Saturday, July 31, 2021

Selamat Jalan Dokter Fauzi, “Laskar Jihad Muhammadiyah”


Ahad pagi, 11 Juli 2021, kuterima kabar duka itu: dokter Fauzi, putra mantan ketua umum Muhammadiyah KH AR Fachruddin, meninggal dunia.

Innalillahi wainnailaihi rajiun ….

Dokter spesialis anestesi itu sosok yang unik dan menarik: sehari-hari ia berpenampilan sebagai aktifis salafi, dengan baju gamis dan peci warna putih dan jenggot menjurai panjang. Jauh dari kesan sebagai putra tokoh legendaris Muhammadiyah yang terkenal karena sikap moderatnya itu, Pak AR. Dan memang meski lahir dan besar di lingkungan Muhammadiyah, ia belakangan aktif di gerakan salafi dan bahkan ikut berjihad bersama "Laskar Jihad" ke Maluku pada saat konflik komunal agama bergelora di sana.

Bagaimana transformasi personal itu bisa terjadi?

KH AR Fachruddin (Pak AR), ayahanda dari dokter Fauzi.

Fauzi lahir pada 1956 sebagai anak keenam dari tujuh putra-putri Abdul Razak Fachruddin, karib dipanggil Pak AR, ketua umum Muhammadiyah pada 1968-1990. Dia tumbuh di Kauman, Yogyakarta, sebuah kampung yang menjadi basis gerakan Islam Muhammadiyah.

Namun, semasa kuliah di Fakultas Kedokteran UGM, Fauzi justru sempat menjadi aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kok aneh? Dia mengatakan, itu merupakan sebentuk perlawanan terhadap perilaku "bossy" sejumlah aktifis senior HMI yang dikenalnya.

Menurut dia, dia mewarisi darah pemberontak dari kakeknya, Kiai Fachruddin, seorang ulama Keraton Pakualaman yang menolak bekerja sama dengan Belanda pada masa kolonial.

Mengaku gemar berkelahi sejak kecil, Fauzi belakangan menjadi aktifis politik dan akhirnya menjadi ketua umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 1997 hingga 2003.

Dokter Fauzi, di antara PPP, PAN dan Laskar Jihad.

Salah satu sikap politiknya yang fenomenal pada masa itu adalah: ia menolak menjadi anggota DPRD; ia berfokus pada tugasnya sebagai ketua partai.

Pada masa kritis menjelang transisi politik tersebut, ia menjadi loyalis dan merupakan salah satu tokoh kepercayaan Dr Amien Rais, ketua umum Muhammadiyah waktu itu, seorang tokoh gerakan reformasi di Indonesia. Pada saat itu, Amien gencar meluncurkan isu urgensi reformasi politik, termasuk menuntut Soeharto turun dari kekuasaan.

Fauzi berharap besar kepada politik, tetapi kemudian dikecewakannya.

Ketika gerakan reformasi sukses menurunkan Soeharto dari tampuk kekuasaan, ia mendorong Amien Rais tampil sebagai pemimpin Islam melalui partai Islam. Tapi, Amien memilih jalan lain; ia mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) —sebuah partai sekuler, dalam pandangan Fauzi. Amien Rais yang semula dipandangnya sebagai sosok pahlawan belakangan dilihatnya sebagai "pengkhianat".

Maka dokter Fauzi pun “berpindah ke lain hati”. Imajinasi politik Islam penuh heroisme yang dimilikinya tertambat pada sosok aktifis muda Islam radikal yang tengah menonjol pada saat itu: Ja’far Umar Thalib (JUT). Seorang aktifis salafi dan alumnus perang jihad Afghanistan yang belakangan mendirikan Laskar Jihad, sayap paramiliter dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ).

Noorhaidi Hasan dan bukunya tentang Laskar Jihad.

Ulasan lebih lengkap dan mendalam Laskar Jihad dan JUT bisa ditemukan pada disertasi yang ditulis oleh Noorhaidi Hasan berjudul “Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia” yang diterbitkan oleh Cornel University Press pada 2006.

Demikianlah: Fauzi rajin mengikuti pengajian yang dilakukan oleh Ja’far sejak 1998, bahkan mengadakan kajian rutin di rumahnya. Ketika konflik komunal agama meletus di Maluku pada awal Januari 1999 dan Ja’far Umar Thalib mendirikan Laskar Jihad, maka Fauzi termasuk salah seorang penyokong kuatnya, baik secara politik maupun finansial.

Lulus sebagai dokter spesialis anestesi dari UGM sejak 1995, Fauzi tentu berpenghidupan lebih dari cukup.

Bahkan, akhirnya dokter Fauzi ikut dalam rombongan Laskar Jihad yang berangkat ke Maluku pada tahun akhir 2000. Meski berangkat sebagai anggota tim medis, Fauzi ikut di medan pertempuran yang terjadi di Desa Iha dan Sirisori Islam, Pulau Saparua, Maluku.

Dalam pertempuran, Fauzi sempat terkena tembakan dari musuh yang mengenai pantatnya dan membuat hancur dompetnya. Namun, alhamdulillah, dia selamat dan hanya mengalami luka ringan.


Saya bertemu dan kenal baik dengannya ketika melakukan riset untuk kajian doktoral saya di Universitas Amsterdam pada tahun 2006-2010.

Serangkaian wawancara mendalam dan biografis yang saya lakukan terhadapnya, termasuk beberapa kali mengikuti pengajian bersama jamaah salafi di rumahnya di jalan Godean, kemudian menjadi salah satu narasi yang muncul dalam disertasi saya yang berjudul “After Jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics in Indonesia” yang rampung pada 2011. Tulisan ini merupakan petikan kecil dari narasi dalam disertasi itu.

Dalam manuskrip disertasi tersebut saya memberikan "label" pada dirinya sebagai “the ‘maverick’ post-jihadist”. Menurut Cambridge Dictionary, maverick berarti: “a person who thinks and acts in an independent way, often behaving differently from the expected or usual way” (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/maverick).

Mungkin kita mengalihbahasakan maverick menjadi nyeleneh dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Saya menyebut dokter Fauzi sebagai "(post-)mujahidin nyleneh" karena sejumlah alasan: pertama, dia seorang perokok berat. Dalam sehari ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok —salah satu merek favoritnya Dji Sam Soe.

Pojok kanan atas: Pak Jokowi bertamu ke rumah dokter Fauzi.

Di kalangan salafi, merokok termasuk perbuatan yang diharamkan. Namun, Fauzi terus saja merokok meskipun berada di depan ulama salafi, termasuk di depan Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib. "Tidak ada yang bisa melarang saya merokok," ujarnya suatu ketika.

Kedua, dia tidak mau terlibat dan terjerat dalam fragmentasi dan faksionalisasi di kalangan jamaah salafi pasca-Laskar Jihad. Seperti diulas secara mendalam oleh Noorhaidi Hasan (2006), pascakonflik Maluku, Laskar Jihad dibubarkan menyusul fatwa ulama dari Arab Saudi dan Yaman yang menganggap kewajiban jihad telah selesai karena redanya gelombang peperangan di sana.

Bahkan, Ja’far Umar Thalib diekslusi dan di-ekskomunikasi dari mainstream jamaah salafi karena dianggap melakukan sejumlah penyimpangan saat memimpin Laskar Jihad. Namun, Fauzi tetap hormat dan berhubungan dekat dengan JUT.

Tapi, pada saat bersamaan, yang saya temui malah ia mengundang sejumlah ustadz salafi penentangnya dalam pengajian di rumahnya. Apa responsnya terhadap fragmentasi itu? “Itu masalah di antara sesama orang Arab, saya tidak mau ikut-ikut,” ucapnya secara berkelakar sembari tertawa.

Pak Jokowi bertamu ke rumah dokter Fauzi jelang Pilpres 2014.

Alasan berikutnya, dan mungkin terpenting, adalah keterlibatannya dalam dunia politik yang masih terus berjalan meski juga menjadi aktifis salafi.

Bukti yang paling kuat dari hal ini adalah: keterlibatan istrinya sebagai calon anggota legislatif dari Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), sebuah partai sekuler-nasionalis yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo Subianto, pada Pemilu 2009. Ia bahkan ikut berkampanye secara informal mendukung pencalonan istrinya dengan mengerahkan sejumlah simpul politiknya, khususnya yang berasal dari kalangan PPP.

Langkah dan tindakan dokter Fauzi tersebut jelas tidak lazim di kalangan aktifis salafi: pertama, terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis-electoral, dan kedua, mendukung dan mengkampanyekan seorang kandidat perempuan dalam kontestasi politik.

Belakangan, ia juga menjadi salah seorang pendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden pada 2014. Bahkan, Jokowi sempat mampir dan melakukan sholat Maghrib di rumahnya, antara lain bersama dengan Anies Baswedan, pada saat melakukan kampanye politik di Yogyakarta.

Dua tokoh yang mewarnai kehidupan dokter Fauzi: Ketua PP Muhammadiyah, Pak AR Fachruddin (kiri) dan  Panglima Laskar Jihad, Ustadz Ja'far Umar Thalib (kanan).

Begitulah dokter Fauzi. Seorang “maverick post-jihadist” atau “alumni jihad yang nyleneh”. Juga sosok unik “Laskar Jihad Muhammadiyah”.

Beliau akhirnya mengakhiri hidupnya di tempat tidur di masa pandemi dengan virus Covid-19 menggerogoti tubuhnya yang memiliki komorbid penyakit jantung dan diabetes. Itu berbeda jauh dengan mimpi dan cita-cita yang pernah disampaikannya kepada saya dalam sebuah wawancara: “Saya ingin pada suatu ketika mengakhiri hidup saya di sebuah tanah jihad, baik itu di tanah suci atau di medan perang suci, baik itu di Moro atau Afghanistan ….

Namun, sebagai seorang tenaga kesehatan yang juga pasien Covid-19, saya berdoa semoga ia mati syahid.

Selamat jalan, dokter Fauzi. Semoga damai di keabadian. Aamiin.

Sleman, 12 Juli 2021

DR Muhammad Najib Azca,
Dosen di Departemen Sosiologi UGM.
republika.co.id

No comments: