Tuesday, May 29, 2012

Corby – The Ganja Queen


Pernahkah Anda menonton film The Ganja Queen? Film dokumenter yang dibintangi ‘Sang Ratu Ganja’ Schapelle Corby, itu mendapat rekomendasi empat setengah (dari lima) bintang di situs Amazon.

Disutradari Janine Hosking, film yang dirilis dalam bentuk DVD oleh Home Box Office (HBO) pada November 2008 itu mengisahkan perjalanan Corby, tentu dalam versinya sendiri, yang mengaku tidak bersalah dan diperlakukan tidak adil di depan pengadilan dan penjara Kerobokan Bali.

Kalau saja HBO menayangkan ulang film berdurasi 92 menit itu lagi, pasti ratingnya bakal melejit. Pasalnya, secara cukup mengejutkan wanita cantik yang kini berusia 34 itu mendapatkan grasi lima tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, grasi ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia di Australia, yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.


Tak pelak, berbagai media di Indonesia dan Australia pun ramai memberitakan grasi bagi Corby. Pemerintah pun menuai banyak kritik, karena pemberian grasi itu dianggap tidak sejalan dengan kebijakan memperketat hukuman bagi kasus narkoba dan upaya pemberantasan barang haram itu.

Kritik pedas antara lain dilontarkan pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Kata Yusril, sepanjang sejarah baru kali ini Presiden RI memberikan grasi atau mengampuni kejahatan narkoba. “Presiden-presiden sebelumnya tak pernah melakukan hal itu, baik terhadap napi WNI maupun napi asing,” kata Yusril.

Sesungguhnya, selain DVD di atas, terdapat tiga buku yang menceritakan Corby secara sangat berbeda dengan yang disiarkan media massa. Yang pertama adalah Schapelle Corby, My Story. Buku setebal 301 halaman itu ditulis Corby bersama Kathryn Bonella. Kemudian, ada Schapelle Evidence Facts Truth, karya wartawan bidang kriminalitas Gold Coast Bulletin, Tony Wilson, setebal 256 halaman.

Tapi buku Wilson itu kurang mendapat respon sebagus buku Corby yang lain yang berjudul panjang, No More Tomorrows: The Compelling True Story of an Innocent Woman Sentenced to Twenty Years in a Hellhole Bali Prison. (Tak Ada Hari Esok: Kisah Nyata tentang Wanita Tak Bersalah yang Dihukum Dua Puluh Tahun dalam Neraka Penjara Bali). Buku No More Tomorrows yang juga ditulis Corby bersama Kathryn Bonella, ini berhasil meraih international best seller.


Awalnya Kathryn Bonella datang ke Bali untuk menggarap program televisi Australia, 60 Minutes. Eh, ia betah di Bali rupanya. Maka pada 2005, Kathryn pindah ke Bali untuk menulis buku setebal 304 halaman itu bersama Corby.

No More Tomorrows mengisahkan perjalanan Corby ke Bali pada 8 Oktober 2004. Semula, liburan selama dua pekan itu dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun saudara perempuan Corby di Bali.

Ternyata tamasya itu menjadi mimpi buruk baginya, setelah petugas di Bandara Ngurah Rai Denpasar menemukan 4,2 kilo marijuana alias ganja di dalam tas Corby yang tidak terkunci. Lalu, Schapelle Corby dipenjara pada Mei 2005 di Kerobokan, Bali. Dengan vonis 20 tahun, seharusnya ia baru bebas pada tahun 2024.

Marijuana itu, menurut Corby, ‘disimpan seseorang di dalam tas sesudah ia check in.’ Akibatnya, ia terpaksa menanggung konsekuensi kejahatan orang lain di sebuah negara yang vonis bagi penyelundup narkobanya, menurut Corby, “merupakan salah satu yang paling berat di dunia.”

Itu kata Corby. Padahal di negara lain ia mungkin sudah dihukum mati.


Tidak cukup begitu, dalam bukunya Corby menceritakan joroknya sel, ketidaknyamanan dan kekerasan yang diterimanya di penjara Kerobokan.

Patut dicatat, dari dalam penjara itu Corby bisa menulis secara bagus, piawai, menegangkan, menarik, sehingga banyak dipuji pembaca di Barat. Yang menarik adalah bahwa banyak kritik dialamatkan kepada media (Indonesia) yang dianggap telah memutarbalikkan fakta karena seolah mendukung keputusan pengadilan Bali.

Tetapi kritik balik yang dilontarkan kepada Corby menolak hal itu. Pasalnya, banyak yang sulit menerima kenyataan: bagaimana mungkin orang tidak tahu ada ‘barang titipan’ diselundupkan ke dalam tasnya, jika barang itu seberat 4,2 kilo? Apalagi di negara dengan privacy tinggi seperti Australia, segala hal (termasuk bebenah kopor) lazimnya dikerjakan sendiri.

Bagaimana pun, kita bisa menduga, kelak begitu Corby bebas, ia bakal menulis lebih banyak lagi –dan namanya kian moncer, sementara nama Indonesia dan Bali sendiri bisa makin tercemar.

Maka tak heran bila ahli hukum mengingatkan agar hadiah grasi itu jangan sampai memberi kesan Indonesia lemah terhadap Australia.


Pakar hukum internasional UI, Hikmahanto Juwana, misalnya, menyarankan agar Presiden tidak boleh terlihat lemah di mata publik Indonesia setelah mengabulkan grasi itu.

“Ini mengingat publik Indonesia tahu bahwa Australia sudah menekan pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengupayakan perlindungan bagi Corby,” kata Hikmahanto. Oleh karena itu, Hikmahanto berharap Presiden SBY juga harus meminta Australia segera menyelesaikan sejumlah masalah hukum WNI yang ada di negara Kangguru itu. “Di sinilah Pemerintah SBY harus meminta kepada pemerintah Australia resiprositas atau timbal balik atas pengabulan grasi Corby,” katanya.

Repotnya, meski misalnya nanti pemerintah Indonesia bisa meminta perlakuan serupa (reciprocal) kepada pemerintah Australia, toh itu tidak menjamin publik Australia bisa menerimanya, karena publik di negara bebas seperti Australia sangatlah dominan suaranya sehingga pemerintah di sana pasti lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Sekarang saja, sebagaimana ditunjukkan lewat kasus Corby itu, kita melihat bahwa mungkin pemerintah Australia (yang sangat mendengarkan suara rakyatnya) telah meneruskan tekanan itu kepada pemerintah Indonesia, demi upaya perlindungan bagi Sang Ratu Ganja.


Namun Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr membantah telah menjalin kesepakatan dengan pihak Indonesia, bahwa grasi Corby diberikan sebagai pertukaran atas pembebasan tiga WNI dari tahanan Australia. Menurut Bob Carr, pembebasan tiga warga Indonesia itu tak lain karena mereka masih anak-anak.

Sejalan pernyataan Carr, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, grasi itu diberikan bukan karena kesepakatan khusus antara Indonesia dan Australia, melainkan ‘atas dasar pertimbangan kemanusiaan.’

Tetapi, orang kemudian bertanya, bila memang benar Corby bersalah seperti yang dituduhkan kepadanya, yang berarti ia turut berperan merusakkan moral dan kesehatan bangsa Indonesia, maka apakah sekitar lima juta anak bangsa korban narkoba tidak lebih perlu mendapatkan ‘pertimbangan kemanusiaan’?

Atau jangan-jangan Corby memang tidak bersalah, sebagaimana yang dikatakannya dalam film dan buku-bukunya, dan kita terlanjur menghukumnya?

Syafiq Basri Assegaff
Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta

INILAH.COM, 24 Mei 2012

No comments: