Thursday, October 11, 2012

Perang Bintang Menuju 2014


Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 adalah etape krusial dalam tahapan proses demokratisasi kita. Tahun 2014 adalah grand final bagi elit-elit politik kawakan untuk bisa memperebutkan kursi singgasana orang nomor satu di republik ini.

Bagi yang sudah di atas 60-an tahun atau bahkan akan menginjak usia kepala tujuh, tahun 2014 adalah momentum atau kesempatan terakhir untuk mengadu nasib. Sementara pada saat yang sama, elite-elite muda atau yang belum pernah ikut berkompetisi politik, menjadikan Pilpres 2014 sebagai sarana mengukur kekuatan elektoral mereka setelah sekian lama bersembunyi di balik bayang-bayang elite tua. Pilpres 2014 memiliki nilai strategis bukan saja dilihat dari banyaknya stok calon kepemimpinan nasional, baik dari kubu tua maupun muda, tapi signifikansinya juga terlihat dari keharusan adanya regenerasi kepemimpinan nasional.

Praktis tidak ada petahana (incumbent) yang maju lagi setelah Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh maju lagi menurut konstitusi. Peluang Wapres Boediono maju juga terhitung kecil karena beliau bukan berasal dari kalangan partai politik serta tak terlihat intensi atau niat untuk berlaga pada 2014. Dengan demikian, peluang bagi bakal calon presiden lebih terbuka karena 2014 adalah pasar bebas bukan hanya bagi capres, melainkan juga bagi pemilih. Tidak ada calon presiden dominan seperti yang kita alami pada Pilpres 2009.

Seorang Prabowo Subianto yang menurut banyak survei relatif memiliki peluang lebih besar sekalipun, tetap masih mungkin disalip calon yang lain karena keunggulannya tidak mencapai 20% dengan memakai simulasi semi terbuka, serta elektabilitas Prabowo secara top of mind tidak pernah lebih dari 8%. Hal inilah yang menjadikan ajang kontestasi menuju 2014 diprediksi akan diwarnai kejutan.


Perang Jenderal
Di antara kejutan yang sudah terlihat adalah munculnya nama-nama baru maupun lama dari kalangan jenderal berbintang. Misalnya, Prabowo Subianto yang maju melalui Gerindra, Wiranto melalui Hanura, Sutiyoso dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Djoko Suyanto dan Pramono Edhie yang disebut-sebut maju melalui Demokrat, dan nama terakhir yang menggebrak dunia politik kita, mantan panglima TNI Endriartono Sutarto.

Dia mengejutkan jagat politik melalui kiprah barunya di Partai NasDem dan disebut-sebut bakal melenggang maju dalam pilpres 2014. Jenderal bukanlah golden ticket menuju 2014. Seorang capres berbintang tidak serta merta melenggang dengan mulus dalam pilpres nanti. Medan pertarungan dalam memperebutkan hati rakyat tentu berbeda dengan pengalaman mereka di medan tempur. Penguasaan teritorial dan kemampuan strategi yang mereka punya harus dikombinasikan dengan pemahaman komprehensif mengenai perilaku pemilih yang kompleks.

Kekuatan figur seorang capres berlatar belakang militer tak selalu menentukan. Inilah yang menyebabkan mengapa hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang unggul dalam pilpres 2004 dan 2009 meski saat itu ada Wiranto, Agum Gumelar, dan Prabowo, baik yang maju sebagai capres maupun cawapres. Dalam pemilihan langsung, jenderal bintang empat maupun jabatan yang lebih tinggi bisa dikalahkan oleh jenderal yang berbintang dua atau tiga. Bahkan bisa juga dikalahkan oleh elite sipil yang tidak pernah berpengalaman di medan perang sekalipun. Rumusnya adalah 3D, dikenal (popularitas), disukai (likeability), dan dipilih (elektabilitas).

Dari segi popularitas, Prabowo dan Wiranto memiliki keunggulan komparatif ketimbang capres militer yang lain karena keduanya sudah pernah berkompetisi dan memiliki investasi politik lebih lama. Namun, popularitas yang lebih tinggi bukanlah garansi satu-satunya. Justru popularitas yang tinggi ini bisa menjadi pisau bermata dua jika dibangun di atas fondasi efisiensi kedikenalan yang lemah. Tingkat kedikenalan yang tinggi tanpa kualitas popularitas yang baik bisa dikalahkan capres yang memiliki popularitas yang efisien.

Efisiensi popularitas ditentukan oleh tingkat kedisukaan dan akseptabilitas yang tinggi serta persepsi pemilih terhadap kualitas atau kriteria kepemimpinan masing-masing calon. Di sinilah titik lemah capres-capres militer yang sudah populer seperti Prabowo dan Wiranto. Keduanya sudah dikenal lama, tapi evaluasi pemilih terhadap kualitas mereka rendah. Rata-rata capres-capres yang sudah populer dianggap kurang bisa dipercaya dan kurang berintegritas. Prabowo dan Wiranto juga terkena isu kurang sedap terkait masalah HAM.


Insentif Capres Baru
Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) membuktikan popularitas capres-capres dari stok lama tidak berbanding lurus dengan elektabilitas mereka. Kegagalan capres-capres populer dalam menerjemahkan tingkat kedikenalan mereka yang tinggi ke dalam preferensi elektoral bisa menjadi insentif bagi figur-figur baru yang belum populer untuk bekerja lebih intensif meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka.

Inilah problem mendasar bagi bakal capres militer yang popularitasnya rendah seperti Djoko Suyanto, Endriartono Sutarto, dan Pramono Edhie. Bagaimana mungkin rakyat mau memilih mereka jika kenal saja tidak. Dibanding Endriartono Sutarto, nama Djoko Suyanto dan Pramono Edhie lebih punya peluang meningkatkan popularitas mereka karena masih memiliki jabatan publik. Namun, prospek elektoral mereka bergantung popularitas Presiden SBY juga. Jika SBY sukses, Djoko dan Pramono Edhie akan kecipratan popularitas SBY.

Namun, perkembangan politik dua tahun terakhir ini menunjukkan gejala sebaliknya. Jagat politik Indonesia tak pernah dirundung sepi dari kontroversi sejak menit pertama SBY dilantik sebagai presiden periode kedua. Survei LSI menunjukkan tren penurunan job approval rating SBY. Munculnya nama Endriartono Sutarto memang menambah alternatif bakal calon presiden pada 2014. Namun Endriartono masih harus segera meningkatkan popularitasnya sebagai syarat mutlak (necessary condition) bagi keberhasilannya.

Tapi, berbekal popularitas saja tidak memadai (not sufficient) karena harus diikuti integritas, kapasitas, dan tingkat kedisukaan publik yang tinggi terhadap dirinya agar elektabilitasnya meningkat. Apakah dia mampu atau tidak untuk muncul sebagai credible alternative, harus dibuktikan dua tahun ke depan. Dia harus siap dikuliti dan ditelanjangi rekam jejaknya serta diuji kompetensi dan kapasitasnya sebagai calon pemimpin Indonesia. Jika dia gagal melewati ujian tersebut, maka tak usahlah bermimpi untuk turut berlaga dalam ajang capres 2014.

Burhanuddin Muhtadi
Pengajar pada FISIP UIN Jakarta,
Direktur Komunikasi Publik, Lembaga Survei Indonesia (LSI) 

Koran SINDO, 9 Oktober 2012

No comments: