Friday, November 14, 2025

Pahlawan Kesiangan


Di tengah riuh rendah metropolitan Jakarta —di mana gedung-gedung kaca menjulang bagai prasasti modernitas, dan lampu-lampu kota menyala tanpa jeda seperti kesibukan manusia— kita menyaksikan sebuah ironi yang berulang dari masa ke masa: lahirnya pahlawan kesiangan.

Mereka bukan tokoh epik dari syair kuno, bukan pula figur heroik dalam buku sejarah. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang baru terbangun dari tidur panjang ketidakpedulian, setelah malapetaka telanjur merenggut banyak hal yang seharusnya dapat dicegah.

Fenomena ini, seperti dikemukakan Zygmunt Bauman dalam gagasan liquid modernity-nya, adalah gejala masyarakat cair —masyarakat yang terfragmentasi, rapuh, dan sering terlambat menyadari bahwa solidaritas hanya muncul ketika bencana telah memaksa kita untuk saling menggantungkan diri.


I. Banjir, Media Sosial, dan Cerita Kepahlawanan
Bayangkan sebuah kampung kumuh di bantaran Ciliwung. Setiap musim hujan, air keruh naik perlahan, menenggelamkan lantai-lantai rumah yang reyot. Warga kampung telah bertahun-tahun memperingat-kan bahaya ini. Namun perhatian publik justru sibuk berkelana di dunia maya: scroll media sosial, memburu tren baru, atau memamerkan pencapaian pribadi.

Dan ketika akhirnya banjir besar itu datang menghantam —mengusung sampah, penyakit, dan kehilangan— barulah para “pahlawan” muncul. Dalam hitungan jam lahir ribuan kampanye crowdfunding, distribusi mie instan diunggah ke Instagram, dan diskusi bertema “krisis iklim” memenuhi kafe-kafe elite.

Sebuah tindakan yang baik, tentu saja. Namun satu pertanyaan tetap menggantung: "Mengapa harus menunggu air setinggi dada untuk peduli?"

Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan mereka akan membantu orang yang sedang kena musibah. Fenomena ini disebut Bystander Effect (Efek Penonton). Orang lebih suka menonton daripada menolong.

II. Bystander Effect: Ketika Semua Menunggu Orang Lain Bertindak
Dalam kajian psikologi sosial, Bibb LatanĂ© dan John Darley menyebut fenomena ini sebagai bystander effect —kecenderungan seseorang untuk tidak bertindak karena merasa “orang lain pasti akan melakukannya”.

Ironisnya, dalam masyarakat Indonesia di mana gotong royong diagungkan sebagai identitas nasional, bystander effect justru mewabah secara diam-diam.

Lihat saja isu pendidikan. Selama bertahun-tahun, jutaan anak perdesaan kekurangan guru, listrik, dan buku. Tapi kepedulian publik baru membludak ketika laporan PISA menunjukkan skor kita terjun bebas. Para pahlawan kesiangan bermunculan: mendirikan sekolah darurat, donasi buku, kampanye literasi.

Baik, tetapi tidak menyentuh akar masalah, yakni ketimpangan fiskal, distribusi sumber daya yang timpang, dan prioritas negara yang sering melenceng.


III. Apatisme Baru dan “Keburukan yang Biasa Saja”
Hannah Arendt pernah menulis tentang banality of evil —kejahatan yang terjadi bukan karena kebencian, tetapi karena ketidakpedulian yang dianggap wajar. Dalam konteks Indonesia, ketidakpedulian itu menjelma dalam bentuk apatisme kronis terhadap isu-isu lingkungan dan kemanusiaan.

Kebakaran hutan di Sumatra sudah berlangsung puluhan tahun. Aktivis lingkungan berteriak hingga suara mereka serak. Namun masyarakat baru “bangun” ketika asap menyelimuti Jakarta dan mengganggu kenyamanan hidup kelas menengah.

Mereka naik panggung digital: menandatangani petisi, memakai masker respirator, mengutuk pemerintah. Tetapi setelah asap menghilang, perhatian pun perlahan luntur, lenyap menguap entah ke mana.

Siklus pun kembali berulang.


IV. Pahlawan Kesiangan: Cermin Diri Kita
Pahlawan kesiangan sebenarnya bukan musuh. Mereka adalah cermin dari diri kita sendiri —refleksi dari sistem sosial yang semakin egois, semakin individualis, semakin sibuk dengan layar dunia maya, dan semakin jauh dari realitas di lapangan.

Clifford Geertz, melalui kajiannya tentang masyarakat Jawa, mengingatkan bahwa nilai “rukun” —harmoni sosial— adalah fondasi budaya kita. Tetapi di era urbanisasi dan digitalisasi, nilai itu terdistorsi menjadi harmoni semu: tenang di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Keterlambatan kepedulian adalah tanda bahwa kita kehilangan sesuatu yang mendasar: kepekaan sosial sebelum bencana terjadi.


V. Membangun Kepahlawanan Baru
Untuk keluar dari jebakan kepahlawanan yang terlambat (pahlawan kesiangan), kita memerlukan perubahan paradigma:

1. Empati yang diajarkan sejak dini
Bukan hanya dalam bentuk teori, tetapi melalui aksi nyata dalam keluarga, sekolah, dan komunitas.

2. Komunitas yang tangguh
Jaringan antar warga yang saling menopang sebelum negara bergerak.

3. Integrasi isu publik dalam pendidikan formal
Dari perubahan iklim, ketimpangan, hingga etika sosial —semua harus menjadi bagian dari kurikulum.

4. Transformasi budaya digital
Media sosial harus menjadi alat aksi kolektif yang positif, bukan sekadar panggung narsisme, keranjang curhat dan kemarahan sesaat.

Dengan itu semua, kita dapat menciptakan kepahlawanan baru: kepahlawanan yang hadir sebelum bencana, bukan setelahnya. Kepahlawanan yang tepat waktu, tidak kesiangan.


VI. Harapan yang Tidak Pernah Mati
Esai ini bukan kritik sinis terhadap masyarakat, melainkan seruan halus untuk membangun kesadaran kolektif. Pahlawan kesiangan adalah kisah tentang harapan yang tertunda, tetapi tetap harapan.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan moral: "Tetap tidur dalam kenyamanan kota modern, atau bangun lebih awal untuk menjadi pahlawan sejati."

Karena dalam kehidupan sosial —seperti dalam kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan politik— lebih baik mencegah daripada mengobati bukanlah pepatah kosong. Ia adalah kompas moral, pedoman tindakan, dan fondasi peradaban yang adil dan berkelanjutan.

Selama kita terus belajar bangun lebih cepat, Indonesia akan selalu punya harapan masa depan.

Catatan:
Pahlawan Kesiangan, bentuk derivative dari pahlawan
1. Orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir.
2. Orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri sebagai pejuang.

Sebuah Esai Politik Oleh drg. Madi Saputra
Diedit seperlunya Oleh Adib Susila Siraj
Sumber: https://web.facebook.com/madi.drg

Monday, October 27, 2025

Pongah Jadi Menko Tiga Kali


Tiga kali jadi Menko! Hebat, katanya. Luhut Binsar Pandjaitan tampak bangga betul dengan rekam jejaknya di kabinet: Menko Polhukam, Menko Marves, dan “Menko Segala Urusan.”

Ia menepuk dada, seolah negeri ini berdiri tegak di atas keringat dan kebijakannya. Padahal, kalau mau jujur sedikit saja, kursi-kursi empuk itu bukan hasil prestasi gemilang, melainkan hasil konspirasi elitis —persekutuan antara kekuasaan dan kekayaan. Sebuah oligarki yang merayakan dirinya sendiri.

Luhut adalah simbol sempurna dari wajah politik Indonesia hari ini: gabungan antara kekuasaan, bisnis, dan kesombongan. Dalam dirinya melebur semua itu. Ia bicara soal nasionalisme, tapi bisnisnya lintas benua. Ia mengaku cinta lingkungan, tapi konsesi tambangnya mengoyak bumi. Ia menggurui rakyat soal moral kerja keras, tapi kekayaannya tumbuh subur di lahan yang dulu hijau.


