Tuesday, December 9, 2025

Menguras Hutan Lalu Berkhotbah tentang Pembangunan

Albert Einstein (14 Maret 1879 - 18 April 1955)

Albert Einstein pernah mengatakan bahwa apa yang ia saksikan di alam adalah sebuah tatanan agung yang tidak dapat dipahami manusia secara utuh, menyeluruh dan bahwa kesadaran akan keterbatasan itu seharusnya membuat manusia dilingkupi perasaan rendah hati.

Kalimat ini terdengar seperti renungan personal seorang ilmuwan tetapi sesungguhnya ia merupakan peringatan etis yang sangat mendasar. Peringatan bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang ia sentuh (eksplorasi dan eksploitasi?) dan karena itu harus lebih banyak menahan diri.

Kita masih belum mengetahui seperseribu persen pun dari apa yang telah diungkapkan alam kepada kita. (Albert Einstein)

Namun dalam konteks Indonesia, peringatan itu terdengar semakin sayup digantikan gema ambisi pembangunan yang nyaris tak mengenal batas. Pembangunan yang tidak disertai kerendahan hati dan berubah menjadi proyek yang membabi buta. Hutan dibuka atas nama konektivitas nasional. Lahan dibakar untuk transformasi ekonomi. Gunung ditambang demi devisa negara. Setiap kebijakan seolah dibuat dengan keyakinan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang cukup untuk menata ulang alam.

Padahal sebagaimana diingatkan Einstein, kita bahkan tidak memahami sepersekian ilmu dari mekanisme ekologi yang menopang hidup manusia. Ilmu pengetahuan modern memang memberi kemampuan teknis tetapi belum dan bukan merupakan pemahaman total. Kita mampu membangun bendungan raksasa tetapi tidak memahami perubahan kecil pada siklus air yang dalam jangka panjang dapat menghancurkan peradaban. Kita mampu meratakan bukit untuk jalan raya tetapi tidak memahami implikasi jangka panjangnya bagi iklim mikro dan keberlangsungan satwa.

Lihatlah alam jauh lebih mendalam, maka Anda akan memahami segalanya dengan lebih baik. (Albert Einstein)

Paradoks terbesar pembangunan Indonesia hari ini adalah keyakinan bahwa percepatan ekonomi adalah pengetahuan yang pasti, sementara kerusakan ekologis hanya risiko yang dapat dikelola. Padahal sejarah modern menunjukkan bahwa kerusakan alam adalah utang yang selalu ditagih dengan bunga yang jauh lebih besar di kemudian hari.

Tetapi logika pemangku kebijakan sering kali menempatkan alam sebagai hambatan bukan sebagai ruang hidup. Hutan yang dulu menjadi jantung kehidupan kini dilihat sebagai ruang kosong yang menunggu untuk diefisiensikan. Padahal apa yang tampak kosong itu sesungguhnya adalah ekosistem yang memerlukan waktu ribuan tahun untuk tercipta.

Tatanan agung yang dilihat Einstein bukan sekadar metafora tetapi merupakan kenyataan ilmiah yang benar-benar masih amat rapuh. Alih fungsi hutan menjadi infrastruktur negara adalah contoh paling jelas tentang bagaimana manusia memperlakukan alam seperti papan catur. Sebuah daerah dianggap maju ketika memiliki jalan tol yang membelah hutan atau kawasan industri baru di daerah yang sebelumnya merupakan habitat satwa liar.


Hutan yang hilang diganti janji reboisasi yang hanya menjadi angka di atas kertas. Padahal hutan bukan sekadar kumpulan pohon tetapi jaringan kehidupan yang tidak bisa dikembalikan melalui penanaman seragam dalam satu musim hujan. Kita memperlakukan ekosistem seperti aplikasi yang dapat diinstal ulang kapan saja. Dan sikap ini menunjukkan seberapa jauh kita tersesat dari kerendahan hati epistemik seperti yang ditawarkan Einstein.

Ekspansi sawit memperlihatkan bentuk lain dari keyakinan berlebihan manusia. Sawit dijanjikan sebagai motor ekonomi baru tetapi kita jarang bertanya mengapa keberhasilan ekonomi harus selalu diukur dengan skala penguasaan lahan.

