Sunday, February 16, 2025

Aku Sakit, Kau Tak Menjengukku


PADA saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya. Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya.

Nah, sahabatku,” berkata Nabi, “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?

Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi, “Sayang sih, sayang wahai Nabi ....

Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?

Aduh, Nabi, gimana yaaa, ...” ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah dan menggumam-gumamkan nama-Nya. Tiap saat. Tiap detik. Tiap sekon. Tidak ada sela-selanya lagi buat yang lain. Ampuni aku, Nabi. Waktuku benar-benar sudah tidak ada, digantikan oleh Allah. Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu ....


Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui?

Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan agar kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?

Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca selawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca selawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah.


Akhirnya, kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks berselawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.

Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak.

Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja. Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.


Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol ... menagih cinta. Alangkah tak enak posisi macam ini!

Apa yang terjadi! Ternyata Beliau malah tertawa. “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?

Aku merasa pekewuh, Nabi ....

Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?

Kawan saya tersipu-sipu.

Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi. “Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja ....


Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik napas lega. Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!

Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa Nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat.

Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.

Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?

Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab, “Sayang sih, ya sayang ....” Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad. “Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?


Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekat, “Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini, Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliah modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu."


Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis.

Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?

Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, kau tidak menyapaku ....
” Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.

YK, 4 Februari 1989

Dikutip dari buku “Slilit Sang Kiai,” Emha Ainun Nadjib, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Ketiga, Mei 1992, hal. 10.

Aslinya dimuat di: Majalah TEMPO, Edisi: 49/18 / Tanggal: 1989-02-04 / Halaman : 27 / Rubrik : KL


Kalau Aku Sakit, Jangan Menjenguk

Tuhan menginformasikan suatu ketegasan salah satu bagian dari ketentuan ciptaannya:

عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ ۝٢٦

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.
[Al-Jinn (72): 26]

Maka saya tidak bisa melihat hantu, Jin atau Setan. Apalagi Malaikat. Kalau bersama KiaiKanjeng sering diminta mengusir hantu misalnya di Canberra Australia, Roma Italia atau London Inggris dll, itu tidak berarti saya tahu hantu, bisa melihatnya, bisa berkomunikasi dengan mereka, bahkan bisa bernegosiasi atau mengusir mereka dari suatu tempat.


Juga saya tidak punya kemampuan untuk melihat serangan rudal santet atau sebaran tenung, seperti yang KiaiKanjeng alami di Mandar menjelang Pilgub, di Tuban sesudah Pilgub, atau di Karanganyar dan Sukoharjo meskipun tak ada kaitannya dengan pemilihan pejabat apapun. Atau yang terparah yang membuat saya divonis oleh teman-teman Dokter di RS Sardjito UGM Yogya bahwa umur saya paling lama tinggal 3,5 bulan karena hyperteroid parah dan onderdil-onderdil pengolah makanan di tubuh saya sudah hancur hitam legam dihajar dengan uranium.

Saya bukan ustadz ruqyah, bukan dukun pengusir hantu, mistikus penyembuh orang kerasukan. Bukan pula ahli kebatinan atau pakar roh, meskipun banyak dikeluhi dan didesak untuk kegiatan semacam itu. Sesungguhnya saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban silaturahmi, mempersambungkan terselenggaranya dialektika kasih sayang dan keselamatan di antara sesama manusia.


Seorang perwira militer sakit parah dan sudah sekarat di RS Sardjito tapi tidak kunjung meninggal. Menurut kabar burung orang yang punya simpanan ilmu sakti di badannya, itu bisa menjadi penghalang atau menunda momentum kematiannya. Mana saya tahu. Saya diminta menangani keadaan itu, dan saya datang dengan niat menolong sesama manusia. Saya berkonsentrasi dan berdoa sebisa-bisa saya, kemudian setelah 15-20 menit yang bersangkutan dicabut nyawanya.

Istri almarhum berterima kasih kepada saya dan bertanya: “Berapa biayanya, Pak?” Saya tidak bisa menjawab, kecuali langsung ngacir pergi. Rupanya pengalaman masyarakat membuat mereka berkesimpulan bahwa hal-hal seperti itu adalah masalah profesional. Dan beliau meminta tolong saya dalam konsep bahwa saya adalah dukun profesional.


Berikutnya saya terbang khusus dari Yogya ke Jakarta karena keluarga seorang penyanyi yang sedang koma di RS Pondok Indah minta tolong kepada saya. Saya datang, tanpa pengetahuan dan kemampuan batin apa-apa, ternyata yang bersangkutan lantas meninggal sekitar 20 menit sesudah saya datang. Mereka berteriak-teriak menangisi almarhumah, pihak Rumah Sakit segera memindahkan tubuhnya ke ruang jenazah, diikuti oleh semua keluarganya, sehingga mereka terlupa bahwa di ruangan itu ada saya.

Saya pun ngeloyor pergi. Pindah ke RS Persahabatan di Rawamangun untuk melakukan pekerjaan yang sama. Berikutnya pindah ke RSPAD, seorang Ibu berproses sampai meninggal, dan kemudian saya menitipkan seadanya uang di dompet saya kepada sang suami. Besok lusanya saya mengantarkan istri saya Novia Kolopaking tugas nyanyi di sebuah Gedung, bersama panyanyi Krisdayanti. Sebelum naik panggung, Kris membisiki saya: “Cak, kapan kalau saya sakit tolong Cak Nun tidak usah datang menjenguk.

Lho kenapa?” saya bertanya. Kris menjawab: “Saya mendengar dari teman-teman bahwa kalau ada orang sakit dijenguk Cak Nun lantas meninggal dunia.


Pada kesempatan lain seorang wanita muda dalam keadaan hamil sekitar 5 bulan datang ke Patangpuluhan, mengeluhkan keadaannya dan pasrah bongkokan kepada saya. Seorang teman yang berprofesi pengacara saya mintai tolong menyiapkan kamar untuk tempat tinggal wanita hamil itu. Kan tidak mungkin dia tinggal di kamar saya di Patangpuluhan. Saya support biaya bulanannya sampai saat nanti dia melahirkan.

Banyak orang berpikir bahwa sayalah pasti yang menghamili wanita itu. Sebab kalau tidak, kenapa mau mengurusinya dan membiayainya. Tiba saatnya kelahiran saya bawa ke RS Panti Rapih. Ternyata bayinya sungsang. Saya mengajak Pathing atau Fatih, anggota Sanggar dan Teater Salahuddin yang menemani saya di Patangpuluhan ke Panti Rapih. Kami berdoa bersama memohon kepada Allah agar posisi bayi dinormalkan sehingga kelahirannya pun lancar. Sebab kalau harus pakai operasi caesar, saya harus menandatangani surat pernyataan kesediaan atas nama keluarga si pasien. Dan itu tidak mungkin saya lakukan. Alhamdulillah Tuhan tidak tega kepada saya, sehingga posisi bayi diubah oleh Malaikat dan kemudian kelahiran berlangsung normal.

Cak Nun dan Cak Fuad.

Tapi ternyata setelah bayi lahir sampai beberapa lama, Ibunya tetap tidak mau pergi. Tetap “nggandhol nasib” kepada saya. Akhirnya saya minta Imam Syuhada adik ipar saya untuk melacak latar belakang anak ini. Imam pergi sampai menemukan kampung wanita ini di sebuah desa di Kabupaten Pati. Imam bisa menemukan keluarganya, dan info bahwa anak ini ternyata dihamili oleh Pak Lurah. Keluarganya saya ultimatum untuk datang menjemput anak itu dan diajak kembali ke kampungnya. Puji Tuhan yang memudahkan semua proses pamungkas urusan wanita hamil ini.

