Monday, March 17, 2025

Danantara, Bisa Jadi Malaikat Atau Monster


Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mengingatkan kehati-hatian dalam pengelolaan Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan menentukan eksistensi badan tersebut, apakah akan menjadi malaikat atau monster bagi bangsa Indonesia. “Makanya saya selalu menekankan, ini kita menciptakan malaikat yang mensejahterakan bangsa, atau kita menciptakan monster?” kata Darmadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2025).

Menurut dia, apabila pengelola BPI Danantara bekerja dengan integritas maka sovereign wealth fund (SWF) milik Indonesia itu akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tanah air. “Kalau tidak diawasi (dengan) baik, dia akan menjadi monster ini, tapi kalau diawasi dengan baik, dia bekerja dengan baik, kami harapkan integritasnya baik, maka dia akan menjadi malaikat penyelamat bagi bangsa ini. Dan dia akan membawa negara Indonesia ini terbang tinggi begitu,” ujarnya.


Sebab, kata dia, BPI Danantara akan mengelola nilai total aset yang begitu besar sehingga diharapkan struktur pengelola badan tersebut harus memiliki kompetensi yang mumpuni. “Makanya ini kompetensinya juga harus kita pertanyakan. Ini Kepala Badan Danantara ini terbukti nggak nanti dengan aset yang begitu besar, yang belum pernah dia kelola kan, ini kan besar sekali Rp14 ribuan (triliun) ini. Dia bisa nerbitkan surat utang, dia bisa mengagunkan aset, dia bisa macam-macam ini. Nah, kekuatan yang diberikan begitu besar, kalau disalahgunakan, saya pikir cukup berbahaya,” urainya.

Untuk itu, dia menekankan bahwa pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan BPI Danantara menjadi faktor kunci dari kebermanfaatan hadirnya badan pengelola investasi negara itu. “Jadi ya kuncinya di sana, kalau saya lihat memang dari pelaksanaannya dan pengawasannya,” katanya.

Dia berharap para sosok yang ditunjuk ke dalam struktur organisasi BPI Danantara mampu berkinerja dengan baik dalam menjalankan operasional badan tersebut. “Kami haraplah mereka kerja dengan baik ya, bekerja dengan baik, integritasnya tinggi, kompetensinya saya lihat juga sudah bagus, ya. Hanya nanti pelaksanaannya saja, integritasnya saja yang nanti kita akan evaluasi ketat di DPR maupun oleh instansi lain begitu,” ucapnya.


Lebih jauh, dia berharap pula agar pengelolaan Danantara nanti bebas dari intervensi politik agar eksistensi lembaga tersebut sesuai dengan nawacita pendiriannya. “Begitu intervensi politik ini masuk, saya pikir semuanya akan berantakan juga gitu kan. Jadi kami harapkan memang pemerintahan ini betul-betul menjaga Danantara ini jangan sampai banyak politikus, banyak pejabat-pejabat yang ikut mengintervensi Danantara ini,” paparnya.

Dia pun menekankan bahwa DPR RI bersama sejumlah lembaga pengawas lainnya akan ikut mengevaluasi pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja BPI Danantara. “Saya pikir nanti pengawasannya dari segala arah ini, kalau kita lihat dari Kementerian BUMN, dari DPR, dari BPK, dari auditor, dari penasihat juga mengawasi, dan begitu banyak (yang) mengawasi. Kalau sampai 'lolos' jago banget ini Kepala Badan Pelaksananya,” ujar dia.

Bari Baihaqi
Jurnalis Neraca
NERACA, 25 Februari 2025


Menteri Mengontrol Menteri

Empat bulan berkuasa, Presiden Prabowo Subianto melahirkan Danantara, sebuah korporasi raksasa milik negara. Ada yang bilang, ini 'bayinya' Prabowo. Lebih jauh, kata Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, ini gagasan ayahnya, begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo.

Siapakah orang-orang yang duduk di puncak Danantara? Sudah ada telaah mengupas rekam jejak orang-orang itu. Ada juga yang menjawab rasa penasaran, siapakah yang menang di dalam tarik-menarik kepentingan menentukan CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief Investment Officer) dan COO (Chief Operating Officer) Danantara?

Saya tak tertarik membicarakan 'orang-orang', apakah mereka duduk di situ buah meritokrasi, buah patronase, atau buah nepotisme. Saya tertarik melihat aspek organisasi, aspek 'nonhuman' Danantara.


Struktur organisasi Danantara rasanya menyimpan potensi kekisruhan garis tanggung jawab. Dua dari tiga anggota dewan pengawas orang Indonesia ialah menteri, yakni menteri BUMN dan menteri keuangan. CEO-nya juga menteri, yakni menteri investasi dan hilirisasi.

Mengawasi ialah mengamat-amati dan menjaga baik-baik; mengontrol. Maka, terjadilah keganjilan, menteri mengawasi menteri, menteri mengontrol menteri.

Kata dasar 'pengawas' adalah 'awas', alias 'tidak meleng'; 'waspada'. Serem juga membayangkan di puncak suatu organisasi bisnis skala raksasa, di situ ada dua pembantu presiden alias menteri yang 'waspada'/'tidak meleng' terhadap satu pembantu presiden lainnya yang setara kedudukannya di kabinet sebagai menteri.


Struktur organisasi Danantara menggunakan struktur organisasi lini. Salah satu jenis struktur organisasi paling dasar dengan garis wewenang yang jelas dari atas ke bawah. Orang di dalam organisasi mengetahui kepada siapa mereka melapor dan siapa yang melapor kepada mereka.

COO Danantara adalah wakil menteri BUMN yang sehari-hari di kabinet melapor kepada menteri BUMN, tetapi sehari-hari di Danantara dia melapor kepada CEO yang adalah menteri investasi dan hilirisasi yang diawasi menteri BUMN dan menteri keuangan. Tak perlu ekstra cerdas untuk menyimpulkan: ruwet !!!

Keruwetan itu bakal permanen bila tiga menteri dan satu wakil menteri tersebut nangkring di puncak Danantara sebagai ex officio. Bila terjadi reshuffle, menteri atau wakil menteri penggantinya 'dengan sendirinya' kembali duduk di singgasana Danantara.

Demikianlah struktur organisasi Danantara itu contoh struktur organisasi yang di dalam bahasa Jawa ngoko disebut mbulet dan bikin 'mumet'. Pertanyaannya, kenapa yang ruwet, mbulet, dan bikin mumet itu terjadi?


Ditengarai, semua itu akibat kencangnya tarik-menarik kepentingan elite kekuasaan yang diselesaikan dengan kompromi. Ada empat macam kompromi, tinggal publik menilai, apakah yang terjadi kompromi pragmatis, kompromi rasional, kompromi fair, atau kompromi busuk.

Kata guru manajemen Peter F Drucker, “Struktur organisasi yang paling baik tidak akan menjamin adanya hasil dan prestasi, tetapi struktur yang salah merupakan jaminan bahwa tidak akan ada prestasi.

Sebelum nasi menjadi bubur, sebelum Danantara berlayar rada jauh, baiklah Presiden menilik ulang kedudukan 'penghuni' struktur organisasi Danantara di kabinet/pemerintahan atau sebaliknya sehingga tak terjadi keganjilan seperti menteri mengontrol menteri.

Saur Hutabarat
Dewan Redaksi Media Group
Media Indonesia, 3 Maret 2025


Catatan Kritis Terhadap Danantara Indonesia

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto Djojohadikusumo meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025). Peluncuran dihadiri berbagai kalangan termasuk mantan presiden hingga pemimpin redaksi media massa.

Danantara merupakan superholding atau perusahaan induk yang mengendalikan berbagai perusahaan besar di sektor industri sekaligus manajer investasi dari tujuh BUMN untuk saat ini yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan MIND, serta Indonesia Investment Authority (INA) yang didirikan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam konteks ekonomi, superholding sering kali dibentuk oleh pemerintah untuk mengelola aset negara.

Berkaca dari holding BUMN yang telah dilakukan oleh Jokowi mulai dari holding BUMN Pertambangan, yaitu MIND ID pada tahun 2017, holding BUMN Migas, yaitu Pertamina Group pada tahun 2018, holding BUMN Farmasi pada tahun 2020, holding BUMN Perkebunan yaitu PalmCo & SugarCo pada tahun 2023, dan holding BUMN Pariwisata & Aviasi, yaitu InJourney yang didirikan pada tahun 2022.


Secara garis besar, holding-holding tersebut sukses dalam akuisisi strategis dan peningkatan efisiensi tetapi masih belum optimal dalam menghadapi tantangan besar khususnya dalam pengelolaan keuangan dan daya saing internasional.

Misalnya, holding BUMN Pertambangan masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan efisiensi dan teknologi pengolahan, sementara holding BUMN Migas masih menghadapi masalah keuangan akibat subsidi BBM dan utang yang meningkat.

Sementara, holding BUMN Farmasi masih menghadapi tantangan dalam daya saing produk lokal dibandingkan impor dan holding BUMN Pariwisata dan Aviasi, yaitu belum mampu mengeluarkan Garuda Indonesia dari utang yang besar.

Oleh karena itu, tantangan terbesar dari kelima sektor tersebut masih berkutat pada tata kelola, utang yang besar dan persaingan global. Dan holding BUMN yang berfokus pada sumber daya alam seperti MIND ID dan PalmCo lebih stabil dibandingkan sektor energi dan investasi.


Hal pertama yang mengkhawatirkan dari superholding Danantara Indonesia menggabungkan empat karakteristik industri yang berbeda, yaitu industri perbankan, industri pertambangan, industri migas, dan industri teknologi dengan risiko bisnis yang jelas berbeda dan tantangan setiap industri yang berbeda.

Apakah memungkinkan perusahaan-perusahaan besar ini yang secara signifikan memiliki karakteristik industri yang berbeda bisa bersinergi secara optimal? Atau gabungan perusahaan dengan karakteristik industri yang terlalu berbeda secara signifikan akan melemahkan superholding karena perbedaan yang terlalu lebar.

Hal kedua yang menjadi catatan adalah meskipun Jokowi telah mendirikan Indonesia Investment Authority (INA), lembaga pengelola investasi milik negara yang didirikan pada tahun 2020 ini, sangat berbeda dengan Danantara Indonesia.

INA beroperasi secara independen dan tidak mengelola perusahaan-perusahaan secara langsung, sementara Danantara Indonesia yang baru saja diluncurkan dirancang untuk mengelola dan mengonsolidasikan aset-aset dari tujuh BUMN. INA juga lebih berperan sebagai pengelola portofolio investasi tanpa kepemilikan langsung atas perusahaan-perusahaan tersebut.


Hal ketiga yang menjadi keraguan banyak pihak terkait dengan Danantara Indonesia adalah terburu-buru untuk menciptakan superholding tanpa merancang mekanisme pengendalian internal yang memadai dan menganalisis efek pascaintegrasi akan menyebabkan kegagalan proyek besar tersebut.

Pemerintah harusnya mempertimbangkan bagaimana cara menangani efek negatif dari mengintegrasikan perusahaan dengan karakteristik yang berbeda. Dan pemerintah seharusnya mempertimbangkan ulang jika Danantara Indonesia justru mengalami dis-sinergi.

Hal keempat yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah mengenai dana pihak ketiga milik depositor. Jika Danantara gagal, nasib depositor BNI, Bank Mandiri, dan BRI sangat tergantung pada bagaimana struktur keuangan dan perlindungan simpanan diatur.

Dalam konsep investasi, dana investasi merupakan dana lebih yang siap hilang kapan pun sehingga investasi tidak hanya mengantisipasi keuntungan tetapi juga kerugian atau kita katakan dana siap hilang. Jika Danantara Indonesia hanya gagal dalam pengelolaan aset atau mengalami kerugian investasi, simpanan deposan seharusnya tetap aman karena ketiga bank tersebut masih berdiri sebagai entitas terpisah dengan cadangan modal sendiri.


Namun, jika Danantara Indonesia menggunakan dana dari bank BUMN secara besar-besaran dan gagal, ada risiko bahwa profitabilitas dan likuiditas bank bisa terganggu. Saat ini, Lembaga Penjamin Simpanan hanya memberikan garansi simpanan sampai batas Rp 2 miliar per nasabah per bank sehingga depositor kecil terlindungi.

Namun, bagaimana dengan depositor bisnis UMKM yang memiliki dana terkait dengan penerimaan dan pembayaran gaji sejumlah pegawai di atas Rp 2 miliar? Siapa yang akan menanggung simpanan UMKM dan bisnis menengah di ketiga bank BUMN tersebut?

Maka langkah aman yang bisa diambil depositor secara umum adalah membatasi simpanan sampai Rp 2 miliar di masing-masing bank peserta Danantara Indonesia agar tetap dijamin oleh LPS dari risiko sistemik.


Hal kelima yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah tata kelola. Kisah sukses superholding yang ada adalah Temasek dan kisah gagal superholding yang terbesar adalah skandal 1MDB yang terjadi di Malaysia.

Skandal 1MDB adalah salah satu kasus korupsi dan pencucian uang terbesar dalam sejarah dunia, yang melibatkan dana miliaran dolar yang dicuri dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah dana investasi milik negara Malaysia.

Awalnya 1MDB dibentuk oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, sebagai dana investasi negara untuk pembangunan ekonomi. Dana ini awalnya bertujuan menarik investasi asing dan membiayai proyek infrastruktur.

Namun, dari tahun 2009-2015, terjadi penyelewengan dana sekitar US$ 4,5 miliar (sekitar Rp 72 triliun) melalui transaksi keuangan yang kompleks. Uang ini dialihkan ke rekening pribadi pejabat tinggi dan digunakan untuk membeli properti mewah, karya seni, dan kapal pesiar.


Jho Low, seorang pengusaha Malaysia, berperan sebagai dalang di balik pencucian uang ini. Ia menggunakan jaringan global untuk menyalurkan dana ke berbagai negara seperti Swiss, AS, Singapura, dan UEA.

Oleh karena itu, jika secara desain melalui dipersulitnya pihak ketiga seperti BPK dan KPK mengaudit Danantara Indonesia, pengendalian internal dan pengawasan yang lemah terhadap dana investasi negara maka bisa membuka peluang korupsi besar-besaran.

Ditambah lagi kolaborasi global dalam pencucian uang dapat memperumit pelacakan dana yang dicuri. Kasus ini menjadi peringatan bagi negara lain agar lebih transparan dalam pengelolaan keuangan publik.


Struktur sektor BUMN Indonesia saat ini sudah kompleks. Sebagai akibat dari diversifikasi vertikal dan horizontal, banyak BUMN memiliki struktur kepemilikan piramida dengan banyak anak perusahaan.

Jumlah total anak perusahaan BUMN, yang sering disebut anak cucu, diperkirakan mencapai ratusan. Karena persyaratan untuk mengungkapkan informasi tentang anak perusahaan, yang secara teknis tidak diklasifikasikan sebagai BUMN, lemah, dan kapasitas pengawasan pemangku kepentingan terbatas, korupsi sering terjadi di anak perusahaan ini.

Nurhastuti Kesumo Wardhani
Akademisi dan dosen senior di Program Doktoral Ilmu Ekonomi konsentrasi Akuntansi di Universitas Trisakti.
Penulis buku dengan gelar Ph.D. di bidang keuangan dari University of Queensland Australia.

CNBC Indonesia, 28 Februari 2025


Danantara: Bagaimana dan Untuk Siapa?

Pemerintah Indonesia telah meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai strategi untuk mengelola aset negara senilai Rp 14.000 triliun (USD 900 miliar) guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun, dalam diskusi yang digelar Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), para ekonom menyoroti berbagai tantangan, termasuk inefisiensi tata kelola, intervensi politik, dan ketidakjelasan strategi penggabungan BUMN. Prof. Didik J. Rachbini menegaskan bahwa keberhasilan Danantara sangat bergantung pada reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas BUMN, sementara Esther Sri Astuti mengkritisi potensi ketidakefisienan akibat pengelolaan aset yang tidak optimal.

Selain itu, peluncuran Danantara mendapat respon negatif dari pasar, terlihat dari kontraksi IHSG pada hari pertama operasionalnya, yang menurut Andry Satrio Nugroho menunjukkan rendahnya kepercayaan investor terhadap independensi dan tata kelolanya. Risiko moral hazard juga dikhawatirkan muncul jika aset strategis BUMN yang memiliki kewajiban layanan publik (seperti PLN dan Pertamina) justru dialihkan untuk investasi komersial. Ketidaksesuaian antara proyeksi dividen BUMN sebagai sumber pendanaan —yang diklaim Rp 300 triliun tetapi diperkirakan hanya Rp 90 triliun— juga menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan model keuangan Danantara.


Agar Danantara berfungsi optimal, INDEF merekomendasikan tiga langkah utama: pertama, penguatan transparansi dan tata kelola melalui audit independen; kedua, penghapusan keterlibatan politik dalam kepemimpinan lembaga; dan ketiga, pemisahan peran regulator dan operator agar keputusan investasi tetap profesional. Jika diterapkan dengan baik, Danantara berpotensi menjadi motor pertumbuhan ekonomi layaknya Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia). Namun, tanpa tata kelola yang kuat, lembaga ini berisiko menjadi beban APBN dan alat kepentingan politik tanpa manfaat nyata bagi ekonomi nasional.

Diskusi Publik
INDEF, 24 Februari 2025

Sunday, February 16, 2025

Aku Sakit, Kau Tak Menjengukku


PADA saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya. Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya.

Nah, sahabatku,” berkata Nabi, “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?

Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi, “Sayang sih, sayang wahai Nabi ....

Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?

Aduh, Nabi, gimana yaaa, ...” ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah dan menggumam-gumamkan nama-Nya. Tiap saat. Tiap detik. Tiap sekon. Tidak ada sela-selanya lagi buat yang lain. Ampuni aku, Nabi. Waktuku benar-benar sudah tidak ada, digantikan oleh Allah. Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu ....


Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui?

Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan agar kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?

Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca selawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca selawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah.


Akhirnya, kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks berselawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.

Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak.

Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja. Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.


Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol ... menagih cinta. Alangkah tak enak posisi macam ini!

Apa yang terjadi! Ternyata Beliau malah tertawa. “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?

Aku merasa pekewuh, Nabi ....

Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?

Kawan saya tersipu-sipu.

Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi. “Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja ....


Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik napas lega. Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!

Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa Nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat.

Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.

Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?

Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab, “Sayang sih, ya sayang ....” Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad. “Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?


Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekat, “Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini, Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliah modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu."


Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis.

Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?

Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, kau tidak menyapaku ....
” Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.

YK, 4 Februari 1989

Dikutip dari buku “Slilit Sang Kiai,” Emha Ainun Nadjib, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Ketiga, Mei 1992, hal. 10.

Aslinya dimuat di: Majalah TEMPO, Edisi: 49/18 / Tanggal: 1989-02-04 / Halaman : 27 / Rubrik : KL


Kalau Aku Sakit, Jangan Menjenguk

Tuhan menginformasikan suatu ketegasan salah satu bagian dari ketentuan ciptaannya:

عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ ۝٢٦

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.
[Al-Jinn (72): 26]

Maka saya tidak bisa melihat hantu, Jin atau Setan. Apalagi Malaikat. Kalau bersama KiaiKanjeng sering diminta mengusir hantu misalnya di Canberra Australia, Roma Italia atau London Inggris dll, itu tidak berarti saya tahu hantu, bisa melihatnya, bisa berkomunikasi dengan mereka, bahkan bisa bernegosiasi atau mengusir mereka dari suatu tempat.


Juga saya tidak punya kemampuan untuk melihat serangan rudal santet atau sebaran tenung, seperti yang KiaiKanjeng alami di Mandar menjelang Pilgub, di Tuban sesudah Pilgub, atau di Karanganyar dan Sukoharjo meskipun tak ada kaitannya dengan pemilihan pejabat apapun. Atau yang terparah yang membuat saya divonis oleh teman-teman Dokter di RS Sardjito UGM Yogya bahwa umur saya paling lama tinggal 3,5 bulan karena hyperteroid parah dan onderdil-onderdil pengolah makanan di tubuh saya sudah hancur hitam legam dihajar dengan uranium.

Saya bukan ustadz ruqyah, bukan dukun pengusir hantu, mistikus penyembuh orang kerasukan. Bukan pula ahli kebatinan atau pakar roh, meskipun banyak dikeluhi dan didesak untuk kegiatan semacam itu. Sesungguhnya saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban silaturahmi, mempersambungkan terselenggaranya dialektika kasih sayang dan keselamatan di antara sesama manusia.


Seorang perwira militer sakit parah dan sudah sekarat di RS Sardjito tapi tidak kunjung meninggal. Menurut kabar burung orang yang punya simpanan ilmu sakti di badannya, itu bisa menjadi penghalang atau menunda momentum kematiannya. Mana saya tahu. Saya diminta menangani keadaan itu, dan saya datang dengan niat menolong sesama manusia. Saya berkonsentrasi dan berdoa sebisa-bisa saya, kemudian setelah 15-20 menit yang bersangkutan dicabut nyawanya.