Katanya, jadi Menko itu pengabdian. Tapi rakyat tahu, pengabdian macam apa yang menghasilkan pulau-pulau nikel yang rusak, sungai-sungai yang mati, dan hutan yang tinggal legenda. Di bawah pengawasan “tangan besi”-nya, ribuan hektar hutan di Papua dan Kalimantan hilang demi sawit dan tambang. Sementara di Jakarta, ia sibuk bicara tentang ekonomi hijau dan investasi bersih. Ironis? Tidak. Itu memang jurus khas pejabat senior negeri ini: bicara etika di podium, berbisnis di belakang layar.

Tiga kali jadi Menko, tapi apa hasilnya? Ekonomi rakyat tetap saja jongkok, pengangguran masih menganga, utang menumpuk, dan kekayaan alam terus dikeruk tanpa malu. Tapi Luhut tetap pongah. Seolah negeri ini tak bisa berjalan tanpa dirinya. Ia bercerita tentang “kepercayaan presiden” seolah itu lisensi untuk kebal kritik, kebal hukum, bahkan kebal logika.

Padahal, kalau tidak karena “restu sang majikan”, mungkinkah ia bisa sekokoh itu di istana? Semua tahu, karier politik Luhut menanjak bukan karena kejeniusan ekonomi, melainkan karena kesetiaan personal —loyalitas yang dibayar dengan kekuasaan. Ia bukan teknokrat yang menumbuhkan ekonomi rakyat, tapi penjaga gerbang istana yang memastikan bisnis keluarga besar tetap aman sentosa.


Di luar sana, rakyat antri minyak goreng, harga beras melambung, listrik naik, air susah. Tapi di ruang rapatnya, angka-angka pertumbuhan ekonomi terlihat manis. Luhut tampil dengan presentasi menawan, bicara “optimisme nasional”, “resiliensi ekonomi”, “transformasi digital.” Kata-kata yang hanya indah di PowerPoint, tapi hampa di dapur rakyat.

Pongahnya luar biasa. Ketika dikritik, ia balas dengan nasihat. Ketika rakyat protes, ia bilang “jangan baper.” Seolah kritik adalah dosa, dan pejabat seperti dirinya adalah nabi yang tak boleh disentuh. Padahal, dari proyek tambang hingga bisnis karbon, semuanya berputar di lingkar yang sama: nama-nama lama, kroni lama, dan kepentingan lama. Semua terhubung rapi dalam jaringan “trust fund” kekuasaan yang tak tersentuh hukum.

Lucunya, ia sering menasihati pejabat muda agar tak serakah. Padahal siapa yang lebih serakah dari pejabat yang sudah sepuh tapi masih ingin mengatur segalanya —dari energi, tambang, pariwisata, hingga politik luar negeri. Semua ingin dikontrol. Semua ingin dipegang. Mungkin di kamusnya, “pengabdian” memang sinonim dari “kekuasaan tak terbatas.”


Kini, saat rakyat menuntut pemerintahan bersih dan transparan, Luhut malah pamer pengaruh. Tiga kali jadi Menko, katanya, itu bukti kepercayaan. Tapi kepercayaan siapa? Rakyat jelas tidak. Investor mungkin iya. Oligarki tentu saja. Ia bangga dipuji presiden, tapi lupa bahwa sejarah tak menulis gelar, melainkan jejak. Dan jejak Luhut, sayangnya, lebih banyak meninggalkan lubang daripada kesejahteraan.

Bayangkan, tiga kali jadi Menko, tapi tak ada tonggak kebijakan monumental yang benar-benar mengubah hidup petani, nelayan, atau buruh. Yang berubah justru peta konsesi tambang dan daftar perusahaan tambang nikel yang makin panjang. Semakin besar tambang, semakin dalam kantong para penguasa. Negeri ini dijual potong demi potong, dengan senyum pejabat yang berkata, “Demi kemajuan bangsa.”

Kalau tiga kali jadi Menko adalah prestasi, maka hutan-hutan yang habis, sungai yang tercemar, dan laut yang berlubang juga pantas disebut karya besar. Mungkin begitulah ukuran kebanggaan zaman ini: makin besar dampak kerusakannya, makin tinggi pangkatnya.

Luhut Binsar Pandjaitan dan menantunya, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang kini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).

Jadi, wajar kalau rakyat nyinyir. Karena di negeri yang masih banyak anak putus sekolah dan desa tanpa listrik, pejabat tua yang pongah karena jabatan tiga kali itu bukan inspirasi —melainkan ironi.

Bangga jadi Menko tiga kali? Harusnya malu! Karena jabatan tanpa manfaat rakyat, hanya akan tercatat sebagai noda sejarah. Dan Luhut, dengan segala keangkuhannya, sedang menulis bab terakhir dari sebuah era di mana kekuasaan dan keserakahan masih bersatu padu di bawah bendera “pengabdian.”

Dan ketika nanti sejarah menilai, mungkin satu-satunya kalimat yang pantas disematkan adalah ini: ia memang kuat, tapi tak bijak; ia berkuasa lama, tapi tak meninggalkan apa-apa selain kerakusan.

Syaefudin Simon
Kolumnis
https://web.facebook.com/eldin.ibnuathiyyah

Tuesday, October 21, 2025

Budaya Baca Bangun Otak Cerdas


Kemampuan membaca bukan bawaan lahir. Otak manusia tidak dirancang untuk itu. Kemampuan itu ialah penemuan budaya yang baru. Tidak ada jalan pintas membangun sirkuit membaca. Belajar membaca ialah rekayasa otak.

Di zaman AI ini, membaca semakin penting. Dunia baru saja merayakan Laszlo Krasznahorkai. Sastrawan Hongaria itu meraih Hadiah Nobel Sastra 2025.

Karyanya disebut 'visioner' dan 'mengukuhkan seni'. Karya tulis epik ialah buah dari tradisi membaca yang kuat. Sementara itu, kita masih menghadapi minat baca yang lemah dan rendah. Paradoks itu mengandung sebuah pelajaran berharga.

Laszlo Krasznahorkai, "Ahli Kiamat" Hongaria. Peraih Nobel Sastra 2025.

Membaca memaksa otak membangun jaringan saraf baru. Jaringan itu meminjam sistem bahasa lisan. Juga meminjam sistem penglihatan yang sudah ada. Proses itu mengubah struktur fisik otak kita. Area temporal superior memproses fonem. Area itu ialah unit suara terkecil dalam bahasa. Visual word form area (VWFA) mengenali huruf. Area itu hanya aktif pada orang yang bisa membaca. Itu membuktikan area tersebut dibentuk oleh pengalaman.

Pembaca pemula memulai dengan proses decoding. Mereka memetakan huruf ke suara yang sesuai. Lalu menggabungkan suara menjadi sebuah kata. Proses itu membutuhkan koordinasi visual yang baik. Juga membutuhkan koordinasi auditori dan kognitif. Latihan terus-menerus membuat mata lebih lancar. Perlahan pemrosesan kata menjadi otomatis. Tujuan akhirnya ialah pemahaman lancar tanpa hambatan.


Tantangan Literasi Kita
Data kemampuan baca kita dari PISA sangat memprihatinkan. Sekitar 70% siswa kesulitan memahami ide pokok teks. Mereka bisa membaca kata-kata dengan baik. Namun, sering kali mereka buta terhadap makna. Kondisi itu diperparah dengan harga buku yang mahal. Juga masih minimnya perpustakaan yang berkualitas.

Sementara itu, media digital ditengarai memperburuk keadaan. Konten instan menghambat kesadaran fonemik. Gerakan mata menjadi terputus-putus di layar. Hal itu mengganggu perkembangan VWFA di otak. Akibatnya fondasi neural tidak terbangun dengan kukuh. Pemahaman teks pun menjadi dangkal dan cepat lupa. Mereka hanya melihat cepat, lalu cepat lupa juga.

Padahal pada era kecerdasan artifisial (AI) ini, kemampuan membaca justru semakin krusial. Mesin AI bisa meniru hasil tulisan manusia. Namun, AI tidak bisa membangun sirkuit saraf manusia. Proses decoding dan memahami teks ialah latihan kognitif. Itu merupakan latihan terbaik bagi kecerdasan kita.


Membaca karya yang kompleks melatih ketahanan kognitif. Setiap kata yang dipahami akan memperkuat jalur saraf yang ada. Hal itu niscaya akan membangun kapasitas otak untuk berpikir yang kompleks. Kemampuan itulah yang akan menjadi 'kompas nalar' di era informasi. Kita harus tahu kapan tidak menggunakan AI. Kita juga perlu paham cara kerja dan bias di balik AI. Literasi AI tidak hanya bisa menggunakannya saja. Literasi sejati berarti mampu mengkritisi hasil dari AI.

Kemampuan AI membuat tulisan tidak serta merta meniadakan perlunya kemampuan manusia menulis. Dengan adanya AI, manusia justru harus memperkuat perlunya kemampuan menulis. Dengan demikian, kemampuan membaca pun menjadi semakin penting. AI membantu orang dengan keterampilan dasar. Namun, manfaat terbesar didapat orang berkemampuan tinggi. Sama dengan kalkulator, paling berguna bagi yang mahir berhitung.


Solusi Integratif
Kembali ke masalah mendasar, yaitu minat baca. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan bersama. Pertama, pendekatan pengajaran membaca harus ilmiah. Pengajaran fonik sistematis sangat penting bagi tingkat dasar. Itu akan membangun kesadaran fonemik dasar decoding. Teks khusus perlu digunakan untuk melatih decoding. Latihan harus terus menerus dilakukan hingga prosesnya bisa berjalan otomatis. Langkah ini niscaya akan membentuk fondasi neural yang kukuh.

Kedua, gerakan perbanyak membaca buku fisik. Buku fisik mendukung fiksasi mata yang lebih stabil. Itu berbeda dengan layar digital yang penuh gangguan. Setiap halaman buku yang dibalik melatih sistem visual. Hal itu memfasilitasi pemahaman dan memori lebih baik. Otak menafsirkan teks cetak dan digital secara berbeda. Pemahaman mendalam sering kali lebih baik pada buku fisik. Membaca buku fisik juga memberikan pengalaman sensorial yang unik. Membaca buku fisik bisa menjadi bentuk digital detox sederhana. Ini adalah istirahat bagi mata dan otak kita dari paparan radiasi sinar digital.

Walaupun hanya di teras rumah, sudut kecil Library Corner ini adalah langkah jitu dalam upaya strategis membangun ekosistem literasi di lingkungan kita masing-masing.

Ketiga, ubah paradigma tentang kegiatan membaca. Membaca bukan lagi kewajiban dari sekolah semata. Membaca ialah kebutuhan jiwa dan investasi neural. Aktivitas membaca merupakan latihan otak untuk menghadapi dunia. Orang tua dan guru harus menjadi teladan hidup. Mari kita ciptakan lingkungan kaya bacaan di rumah masing-masing. Lingkungan itu harus mendukung aktivitas literasi.

Kekayaan cerita sejarah, fiksi, bahkan dongeng di Indonesia ialah modal yang amat berharga. Kita punya potensi lahirkan karya-karya yang visioner. Jadikan membaca sebagai fondasi untuk menghadapi tantangan hidup dan masa depan. Membaca memberi kita kekuatan untuk bertahan. Dengan fondasi yang kuat ini, semoga lahir aneka karya besar anak bangsa. Membaca ialah gerbang menuju bangsa yang pintar, budaya yang pandai dan peradaban yang cerdas. Itulah investasi terbaik untuk masa depan anak-cucu kita semua.

Ismunandar
Staf Ahli Menteri Kebudayaan,
Mantan Dubes/Wadetap RI UNESCO

Media Indonesia, 15 Oktober 2025