Saturday, October 28, 2017

Kenapa Jenderal Gatot Nurmantyo Ditolak AS?


Sore, 22 Oktober 2017, media ramai menyoroti ditolaknya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memasuki wilayah Amerika Serikat oleh US Custom and Border Protection.

Gatot beserta rombongan berencana memenuhi undangan Panglima Angkatan Bersenjata AS. Jenderal Joseph F. Dunford untuk menghadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremism yang digelar pada 23-24 Oktober di Washington DC.

Karuan saja, peristiwa yang terbilang langka ini memunculkan sejumlah spekulasi, termasuk spekulasi yang digelontorkan oleh warganet.

Jika dicermati, ada 3 spekulasi yang paling mendominasi linimasa. Pertama, pandangan tentang keterkaitan Gatot Nurmantyo dengan sejumlah ormas yang dinilai radikal. Kedua, penolakan tersebut terkait dengan dirilisnya sejumlah dokumen tentang peristwa pasca-30 September 1965. Dan, ketiga, penangkalan ini dikaitkan dengan Pilpres 2019.

Joseph F Dunford dan Gatot Nurmantyo

Spekulasi tersebut kemudian berkembang menjadi tuduhan-tuduhan terhadap Gatot, terutama yang menyangkut kelompok Islam radikal. Alhasil, tudingan yang menyebut Gatot sebagai tokoh yang berada di balik aksi-aksi ormas radikal pun semakin menguat.

Sejak awal beredarnya pemberitaan mengenai dicegahnya Gatot Nurmantyo ke AS memang terasa amat ganjil. Bagaimana tidak ganjil kalau penangkalan yang dilakukan terhadap Gatot begitu dramatis.

Pada Sabtu 21 Oktober, Gatot beserta delegasinya siap berangkat dengan menggunakan maskapai Emirates. Tetapi, beberapa saat sebelum keberangkatan, datang pemberitahuan dari maskapai bahwa Panglima TNI beserta delegasi tidak boleh memasuki wilayah AS.

Hajatan besar yang digelar oleh Angkatan Bersenjata AS itu pastilah sudah dimatangkan jauh hari sebelum hari pelaksanaannya. Demikian juga dengan para undangan yang pastinya juga sudah melewati sekian tahap proses penyaringan. Dan undangan kepada pihak TNI pun sudah dikirim beberapa hari sebelum tanggal 23 Oktober 2017. Karenanya sangat aneh jika pemberitahuan otoritas AS disampaikan kepada Gatot hanya beberapa saat sebelum pesawat take-off.


Memang benar, ada beberapa pemimpin militer Indonesia yang dicegah datang ke AS atas tuduhan pelanggaran HAM. Karena itu, para petinggi militer tersebut tidak diberi visa oleh AS.

Tetapi, sesuai informasi yang dipublikasikan media, Jenderal Gatot mendapatkan visa untuk mengunjungi wiayah AS. Dengan demikian, oleh otoritas AS, Gatot dinyatakan bersih dari tuduhan sebagai pelanggar HAM.

Kalau Gatot masih berhak mendapatkan visa dari AS, artinya jabatan Gatot sebagai Panglima TNI tidak bisa dikaitkan dengan dipublikasikannya 39 dokumen oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University. Konon, dalam puluhan dokumen tersebut terdapat informasi bahwa Angkatan Bersenjata Repubik Indonesia (ABRI) disebut sebagai pelaku atas tuduhan pelanggaran HAM saat itu.

Jika menyimak dokumen yang diunggah oleh nsarchive.gwu.edu, dokumen-dokumen terkait pembunuhan massal tersebut merupakan catatan-catatan para diplomat AS yang bertugas di Indonesia.

“Terdapat berbagai jenis dokumen dalam arsip Kedutaan Besar AS di Jakarta, mulai dari operasi sehari-hari Kedubes sampai pengamatan-pengamatan tentang politik, ekonomi, kebijakan asing dan urusan militer Indonesia, serta konflik antara AS dan Soekarno, antara AD dan PKI; Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, dan konsolidasi rejim Soeharto,” tulis nsarchive.gwu.edu.


Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian dari dokumen yang dirilis oleh National Security Archive yang bekerja sama dengan National Declassification Center (NDC), tidak ada bedanya dengan dokumen yang dibocorkan oleh situs Wikileaks. Jadi, “levelnya” masih dapat dianggap sebagai unconfirmed rumour.

Dengan level seperti ini, obrolan di warung kopi pun akan didokumentaskan. Obrolan di warkop itu dicatat oleh diplomat AS untuk kemudian diinformasikan ke Kedubes AS di Jakarta. Kemudian obrolan warkop itu dilaporan ke negaranya.

Kalau begitu, apa mungkin penangkalan terhadap Pangima TNI dilakukan dengan hanya bermodalkan informasi yang sebagiannya berkelas unconfirmed rumour?

Dan, kalaupun ABRI dinyatakan bersalah sebagai pelaku pembantaian massal, seharusnya para pemimpin militer pada masa 1965-1966 dilarang masuk ke AS, meskipun dokumen rahasia milik NSA ini belum dirilis.

Bahkan, kunjungan tokoh sentral dalam operasi penumpasan PKI, Jenderal HM Soeharto, pada 1982 mendapat sambutan hangat dari Presiden Ronald Reagan.

Arsip-arsip lama sejarah kelam Indonesia yang ada di AS, mulai dibuka untuk publik.