Dengan mengganti keanekaragaman hutan menjadi monokultur sawit, manusia sedang menghapus ingatan ekologis bumi. Kita menciptakan ruang yang tampak hijau tetapi sebenarnya mati secara biologis. Daun-daun pohon sawit yang tampak subur menutupi kenyataan bahwa di bawahnya telah berkurang banyak bahkan hancur kehidupan tanah yang dulu kaya akan berbagai macam mikroorganisme.

Para pengusaha tambang adalah para perusak hutan yang paling nyata.

Kita menggantikan keindahan struktur alam dengan pola bisnis yang mengabaikan kerumitan ekologis. Sebuah bentuk kesombongan manusia yang percaya bahwa alam akan selalu menyesuaikan diri tanpa batas.

Tambang adalah babak lain dari cerita yang sama tetapi dengan luka yang lebih dalam. Kawasan tambang yang menganga adalah seperti tubuh bumi yang dipaksa menyerahkan organ vitalnya bukan karena kebutuhan manusia tetapi karena ketamakan ekonomi. Kita menukar keindahan abadi hutan tropis dengan bongkahan mineral yang akan habis hanya dalam beberapa tahun saja.

Kita merusak sungai yang mensuplai kehidupan masyarakat setempat demi bahan baku industri global. Namun politik pembangunan sering memandang aktivitas tambang sebagai harga yang wajar untuk kemajuan nasional. Dalam kenyataan sesungguhnya tambang meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa sepenuhnya pulih bahkan setelah beberapa generasi.

Apalagi para penambang ilegal, jelas merusak dan tanpa izin yang legal.

Inilah ironi dari proyek kemajuan yang terlalu yakin pada dirinya sendiri. Ia lupa bahwa bumi memiliki daya dukung yang terbatas dan bahwa setiap luka ekologis akan kembali menghantam manusia. Jika kita melihat seluruh fenomena ini dengan lensa filsafat sains maka krisis lingkungan Indonesia bukan semata masalah teknis tetapi masalah epistemologis.

Kita salah memahami posisi kita dalam alam. Kita bertindak seolah lebih tahu daripada alam itu sendiri. Kita percaya bahwa teknologi mampu mengatasi semua masalah. Padahal teknologi hanya memberikan solusi pada sebagian kecil dari apa yang telah kita rusak.

Ketika Einstein mengatakan bahwa alam adalah tatanan agung, ia sedang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk kecil dalam sistem yang sangat besar. Kesadarannya bukan sikap pasrah tetapi sikap yang memahami batas. Dan batas inilah yang kini sedang kita langgar.

Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Indonesia berada di persimpangan jalan yang menentukan. Kita bisa terus melaju dengan keyakinan bahwa ekonomi adalah pusat segalanya atau kita mulai menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan jauh lebih penting daripada target angka pertumbuhan. Kita bisa terus menganggap bahwa manusia adalah penguasa alam atau kita mulai memahami bahwa manusia hanyalah bagian dari jaringan besar yang harus dijaga keseimbangannya.

Kerendahan hati yang dimaksud Einstein bukan sikap yang melemahkan pembangunan tetapi sikap yang membuat pembangunan menjadi lebih jangka panjang dan manusiawi. Sebab membangun tanpa menghormati alam hanyalah menunda keruntuhan.

Update (8 Desember 2025 pukul 18:04) Korban Banjir-Longsor Sumatra: 961 Orang Tewas-293 Masih Hilang. (CNBC Indonesia)

Pertanyaan akhirnya sederhana tetapi konsekuensinya tidak. Beranikah kita mengakui bahwa manusia tidak tahu segalanya. Atau kita akan terus mengingkari tatanan agung alam sampai akhirnya alam sendiri yang akan menunjukkan batasnya dengan cara yang paling menyakitkan.

Indonesia masih punya waktu untuk memilih tetapi waktu itu semakin tipis. Kita bisa mendengarkan peringatan Einstein atau mengabaikannya sampai suara alam berubah dari bisikan menjadi kemarahan yang tidak dapat lagi dihentikan.

Karunia Kalifah Wijaya
Penggiat dan Penggerak Taman Literasi Merdeka (TLM)
Editor Wisnubrata
Kompas.com, 7 Desember 2025

Friday, November 14, 2025

Pahlawan Kesiangan


Di tengah riuh rendah metropolitan Jakarta —di mana gedung-gedung kaca menjulang bagai prasasti modernitas, dan lampu-lampu kota menyala tanpa jeda seperti kesibukan manusia— kita menyaksikan sebuah ironi yang berulang dari masa ke masa: lahirnya pahlawan kesiangan.

