Tuesday, October 14, 2008

Yusuf Arsyad, Cukur DPR (Di bawah Pohon Rindang) Beringin

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Mengenal sifat Hidup, Kuasa, dan Ilmu Tuhan
Mukaddimah
Dari uraian yang lalu, kita ketahui bahwa Allah Swt. merupakan Sebab Pengada bagi alam semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat pada dzat-Nya, dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud apa pun bersumber dari-Nya, tanpa mengurangi kesempurnaan zat-Nya sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesem-purnaan tersebut kepada makhluk-makhluk-Nya. Poin ini dapat didekatkan melalui contoh berikut ini; ketika seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, ilmu yang dimilikinya itu tidak berkurang sedikit pun. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan wujud dari Allah swt. itu jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut.
Barangkali ungkapan yang lebih mendekati hal ini ialah bahwa alam wujud itu merupakan nur dan tajalli (manifestasi) dari dzat Ilahi Yang Mahasuci. Ungkapan semacam ini dapat ditemukan pada ayat yang berbunyi:
“Allah adalah nur bagi langit dan bumi.” (Qs. Nur: 35)
Mengingat bahwa kesempurnaan Ilahi itu tidak terbatas, maka setiap konsep (mafhum) yang mengungkapkan kesem-purnaan yang tidak melazimkan apapun kekurangan dan batasan dapat diterapkan pada Allah, sebagaimana konsep-konsep kesempurnaan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis dan doa-doa serta munajat para Imam a.s. seperti; cahaya (An-Nur), sempurna (Al-Kamal), indah (Al-Jamal), cinta (Al-Mahabbah), dan ungkapan lainnya (yang menjelaskan kesempurnaan mutlak pada Allah.
Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam Islam amatlah terbatas. Sifat-sifat itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi’liyah. Mula-mula, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan memaparkan sifat yang paling penting di antara sifat-sifat itu, kemudian mene-tapkannya dan membawakan argumentasinya.
Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi’liyah
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-’Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Atau, ada-kalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah swt. dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat–sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat fi’liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah swt. dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah swt. memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu, Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi’liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan Al-Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir ‘alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-’Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (As-Sami’) dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa untuk men-dengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-’Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan (fi’li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus digolongkan ke dalam sifat fi’liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi’li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya Allah hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.
Menetapkan Sifat-sifat Dzatiyah
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-’Ilm pada Allah swt. adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah swt. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai La Yu’thihi).
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah swt. memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya, kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.
Hidup (Al-Hayat)
Pengertian hidup (Al-Hayat) digunakan untuk dua golongan makhluk. Golongan pertama adalah tumbuhan yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok kedua adalah hewan dan manusia yang mem-punyai perasaan dan kehendak. Akan tetapi, makna pertama dari pengertian hidup meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan melazimkan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Akan tetapi, terdapat sebagian faktor dan efek luar yang mewujudkan perubahan dan perkembangan sehingga ia mencapai kesempurnaan ter-akhirnya secara berangsur-angsur. Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Allah, sebagaimana telah kami bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif).
Adapun makna kedua dari hidup adalah pengertian yang sempurna (tidak melazimkan kekurangan dan kebutuhan), walaupun pada sebagian realitas yang mungkin diliputi oleh sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup ini secara tak terbatas dan tak berkekurangan, murni dari batasan ataupun kebutuhan, sebagaimana makna Al-Wujud dan Al-Kamal.
Sifat hidup yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak termasuk kelaziman wujud nonmateri. Meskipun dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, sebenarnya sifat hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, bukan bagi badan fisisnya. Badan disifati dengan hidup karena ia mempunyai hubungan yang erat dengan ruh. Dengan kata lain, sebagaimana imtidad (ekstensi) merupakan keniscayaan wujud materi, demikian pula hidup merupakan keniscayaan wujud mujarrad (nonmateri).
Dari sini, terbetik argumen lain atas sifat hidup Allah, yaitu bahwa Allah Yang Suci itu bersifat nonmateri dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan bahwa setiap yang nonmateri itu memiliki sifat hayat secara substansial (dzati). Dengan demikian, Allah swt. memiliki sifat hidup secara substansial.
Tahu
Tahu merupakan konsep yang paling jelas dan gamblang. Akan tetapi, bila diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, mishdaq konsep ini di luar sangatlah kurang dan terbatas. Sifat tahu demikian ini –yang merupakan sifat makhluk– tidak mungkin berlaku pada Allah. Akan tetapi, akal kita –sekali lagi– dapat menggambarkan mishdaq konsep tersebut secara murni dari kekurangan dan keterbatasan. Yaitu bahwa tahu identik dengan dzat si pengetahu itu sendiri. Inilah ilmu dzati (pengetahan substansial) yang ada pada Allah swt.
Untuk membuktikan sifat tahu pada Allah swt., kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Allah swt., sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna.
Kedua, menggunakan dalil keteraturan (argument from design), yaitu bahwa setiap fenomena atau makhluk yang memiliki keteraturan atau keutuhan lebih banyak, maka lebih banyak menunjukkan pengetahuan penciptanya, sebagaimana kita temukan pada karya ilmiah atau bait kosidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal akan menganggap bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab filsafat ditulis oleh orang bodoh dan tidak berpendidikan. Maka itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan keunikan ini diciptakan oleh dzat yang tidak tahu.
Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian). Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: “Setiap maujud nonmateri yang mandiri itu tahu” sebagaimana yang dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.
Perhatian seseorang terhadap pengetahuan Allah itu mempunyai peranan yang besar dalam membangun kepriba-diannya. Oleh karena itu, Al-Qur’an seringkali menekankan hal ini. Di antara ayat-ayat yang menyinggung hal itu adalah:
“Dia itu mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati” (Qs. Al-Mu’minun: 19).
Kuasa
Setiap pelaku yang melakukan tindakannya dengan kehendak dan pilihannya disebut bahwa ia memiliki kemam-puan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, kuasa ialah kekuatan dan dasar bagi pelaku yang memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap kali pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari sisi derajat wujudnya, ia semakin banyak mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Maka itu, sudah pasti dzat yang mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Qs. Al-Baqarah:20).
Sehubungan dengan ini, perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:
Pertama, setiap tindakan yang ada kaitannya dengan kuasa mesti bersifat mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara substansial tidak mungkin (mumtani’) terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan, tidak ada hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Allah swt. Mahakuasa atas segala tindakan, tidak berarti bahwa Dia –katakanlah!– mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah Tuhan yang artinya dzat yang tidak diciptakan, juga tidak berarti bahwa Dia mampu menjadikan angka 2 sebagai angka 2 lebih besar daripada angka 3, atau Dia menciptakan anak sebagai anak sebelum menciptakan bapaknya.
Kedua, kuasa atas segala tindakan tidak menuntut dzat yang berkuasa untuk melakukan segala tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap tindakan yang sesuai dengan kehendaknya. Dan Allah swt. Yang Mahabijak tidak menghendaki kecuali tindakan-tin-dakan yang baik dan bijak. Dan Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.
Ketiga, menurut pengertian yang telah kami jelaskan, kuasa juga mengandung ikhtiar (kebebasan). Di samping Allah swt. memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Tidak mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakn atau mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuansegala sesuatu dan bersumber dari Allah. Maka, tidak mungkin Dia dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.