Wednesday, September 3, 2008

Berani BERUBAH Berani BERUBAH berani

Di hari-hari sekitar peringatan Hari Kemerdekaan ini, saya sempat membuka sebuah buku lama. Buku itu berisi perdebatan para tokoh bangsa di tahun 1935-36, di berbagai media yang ada saat itu. Sutan Takdir Alisjahbana yang memulainya hingga mengundang reaksi dari berbagai tokoh. Sanusi Pane, dr Sutomo, hingga Ki Hadjar Dewantoro ikut menanggapinya. Para pemerhati menyebutnya sebagai "Polemik Kebudayaan". Sastrawan besar yang juga penulis Atheis Achdiat K Mihardja mengumpulkannya menjadi buku. Balai Pustaka menerbitkannya di tahun 1949.
Polemik itu berpangkal dari kerisauan Sutan Takdir yang melihat betapa lemah bangsa ini dalam peradaban dunia. Saat itu, bangsa ini tampak begitu statis, begitu pasrah pada alam dan nasib, dan terkungkung oleh budaya feodal. Ia ingin mengajak bangsa ini keluar dari keadaan. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari berbagai keterbelengguan itu. Ia ingin membuat gerakan semacam Restorasi Meiji yang membangkitkan Jepang menjadi bangsa maju. Maka, Sutan Takdir mengajak semua untuk mengadopsi budaya Barat. Budaya yang bukan pasrah pada alam, melainkan yang bertekad untuk mampu mengendalikan alam. Budaya yang bukan statis, melainkan dinamis. Budaya yang bukan mematikan hasrat pribadi, melainkan justru mendorong setiap diri untuk tegak memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Lontaran itu semula sempat dicurigai sebagai ajakan merendahkan budaya Timur. Bahkan, mengusik nilai-nilai keislaman. Takdir memang tak setuju pada kepatuhan umat pada kiai dan tokoh agama. Apalagi tak sedikit pula tokoh agama yang terus memupuk kepatuhan itu untuk menyalahgunakannya. Bagi Sutan Takdir nilai Islam yang diturunkan sejak masa Nabi Ibrahim tidak seperti itu. Rasulullah SAW pun telah menegaskan bahwa tak ada kerahiban dalam Islam. Tak ada 'orang suci' yang harus 'dibongkok-bongkoki' atau "diciumtangani". Islam mengharuskan umatnya untuk menghormati orang tua. Juga orang-orang yang lebih alim. Namun, penghormatan itu tidaklah dengan merendahkan diri sendiri.
Takdir mengajak untuk mengambil nilai Islam yang asli. Yakni, Islam yang meneladani Nabi Ibrahim yang mengajak semua manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Manusia yang tidak terjajah oleh apa pun, termasuk oleh jabatan, harta, maupun pikiran dan kekhawatirannya sendiri, karena meyakini bahwa cuma Dia yang layak diagungkan. Nilai Islam itulah yang akan menjadikan manusia rasional, teguh, tenang, tidak khawatir pada apa pun, serta siap mengelola dan bukan dikelola oleh alam ini. Sayangnya nilai Islam seperti itu sudah terlalu terselaputi oleh pendekatan formalistik fikiyah. Bahkan, budaya feodal yang entah mengapa tumbuh subur di lingkungan umat Islam. Takdir menyalahkan budaya India telah membelokkan nilai-nilai ideal itu.
Tak semua setuju tentu dengan pandangan Sutan Takdir. Maka, reaksi pun bermunculan. Tapi, jika kita simak umat dan bangsa ini sekarang, keadaannya tak banyak bergeser dari masa 'Polemik Kebudayaan' dulu berlangsung. Persoalan Indonesia yang dikemukakan Sutan Takdir sebelum kemerdekaan, masih menjadi persoalan Indonesia sekarang. Masa setelah 62 tahun merdeka. Kemiskinan bukan teratasi melainkan malah beranak pinak dengan kecepatan luar biasa. Budaya feodal bukan menghilang melainkan malah terlestarikan lewat format barunya. Kemampuan mengelola dan mengendalikan alam bahkan tererosi menjadi kemampuan menguras dan merusak alam. Sikap statis justru semakin mengental lewat kegemaran kita pada 'kemapanan'. Baik kemapanan pada posisi agar terus dikasihani, maupun kemapanan hal-hal yang tak benar, seperti korupsi.
Umat dan bangsa besar bukan umat dan bangsa yang mapan pada nasib. Baik pada nasib susah maupun nasib yang tampak baik (padahal belum tentu, atau bahkan tidak). Umat dan bangsa besar adalah yang berani berubah. Yakni, seperti yang diajarkan Nabi, yang selalu mengoreksi diri sendiri. Juga yang selalu menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Masihkah kita merasa sebagai umat Nabi jika merasa nyaman dengan keadaan sekarang dan tak berusaha keras buat berubah? Apa artinya memperingati Indonesia merdeka jika tak mau mengubah diri sendiri agar menjadi manusia yang benar-benar merdeka?

Oleh : Zaim Uchrowi
REPUBLIKA, 31 Agustus 2007

3 comments:

Ajib Setya Budi said...

Berani dan Nekad itu beda-beda tipis. Berani terjadi karena dia tahu benar resikonya, sehingga sudah diperhitungkan. Nekad terjadi karena tidak mau tahu dengan segala resiko yang akan terjadi. Orang berani biasanya tidak menyesal, sedangkan orang nekad seringkali menyesal di kemudian hari. Gitu nggak pak dhe Adib !!!

KULYUBI ISMANGUN said...

TRANSFORMASI SOSIAL

Revolusi kita memang sedari asal-mulanja Revolusi Kiri, Revolusi Rakyat, Revolusi Amanat Penderitaan Rakyat (APR)”

Demikian tulis Soekarno, Presiden Indonesia pertama dalam ejaan bahasa Indonesia lama dalam buku Tritunggal Resopim (1961). Pola pikir kiri tersebut lalu dirumuskannya ke dalam sebuah ideologi yang diberi nama Pancasila

Dengan demikian, istilah sosialisme-komunisme sebenarnya tidak asing bagi negeri ini. Dan tidak aneh pula jika Presiden Abdurrahman Wahid membuka wacana komunisme ini dengan usulannya kepada MPR untuk mencabut Tab MPRS XXV/1966. Walaupun terlihat sia-sia karena pasti akan ditolak MPR, tetapi ideologi marxisme dapat menjadi sebuah kritikan terhadap kapitalisme purba yang kini sedang bergentayangan di Indonesia. Jika di Eropa dan negara-negara maju kapitalisme sudah dirancang sedemikian “lunak” sehingga kaum proletar memiliki posisi tawar yang tinggi, tapi tidak demikian halnya dengan Indonesia.

Untuk mengetahui apa itu marxisme, kita harus mengetahui dulu beberapa prinsip fundamental dari kapitalisme. Karena sosialisme-komunisme lahir sebagai reaksi atas kehadiran kapitalisme. Kapitalisme, seperti kata Dawam Rahardjo, memiliki beberapa ciri yang prinsipil yaitu pertama, perusahaan-perusahaan dapat dimiliki oleh perorangan atau keluarga. Kedua, kegiatan ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar dimana persaingan atau kompetisi bebas berlaku secara dominan. Dan ketiga, negara tidak melakukan intervensi dalam bentuk apapun terhadap pasar dan menjaga agar sistem pasar bekerja secara bebas.

Dalam kondisi demikianlah sosialisme lahir. Sosialisme sebagai ideologi alternatif mengemukakan pandangan yang sangat totaliter. Pasar menurutnya haruslah dikuasai sepenuhnya oleh negara agar tidak terjadi monopoli dan sebagai usaha mencapai masyarakat tanpa kelas. Walaupun sedikit kurang dapat diterima akal sehat karena tidak mengindahkan hak-hak individu, maka Hannah Arendt mengambarkannya dengan mengutip David Rousset pada permulaan bukunya Asal-Usul Totalitarisme: Normal men do not know that everything (totalitarisme) is possible.

Sosialismee sebagai tandingan sistem ekonomi pasar bebas dikembangkan lebih lanjut oleh Karl Marx menjadi komunisme yang berbentuk penguasaan total kepada seluruh komponen negara yang dipimpin sementara oleh seorang diktator proletar sampai terbentuknya masyarakat tanpa kelas. Dan jika itu sudah tercapai, diktator proletar tadi haruslah mundur seiring menghilangnya negara dengan segala intrumennya.

Doktrin ekonomi kapitalisme klasik tadi juga ditentang oleh seorang ekonom bernama Maynard Keynes. Ia mengatakan doktrin ortodoks agar pemerintah tidak campur tangan dalam pasar merupakan teori usang. Alasannya pemerintah justru harus campur tangan ke dalam pasar dengan bentuk membiayai proyek-proyek baru demi menyediakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran.

Kapitalisme memang memiliki sisi dilematis. Masih menurut Keynes, jika semua orang bekerja, itu karena permintaan tenaga kerja terus meningkat. Jika permintaan terus meningkat, harga atau upah tenaga kerja juga akan meningkat. Di satu sisi itu dapat meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, tapi di sisi lain, biaya perusahaan juga meningkat. Artinya inflasi akan membumbung tinggi.

Paham marxismee memiliki banyak dimensi pemikiran. Salah satunya adalah tentang struktur masyarakat. Masyarakat menurutnya akan mengalami perkembangan dari bentuk-bentuk yang sederhana ke bentuk-bentuk yang sangat kompleks. Ia menggambarkan masyarakat beranjak dari bentuk feodalistis yang melahirkan beberapa orang yang memiliki kapital besar untuk kemudian berubah menjadi sosialismee dan komunismee. Pada tahap kapitalismee ke sosialismee, perubahan tersebut akan terjadi dengan sendirinya karena kontradiksi-kontradiksi internal dalam permasalahan kapital.Untuk lebih mempertegas atau mempercepat perubahan dari masyarakat kapitalisme ke sosialismee, Marx menganjurkan revolusi seperti terdapat pada halaman pertama buku Fundamentalism of Marxism and Leninisme: Marx’s teaching is all powerful because it is true. Di bagian lain buku tersebut ia mengatakan, we must take things as they are, that is, up hold the revolutionary cause in a form that corressponds to the changed circumstances (Karl Marx, Briefe an Kugelmann, Berlin, 1927, S. 27-28).

Lain halnya kaum Kiri Baru dengan tokohnya Herbert Marcuse. Kiri Baru yang berkembang di tahun 1960-an, menganjurkan aksi-aksi yang sedikit “lunak” yaitu dengan cara demonstrasi-demonstrasi secara radikal sampai keinginan kaum buruh terpenuhi. Intinya Herbert Marcuse menginginkan jalan yang agak kompromistis. Namun demikian gerakan Kiri Baru ini kurang mendapat respon yang baik.

Perkiraan Marx tentang kejatuhan kapitalisme ternyata meleset. Hingga kini kapitalisme belumlah runtuh. Kapitalisme seperti kata para kapitalis, akan selalu mengkoreksi diri, termasuk koreksi dari sosialismee. Kesalahan prediksi Marx tentang keruntuhan Kapitalisme, direvisi oleh Bernstein dan kawan-kawan yang menolak argumentasi para kapitalis tadi. Ia mengatakan setelah masyarakat mencapai tahap kapitalisme, tahap selanjutnya bukanlah sosialisme tetapi imperialisme. Imperialisme merupakan tingkat tertinggi dari tahap kapitalisme. Karena bagaimana pun negara-negara kapitalis memerlukan sebuah subjek penderita yang dapat menopang eksistensi kapitalisme.
Teori Imperialismee ini didukung sepenuhnya oleh Rosa Luxemburg yang mengatakan tidak terjadinya revolusi sosial di masyarakat kapitalisme disebabkan karena objek eksploitasi dipindahkan ke negara-negara berkembang. Dengan begitu negara-negara kapitalis akan berebut pengaruh di negara-negara berkembang. Dan pada gilirannya persaingan antar negara-negara kapitalis tidak terelakkan lagi. Disinilah diprediksi akan terjadinya revolusi baik oleh negara-negara “berkembang-jajahan” maupun oleh kaum buruh di negara masing-masing.