Mereka bukan tokoh epik dari syair kuno, bukan pula figur heroik dalam buku sejarah. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang baru terbangun dari tidur panjang ketidakpedulian, setelah malapetaka telanjur merenggut banyak hal yang seharusnya dapat dicegah.

Fenomena ini, seperti dikemukakan Zygmunt Bauman dalam gagasan liquid modernity-nya, adalah gejala masyarakat cair —masyarakat yang terfragmentasi, rapuh, dan sering terlambat menyadari bahwa solidaritas hanya muncul ketika bencana telah memaksa kita untuk saling menggantungkan diri.


I. Banjir, Media Sosial, dan Cerita Kepahlawanan
Bayangkan sebuah kampung kumuh di bantaran Ciliwung. Setiap musim hujan, air keruh naik perlahan, menenggelamkan lantai-lantai rumah yang reyot. Warga kampung telah bertahun-tahun memperingat-kan bahaya ini. Namun perhatian publik justru sibuk berkelana di dunia maya: scroll media sosial, memburu tren baru, atau memamerkan pencapaian pribadi.

Dan ketika akhirnya banjir besar itu datang menghantam —mengusung sampah, penyakit, dan kehilangan— barulah para “pahlawan” muncul. Dalam hitungan jam lahir ribuan kampanye crowdfunding, distribusi mie instan diunggah ke Instagram, dan diskusi bertema “krisis iklim” memenuhi kafe-kafe elite.

Sebuah tindakan yang baik, tentu saja. Namun satu pertanyaan tetap menggantung: "Mengapa harus menunggu air setinggi dada untuk peduli?"

Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan mereka akan membantu orang yang sedang kena musibah. Fenomena ini disebut Bystander Effect (Efek Penonton). Orang lebih suka menonton daripada menolong.

II. Bystander Effect: Ketika Semua Menunggu Orang Lain Bertindak
Dalam kajian psikologi sosial, Bibb LatanĂ© dan John Darley menyebut fenomena ini sebagai bystander effect —kecenderungan seseorang untuk tidak bertindak karena merasa “orang lain pasti akan melakukannya”.

Ironisnya, dalam masyarakat Indonesia di mana gotong royong diagungkan sebagai identitas nasional, bystander effect justru mewabah secara diam-diam.

Lihat saja isu pendidikan. Selama bertahun-tahun, jutaan anak perdesaan kekurangan guru, listrik, dan buku. Tapi kepedulian publik baru membludak ketika laporan PISA menunjukkan skor kita terjun bebas. Para pahlawan kesiangan bermunculan: mendirikan sekolah darurat, donasi buku, kampanye literasi.

Baik, tetapi tidak menyentuh akar masalah, yakni ketimpangan fiskal, distribusi sumber daya yang timpang, dan prioritas negara yang sering melenceng.


III. Apatisme Baru dan “Keburukan yang Biasa Saja”
Hannah Arendt pernah menulis tentang banality of evil —kejahatan yang terjadi bukan karena kebencian, tetapi karena ketidakpedulian yang dianggap wajar. Dalam konteks Indonesia, ketidakpedulian itu menjelma dalam bentuk apatisme kronis terhadap isu-isu lingkungan dan kemanusiaan.

Kebakaran hutan di Sumatra sudah berlangsung puluhan tahun. Aktivis lingkungan berteriak hingga suara mereka serak. Namun masyarakat baru “bangun” ketika asap menyelimuti Jakarta dan mengganggu kenyamanan hidup kelas menengah.

Mereka naik panggung digital: menandatangani petisi, memakai masker respirator, mengutuk pemerintah. Tetapi setelah asap menghilang, perhatian pun perlahan luntur, lenyap menguap entah ke mana.

Siklus pun kembali berulang.


IV. Pahlawan Kesiangan: Cermin Diri Kita
Pahlawan kesiangan sebenarnya bukan musuh. Mereka adalah cermin dari diri kita sendiri —refleksi dari sistem sosial yang semakin egois, semakin individualis, semakin sibuk dengan layar dunia maya, dan semakin jauh dari realitas di lapangan.

Clifford Geertz, melalui kajiannya tentang masyarakat Jawa, mengingatkan bahwa nilai “rukun” —harmoni sosial— adalah fondasi budaya kita. Tetapi di era urbanisasi dan digitalisasi, nilai itu terdistorsi menjadi harmoni semu: tenang di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Keterlambatan kepedulian adalah tanda bahwa kita kehilangan sesuatu yang mendasar: kepekaan sosial sebelum bencana terjadi.


V. Membangun Kepahlawanan Baru
Untuk keluar dari jebakan kepahlawanan yang terlambat (pahlawan kesiangan), kita memerlukan perubahan paradigma:

1. Empati yang diajarkan sejak dini
Bukan hanya dalam bentuk teori, tetapi melalui aksi nyata dalam keluarga, sekolah, dan komunitas.

2. Komunitas yang tangguh
Jaringan antar warga yang saling menopang sebelum negara bergerak.

3. Integrasi isu publik dalam pendidikan formal
Dari perubahan iklim, ketimpangan, hingga etika sosial —semua harus menjadi bagian dari kurikulum.

4. Transformasi budaya digital
Media sosial harus menjadi alat aksi kolektif yang positif, bukan sekadar panggung narsisme, keranjang curhat dan kemarahan sesaat.

Dengan itu semua, kita dapat menciptakan kepahlawanan baru: kepahlawanan yang hadir sebelum bencana, bukan setelahnya. Kepahlawanan yang tepat waktu, tidak kesiangan.


VI. Harapan yang Tidak Pernah Mati
Esai ini bukan kritik sinis terhadap masyarakat, melainkan seruan halus untuk membangun kesadaran kolektif. Pahlawan kesiangan adalah kisah tentang harapan yang tertunda, tetapi tetap harapan.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan moral: "Tetap tidur dalam kenyamanan kota modern, atau bangun lebih awal untuk menjadi pahlawan sejati."

Karena dalam kehidupan sosial —seperti dalam kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan politik— lebih baik mencegah daripada mengobati bukanlah pepatah kosong. Ia adalah kompas moral, pedoman tindakan, dan fondasi peradaban yang adil dan berkelanjutan.

Selama kita terus belajar bangun lebih cepat, Indonesia akan selalu punya harapan masa depan.

Catatan:
Pahlawan Kesiangan, bentuk derivative dari pahlawan
1. Orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir.
2. Orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri sebagai pejuang.

Sebuah Esai Politik Oleh drg. Madi Saputra
Diedit seperlunya Oleh Adib Susila Siraj
Sumber: https://web.facebook.com/madi.drg

Monday, October 27, 2025

Pongah Jadi Menko Tiga Kali


Tiga kali jadi Menko! Hebat, katanya. Luhut Binsar Pandjaitan tampak bangga betul dengan rekam jejaknya di kabinet: Menko Polhukam, Menko Marves, dan “Menko Segala Urusan.”

Ia menepuk dada, seolah negeri ini berdiri tegak di atas keringat dan kebijakannya. Padahal, kalau mau jujur sedikit saja, kursi-kursi empuk itu bukan hasil prestasi gemilang, melainkan hasil konspirasi elitis —persekutuan antara kekuasaan dan kekayaan. Sebuah oligarki yang merayakan dirinya sendiri.

Luhut adalah simbol sempurna dari wajah politik Indonesia hari ini: gabungan antara kekuasaan, bisnis, dan kesombongan. Dalam dirinya melebur semua itu. Ia bicara soal nasionalisme, tapi bisnisnya lintas benua. Ia mengaku cinta lingkungan, tapi konsesi tambangnya mengoyak bumi. Ia menggurui rakyat soal moral kerja keras, tapi kekayaannya tumbuh subur di lahan yang dulu hijau.


Katanya, jadi Menko itu pengabdian. Tapi rakyat tahu, pengabdian macam apa yang menghasilkan pulau-pulau nikel yang rusak, sungai-sungai yang mati, dan hutan yang tinggal legenda. Di bawah pengawasan “tangan besi”-nya, ribuan hektar hutan di Papua dan Kalimantan hilang demi sawit dan tambang. Sementara di Jakarta, ia sibuk bicara tentang ekonomi hijau dan investasi bersih. Ironis? Tidak. Itu memang jurus khas pejabat senior negeri ini: bicara etika di podium, berbisnis di belakang layar.

Tiga kali jadi Menko, tapi apa hasilnya? Ekonomi rakyat tetap saja jongkok, pengangguran masih menganga, utang menumpuk, dan kekayaan alam terus dikeruk tanpa malu. Tapi Luhut tetap pongah. Seolah negeri ini tak bisa berjalan tanpa dirinya. Ia bercerita tentang “kepercayaan presiden” seolah itu lisensi untuk kebal kritik, kebal hukum, bahkan kebal logika.