Istri almarhum berterima kasih kepada saya dan bertanya: “Berapa biayanya, Pak?” Saya tidak bisa menjawab, kecuali langsung ngacir pergi. Rupanya pengalaman masyarakat membuat mereka berkesimpulan bahwa hal-hal seperti itu adalah masalah profesional. Dan beliau meminta tolong saya dalam konsep bahwa saya adalah dukun profesional.


Berikutnya saya terbang khusus dari Yogya ke Jakarta karena keluarga seorang penyanyi yang sedang koma di RS Pondok Indah minta tolong kepada saya. Saya datang, tanpa pengetahuan dan kemampuan batin apa-apa, ternyata yang bersangkutan lantas meninggal sekitar 20 menit sesudah saya datang. Mereka berteriak-teriak menangisi almarhumah, pihak Rumah Sakit segera memindahkan tubuhnya ke ruang jenazah, diikuti oleh semua keluarganya, sehingga mereka terlupa bahwa di ruangan itu ada saya.

Saya pun ngeloyor pergi. Pindah ke RS Persahabatan di Rawamangun untuk melakukan pekerjaan yang sama. Berikutnya pindah ke RSPAD, seorang Ibu berproses sampai meninggal, dan kemudian saya menitipkan seadanya uang di dompet saya kepada sang suami. Besok lusanya saya mengantarkan istri saya Novia Kolopaking tugas nyanyi di sebuah Gedung, bersama panyanyi Krisdayanti. Sebelum naik panggung, Kris membisiki saya: “Cak, kapan kalau saya sakit tolong Cak Nun tidak usah datang menjenguk.

Lho kenapa?” saya bertanya. Kris menjawab: “Saya mendengar dari teman-teman bahwa kalau ada orang sakit dijenguk Cak Nun lantas meninggal dunia.


Pada kesempatan lain seorang wanita muda dalam keadaan hamil sekitar 5 bulan datang ke Patangpuluhan, mengeluhkan keadaannya dan pasrah bongkokan kepada saya. Seorang teman yang berprofesi pengacara saya mintai tolong menyiapkan kamar untuk tempat tinggal wanita hamil itu. Kan tidak mungkin dia tinggal di kamar saya di Patangpuluhan. Saya support biaya bulanannya sampai saat nanti dia melahirkan.

Banyak orang berpikir bahwa sayalah pasti yang menghamili wanita itu. Sebab kalau tidak, kenapa mau mengurusinya dan membiayainya. Tiba saatnya kelahiran saya bawa ke RS Panti Rapih. Ternyata bayinya sungsang. Saya mengajak Pathing atau Fatih, anggota Sanggar dan Teater Salahuddin yang menemani saya di Patangpuluhan ke Panti Rapih. Kami berdoa bersama memohon kepada Allah agar posisi bayi dinormalkan sehingga kelahirannya pun lancar. Sebab kalau harus pakai operasi caesar, saya harus menandatangani surat pernyataan kesediaan atas nama keluarga si pasien. Dan itu tidak mungkin saya lakukan. Alhamdulillah Tuhan tidak tega kepada saya, sehingga posisi bayi diubah oleh Malaikat dan kemudian kelahiran berlangsung normal.

Cak Nun dan Cak Fuad.

Tapi ternyata setelah bayi lahir sampai beberapa lama, Ibunya tetap tidak mau pergi. Tetap “nggandhol nasib” kepada saya. Akhirnya saya minta Imam Syuhada adik ipar saya untuk melacak latar belakang anak ini. Imam pergi sampai menemukan kampung wanita ini di sebuah desa di Kabupaten Pati. Imam bisa menemukan keluarganya, dan info bahwa anak ini ternyata dihamili oleh Pak Lurah. Keluarganya saya ultimatum untuk datang menjemput anak itu dan diajak kembali ke kampungnya. Puji Tuhan yang memudahkan semua proses pamungkas urusan wanita hamil ini.

Saya tidak mungkin mencatat semua, mendokumentasikan peristiwa-peristiwa semacam ini, termasuk ribuan orang terutama Jamaah Maiyah yang bermimpi saya temui. Bahkan saya ajari kalimat-kalimat wirid, yang ketika ketemu darat, dikonfirmasikan ternyata merupakan untaian wirid yang saya sendiri belum tentu mengetahuinya.