Jadi, peristiwa pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang lalu, mestinya tidak menjadi alasan bagi otoritas AS untuk menolak petinggi militer Indonesia memasuki wilayahnya. Gampangnya, kalau Soeharto saja boleh masuk, apalagi Gatot.

Kemudian, apakah penolakan tersebut ada kaitannya dengan rumor soal hubungan Gatot Nurmantyo dengan ormas Islam radikal?

Spekulasi ini paling mudah membantahnya. Sebab, kedekatan (kalau memang mau dianggap sebagai kedekatan) setidaknya sudah terjalin sejak 4 November 2016. Padahal, menurut Kapuspen TNI, Mayjen TNI Wuryanto, dalam kapasitasnya sebagai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, masih bisa mengunjungi AS pada Februari 2017.

Lagi pula, kedekatan hubungan Gatot dengan ormas Islam radikal hanyalah opini yang dinarasikan oleh pihak-pihak tertentu yang memang tak suka kepadanya. Karena dalam berbagai kesempatan, Gatot kerap kali melontarkan kecaman terhadap ulama-ulama yang kerap melontarkan ujaran “keras”.

Di sisi lain, dengan safarinya ke sejumlah ulama dan pesantren, Gatot menunjukkan kedekatannya dengan ormas-ormas Islam yang dianggap moderat.


Begitu pula dengan spekulasi yang menyebut penolakan tersebut terkait dengan dukungan AS kepada Gatot pada Pilpres 2019. Katanya, dengan penolakan tersebut AS tengah membangun persepsi jika Gatot adalah musuh Amerika. Dengan begitu, Gatot akan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok anti-Amerika.

Dalam sejumlah rilis survei, nama Gatot Nurmantyo telah masuk bursa capres/cawapres untuk Pilpres 2019. Meski demikian tingkat popularitas dan elektabilitas Gatot masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo.

Gatot baru layak dijagokan jika trend popularitas dan elektablitasnya mengalami kenaikan. Untuk itu baru bisa diamati setelah Gatot memasuki masa pensiun pada Maret 2018 nanti.

Tetapi, spekulasi yang terkait Pilpres 2019 ini menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan unsur dramatisasi penolakan atas kunjungan Gatot yang bersifat mendadak.

Lewat dramatisasi ini, AS ingin menjajagi reaksi masyarakat Indonesia atas penangkalan terhadap Gatot. Dari situlah dapat dilihat besaran sentimen positif dan negatif terhadap Gatot. Jika sentimen positif lebih besar dari sentimen negatif, maka elektabilitas Gatot pun akan melesat.

Sebaliknya, meski popularitas Gatot terdongrak dengan peristiwa ini, jika sentimen negatif lebih besar dari sentimen positif, maka elektabilitas Gatot pun tidak akan meningkat.


Di era komunikasi digital saat ini, mengukur sentimen masyarakat tidak begitu sulit. Cukup dengan memasang aplikasi khusus, segala bentuk unggahan dapat dipantau dan dianalisa.

Pada masa Pemilu 2014, PiliticaWave memantau sentimen media terhadap sejumlah capres. Saat itu Kompasiana menjadi satu-satunya “media keroyokan” yang dipantau.

Dari pengamatan sepintas, penangkalan terhadap Gatot oleh AS tidak cukup berhasil membuahkan persepsi jika Gatot merupakan musuh AS. Kelompok yang diperkirakan akan memakan persepsi ini malah memilih sibuk dengan isu reklamasi Teluk Jakarta, polemik “pribumi”, dan membantah serangan terhadap Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Lagi pula, dalam kondisi terpolarisasi seperti sekarang ini, “merek dagang” sudah tidak diperlukan lagi. Kutub A tidak akan memilih Jokowi, siapa pun pasangannya. Kutub B tidak akan memilih lawan Jokowi, siapa pun dia. Sedangkan, kelompok yang katanya disasar dengan pencitraan Gatot sebagai musuh AS ada pada kutub A. Itulah kenapa tidak ada netizen dari kelompok A yang menggaungkan Gatot sebagai musuh AS. Penggaungnya malah dari kutub pendukung Jokowi sendiri.


Bagi AS, juga bagi negara-negara lain, mengukur kekuatan elektabilitas setiap kandidat capres sangat diperlukan. Karena dari hasil pengukuran tersebut, bisa diputuskan tindakan-tindakan dan langkah lanjutannya.

Sementara, dari faktor timing-nya, pengukuran lewat dramatisasi ini sangat tepat mengingat dalam seminggu sebelumnya, bangsa Indonesia terseret dalam polemik “pribumi” yang didramatisasi oleh kelompok kutub B, yang sebarisan dengan Jokowi.

Kalau pun dramatisasi “undangan” ini benar, belum tentu juga AS mendukung pencapresan Gatot. Karena bisa juga sebaliknya, AS tidak mendukung Gatot.

Tetapi, apa pun itu, karena tidak dilandasi oleh informasi yang memadai, semua spekulasi terkait ditolaknya Gatot oleh AS sangat dangkal dan begitu mudah dipatahkan.

Sama seperti halnya spekulasi yang ada, alasan apa pun yang menyangkut ditolaknya Gatot Nurmantyo tidak akan dapat diterima oleh akal sehat. Tidak heran jika lewat situs id.usembassy.gov, Kedubes AS untuk Indonesia tidak menyampaikan alasannya secara clear. Situs resmi ini hanya menyatakan alasannya sebagai “administrative error” ?!

Gatot Swandito 
kompasiana.com
23 Oktober 2017, diperbarui: 24 Oktober 2017

No comments: