Saturday, November 7, 2009

Asal Muasal Cicak Lawan Buaya


Wawancara TEMPO dengan Susno Duadji

ISU tak sedap menerjang Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Telepon genggamnya disadap oleh penegak hukum lain. Penyadapan itu diduga terkait dengan penanganan kasus Bank Century.

Susno menyatakan dirinya tak marah atas penyadapan itu. ”Saya hanya menyesalkan,” ujarnya. Siapa penyadapnya, ia tak mau buka mulut. Lulusan Akademi Kepolisian 1977 ini menyebut penyadapan itu sebagai tindakan bodoh. Sehingga, ujarnya, ia justru sengaja mempermainkan para penyadap dengan cara berbicara sesuka hati.

Sebelumnya, polisi memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding sebagai upaya polisi untuk melumpuhkan komisi yang galak terhadap koruptor itu. Apa yang terjadi sebenarnya? Pekan lalu, wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno Duadji di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara. Berikut petikan wawancara tersebut.

Polisi dituduh hendak menggoyang KPK karena memeriksa pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan. Komentar Anda?
Kalangan pers harus mencermati, apakah karena dia (Chandra Hamzah) pimpinan KPK lalu ada masalah seperti ini tidak disidik. Katanya, asas hukum kita semua sama di muka hukum. Jelek sekali polisi kalau ada orang melanggar undang-undang lalu dibiarkan. Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional.


Apa memang ditemukan penyalahgunaan wewenang untuk penyadapan itu?
Saya tidak mengatakan penyalahgunaan atau apa. Silakan masyarakat menilai. Menurut aturan, yang boleh disadap itu orang yang dalam penyidikan korupsi. Kalau Rhani Juliani, apa itu korupsi? Dia bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan. Kalau korupsi, korupsi apa, harus jelas.

Tapi sikap Anda ini dinilai menggembosi KPK?
Kalau kami mau menggembosi itu gampang. Tarik semua personel polisi, jaksa. Nanti sore juga bisa gembos. Lalu Komisi III nggak usah beri anggaran. Kami berteriak-teriak ini supaya baik republik ini.

Kami mendapat informasi, saat diperiksa Antasari membeberkan keburukan pimpinan KPK yang lain.
Saya tidak tahu, tanya ke Antasari. Lha, sekarang kalau pimpinannya yang mengatakan lembaga itu bobrok, berarti parah, dong. Dia kan yang paling tahu. Dia kan pimpinannya.

Ada kesan polisi dan KPK justru berkompetisi, bukan bersinergi. Benar?
Tidak, yang melahirkan KPK itu polisi dan jaksa. Saya anggota tim perancang undang-undang (KPK). Kami sangat mendukung. Tapi karena opini yang dibentuk salah, seolah-olah jadi pesaing. Padahal 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) itu kan personel polisi. Penuntutnya juga dari kejaksaan. Kalau nggak gitu, ya matek (mati) mereka. Jadi, tak benar jika dikatakan ada persaingan.

Anda, kabarnya, juga akan ditangkap tim KPK karena terkait kasus Bank Century?
Ah, ya enggak, itu kan dibesar-besarkan. Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Kalau bukan mereka, siapa yang mau nangkap? Makanya, Kabareskrim itu dipilih orang baik, agar tidak ditangkap.

Kalau penyidik KPK yang menangkap?
Mana berani dia nangkap?


Karena adanya berita itu, Anda katanya marah sekali sehingga kemudian memanggil semua polisi yang bertugas di KPK?
Tidak, saya tidak marah. Mereka kan anak buah saya. Mereka pasti memberi tahu saya. Saya cuma kasih tahu kepada mereka, gunakan kewenangan itu dengan baik.

Apa benar Anda minta imbalan untuk penerbitan surat kepada Bank Century agar mencairkan uang Boedi Sampoerno?
Imbalan apa? Apanya yang dikeluarkan? Semua akan dibayar, kok. Bank itu tidak mati, semua aset diakui dan ada. Terus apa lagi yang mesti diurus? Yang perlu diurus, uang yang dilarikan Robert Tantular itu.