Padahal, kalau tidak karena “restu sang majikan”, mungkinkah ia bisa sekokoh itu di istana? Semua tahu, karier politik Luhut menanjak bukan karena kejeniusan ekonomi, melainkan karena kesetiaan personal —loyalitas yang dibayar dengan kekuasaan. Ia bukan teknokrat yang menumbuhkan ekonomi rakyat, tapi penjaga gerbang istana yang memastikan bisnis keluarga besar tetap aman sentosa.


Di luar sana, rakyat antri minyak goreng, harga beras melambung, listrik naik, air susah. Tapi di ruang rapatnya, angka-angka pertumbuhan ekonomi terlihat manis. Luhut tampil dengan presentasi menawan, bicara “optimisme nasional”, “resiliensi ekonomi”, “transformasi digital.” Kata-kata yang hanya indah di PowerPoint, tapi hampa di dapur rakyat.

Pongahnya luar biasa. Ketika dikritik, ia balas dengan nasihat. Ketika rakyat protes, ia bilang “jangan baper.” Seolah kritik adalah dosa, dan pejabat seperti dirinya adalah nabi yang tak boleh disentuh. Padahal, dari proyek tambang hingga bisnis karbon, semuanya berputar di lingkar yang sama: nama-nama lama, kroni lama, dan kepentingan lama. Semua terhubung rapi dalam jaringan “trust fund” kekuasaan yang tak tersentuh hukum.

Lucunya, ia sering menasihati pejabat muda agar tak serakah. Padahal siapa yang lebih serakah dari pejabat yang sudah sepuh tapi masih ingin mengatur segalanya —dari energi, tambang, pariwisata, hingga politik luar negeri. Semua ingin dikontrol. Semua ingin dipegang. Mungkin di kamusnya, “pengabdian” memang sinonim dari “kekuasaan tak terbatas.”


Kini, saat rakyat menuntut pemerintahan bersih dan transparan, Luhut malah pamer pengaruh. Tiga kali jadi Menko, katanya, itu bukti kepercayaan. Tapi kepercayaan siapa? Rakyat jelas tidak. Investor mungkin iya. Oligarki tentu saja. Ia bangga dipuji presiden, tapi lupa bahwa sejarah tak menulis gelar, melainkan jejak. Dan jejak Luhut, sayangnya, lebih banyak meninggalkan lubang daripada kesejahteraan.

Bayangkan, tiga kali jadi Menko, tapi tak ada tonggak kebijakan monumental yang benar-benar mengubah hidup petani, nelayan, atau buruh. Yang berubah justru peta konsesi tambang dan daftar perusahaan tambang nikel yang makin panjang. Semakin besar tambang, semakin dalam kantong para penguasa. Negeri ini dijual potong demi potong, dengan senyum pejabat yang berkata, “Demi kemajuan bangsa.”

Kalau tiga kali jadi Menko adalah prestasi, maka hutan-hutan yang habis, sungai yang tercemar, dan laut yang berlubang juga pantas disebut karya besar. Mungkin begitulah ukuran kebanggaan zaman ini: makin besar dampak kerusakannya, makin tinggi pangkatnya.

Luhut Binsar Pandjaitan dan menantunya, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang kini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).

Jadi, wajar kalau rakyat nyinyir. Karena di negeri yang masih banyak anak putus sekolah dan desa tanpa listrik, pejabat tua yang pongah karena jabatan tiga kali itu bukan inspirasi —melainkan ironi.

Bangga jadi Menko tiga kali? Harusnya malu! Karena jabatan tanpa manfaat rakyat, hanya akan tercatat sebagai noda sejarah. Dan Luhut, dengan segala keangkuhannya, sedang menulis bab terakhir dari sebuah era di mana kekuasaan dan keserakahan masih bersatu padu di bawah bendera “pengabdian.”

Dan ketika nanti sejarah menilai, mungkin satu-satunya kalimat yang pantas disematkan adalah ini: ia memang kuat, tapi tak bijak; ia berkuasa lama, tapi tak meninggalkan apa-apa selain kerakusan.

Syaefudin Simon
Kolumnis
https://web.facebook.com/eldin.ibnuathiyyah