Wednesday, September 8, 2010

Opini Kolonel Penerbang Adjie Suradji


Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.


Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus —hendaklah hukum ditegakkan walaupun dunia harus binasa— (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), otomatis korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma) —apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?


Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin —kepentingan rakyat— keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?


Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan-perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).


Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya —dengan jargon reformasi gelombang kedua— SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini.

Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji, Anggota TNI AU
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/06/03101393/pemimpin.keberanian.dan.perubahan


9 Manifesto Adjie Suradji

Kenal Adjie Suradji? Sebelum anggota TNI AU ini mengirim opini ke redaksi KOMPAS, tidak banyak yang mengenal namanya. Dia hanya tentara aktif militer biasa berpangkat kolonel yang bekerja di angkatan udara. Tapi setelah tulisannya ditayangkan KOMPAS di halaman 6, Senin (6/9/2010), kehebohan langsung muncul di mana-mana. Jejak perbincangan masyarakat seputar tulisan berani dan berisi ini bisa dilihat di Twitter, Facebook dan Forum-forum online.

Saya pribadi melihat tulisan ini, di luar siapa yang sedang dikritik oleh penulis, sangat berisi dan ditulis dengan bahasa yang runut dan tersusun rapi. Konsep hukum yang dipadu dengan teori manajemen yang disajikan Adjie seakan ingin menyadarkan kepada publik pembaca bahwa mengurus negara bukan hanya perkara politik, tapi juga memerlukan ilmu manajemen yang memadai. Dan penanganan korupsi yang sudah mendarah daging di negeri ini tidak cukup hanya dengan tindakan simbolistik, tapi perlu perjuangan dan pengorbanan dari seorang pemimpin. Ya, pengorbanan. Dan hanya dengan keberanian, maka seorang pemimpin rela berkorban.

Setelah selesai membaca tulisan Adjie Suradji berjudul “Pemimpin, Keberanian dan Perubahan“, saya membayangkan penulis sebagai orang yang gemar membaca dan menganalisa beragam fakta yang tersaji di depannya. Lalu saya membaca ulang tulisan tersebut, sambil mengambil stabilo untuk menandai beberapa kutipan penting.

Dan Anda tahu, hampir semua paragraf di tulisan itu berubah warna hijau stabilo! –karena banyaknya kutipan yang saya anggap bermanfaat dan inspiratif.

Saya lalu membaca berita-berita terkait penayangan tulisan sang kolonel. Dan seperti mudah ditebak, langkah Adjie langsung dikecam oleh pejabat militer yang berwenang. Dia dianggap tidak dalam posisi mengkritisi atasannya sendiri, apalagi Presiden adalah panglima tertinggi. Terlebih di bawah namanya, si penulis jelas-jelas menyantumkan identitasnya sebagai Anggota TNI AU. Ini jelas sebuah pembangkangan! Lalu beredar kabar seputar jati-dirinya, etos kerjanya dan masalah yang sedang dia hadapi di oditur militer.

Kesimpulannya, tulisan ini bermasalah!


Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak masuk ke persoalan internal Adjie, karena secara struktural, hal ini memang bisa saja dianggap melanggar –dan ini berlaku di semua institusi ketika seorang karyawan atau anggota mengkritik atasannya di muka publik (bukan di media internal).

Saya lebih fokus mengambil beberapa poin penting dari tulisan tersebut. Dan setelah saya hilangkan poin-poin yang menjurus langsung ke pihak tertentu, saya masih menemukan banyak ilmu dari Adjie. Setelah saya edit seperlunya, berikut rangkuman tulisan sang kolonel, yang saya sebut sebagai 9 Manifesto Adjie Suradji:

1. Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan, tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian.
2. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
3. Presiden dan Perubahan: Soekarno sang Proklamator, Soeharto sang Bapak Pembangunan, Habibie sang Teknokrat, Gus Dur sang Pluralis, Megawati sang Ratu Demokrasi.
4. Di era reformasi, berdiri banyak lembaga baru untuk memberantas korupsi, seperti KPK, Pengadilan Tipikor dan Satgas Pemberantasan Mafia. Tapi realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
5. Yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati.
6. Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin -kepentingan rakyat- keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
7. Secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan.
8. Setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan-perubahan signifikan.
9. Masyarakat Indonesia berharap kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Iskandar Zulkarnaen
http://politik.kompasiana.com/2010/09/07/9-manifesto-adjie-suradji/


Kolonel Penerbang Adjie Suradji

Anggota TNI Angkatan Udara Adjie Suradji secara terbuka mengkritik kepemimpinan dan keberanian SBY. Siapakah Adjie Suradji?

Berdasarkan penelusuran INILAH.COM, Senin (6/9/2010), Adjie kini berpangkat Kolonel dengan jabatan sebagai Staff Operasi Mabes TNI AU.

Sewaktu berpangkat Letnan Kolonel Penerbang, Adjie menjabat sebagai Komandan Lanud Sjamsudin Noor selama dua tahun pada 1997-1999.

Kini Adjie lebih dikenal sebagai pemerhati masalah terorisme. Ia juga pernah menulis buku berjudul 'Terorisme' pada 1999.

Keberaniannya mengkritik secara terbuka lewat tulisan opini di Kompas, Senin (6/9/2010) tentu saja melahirkan tanda tanya.

Seorang prajurit aktif tidaklah biasa, bahkan mungkin tidak boleh, mengkritik atasannya, apalagi seorang Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, yakni Presiden, lewat media massa.

Adjie dianggap telah "menyerang" kepemimpinan Presiden lewat tulisan berjudul: 'Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan'.

http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/09/06/801931/inilah-prajurit-tni-pengkritik-sby/

1 comment:

Author said...

Mirip seperti film Valkrye berdasarkan kisah nyata.
Tentang seorang militer Nazi (kolonel Claus diperankan Tom Cruise) yang tergerak hatinya untuk menghentikan tindakan hitler yang diluar kemanusiaan, yaitu dengan membunuh Hitler (namun selalu gagal). Dia sendiri adalah perwira yang setia melayani negerinya. Pada akhirnya dia rela mengorbankan segala miliknya termasuk nyawanya untuk kebebasan umat manusia dari kekejian Nazi.