Walaupun prediksi Marx meleset, tetapi tidak semuanya. Ia benar ketika mengatakan perkembangan sejarah dan peradaban didorong oleh konflik dan perjuangan terus menerus untuk dapat bereksistensi. Dengan demikian perjuangan kelas merupakan kekuatan pendorong sejarah, karena semua kemajuan penting dalam sejarah terlahir dari konflik, perjuangan dan revolusi kekerasan. Walaupun ini terkesan sangatlah kejam dan sadis, tapi penderitaan dan pengorbanan manusia memang merupakan harga yang harus dibayar mahal untuk suatu perubahan sosial. Hal ini juga ditekankan oleh Soekarno yang mengatakan jika sebuah negara ingin melakukan perubahan besar, maka tidaklah cukup dengan reformasi-reformasi kecil, ia haruslah melalui sebuah revolusi sosial. Kata Marx, The advance to the shining heights of communist civilisation will always engender in people unusual power of will and intellect, creative impuls, courage, and life-giving energy.

Pemicu dari segala perkembangan peradaban manusia tersebut terletak pada masalah ekonomi dan teknologi. Marx dengan tepat sekali menggambarkan negara dengan sebuah rumah. Fondasi paling bawahnya adalah ekonomi dan diatasnya adalah teknologi. Jika fondasi awalnya runtuh, maka runtuhlah seluruh rumah tersebut. Ini kita dapati di Uni Soviet. Selain dari ketidaksiapan masyarakatnya dengan alam keterbukaan, ambruknya ekonomi merupakan pemicu utama.

Demikian juga dengan Indonesia. Timor-Timur lepas dari Indonesia karena terpuruknya ekonomi. Secara logika jika Timor-Timur makmur, tidak akan mungkin ia mengupayakan diri untuk berpisah dari Republik Indonesia. Begitu juga di seluruh provinsi. Ketika ekonomi negeri ini memburuk, maka memburuk pulalah sistem sosialnya.

Tapi perjuangan kelas untuk dapat bereksistensi ditentang keras oleh futuristik Fritjof Capra. Ia mengatakan pandangan tentang evolusi sosial yang terlalu menekankan pada konflik itu telah mengabaikan kenyataan bahwa semua perjuangan di alam raya ini terjadi dalam suatu konteks kerja sama yang lebih luas. Dan konflik bukan merupakan sumber dinamika sosial. Dengan demikian konflik harus dibuat sekecil mungkin pada saat transisi sosial terjadi. Asumsinya adalah gerak merupakan sesuatu yang alami dan muncul secara spontan. Sehingga transformasi dari generasi tua ke generasi muda menjadi mudah.

Walaupun demikian, pemikiran-pemikiran Karl Marx seperti digambarkan oleh Fredrich Engels, akan selalu membayangi seluruh sistem sosial dunia bahkan untuk abad-abad yang akan datang. Demikian juga Francois Furet yang dikutip Anthony Brewer mengatakan bagaimana sulitnya membuat sejarah intelektual abad 20 tanpa Marx. Walaupun banyak prediksi-prediksinya yang meleset, tetapi dia telah membangunkan seluruh orang tentang celah-celah kapitalisme dan kekuasaan yang sangat memiliki peluang untuk melakukan pengerugian terhadap rakyat.
Untuk itulah, memang selayaknya dilakukan MPR. Dan pada saat yang bersamaan harus dilakukan revisi pencabutan Tab MPRS XXV/1966 terhadap Tab tersebut. Intinya, paham marxisme harus dibiarkan hidup sebagai pengritik kapitalisme, tapi pembentukan Partai Komunis sebagai implementasinya haruslah dilarang. Sebab Partai Komunis akan selalu ingin menguasai negara sendirian untuk mewujudkan seorang diktator proletar yang tentu tidak menginginkan adanya oposisi. Inilah yang membedakan Partai Komunis dengan partai-partai egaliter lain seperti PAN, Partai Golkar, dan lain-lain. Dan yang pasti, kebesaran dan kemajuan suatu bangsa tidak akan pernah dapat dicapai hanya dalam satu waktu, apalagi menunggu Tuhan memberikannya, melainkan dari suatu proses panjang yang melibatkan setiap sendi masyarakat.

KULYUBI ISMANGUN said...

Agama dan Revolusi Sosial-Teologis

Berbagai macam konflik dan pertentangan yang mewarnai sejarah dunia merupakan hasil dialektika manusia sebagai manusia yang selalu berkonflik, homo homini lupus. Tetapi kadangkala konflik itu menyebabkan disharmonis dan kekerasan antar sesama yang tak ketulungan. Berbagai konflik yang terjadi di dunia ini, tidak jarang menelan banyak korban. Dan, konflik tersebut seringkali bermotifkan agama. Agama menjadi salah satu penyulut munculnya konflik. Pertanyaannya adalah benarkah agama sebagai penyebab konflik (problem maker)?. Tidakkah agama hanyalah dijadikan alat kepentingan oleh sekelompok orang untuk memuluskan kepentingan tertentu. Atau, agama telah direduksi dari nilai subtantifnya, sehingga agama tidak bisa menghentikan adanya konflik? Atau mungkin agama sudah tidak relevan lagi untuk mengakomodir kepentingan manusia, sehingga agama harus dikesampingkan.
Semua agama muncul dengan dua tujuan fundamental, yaitu; sebagai revolusi teologis, dan sebagai revolusi sosiologis. Revolusi teologis mengandaikan adanya perubahan dasar-dasar kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Teologi yang seringkali dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara revolusi sosiologis adalah upaya pembongkaran terhadap konstruksi sosial, sistem sosial diskriminatif dan patologis yang dilakukan oleh masyarakat.
Islam, misalnya, berupaya keras untuk menggantikan sistem sosial-kepercayaan yang ada di Arab pada masa Jahiliyah. Hal ini dilakukan karena sistem sosial-keagamaan sudah tidak dapat memberikan konstribusi perdamaian teologis dan sosiologis, bahkan justru telah menyesatkan keimanan dan menyengsarakan kehidupan rakyat saat itu. Kehadiran agama semitik (abrahamic religions) dengan keberpihakannya terhadap kaum tertindas (al-mustadh’afiyn) mendapat sambutan hangat disatu pihak dan mendapat tantangan dari kaum elitis (penguasa, Quraish) yang merasa dirinya akan tersingkirkan dipihak yang lain.
Hal diatas menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan oleh Karen Amstrong, agama pada dasarnya bersifat pragmatik. Artinya, agama akan digandrungi oleh manuisa dan selalu menemukan signifikansinya manakala terbukti secara riil memiliki nilai guna bagi manuisa. Ketika agama sudah tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan manusia, seketika agama digugat dan ditinggalkan. Sehingga, tidak heran pada zaman modern agama mendapat tantangan yang sangat kompleks. Disamping peran fitalnya telah digantikan bahkan dirusak oleh kebudayaan modern, globalisasi dan modernisasi, agama juga telah dikecam tidak sesuai dengan nilai positivistik dan cenderung mengkonstruk sikap konservatif, tidak rasional untuk mengatasi problem kemanusiaan. Berbagai kecaman dan lontaran propagandis yang bersifat kontradiktif telah menyebar untuk meruntuhkan agama. Agama sudah tidak bisa menunjukkan perannya sebagai petunjuk teologis dan ketentraman sosial, namun jusrtu agama menjadi katalisator menjamurnya sebuah konflik.
Humanisme Agama
Pada dasarnya, konflik yang berbau agama itu muncul karena titik lemah dari agama itu sendiri yang seringkali tidak kita menyadarinya. Yaitu, relevansinya dalam menghadapi tantangan zaman. Titik lemah itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Karen Amstrong bahwa agama tidak mempunyai obyektifitas tentang konsep ketuhanan. Karena setiap genarasi akan mempunyai konsep tersendiri tentang Tuhannya. Tantangan zaman dan problem sosial yang bermunculan menuntut agama untuk selalu melakukan metamorfosa bentuk dan lebih fleksibel. Agama ditafsirkan dalam lanscape sistem sosial yang mengitarinya. Agama yang tidak sesuai dengan zaman atau bahkan yang menghambat laju perkembangan zaman akan digantikan oleh agama yang lebih produktif dan akomodatif.
Zaman modern dengan teknologi yang canggih hampir mengalahkan kecanggihan Tuhan. Tuhan bagi masyarakat modern benar-benar dienyahkan, seakan tidak punyai nilai guna bagi perkembangan manusia. Spiritualisme dan agama, baginya, tidak lebih dari semacam konservativme, pengekangan intelektual dan semacamnya. Berbagai label negatif ditujukan kepada agama. Semua hal yang bersifat destruktif, terorisme, anarkisme selalu dikaitkan dengan agama. Agama telah menjadi biang kerok dari segala persoalan kemanusiaan.
Menganalisa dari alur pemikiran diatas merupakan suatu yang sangat urgen untuk mengkonstruk agama humanis yang sarat pesan moral perdamaian. Sebuah agama yang dapat mengatasi problem kontemporer dengan tidak menjadikannya sebagai sumber konflik kemanuisaan. Agama dengan model seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru. Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur sebenarnya menunjukkan akan hal itu. Kita telah diajarakan oleh beberapa kitab suci dan hati nurani kita untuk berbuat baik kepada sesama, membangun hubungan harmonis. Yesus misalnya mengajarkan dengan Cinta-Kasihnya, Muhammad dengan Cinta-semestanya (rahmatan lil ‘alamin).
Kendatipun demikian pada tataran praksis mungkin hal ini sangat miskin kita kenal. Seseorang tidak jarang menangkap ajaran-ajaran Tuhan yang ada dalam kitab suci dengan penuh kekerasan. Agama dipahami sebagai sekumpulan ajaran kekerasan yang harus diterapkan kepada obyeknya (manusia). Tuhan diibaratkan dengan raksasa yang disampingnya terdapat sebuah neraka dimana Dia akan menyiksa setiap manusia yang melanggar ajaran Tuhan. Para malaikat laksana algojo yang dipersiapkan Tuhan untuk memusnahkan manusia.
Ajaran-ajaran semacam itu sebenarnya perlu diganti dengan ajaran-ajaran yang lebih humanis dan santun. Tuhan bukankah sesuatu (dzat) yang sangar dan menakutkan. Tuhan adalah dzat yang menggembirakan dan menyenangkan. Taqwa yang diartikan dengan “takut” merupakan implikasi dari penggambaran Tuhan yang keras, sehingga ia harus ditakuti, bukan didekati. Akibatnya seringkali seseorang beribadah bukan karena ketulusan kepada Tuhan melainkan karena rasa takut akan siksa yang dipersiapkanNya. Ketika rasa takut itu sudah hilang dalam alam pikiran manusia dan muncul keberanian, tidak jarang seseorang meninggalkan segala ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan.
Jika bayangan kita tentang Tuhan penuh dengan kesenangan, lemah-lembut, penuh dengan cinta-kasih, maka manusia akan merasa perlu berdekat-dekat, bercumbu dengan Tuhan. Beribadah tidak lagi didasari oleh karena rasa takut, melainkan keinginan untuk bertemu-mesra, sehingga hati, psikologi manusia menjadi tenang (muthmainnul qulub). Wallahu A’lam