Saya tidak mungkin mencatat semua, mendokumentasikan peristiwa-peristiwa semacam ini, termasuk ribuan orang terutama Jamaah Maiyah yang bermimpi saya temui. Bahkan saya ajari kalimat-kalimat wirid, yang ketika ketemu darat, dikonfirmasikan ternyata merupakan untaian wirid yang saya sendiri belum tentu mengetahuinya.

Emha Ainun Nadjib
Dikutip dari: CakNun.com dalam Rubrik Kebon No. 163. Terbit 14 April 2021


Kekasih Tak Bisa Menanti

Lirik : Emha Ainun Nadjib
Lagu: Harry Tjahjono
Album: Taubat (1997)

Akhirnya ‘kan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak bisa lagi menanti
Zaman harus segera berganti pagi

Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani

Tuhan
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran, ketabahan
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Ya Allah
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru

Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu kami adalah tangan-Mu sendiri
Tak satu kekuatan bisa menghalangi

Ya Allah
Sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan

Tuhan
Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Datanglah kelahiran yang baru


YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=UvJAkGAPSas

Wednesday, January 22, 2025

Orang Bisa Bahagia Meski Hidup Sederhana


Banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa dicapai jika memiliki kekayaan melimpah atau gaya hidup mewah.

Namun, kenyataannya tidak semua kebahagiaan diukur dengan uang. Ada banyak orang yang hidup dalam kesederhanaan tetapi mampu tersenyum setiap hari, merasa tenang, dan puas dengan apa yang mereka miliki.

Mereka bukanlah orang-orang yang terus-menerus mengeluhkan kekurangan, melainkan mereka adalah orang yang bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil dan bermakna.

Di saat banyak orang berlomba mengejar harta benda, ada sekelompok kecil orang yang telah menemukan rahasia kebahagiaan sejati dan itu tidak ada hubungannya dengan uang atau kekayaan materi.

Lantas, apa saja kebiasaan yang membuat mereka tetap bahagia meski tak punya banyak uang?

Dilansir dari Personal Branding Blog, inilah tujuh kebiasaan sederhana namun penuh makna yang bisa mengubah cara pandang kita terhadap kebahagiaan.


1. Lebih Menghargai Pengalaman Daripada Harta Benda

Orang yang hidup bahagia dalam kesederhanaan memahami bahwa pengalaman memiliki nilai yang jauh lebih abadi daripada sekadar mengumpulkan barang-barang mewah.

Mereka lebih memilih menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta, seperti keluarga dan sahabat, melakukan perjalanan sederhana, atau mengeksplorasi lingkungan sekitar daripada membeli barang-barang mahal yang hanya memberikan kebahagiaan sementara.

Misalnya, daripada membeli gadget terbaru, mereka lebih memilih untuk berkemah bersama keluarga atau mengikuti kegiatan komunitas yang memberi pengalaman berharga.

Bagi mereka, pengalaman memberikan kenangan yang tak tergantikan dan memperkaya jiwa.

Mereka percaya bahwa barang-barang material, seberapa mahal pun, hanya bersifat sementara dan sering kali kehilangan nilainya seiring waktu.

Dalam setiap perjalanan, tawa bersama, dan ketika momen berbagi, mereka menemukan makna hidup yang sejati.

Memiliki barang mewah mungkin menyenangkan, tetapi bagi mereka, kebahagiaan yang berasal dari pengalaman lebih murni dan mendalam.


2. Berlatih Untuk Selalu Bersyukur Setiap Hari

Rasa syukur adalah fondasi utama kebahagiaan mereka. Orang-orang yang hidup dalam kesederhanaan selalu melihat sisi positif dalam setiap peristiwa kehidupan mereka.

Alih-alih berfokus pada apa yang tidak mereka miliki, mereka lebih memilih untuk menghargai hal-hal kecil yang ada dalam hidup.

Mereka mungkin tidak memiliki rumah besar, mobil mewah, atau barang-barang bermerek, tetapi mereka merasa kaya karena memiliki rumah yang nyaman, makanan yang cukup, dan kesehatan yang baik.

Setiap hari, mereka meluangkan waktu untuk merenungkan berkah yang telah mereka terima untuk senantiasa mensyukurinya.

Mereka mungkin memulai hari dengan doa atau meditasi sederhana, mengingatkan diri mereka akan hal-hal baik yang telah mereka miliki.

Rasa syukur ini menciptakan lingkungan batin yang penuh kedamaian, membuat mereka lebih mampu menghadapi tantangan hidup dengan hati yang tenang.

Dengan melatih rasa syukur, mereka tidak hanya menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga menyebarkan energi positif kepada orang-orang di sekitar mereka.


3. Mengutamakan Hubungan yang Bermakna

Bagi mereka yang hidup bahagia dalam kesederhanaan, hubungan adalah salah satu harta terbesar yang mereka miliki.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak uang yang dimiliki, melainkan pada kedalaman hubungan dengan orang-orang tercinta.

Mereka berinvestasi dalam waktu dan perhatian untuk memperkuat hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas.

Misalnya, mereka sering mengadakan makan malam bersama keluarga, menghabiskan waktu berbicara tanpa gangguan teknologi, atau bahkan sekadar berjalan-jalan sore dengan teman-teman.

Mereka memahami bahwa hubungan yang hangat dan penuh kasih memberikan dukungan emosional, cinta, dan rasa aman yang tidak dapat digantikan oleh materi.

Dalam kebersamaan, mereka menemukan kekuatan untuk menghadapi kehidupan dengan lebih optimis.


4. Kesederhanaan adalah Prinsip Hidup

Kesederhanaan bukan sekadar pilihan gaya hidup; bagi mereka, ini adalah prinsip hidup.

Mereka tidak terjebak dalam budaya konsumsi atau merasa perlu untuk mengikuti tren yang selalu berubah.

Mereka memahami bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada jumlah uang dan barang yang dimiliki, melainkan pada cara hidup yang penuh kesadaran.

Dengan prinsip “cukup itu cukup,” mereka merasa bebas dari tekanan untuk terus membeli atau memiliki lebih banyak.

Sebagai contoh, mereka mungkin lebih memilih untuk memiliki pakaian yang fungsional dan nyaman daripada lemari penuh dengan pakaian yang jarang dipakai.

Mereka juga cenderung mendaur ulang atau memperbaiki barang yang rusak daripada langsung membeli yang baru.

Dengan merangkul kesederhanaan, mereka bisa lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, seperti kesehatan, hubungan, dan kebahagiaan batin.


5. Menemukan Kebahagiaan dalam Memberi

Meskipun hidup mereka sederhana, orang-orang ini selalu memiliki ruang untuk memberi.

Memberi bagi mereka tidak selalu tentang uang, melainkan bisa berupa waktu, tenaga, atau bahkan sekadar kehadiran.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan sejati datang dari membantu sesama dan melihat senyuman di wajah orang lain.

Sebagai contoh, mereka mungkin meluangkan waktu untuk menjadi sukarelawan di komunitas lokal, membantu tetangga yang membutuhkan, atau sekadar mendengarkan cerita teman yang sedang menghadapi masalah.

Dalam memberi, mereka menemukan rasa kepuasan yang mendalam. Tindakan-tindakan kecil ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga memberikan arti lebih dalam dan lebih bermakna pada hidup mereka.

Kebahagiaan yang mereka rasakan dari memberi jauh melampaui kesenangan sementara yang berasal dari memiliki barang baru.


6. Selalu Memelihara Minat dan Hobi

Orang yang bahagia meskipun hidup sederhana biasanya memiliki hobi atau minat yang membuat mereka merasa lebih hidup.

Entah itu berkebun, membaca buku, menulis, membuat kerajinan tangan, atau berolahraga, aktivitas ini memberi mereka kegembiraan dan rasa puas.

Dengan melakukan hal-hal yang mereka sukai, mereka merasa lebih bermakna dan mampu menikmati hidup meski tanpa banyak uang.