Jadi, apa konteksnya saat itu Anda mengirim surat ke Bank Century?
Konteksnya, saya minta jangan dicairkan dulu rekening yang besar-besar. Kami teliti dulu. Paling besar kan punya Boedi Sampoerna, nilainya triliunan rupiah. Kami periksa dulu, kenapa Boedi Sampoerna awalnya nggak mau melaporkan.

Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?
Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.

MBM TEMPO, 20/XXXVIII 6 Juli 2009

Monday, November 2, 2009

Tikus di antara Buaya dan Cicak


Penahanan Kepolisian terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terus mendatangkan gelombang protes. Fakta menunjukkan ada yang tidak tepat dan terkesan dipaksakan. Selain itu, berbau skenario tidak sedap, sehingga kalau banyak pihak menduga ada hubungan penahanan ini dengan rekaman yang beredar, boleh jadi benar adanya.

Secara yuridis dibutuhkan syarat objektif dan subjektif dalam melakukan penahanan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa. Secara objektif, seharusnya ada ketentuan pidana yang dilanggar dengan ancaman lebih dari lima tahun.

Boleh jadi, pasalnya memang ada. Tetapi, kelihatannya Kepolisian belum dapat membuktikan substansi tuduhan pasal tersebut. Kepolisian terlihat gagap menjelaskan tuduhan sesungguhnya pada dua komisioner KPK nonaktif ini.

Tuduhan berubah-ubah. Bahkan, tempat dan waktu pelaksanaan yang dituduhkan juga berubah mengiringi bantahan Bibit dan Chandra. Perubahan ini termasuk adanya pelanggaran kewenangan karena adanya penyuapan. Bahasa Kepolisian, kewenangan yang dilanggar itu karena KPK bersifat kolegial-kolektif dan karenanya semua keputusan harus diambil lima komisioner dan tidak boleh orang-per orang.

Kita tidak paham darimana Kepolisian mengambil pandangan hukum seperti itu. Karena, secara hukum sifat kolegial-kolektif itu terasa mustahil jika mau diterjemahkan sebagai paripurna seperti anggapan Kepolisian.

Pasal 21 Ayat (5) tentang kolektivitas KPK berbunyi "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif", mustahil diterjemahkan sebagai kewajiban untuk mengambil keputusan dengan lima orang. Apalagi, ada Pasal 36 huruf b yang memungkinkan keputusan tidak diambil secara kolektif. Pasal tersebut memungkinkan, jika komisioner mengalami konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan, maka komisioner yang dimaksud harus mengundurkan diri dari perkara tersebut dan berarti pengambilan keputusan tidak dilakukan secara lengkap oleh lima orang.


Bahkan, dalam klausula Pasal 36 huruf b ini membuka kemungkinan cuma tersisa satu orang yang mengambil keputusan. Berarti logika jumlah adalah logika yang keliru. Yang paling mungkin adalah pengambilan keputusan secara kelembagaan sebagai penerjemahan kolegialitas dan kolektivitas KPK. Sepanjang itu diambil secara lembaga, sebagai keputusan lembaga, maka walau dua orang tetap saja merupakan keputusan kelembagaan yang sah.

Tuduhan penyuapan pun terasa aneh dan ganjil. Bukan hanya karena memang ada kreasi di rekaman yang beredar perihal itu, tetapi juga karena tuduhan Kepolisian terhadap mereka sudah dibantah oleh yang bersangkutan, yakni orang yang dalam skenario Kepolisian menjadi pembawa uang suap. Ia jelas-jelas membantah dan mengatakan tidak melakukan seperti yang terskenario dalam tuduhan Kepolisian atas Bibit dan Chandra. Herannya, Kepolisian tetap "maju tak gentar", bahkan dengan fakta-fakta yang gagap untuk dijelaskan.

Hal yang sama terlihat pada alasan subjektif penahanan. Pasal 21 Ayat (1) KUHAP menyebutkan,"Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana."


Sulit untuk mengatakan Bibit dan Chandra mau melakukan satu di antara ketiga alasan subjektif penahanan tersebut. Jika ingin melarikan diri, fakta mengatakan ia sudah dicekal. Jika ingin mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti, kedua komisioner ini telah diberhentikan sementara dari KPK, sehingga jika memang tuduhan atas keduanya berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki, maka mustahil keduanya mampu mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti dari kewenangan yang dihasilkan dengan bekerja sebagai komisioner.

Lebih lucu lagi, Kepolisian kemudian memasukkan unsur melakukan penahanan karena Bibit dan Chandra sering melakukan penggalangan opini publik. Mengherankan, dalam memperkarakan Bibit dan Chandra, Kepolisian terlihat seperti membela kepentingan koruptor yang sudah lari ke luar negeri, dan melakukan penahanan karena tak ingin Bibit dan Chandra memperjuangkan keyakinan dan kepentingannya.

Pertanyaannya, mengapa mereka tetap dipaksakan untuk ditahan? Padahal secara yuridis terasa aneh, ganjil, dan berbau tidak sedap.

Kerja Tikus
Yang paling harus kita waspadai adalah adanya kemungkinan kerja tikus di antara konflik besar buaya dan cicak ini. Rasanya terlalu aneh jika Kepolisian yang merupakan lembaga penegak hukum dengan mudah membuat kesalahan-kesalahan yuridis seperti di atas. Rasanya, agak mustahil Kepolisian tidak mengerti, tidak paham, lalu melakukan kekeliruan, sehingga gagap menjelaskan penahanan Bibit dan Chandra, kecuali ada kerja tikus yang invisible.

Apalagi, kalau memori kita susun dengan melihat secara jeli serangan-serangan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi beberapa bulan atau beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun belakangan, banyak dihiasi upaya menghancurkan UU KPK melalui judicial review, bahkan menghalang-halangi pembentukan aturan perihal kelengkapan alat pemberantasan korupsi.


Dalam beberapa bulan belakangan, serangan tidak kalah gencar juga terjadi. Ada beberapa hal yang belum jelas dan hingga kini belum terjawab, misalnya di balik kekeuh-nya BPKP untuk masuk dan segera melakukan audit atas KPK. Hingga saat ini, kita tidak jelas, antara memang diperintahkan oleh Presiden ataukah hanya inisiatif BPKP. Ketidakjelasan itu semakin mengundang kecurigaan publik. Jangan-jangan ada peran tertentu yang dimainkan untuk mematikan pemberantasan korupsi.

Karenanya, patut diwaspadai adanya peran pihak ketiga dalam konflik yang semakin meruncing antara buaya dan cicak ini.

Sejujurnya, jika kita analisis maka yang paling diuntungkan dari konflik ini adalah para tikus-tikus koruptor. Mereka kelihatan tidak lagi terurus karena adanya konflik ini. KPK belakangan dipaksa untuk lebih sibuk dan bertahan menghadapi kemungkinan kriminalisasi terhadap dirinya. Praktis, hampir tidak ada lagi koruptor yang sedang dikejar KPK. KPK lebih banyak bertahan daripada menyerang. KPK mengalami kesulitan menghajar tikus karena terlalu banyak serangan atas dirinya.

Hal yang sama mungkin juga terjadi pada Kepolisian dan Kejaksaan. Boleh jadi, kedua lembaga ini tetap saja bekerja melakukan pemberantasan korupsi, tetapi banyak hal yang mengakibatkan kualitasnya dipertanyakan. Apalagi, jika rekaman yang beredar selama ini memang benar adanya, maka kepercayaan itu akan semakin runtuh dan boleh jadi tidak akan berbekas sama sekali.


Karenanya, sekali lagi harus diingatkan, jika analisis dengan pertanyaan, "Who got the cheese?” (siapakah yang paling diuntungkan?) dari kasus ini, sangat besar kemungkinan jawabannya adalah para tikus. Merekalah pemenangnya, jika perseteruan ini berlanjut tanpa ujung. Boleh jadi merekalah yang merekayasa perseteruan ini. Karenanya, mari kita bersatu melawan ketidakadilan bagi pelaksana pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya menggebuk tikus-tikus yang berdiri di antara buaya dan cicak.

Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
suarapembaruan.com, 2 November 2009

Sunday, November 1, 2009

KASUS CENTURY: Skandal Terbesar sejak Reformasi


Kasus Bank Century merupakan skandal terbesar sejak reformasi. Apabila kasus Bank Bali merugikan uang negara di bawah Rp 1 triliun, kasus Bank Century menyedot uang negara sampai Rp 6,7 triliun.

Calon presiden dalam Konvensi Dewan Integritas Bangsa, Yuddy Chrisnandi, mengingatkan hal itu saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat (30/10). ”Ini jelas sebuah kejahatan pemerintah,” kata Yuddy.

Sebuah bank kecil, tetapi diberikan fasilitas mendapatkan dana penyehatan Rp 6,7 triliun, menurut Yuddy, jelas menunjukkan kejanggalan. Apalagi pemberian dana yang sangat besar itu pun dilakukan tanpa melalui sepengetahuan publik, yaitu tanpa melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

Uang negara yang merupakan jerih payah seluruh rakyat tidak bisa serta-merta diserahkan pemerintah kepada bank swasta dengan cara seperti itu. Pemerintah berarti telah mengingkari adanya otoritas rakyat dan seolah-olah tidak ada rakyat.

Sejauh ini pemerintah tidak menunjukkan adanya itikad yang kuat untuk mengusut siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, bahkan cenderung menutup-nutupi. ”Ini sebuah skandal terbesar di era reformasi,” ujar Yuddy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009.

Kumpulkan data
Sampai kemarin Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR terus mengumpulkan data-data untuk memperkuat usulan penggunaan hak angket atau penyelidikan.

”Bahan-bahan sudah begitu banyak. Data di Komisi XI juga sudah lengkap. Banyak juga faksimile yang sudah masuk. Kami juga sudah bertemu dengan ahli perbankan, ahli ekonomi, hukum, dan lainnya. Minggu depan kami juga akan menerima para nasabah Century yang meminta bertemu,” papar Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo.

Dengan terkumpulnya banyak data tersebut, Tjahjo berkeyakinan sebelum masa sidang DPR berakhir, yaitu 5 Desember 2009, usulan hak angket sudah dapat disampaikan ke pimpinan DPR.


Karena syarat pengajuan angket harus diusulkan paling tidak 25 anggota DPR yang berasal lebih dari satu fraksi, maka Tjahjo Kumolo berharap fraksi lain juga turut mendukung. Dia berkeyakinan fraksi lain akan mendukung karena rakyat menghendaki kasus ini diusut tuntas.

”Semua anggota DPR itu, kan dari fraksi mana pun. Pasti punya rakyat yang diwakilinya di daerah pemilihan masing-masing,” paparnya. Penggunaan hak angket juga bukan sekedar mencari-cari siapa yang salah, tetapi justru untuk mengusut persoalan ini agar jadi lebih jelas, tidak mengambang seperti sekarang.

Rapat gabungan Century
Rapat internal Komisi III DPR, pekan lalu, mengusulkan diadakannya rapat gabungan dengan Komisi XI untuk membahas persoalan Century. Namun, dalam Rapat Badan Musyawarah, hari Kamis, hal itu belum diagendakan.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, yang terus mendorong agar kasus Century diselidiki secara tuntas pun merasa heran dengan hal itu. ”Ini aneh karena Komisi III sudah mengusulkan,” ucapnya.

KOMPAS, 31 Oktober 2009