Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Tuesday, October 14, 2008
Friday, October 3, 2008
Krisis Keuangan Global

Banyak warga kaya, yang mempunyai uang lebih, menanamkan dana lewat lembaga keuangan asing. Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam memilih produk investasi asing lewat agen asing adalah brand, yang dianggap jaminan mutu.
Di Indonesia, Citibank misalnya, dipersepsikan sebagai jaminan mutu di tengah rimba kegelapan, akibat minimnya pengetahuan warga kaya soal keamanan investasi. Postulat ini telah gugur, setidaknya untuk sementara dan setidaknya di mata sejumlah nasabah Citibak yang termakan “rayuan” untuk membeli surat-surat berharga terbitan Lehman Brothers.
Tigor M Siahaan, Direktur Pelaksana dan Manajer Bisnis Citibank Indonesia, mengatakan, Citibank bukan penjamin, tetapi hanya sebagai penjual produk Lehman (Kompas, edisi 24 September).
Ke depan, penyandaran kepercayaan yang didasarkan pada citra tidak bisa dilakukan lagi tanpa reserve. Bukti sudah banyak, citra, brand tidak lagi bisa dipakai secara membabi buta. UBS, Societe Generale, Lehman Brothers, AIG, Merrill Lynch, terbukti terjebak dalam investasi di sektor perumahan Amerika Serikat.
Nama-nama besar itu, kampiun keuangan dunia, tidak lagi bisa dipercayai begitu saja. Para nasabah dunia juga sudah ada yang menarik sebagian dananya dari pasar. Financial Times edisi 24 September, dengan mengutip Citigroups, menyebutkan 600 miliar AS dana telah ditarik pemiliknya dari pasar. Hal ini akan berdampak pada terganggunya aktivitas perekonomian global.
Kini pemodal hanya menanamkan dana di produk yang dianggap sebagai super aman karena tidak ada jaminan keamanan investasi.
Mengapa tak ada jaminan?
Sebuah revolusi ekonomi, dimulai dari era almarhum Presiden Ronald Reagan. Presiden ini meyakini, sesuai dengan opini Chicago boys (alumnus University of Chicago), pasar akan bergerak lebih dinamis dan fleksibel jika tidak diatur. Dengan kata lain, peran dan keberadaan birokrasi justru menjadi beban dan penghambat fleksibilitas pasar dan ekonomi.
Opini ini mengalahkan pandangan para ekonom MIT, yang memilih regulasi pasar. Alasannya, ada premis-premis yang tidak dipenuhi oleh pasar, yakni unsur kerakusan, yang bisa membuat pelaku pasar, termasuk pelaku di sektor keuangan, mengumbar nafsu, ingin meraup untung dengan berjudi di produk-produk spekulatif. Hal seperti ini dengan jelas pernah dikritik Joseph E Stiglitz, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, ketika berbicara soal kemunafikan AS di pasar uang.
Muncullah dotcom-dotcom di akhir era 1990-an, yang dibuat jadi tambang untung, ternyata kemudian membuat dana-dana buntung. Lalu muncullah sektor perumahan AS, yang sejak 2001 dipoles sedemikian rupa seolah-olah menjadi sarana investasi paling menggiurkan. Terlalu banyak dana dialokasikan ke sektor perumahan hingga akhirnya jenuh. Harga rumah anjlok dan sebagian dana yang dialokasikan barangkali tak akan pernah kembali dan kemudian menjadi pemicu krisis.
Menurut Gubernur Bank Sentral Italia Mario Draghi, perbankan dunia membutuhkan suntikan modal sekitar 350 miliar dollar AS karena kerugian di sektor perumahan AS. Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss Kahn mengatakan, perbankan dunia membutuhkan suntikan modal baru sekitar 500 miliar dollar AS.
Menurut Draghi, tak semua bank berhasil mendapatkan dana tersebut. “Sejumlah perbankan akan bangkrut dan mungkin ada yang berhenti beroperasi,” kata Strauss Kahn.
Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan besar nasabah, termasuk nasabah di Indonesia juga akan menjadi korban, sebagaimana korban Lehman Brothers.
Pilihannya adalah, pikirkan kembali keamanan investasi Anda, atau tariklah dana-dana itu jika masih mungkin untuk sementara, dan relalah mendapatkan keuntungan yang lebih kecil, tetapi yang pasti dana selamat.
Alasannya, otoritas Indonesia juga tidak mengatur produk-produk, yang oleh media asing disebut sebagai toxic. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Hadad, mengatakan, BI segera menerbitkan peraturan soal produk asing yang akan memberi panduan. Namun jangan lupa, BI hanya sebatas melakukan itu, bukan menjamin.
Jerman berang
Bukan hanya nasabah korban, Jerman pun berang dan menyalahkan AS yang dituding menyebabkan krisis keuangan global. AS membiarkan keserakahan demi meraup untung besar tanpa kontrol lewat pengaturan di pasar uang, yang menyebabkan praktik penipuan bermunculan.
“Krisis telah menyebabkan dua sisi Atlantik terjebak,” kata Menkeu Jerman Peer Steinbrueck seraya menambahkan, krisis itu akan membuat AS kehilangan status sebagai superpower sektor keuangan. Dia juga meramalkan, yen, euro, yuan akan menandingi reputasi dollar AS.
Begitu goyah dan rapuhnya sektor keuangan, sehingga Gedung Putih buru-buru mengajukan paket penyelamat sektor keuangan, dengan menyuntikkan dana 700 miliar ke korporasi keuangan AS yang sakit-sakitan. Hal ini mendapatkan perlawanan keras di Kongres AS, yang seharusnya segera melahirkan undang-undang untuk peluncuran penalangan itu.
Lagi, di harian Financial Times, edisi 24 September, George Soros, menulis secara terang-terangan, bahwa penalangan jangan diberikan begitu saja. Harus ada kejelasan bahwa korporasi keuangan tidak lagi melakukan kesalahan lama. Juga harus ada kejelasan bahwa dana talangan itu harus kembali suatu saat di kemudian hari.
Simon Saragih
KOMPAS, 28 September 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)