Misalnya, seseorang mungkin merasa bahagia hanya dengan menghabiskan waktu di kebun kecilnya, menanam bunga atau sayuran.

Orang lain mungkin menemukan kegembiraan dalam membaca buku-buku favorit mereka di sore hari.

Hobi-hobi ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membantu mereka untuk tetap terhubung dengan diri sendiri dan menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia.


7. Memilih untuk Bahagia, Apa Pun Keadaannya

Kebahagiaan adalah pilihan, dan orang-orang yang hidup bahagia dalam kesederhanaan memahami hal ini dengan sangat baik.

Mereka tidak menunggu kondisi sempurna untuk merasa bahagia. Sebaliknya, mereka memilih untuk bahagia dengan apa yang ada yang mereka miliki sekarang.

Sikap ini memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih mudah dan terus menemukan alasan untuk tersenyum setiap hari.

Mereka percaya bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan. Dengan menerima hidup apa adanya dan berfokus pada hal-hal positif, mereka menciptakan kehidupan yang penuh makna.

Mereka tidak membandingkan hidup mereka dengan orang lain, tetapi fokus pada pertumbuhan dan kebahagiaan pribadi.

Dengan pola pikir ini, mereka menemukan kekuatan untuk menjalani hidup dengan hati yang penuh syukur dan jiwa yang damai.

Vindi Rayinda Ayudya
Penulis dan Kreator Digital
JawaPos.Com, 21 Januari 2025

Friday, December 27, 2024

Pak Gun, Kesederhanaan Guru Besar dan Sang Khatib


Jalan Kauman Jogja, 1992. Rapat rutin Rabu malam berlangsung di kantor Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) DIY. Sebagai pengurus baru ikutan aku menyimak pembicaraan para senior yang selalu hangat. Beberapa dari mereka aku kenal sebelumnya. Mereka kakak kelasku di SMA Muhi, seniorku di IPM, atau orang Kauman dimana aku pernah kos beberapa waktu. Ketua kami Kang Azman dan Kang Isnawan misalnya adalah alumni Muhi orang Kauman. Tetapi satu pengurus masih baru bagiku. Beliau humoris tetapi ketika berbicara selalu konseptual. Maklum beliau juga akademisi. Tentang beliau aku bercerita kali ini. Tentang seorang tokoh yang multi talenta tetapi tetap bersahaja. Nama lengkapnya Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM, ASEAN Eng. Selanjutnya dalam tulisan ini aku tulis Pak Gun saja.

Aku kenal Pak Gun agak belakangan. Meski kami sesama alumni Muhi dan beliau juga orang Kauman. Beliau terlalu senior di atasku. Ketika aku masuk Muhi pada 1982 beliau sudah lama lulus dan kuliah di Fakultas Pertanian UGM. Ketika kos di Kauman dan menjadi jamaah Masjid Gedhe pada era 1984-1985 aku belum lagi kenal beliau yang juga jamaah aktif Masjid Gedhe. Ketika aku aktif di IPM di Jogja beliau sudah menjadi aktivis IMM di UGM. Ketika aku menjadi dosen baru di Fakultas Agama Islam UMY beliau sudah menjadi dosen senior dan pimpinan di Fakultas Pertanian UMY. Pemuda Muhammadiyah menjadi ajang yang mendekatkan aku dengan beliau. Meski belum dekat-dekat amat. Beliau kan pengurus senior dan aku baru anak bawang yang masuk gerbong kepengurusan di tengah periode berjalan.


Tetapi belakangan beberapa irisan kegiatan membuat aku merasa lebih dekat dengan Pak Gun. Misalnya di Majelis Pustaka PP Muhammadiyah dimana aku anggota ikutan dan Pak Gun wakil ketuanya. Ketuanya adalah senior kami Pak Abuseri Dimyati yang juga dekanku di FAI UMY. Kedekatan personal membuat Pak Gun mempercayakan penyelenggaraan qurban beliau sekeluarga padaku. Selama bertahun-tahun sapi qurban keluarga beliau sebagai warga Kauman disalurkan ke jamaah Masjid Darussalam Ngampilan tempat aku lama berdomisili. Uniknya beliau sekeluarga terkadang tidak mengambil bagian sohibul qurban. Sepenuhnya diserahkan kepada jamaah. Setelah aku pindah domisili daging qurban keluarga Pak Gun menjangkau jamaah kami di Masjid Iman Wijaya di Gonjen, Tamantirto, Ringroad Selatan Jogja. Bahkan sampai kini.

Pak Gun adalah tokoh multi talenta. Tentu saja beliau adalah seorang akademisi. Bidang keahlian beliau adalah ilmu tanah. Sejak awal beliau memang sudah memilih jurusan IPA di SMA Muhi. Pada 1979 beliau kuliah S-1 di Fakultas Pertanian UGM. Setamat dari UGM Pak Gun sempat bekerja di perusahaan perkebunan di Bengkulu. Sejak 1986 beliau masuk dunia kampus dengan menjadi dosen PNS yang ditempatkan di Fakultas Pertanian UMY. Pak Gun lalu melanjutkan studi S-2 di almamaternya dan memperoleh gelar Doktor dari Universitas Padjajaran Bandung. Di dunia kampus, Pak Gun banyak terlibat sebagai pimpinan dari level Prodi sampai Universitas. Pak Gun pernah menjadi Wakil Dekan, Direktur Pasca Sarjana, dan menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik. Sejak November 2021 Pak Gun menyandang jabatan fungsional sebagai Guru Besar atau Profesor.

Pak Gun bersama teman-teman SMA MUHI Yogyakarta.

Pada periode 2017-2025 Pak Gun menjadi rektor UMY dua periode. Pada masa ini UMY menghadapi tantangan yang sangat berat. Kompetitor makin banyak. Sedangkan masyarakat tidak melihat kualitas berdasar akreditasi BAN. Mereka masih silau dengan status negeri sebuah perguruan tinggi. Maka calon mahasiswa baru PTS makin kecil karena dihisap hampir habis oleh perguruan tinggi negeri (PTN). Terutama PTN Berbadan Hukum. Maka sejak 2022, UMY dan semua PTS mengalami penurunan jumlah pendaftar mahasiswa baru. Tetapi Pak Gun menegaskan, UMY tetap optimis. Beliau berhasil meningkatkan kinerja banyak unit dan menjalankan efisiensi. Buktinya kinerja rata-rata unit mencapai 80 persen dengan serapan anggaran hanya 66 persen. Pak Gun juga berhasil membawa UMY melewati masa-masa sulit akibat Pandemi Covid 19.

Selama dua periode memimpin UMY Pak Gun memiliki gaya kepemimpinan yang menarik. Bagi banyak dosen dan karyawan, pada periode pertama, Pak Gun memimpin dengan gaya keras. Beliau tidak segan menegur dosen maupun staf yang tidak fokus. Meski sebagai PNS beliau memimpin UMY seakan sebagai dosen yayasan yang hidupnya tergantung pada maju mundurnya UMY. Untuk itu beliau menetapkan IKS bagi setiap dosen, Prodi, Fakultas, maupun Universitas. Dengan sistem infromasi manajemen yang terukur, Pak Gun berhasil membawa UMY leading. Bukan hanya di level Jogja tetapi juga di level nasional. Tetapi pada periode kedua Pak Gun nampak lebih humanistik. Beliau berhasil membawa UMY siap berlaga pada level dunia dengan gaya kepemimpinan yang lebih lembut. Sisi kehangatannya sebagai pecinta seni lebih nampak.

Pak Gun yang multi talenta.

Sesungguhnya Pak Gun memiliki darah seni yang kuat. Dalam seni beladiri Pak Gun adalah pemegang sabuk hitam. Ini membuat beliau pemberani. Ketika ada gejolak mahasiswa Pak Gun tidak ragu untuk terjun langsung ke lapangan. Dalam seni suara beliau seorang pianis. Tentu beliau juga penikmat lagu. Grup band favoritnya adalah The Queen yang legendaris itu. Salah satu lagu favoritnya adalah Mustafa Ibrahim. Pada suatu waktu Pak Gun sebagai Rektor menghadiri acara di Sportorium UMY. Di hadapan ribuan hadirin Pak Gun dengan fasih menyanyikan sebuah lagu favorit. Darah seni ini nampaknya diwarisi Pak Gun dari ayahnya yang dikenal sebagai pencipta Sang Surya mars Muhammadiyah yang sangat menggugah. Maka sudah tepat pada periode Muktamar ke-49, Pak Gun dipercaya memimpin Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pak Gun terlahir sebagai anak tokoh. Tetapi tidak banyak orang tahu tentang ini. Ayah beliau H. Djarnawi Hadikusuma adalah tokoh Muhammadiyah yang lama berkiprah di jajaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Beliau pernah menjadi Sekjen maupun Ketua PP Muhammadiyah. Sebagaimana disebutkan di atas Pak Djarnawi adalah pencipta lagu Sang Surya. Tetapi Pak Djarnawi juga seorang politisi tangguh. Pada masa Orde Baru di kalangan keluarga besar Muhammadiyah berdiri partai politik Parmusi. Pak Djarnawi menjadi Ketua Umumnya. Tetapi ini tidak berlangsung lama. Kepemimpinan beliau dikudeta dan digantikan tokoh kontroversial yang bisa dikendalikan penguasa. Pak Djarnawi juga seorang intelektual dan penulis produktif. Tulisan serta buku beliau banyak dan bernas. Salah satu buku beliau yang aku koleksi berjudul Matahari-Matahari Muhammadiyah.


Pak Djarnawi sendiri juga anak seorang tokoh. Ayah beliau Ki Bagus Hadikusuma adalah pahlawan nasional. Ki Bagus adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah ketika Indonesia baru merdeka. Saat itu terjadi debat sengit di kalangan tokoh bangsa terkait dasar negara Indonesia. Ki Bagus dikenal sebagai perumus Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi jalan tengah dan menjadi rumusan Pancasila seperti yang dikenal saat ini. Jadi Pak Gun memiliki darah ketokohan yang tidak ditonjolkannya. Pada nama beliau tidak dicantumkan nama besar Hadikusuma yang berhak beliau warisi. Beliau bangga dengan namanya sendiri Gunawan Budiyanto. Di atas itu semua Pak Gun bergaya hidup sangat sederhana. Tentu untuk ukuran beliau sebagai seorang tokoh, Rektor, dan Profesor.

Masjid KHA Dahlan Kampus Terpadu UMY, Jumat 20 September 2024. Shalat Jumat dimulai, khatib naik ke mimbar, dan aku pun terkejut. Sang Khatib adalah sahabat senior yang sudah puluhan tahun aku kenal. Tetapi aku hanya tahu beliau sebagai akademisi, berjiwa seniman, dan bergaya komunikasi egaliter. Inilah pertama kali aku menyaksikan beliau khutbah Jumat. Isi khutbah beliau sangat berisi. Tentang Revolusi Industri R-4 dalam kaitannya dengan agama dan kemanusiaan. Bagiku ini kejutan karena kini beliau bisa aku panggil Pak Khatib. Beliau adalah Prof Gunawan yang aku ceritakan di atas. Beliau segera mengakhiri periode keduanya sebagai rektor UMY. Setelah sukses membawa UMY ke level dunia tentu beliau tidak kekurangan kesibukan. Banyak orbit lain yang siap menjadi ajang kiprah beliau. Salah satunya adalah menjadi khatib tetap Masjid Gedhe Kauman Jogja.

Gedung Pascasarjana UMY, 24 Desember 2024

Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si
Lektor Kepala Program Studi Magister Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

https://www.facebook.com/mahli.tago