Emha Ainun Nadjib
Dikutip dari: CakNun.com dalam Rubrik Kebon No. 163. Terbit 14 April 2021


Kekasih Tak Bisa Menanti

Lirik : Emha Ainun Nadjib
Lagu: Harry Tjahjono
Album: Taubat (1997)

Akhirnya ‘kan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak bisa lagi menanti
Zaman harus segera berganti pagi

Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani

Tuhan
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran, ketabahan
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Ya Allah
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru

Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu kami adalah tangan-Mu sendiri
Tak satu kekuatan bisa menghalangi

Ya Allah
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Tuhan
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Datanglah kelahiran yang baru


YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=UvJAkGAPSas

Wednesday, January 22, 2025

Orang Bisa Bahagia Meski Hidup Sederhana


Banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa dicapai jika memiliki kekayaan melimpah atau gaya hidup mewah.

Namun, kenyataannya tidak semua kebahagiaan diukur dengan uang. Ada banyak orang yang hidup dalam kesederhanaan tetapi mampu tersenyum setiap hari, merasa tenang, dan puas dengan apa yang mereka miliki.

Mereka bukanlah orang-orang yang terus-menerus mengeluhkan kekurangan, melainkan mereka adalah orang yang bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil dan bermakna.

Di saat banyak orang berlomba mengejar harta benda, ada sekelompok kecil orang yang telah menemukan rahasia kebahagiaan sejati dan itu tidak ada hubungannya dengan uang atau kekayaan materi.

Lantas, apa saja kebiasaan yang membuat mereka tetap bahagia meski tak punya banyak uang?

Dilansir dari Personal Branding Blog, inilah tujuh kebiasaan sederhana namun penuh makna yang bisa mengubah cara pandang kita terhadap kebahagiaan.


1. Lebih Menghargai Pengalaman Daripada Harta Benda

Orang yang hidup bahagia dalam kesederhanaan memahami bahwa pengalaman memiliki nilai yang jauh lebih abadi daripada sekadar mengumpulkan barang-barang mewah.

Mereka lebih memilih menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta, seperti keluarga dan sahabat, melakukan perjalanan sederhana, atau mengeksplorasi lingkungan sekitar daripada membeli barang-barang mahal yang hanya memberikan kebahagiaan sementara.

Misalnya, daripada membeli gadget terbaru, mereka lebih memilih untuk berkemah bersama keluarga atau mengikuti kegiatan komunitas yang memberi pengalaman berharga.

Bagi mereka, pengalaman memberikan kenangan yang tak tergantikan dan memperkaya jiwa.

Mereka percaya bahwa barang-barang material, seberapa mahal pun, hanya bersifat sementara dan sering kali kehilangan nilainya seiring waktu.

Dalam setiap perjalanan, tawa bersama, dan ketika momen berbagi, mereka menemukan makna hidup yang sejati.

Memiliki barang mewah mungkin menyenangkan, tetapi bagi mereka, kebahagiaan yang berasal dari pengalaman lebih murni dan mendalam.


2. Berlatih Untuk Selalu Bersyukur Setiap Hari

Rasa syukur adalah fondasi utama kebahagiaan mereka. Orang-orang yang hidup dalam kesederhanaan selalu melihat sisi positif dalam setiap peristiwa kehidupan mereka.

Alih-alih berfokus pada apa yang tidak mereka miliki, mereka lebih memilih untuk menghargai hal-hal kecil yang ada dalam hidup.

Mereka mungkin tidak memiliki rumah besar, mobil mewah, atau barang-barang bermerek, tetapi mereka merasa kaya karena memiliki rumah yang nyaman, makanan yang cukup, dan kesehatan yang baik.

Setiap hari, mereka meluangkan waktu untuk merenungkan berkah yang telah mereka terima untuk senantiasa mensyukurinya.

Mereka mungkin memulai hari dengan doa atau meditasi sederhana, mengingatkan diri mereka akan hal-hal baik yang telah mereka miliki.

Rasa syukur ini menciptakan lingkungan batin yang penuh kedamaian, membuat mereka lebih mampu menghadapi tantangan hidup dengan hati yang tenang.

Dengan melatih rasa syukur, mereka tidak hanya menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga menyebarkan energi positif kepada orang-orang di sekitar mereka.


3. Mengutamakan Hubungan yang Bermakna

Bagi mereka yang hidup bahagia dalam kesederhanaan, hubungan adalah salah satu harta terbesar yang mereka miliki.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak uang yang dimiliki, melainkan pada kedalaman hubungan dengan orang-orang tercinta.

Mereka berinvestasi dalam waktu dan perhatian untuk memperkuat hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas.

Misalnya, mereka sering mengadakan makan malam bersama keluarga, menghabiskan waktu berbicara tanpa gangguan teknologi, atau bahkan sekadar berjalan-jalan sore dengan teman-teman.

Mereka memahami bahwa hubungan yang hangat dan penuh kasih memberikan dukungan emosional, cinta, dan rasa aman yang tidak dapat digantikan oleh materi.

Dalam kebersamaan, mereka menemukan kekuatan untuk menghadapi kehidupan dengan lebih optimis.


4. Kesederhanaan adalah Prinsip Hidup

Kesederhanaan bukan sekadar pilihan gaya hidup; bagi mereka, ini adalah prinsip hidup.

Mereka tidak terjebak dalam budaya konsumsi atau merasa perlu untuk mengikuti tren yang selalu berubah.

Mereka memahami bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada jumlah uang dan barang yang dimiliki, melainkan pada cara hidup yang penuh kesadaran.

Dengan prinsip “cukup itu cukup,” mereka merasa bebas dari tekanan untuk terus membeli atau memiliki lebih banyak.

Sebagai contoh, mereka mungkin lebih memilih untuk memiliki pakaian yang fungsional dan nyaman daripada lemari penuh dengan pakaian yang jarang dipakai.

Mereka juga cenderung mendaur ulang atau memperbaiki barang yang rusak daripada langsung membeli yang baru.

Dengan merangkul kesederhanaan, mereka bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti kesehatan, hubungan, dan kebahagiaan batin.


5. Menemukan Kebahagiaan dalam Memberi

Meskipun hidup mereka sederhana, orang-orang ini selalu memiliki ruang untuk memberi.

Memberi bagi mereka tidak selalu tentang uang, melainkan bisa berupa waktu, tenaga, atau bahkan sekadar kehadiran.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan sejati datang dari membantu sesama dan melihat senyuman di wajah orang lain.

Sebagai contoh, mereka mungkin meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan di komunitas lokal, membantu tetangga yang membutuhkan, atau sekadar mendengarkan cerita teman yang sedang menghadapi masalah.

Dalam memberi, mereka menemukan rasa kepuasan yang mendalam. Tindakan-tindakan kecil ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga memberikan arti lebih dalam dan lebih bermakna pada hidup mereka.

Kebahagiaan yang mereka rasakan dari memberi jauh melampaui kesenangan sementara yang berasal dari memiliki barang baru.


6. Selalu Memelihara Minat dan Hobi

Orang yang bahagia meskipun hidup sederhana biasanya memiliki hobi atau minat yang membuat mereka merasa lebih hidup.

Entah itu berkebun, membaca buku, menulis, membuat kerajinan tangan, atau berolahraga, aktivitas ini memberi mereka kegembiraan dan rasa puas.

Dengan melakukan hal-hal yang mereka sukai, mereka merasa lebih bermakna dan mampu menikmati hidup meski tanpa banyak uang.

Misalnya, seseorang mungkin merasa bahagia hanya dengan menghabiskan waktu di kebun kecilnya, menanam bunga atau sayuran.

Orang lain mungkin menemukan kegembiraan dalam membaca buku-buku favorit mereka di sore hari.

Hobi-hobi ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membantu mereka untuk tetap terhubung dengan diri sendiri dan menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia.


7. Memilih untuk Bahagia, Apa Pun Keadaannya

Kebahagiaan adalah pilihan, dan orang-orang yang hidup bahagia dalam kesederhanaan memahami hal ini dengan sangat baik.

Mereka tidak menunggu kondisi sempurna untuk merasa bahagia. Sebaliknya, mereka memilih untuk bahagia dengan apa yang ada yang mereka miliki sekarang.

Sikap ini memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih mudah dan terus menemukan alasan untuk tersenyum setiap hari.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan. Dengan menerima hidup apa adanya dan berfokus pada hal-hal positif, mereka menciptakan kehidupan yang penuh makna.

Mereka tidak membandingkan hidup mereka dengan orang lain, tetapi fokus pada pertumbuhan dan kebahagiaan pribadi.

Dengan pola pikir ini, mereka menemukan kekuatan untuk menjalani hidup dengan hati yang penuh syukur dan jiwa yang damai.

Vindi Rayinda Ayudya
Penulis dan Kreator Digital
JawaPos.Com, 21 Januari 2025