Monday, April 21, 2014

Ilmu Bertanya


Suatu hari Ayah bertanya: “Opo rumangsamu nek wong nganggur kuwi ora dosa?” (Apa menurutmu kalau orang menganggur itu tidak dosa?)

Pertanyaan itu membuat saya terhenyak dan tersentak. Betapa tidak, waktu itu saya sudah berumur di atas 20 tahun, putus kuliah dan punya kegiatan menjadi guru mengaji privat serta menulis aneka macam tulisan, juga aktif di Pramuka, kelompok drama dan sastra, ikut membimbing gerakan gerak jalan atau hiking dalam grup pecinta alam dan sebagainya. Saya juga menemani anak-anak muda sebaya yang orangtuanya menjadi korban politik tahun 1960-an.

Pendeknya, hidup penuh kesibukan, dalam kartu C7 atau kartu untuk mengambil honor di Kantor Pos tertulis pekerjaan saya adalah: "Pengarang". Ketoke (kayaknya) hebat bener! Tapi Ayah dengan jeli melihat apa yang saya lakukan itu bukan pekerjaan yang benar-benar pekerjaan. Itu semua baru semacam kesibukan untuk mengisi waktu, dan memang amatiran.

Pertaayaan itu saya renungkan dan saya menemukan makna bahwa dengan pertanyaan itu Ayah ternyata sedang (1) memberi tahu bahwa selama ini saya masih termasuk dalam kategori menganggur, (2) Ayah melarang saya menganggur dan tidak boleh meneruskan kegiatan yang kurang jelas bagi masa depan, (3) menyuruh saya bekerja yang serius dan definitif.


Jadi, orang Jawa itu kalau bertanya ternyata bisa mengandung maksud memberi tahu, melarang, atau menyuruh, bahkan sangat mungkin mengandung kemarahan. Dengan bertanya itu berarti, Ayah sudah jengkel dan marah melihat hidup saya yang leda-lede (tidak menentu) waktu itu.

Berkat pertanyaan itulah saya kemudian “njranthal” atau lari pontang-panting naik kereta api menuju Jakarta. Ada saudara –adiknya nenek– dua orang yang mengajak saya ke Jakarta untuk mencari kerja. Saya berniat untuk bekerja tenan (sungguh-sungguh), apa pun pekerjaan itu.

Di Jakarta, saya diminta ikut hidup di rumahnya. Dan pada hari pertama, dia –induk semang saya itu– sudah meneriakkan doktrin hidup di Jakarta dengan berkata; “Le, neng Jakarta kuwi nek pengin mangan yo kerja, kerja opo wae. (Nak, di Jakarta itu kalau mau makan ya harus kerja, kerja apa saja.) Jual abu (gosok), atau apalah. Kalau tidak bekerja maka kau tidak berhak makan sebutir nasipun!” Akibatnya, dan risikonya, sebelum saya mendapat pekerjaan yang definitif, maka saya bekerja di rumah itu menjadi tukang kebun dan pembantu rumah tangga, yang pekerjaannya mulai dari memotong rumput, membersihkan kaca jendela, membersihkan WC, ikut belanja ke pasar, membayarkan rekening listrik, mengambilkan rapot anaknya dan sebagainya.


Predikat guru mengaji privat, guru pramuka, penulis sastra, pemain drama, semua saya tanggalkan dan saya lebur dalam kehidupan sehari-hari yang keras khas Jakarta. Saya diberi uang saku satu dua ribu sebulan dan karcis bis kota. Saya beruntung karena di rumah itu ada ribuan buku dan kitab, maklum yang empunya rumah pernah menjadi Kepala Litbang Depag yang kemudian aktif menjadi salah satu direktur pada Departemen Agama, badan atau bagian khusus yang menyelenggarakan haji. Saya beruntung di rumah itu ada mesin ketik. Maka naluri menulis saya kumat (kambuh). Naluri berkumpul dengan komunitas sastra juga kumat, akhirnya juga kumpul dengan kelompok drama.

Di waktu luang saya pun menulis, berkunjung ke Gelanggang Remaja Bulungan, ke Warung Poci Bulungan, juga ke Senen, ke TIM, ke Menteng Raya Enam Dua, dan sering dolan (berkunjung) ke kantor majalah anak-anak Kawanku. Saya meneruskan menulis untuk majalah Kawanku, meliput kegiatan sastra di Bulungan dan TIM dan beritanya saya kirim ke Harian Masa Kini. Saya juga ikut pendidikan wartawan di Jakarta Utara, di Jalan Gunung Sahari. Dan puncaknya ketika saya diminta ikut menjadi Pegawai Musiman di Kantor Haji Depag. Kerja 24 jam, honor besar, makan dan minum terjamin, kadang dapat bonus rokok yang saya berikan pada teman-teman di Sanggar 62.

Dan belajar kerja keras seperti ini saya alami selama satu tahun tetapi saya rasakan seperti sepuluh tahun. Lalu saya sakit tipes (typhus) karena menyaksikan bagaimana korupnya departemen yang seharusnya diisi orang-orang suci itu. Saya lalu dirawat di rumah sakit Fatmawati selama sebulan. Dan setelah sembuh saya lalu pulang ke Yogya.


Sampai di Yogya, saya diminta untuk bergabung dengan harian Masa Kini sebagai wartawan, lalu sebagai redaksi lembar budaya. Saya tak melamar, tetapi dilamar. Agar lebih efektif, saya pun kost di pinggir kali Code. Kemudian saya mengalami rangkap kerja di LP3Y, lalu di penerbit Shalahuddin Press, dan sebagainya. Lalu potongan hidup saya pun diwarnai dengan kerja keras super sibuk penuh waktu dengan merangkap pekerjaan sebagai wartawan, editor buku, menulis karya sastra, dan bernaung dengan berbagai komunitas atau semacam LSM untuk melakukan pelatihan dan pendampingan. Dan sampai hari ini saya masih dapat menikmati kerja keras seperti itu. Dan itu semua terjadi berkat sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh Ayah saya, yang sekarang sudah almarhum.

Kembali ke judul tulisan di atas, yaitu tentang ilmu bertanya. Maka paling tidak, orang yang ingin bertanya itu harus atau perlu mengerti (1) apa yang ditanyakan, (2) merumuskan pertanyaan dengan tepat, (3) tahu persis siapa yang menjadi tujuan pertanyaan itu, (4) tahu bagaimana caranya bertanya, (5) tujuan atau efek pertanyaannya pun dia ketahui dengan jelas, dan yang ke (6) dia berani bertanya. Kalau ke-enam hal itu, dan ditambah juga dengan (7) tahu saat yang tepat untuk bertanya, maka ada harapan pertanyaan yang dia lontarkan akan mampu mengubah keadaan.

Jadi, bertanya saja ternyata ada ilmunya. Tidak asal bertanya. Demikianlah semoga bermanfaat.

Penulis: Mustofa W Hasyim

Mustofa W Hasyim sedang memaparkan sesuatu dihadapan teman-teman komunitasnya. (foto: caknun.com)

Mustofa W Hasyim adalah penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70-an. Aktif di komunitas Persada Studi Klub Malioboro, bersama Emha Ainun Najib (Cak Nun), Umbu Landu Paranggi dkk. Juga aktif di Komunitas Insani Yogyakarta, Teater Melati. Saat di Jakarta bergaul dalam Kelompok Poci Bulungan, Sanggar Enam Dua dan bergaul dengan satu dua anggota Kelompok Sembilan. Juga pernah bekerja sebagai wartawan dan pengasuh kolom di berbagai surat kabar dan editor di berbagai penerbit. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Terakhir beliau merupakan salah satu pendiri Majlis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mustofa-w-hasyim/ilmu-bertanya/10151253020773899

No comments: