Thursday, July 24, 2008

Etika Islam


Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwasanya beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Juga banyak ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hal itu. Pengertian akhlaq sendiri amat luas sekali. Karena itu yang penting bagi kita adalah bagaimana melihat dan menerangkan isi al‑Quran itu secara keseluruhan. Jangan hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi harus kita tatap dalam satu keutuhan ajaran.
Kita akan keliru manakala mendekati al‑Quran dari ayat ke ayat, sepotong‑sepotong. Dengan cara itu, sesungguhnya kita sedang mengeksploitir al‑Quran untuk kita gunakan dalam rangka mengaplikasikannya dalam pemikiran kita. Cara itu tidak adil.
Baru dapat dikatakan adil, apabila kita memperlakukan al-Quran dan mendekatinya secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan ajaran. Dengan jujur bisa kita katakan, cara ini belum dilakukan. Bahkan sampai hari ini methodologinya pun belum dirumuskan. asumsi‑asumsi dasarnya perlu dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi satu sistem yang dapat dipraktekkan.
Dalam rangka ini dapat kita pertanyakan, apakah Islam mempunyai sistem pandangan tersendiri. Kalau memang kita yakin bahwa Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap seluruh aspek hidup dan kehidupan ini, maka kita dapat menyusun satu "Etik Islam". Apabila kita sudah dapat menyusun etik Islam, maka persoalannya akan lebih mudah untuk menyusun sistem apa pun. Tetapi secara jujur memang harus kita akui bahwa sudah seribu tahun kita berhenti berfikir.
Pada beberapa buku klasik dikatakan bahwa pintu ijtihad itu sudah ditutup, sehingga kita tidak berhak lagi untuk memformulasikan apa pun di bidang hukum di bidang yurisprudensi. Kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan dulu. Padahal apakah salahnya jika kita pun merumuskan hal yang sama. Kenapa tidak berhak. Apa bedanya kita dengan para Imam dulu. Sehingga sesungguhnya kita pun dapat menyusun Syari'ah sebagaimana para Imam dulu, sebab bukankah syari'ah yang dirumuskan para Imam itu pun merupakan hasil ijtihad mereka. Para yurist pada abad IX dan X Hijriah, tentu sifat ijtihadnya pun terikat oleh masanya, oleh tantangan‑tantangan sejarahnya.
Soalnya sekarang adalah, mari kita pertanyakan apakah kita pada abad XV Hijriah ini sudah mempunyai methodologi untuk merumuskan Sistem Nilai Islam yang bersumber pada al‑Quran yang dapat kita namakan pandangan bersama tentang Islam, sehingga di atas itu kita dapat membangun segala macam sistem.
Jika kita bicara tentang rekonstruksi masyarakat Islam, rekonstruksi tata politik Islam, kesemuanya tidak akan mungkin apabila "the world view" itu belum dibuat secara sistematis.
Al‑Quran surat At‑Taubah ayat 60 menegaskan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk dapat menginterpretasikan al‑Quran. Karena jika kita terus menerus mengikuti para yurist yang dulu-dulu, maka Islam akan cenderung untuk begitu‑begitu saja. Kita hanya bangga dalam bayang‑bayang, tetapi dalam kenyataan kita hidup dalam kegetiran yang luar biasa.
Kita harus melakukannya sekarang. Jika tidak, kita akan dalam kebingungan intelektual keagamaan terus menerus sampai hari kiamat nanti.
Sumber: Dr. A Syafi’I Ma’arif, dalam Mencari Sistem Ekonomi Islam, editor: Djawahir Thontowi, SH dan Lukman Hakiem. Penerbit: LPPM UII (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia Yogyakarta). Cetakan pertama, September 1985. Hal. 25 – 26.

No comments: