/]nike nfl jerseys[/url] www.nfl--jerseys.com nfl jerseys
michael kors outlet michael kors handbags michael kors bags [url=http://www.moncler--jackets.com/]michael kors bags[/url] www.moncler--jackets.com

Anonymous said...

I really appreciate this post. I have been looking everywhere for this! Thank goodness I found it on Bing. You have made my day! Thank you again!

[url=http://susa.filmy-love.org/]payday loans[/url]

pay day loans

Anonymous said...

Heath Miller Nike Jersey

Think on thisThis is illegal in many states but other groomers still use them His influence can be seen in Jean Houston's Jumptime

Bears Julius Peppers Jersey

7 It also says that stars will fall to the earth Simply find yourself in a comfortable sitting position with your back straightI believe that He wants to show all of us what will happen to our earth, once He pulls back His restraining hand, and allows Satan and one evil man, the Antichrist, to wreak as much havoc and destruction as they possibly can get away with

JJ Watt Elite Jersey