“Nah, sahabatku,” berkata Nabi, “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi, “Sayang sih, sayang wahai Nabi ....”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, ...” ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah dan menggumam-gumamkan nama-Nya. Tiap saat. Tiap detik. Tiap sekon. Tidak ada sela-selanya lagi buat yang lain. Ampuni aku, Nabi. Waktuku benar-benar sudah tidak ada, digantikan oleh Allah. Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu ....”
Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan agar kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?
Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca selawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca selawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah.
Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak.
Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja. Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.
Apa yang terjadi! Ternyata Beliau malah tertawa. “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?”
“Aku merasa pekewuh, Nabi ....”
Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?”
Kawan saya tersipu-sipu.
“Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi. “Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja ....”
Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa Nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat.
Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.
Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?”
Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab, “Sayang sih, ya sayang ....” Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad. “Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?”
“Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis.
Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?
Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, kau tidak menyapaku ....” Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.
YK, 4 Februari 1989
Dikutip dari buku “Slilit Sang Kiai,” Emha Ainun Nadjib, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Ketiga, Mei 1992, hal. 10.
Aslinya dimuat di: Majalah TEMPO, Edisi: 49/18 / Tanggal: 1989-02-04 / Halaman : 27 / Rubrik : KL
Kalau Aku Sakit, Jangan Menjenguk
عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ ٢٦
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.”
[Al-Jinn (72): 26]
Maka saya tidak bisa melihat hantu, Jin atau Setan. Apalagi Malaikat. Kalau bersama KiaiKanjeng sering diminta mengusir hantu misalnya di Canberra Australia, Roma Italia atau London Inggris dll, itu tidak berarti saya tahu hantu, bisa melihatnya, bisa berkomunikasi dengan mereka, bahkan bisa bernegosiasi atau mengusir mereka dari suatu tempat.
Saya bukan ustadz ruqyah, bukan dukun pengusir hantu, mistikus penyembuh orang kerasukan. Bukan pula ahli kebatinan atau pakar roh, meskipun banyak dikeluhi dan didesak untuk kegiatan semacam itu. Sesungguhnya saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban silaturahmi, mempersambungkan terselenggaranya dialektika kasih sayang dan keselamatan di antara sesama manusia.
Istri almarhum berterima kasih kepada saya dan bertanya: “Berapa biayanya, Pak?” Saya tidak bisa menjawab, kecuali langsung ngacir pergi. Rupanya pengalaman masyarakat membuat mereka berkesimpulan bahwa hal-hal seperti itu adalah masalah profesional. Dan beliau meminta tolong saya dalam konsep bahwa saya adalah dukun profesional.
Saya pun ngeloyor pergi. Pindah ke RS Persahabatan di Rawamangun untuk melakukan pekerjaan yang sama. Berikutnya pindah ke RSPAD, seorang Ibu berproses sampai meninggal, dan kemudian saya menitipkan seadanya uang di dompet saya kepada sang suami. Besok lusanya saya mengantarkan istri saya Novia Kolopaking tugas nyanyi di sebuah Gedung, bersama panyanyi Krisdayanti. Sebelum naik panggung, Kris membisiki saya: “Cak, kapan kalau saya sakit tolong Cak Nun tidak usah datang menjenguk.”
“Lho kenapa?” saya bertanya. Kris menjawab: “Saya mendengar dari teman-teman bahwa kalau ada orang sakit dijenguk Cak Nun lantas meninggal dunia.”
Banyak orang berpikir bahwa sayalah pasti yang menghamili wanita itu. Sebab kalau tidak, kenapa mau mengurusinya dan membiayainya. Tiba saatnya kelahiran saya bawa ke RS Panti Rapih. Ternyata bayinya sungsang. Saya mengajak Pathing atau Fatih, anggota Sanggar dan Teater Salahuddin yang menemani saya di Patangpuluhan ke Panti Rapih. Kami berdoa bersama memohon kepada Allah agar posisi bayi dinormalkan sehingga kelahirannya pun lancar. Sebab kalau harus pakai operasi caesar, saya harus menandatangani surat pernyataan kesediaan atas nama keluarga si pasien. Dan itu tidak mungkin saya lakukan. Alhamdulillah Tuhan tidak tega kepada saya, sehingga posisi bayi diubah oleh Malaikat dan kemudian kelahiran berlangsung normal.
Cak Nun dan Cak Fuad.
Tapi ternyata setelah bayi lahir sampai beberapa lama, Ibunya tetap tidak mau pergi. Tetap “nggandhol nasib” kepada saya. Akhirnya saya minta Imam Syuhada adik ipar saya untuk melacak latar belakang anak ini. Imam pergi sampai menemukan kampung wanita ini di sebuah desa di Kabupaten Pati. Imam bisa menemukan keluarganya, dan info bahwa anak ini ternyata dihamili oleh Pak Lurah. Keluarganya saya ultimatum untuk datang menjemput anak itu dan diajak kembali ke kampungnya. Puji Tuhan yang memudahkan semua proses pamungkas urusan wanita hamil ini.
Saya tidak mungkin mencatat semua, mendokumentasikan peristiwa-peristiwa semacam ini, termasuk ribuan orang terutama Jamaah Maiyah yang bermimpi saya temui. Bahkan saya ajari kalimat-kalimat wirid, yang ketika ketemu darat, dikonfirmasikan ternyata merupakan untaian wirid yang saya sendiri belum tentu mengetahuinya.
Emha Ainun Nadjib
Dikutip dari: CakNun.com dalam Rubrik Kebon No. 163. Terbit 14 April 2021
Kekasih Tak Bisa Menanti
Lagu: Harry Tjahjono
Album: Taubat (1997)
Akhirnya ‘kan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak bisa lagi menanti
Zaman harus segera berganti pagi
Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani
Tuhan
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran, ketabahan
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Ya Allah
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu kami adalah tangan-Mu sendiri
Tak satu kekuatan bisa menghalangi
Ya Allah
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Tuhan
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Datanglah kelahiran yang baru
YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=UvJAkGAPSas
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Tuhan
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Datanglah kelahiran yang baru
YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=UvJAkGAPSas