Tuesday, December 23, 2008

Wajah Demokrasi di Tanah Leluhur Demokrasi

Sejarah politik dunia bercerita secara gamblang bahwa Yunani adalah tanah kelahiran demokrasi. Namun, saat ini di tanah leluhur itu demokrasi sedang diuji.

Ujian itu dimulai dengan pecahnya bentrokan antara kaum muda dan polisi di banyak kota di Yunani sebagai buntut tewasnya Alexandros Grigoropoulos (15), Sabtu lalu, karena tembakan polisi. Aksi kaum muda mendapat simpati dan dukungan berbagai kalangan dalam segala bentuk, termasuk penjarahan dan perusakan.

Para pegawai bank dan kantor mogok kerja. Transportasi publik pun macet. Para buruh industri berencana ikut mogok juga. Dua perusahaan penerbangan Yunani, Olympic dan Aegean, membatalkan sejumlah penerbangan. Feri-feri yang menghubungkan negara kepulauan itu tak beroperasi, demikian pula kereta api.

Para guru, wartawan, dan pekerja sektor publik pun ikut mogok kerja. Aksi kekerasan dan vandalisme terjadi di mana-mana. Di Athena sendiri, lebih dari 130 toko dirusak. Kerusuhan telah meluas di paling kurang 10 kota di negeri berpenduduk 11 juta jiwa itu.

Tewasnya Grigoropoulos telah menjadi semacam pelatuk pecahnya protes terhadap pemerintah pimpinan PM Costas Karamanlis yang dianggap kurang berhasil karena banyaknya skandal korupsi, banyaknya penganggur. Lawan-lawan politik Karamanlis menyatakan reformasi pemerintah memperburuk kondisi perekonomian.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah mengapa jalan kekerasan dipilih sebagai cara untuk mengungkapkan sikap protes kepada pemerintah? Apakah memang karena karakter politik riil adalah pertarungan kekuatan?

Politik memang pada dasarnya adalah pertarungan kekuatan dan kecenderungannya adalah ”tujuan menghalalkan cara”, mengutip pendapat Machiavelli. Namun, betapa pun kerasnya pertarungan, tetap masih ada kerinduan akan keteraturan dan kedamaian.

Mengapa demikian? Oleh karena orang tidak akan sanggup terus bertahan menghadapi kekerasan dan ketidakpastian. Jalan kekerasan barangkali akan memberikan hasil, tetapi harga yang harus dibayar dengan menempuh jalan itu terlalu mahal.

Jalan kekerasan juga telah merusak komitmen masyarakat pada prinsip civic virtue (kebajikan sipil), yakni dedikasi kepada negara dan mendahulukan kepentingan serta kebaikan orang banyak daripada kepentingan pribadi.

Kita pernah mengalami hal serupa, yakni saat terjadi huru-hara pada tahun 1998, yang hanya memberikan luka di hati yang sulit sembuh.

Karena itu, kita prihatin mengapa jalan itu yang sekarang ditempuh rakyat Yunani, negeri leluhur demokrasi itu.

KOMPAS, 11 Desember 2008

4 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

Engkau tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da¬erah jang punja taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu¬dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional djuga tak punja haridepan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja sendiri.

KULYUBI ISMANGUN said...

Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang tak terasa sebagai penghi¬naan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: penga¬kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil¬-ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sam¬pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Kare¬na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja sendiri-sendiri. Kedjo¬rokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam djalanan umum mendjadi me¬dan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.

KULYUBI ISMANGUN said...

Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan namanja disurat-suratkabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mem¬populerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup¬an! Apakah jang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi interna¬sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di mana engkau sadar di hatiketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih, diutjapkan limabelas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan priaji¬-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah ke¬gagalan revolusi Perantjis.
Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.
Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara tentang iblis-¬iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid peng¬hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!
Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang kehidup¬annja sendiri.
Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: ke¬kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranja men¬dapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sen¬diri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada¬ku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap hal kauanggap mengan¬dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketje¬waan. Djuga demikian halnja dengan uraianku ini.
Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng¬kau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat¬lah usaha agar tempatmu mempunjai sekolah mene¬ngah atas sebanjak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dike¬mudianhari: djadi sumber kegiatan sosial, sumber ke¬sedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjip¬taan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di kemudianhari bila tidak berguna ?
Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema¬uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu—engkau jang ku¬harapkan djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandjang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan kera¬djaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat chusus di dalam sedjarah.
Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbit¬nja dan melahapnja sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanah¬airnja dalam lalulintas sedjarah dunia !
Kita mesti kerdja.
Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba¬gaimana mesti ia terima ?

KULYUBI ISMANGUN said...

Kita mesti kerdja.
Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil sebagaimana mesti ia terima ?
Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting, kemerdekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap djuga sebagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota untuk mentjontoh kefatalan di sini.
Kawan, sekianlah.