Francis F ukuyama dan Thomas L. Friedman mudah-mudahan bisa berhenti sejenak dari sarapan paginya yang bergizi tinggi. Setelah keyakinannya terhadap globalisasi, liberalisme, privatisasi, dan kapitalisme sebagai akhir sejarah, membentur realitas getir yang dituturkan Kofi Annan dalam pertemuan G-77 yang lalu.
Tidak kurang 25.000 orang tewas akibat kelaparan dan kemiskinan setiap harinya di seluruh dunia. Sementara itu, setiap 5 detik seorang bayi meninggal akibat krisis gizi dan pangan. Kondisi itu masih terus dilengkapi dengan sederet tragedi lain yang meliputi kelaparan hebat yang menimpa nyaris satu miliar umat manusia saat ini. Angka itu belum termasuk lebih dari 777 juta penduduk dunia yang menghadapi kelangkaan pangan dan rawan gizi.
Di tengah pergulatan keras masyarakat miskin dunia-yang hampir seluruhnya berasal dari Dunia Ketiga, ironi lain menyajikan serangkaian realitas lain yang kontras. Ratusan juta penduduk-termasuk anak-anak-yang tinggal di negara maju harus bertarung habis-habisan untuk menurunkan berat badan akibat kelebihan konsumsi pangan dan gizi. Keadaan itu sekaligus diimbuhi dengan pemusnahan gandum di sejumlah negara maju yang telanjur diproduksi secara berlebihan, atas nama stabilitas harga.
Inilah tatanan dunia baru yang menipu bulat-bulat negara-negara berkembang dengan mitos kesejahteraan. Yang ternyata direproduksi lewat tumbal nyawa jutaan orang miskin setiap bulannya-demi menyubsidi kelebihan gizi dan memanjangkan usia harapan hidup penduduk negara-negara maju.
Senandung *beep* uyama dan Friedman memang tak semerdu sebelumnya. Setelah banyak cendekiawan terus menelanjangi gagasan neoliberal yang dianggap menyederhanakan masalah, mereka kiranya perlu berpikir lebih matang sambil tak alpa mengasah hati.
Bukan hanya karena gagasan-gagasan simplistis yang disebar sebagai mimpi-mimpi kosong telah melahirkan frustasi kolosal. Melainkan juga akibat tragedi kemanusiaan yang tak sanggup dihentikan dalam laju eksploitasi, penghisapan, dan perbudakan jenis baru yang dibungkus dalam mantera agung bernama pasar bebas.
Meski usia peradaban manusia telah melampaui 2 milenium, namun sejarah kemanusiaan tak pernah menemukan bentuknya yang elok. Usia yang kian senja justru mengetengahkan parade yang kian sulit disebut kian beradab.
Dominasi-Subordinasi
Secara tradisional dan primitif, manusia agaknya tak lepas dari hubungan yang dibangun lewat perbudakan satu pihak atas yang lainnya. Relasi kuasa yang menciptakan kerangka dominasi-subordinasi, menjadi satu cara yang khas dan paling tidak sumir untuk menjelaskan fenomena metropolis-satelit yang tidak setara. Karenanya, perspektif struktural yang diutarakan para teoretisi terkemuka dependensia tetap relevan untuk merumuskan akar masalah kemanusiaan yang rawan pembusukan, sekaligus mencari terapi penyelesaian. Hanya saja, perkembangan zaman dan gerak modernisasi tentu ikut membawa dampak terhadap tipologi perbudakan jenis baru. Bila sebelumnya cara-cara konvensional digunakan untuk memeras tenaga kerja oleh para tuan tanah, bangsawan, dan baron-baron-seperti umum terjadi dalam kultur Yunani kuno dan diwariskan berabad-abad lamanya di hampir semua kawasan dunia. Maka, Abad Pertengahan bisa dianggap mewakili corak baru bentuk-bentuk eksploitasi tersebut dalam wujud imperialisme dan kolonialisme yang terlihat atraktif.
Di titik inilah sesungguhnya akar kekerasan bisa ditemukan. Tanpa dimaksudkan bertindak defensif-apalagi apologetik, bahkan kekerasan di skala makro yang diwujudkan dalam terorisme sekalipun, tidak dapat dilepaskan dari penjelasan ini. Ada semacam aksi-reaksi yang menghubungkan kekerasan konvensional (terorisme) sebagai kontra terhadap kekerasan struktural (imperialisme).
Sementara itu, agama sekadar aksesoris eksotis untuk melegitimasi tindakan yang sesungguhnya tidak otentik diinspirasikan oleh spirit keagamaan apa pun. Agama sekadar dijadikan daya tarik yang membenarkan para pelakunya yang sudah sejak lama antisosial (baca: psikopat). Kondisi yang nyaris seragam juga bisa ditemukan dalam perilaku Adolf Hitler dan Benito Mussolini yang memanfaatkan sentimen ras untuk berlaku agresif.
Padahal, seperti dituturkan Carlton Clymer Rodee, telah ditemukan sejumlah alasan teoretik lainnya yang memicu kekecewaan mereka terhadap dunia internasional. Yakni, konspirasi curang, culas, dan serakah, yang bisa dilacak sejak Konferensi Perdamaian Paris hingga Kesepakatan Versailles usai Perang Dunia Pertama. Kekerasan strukturallah yang sesungguhnya memicu berbagai kekerasan konvensional-sekaligus meminta persembahan korban nyawa jauh lebih banyak.
Layak Gugat
Dengan demikian, hipotesis *beep* uyama tentu menjadi layak gugat. Bukan hanya karena penyederhanaan kesimpulan yang ditinjaunya dari keruntuhan Uni Soviet, Jerman Timur, dan negara-negara Eropa Timur lainnya yang komunis-yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Dingin. Melainkan, karena gagasan akhir sejarah yang menjanjikan kesejahteraan itu, justru menjadi biang keresahan di semua negara-yang di dalamnya ada sejumlah besar penduduk yang tewas akibat kelaparan.
Dalam cara yang agak provokatif, sebetulnya ramalan Huntington soal benturan peradaban telah mematahkan hipotesis *beep* uyama. Dikotomi Islam dan Barat telah menjadi semacam antitesis yang membungkam semua teori yang percaya bahwa konflik global sudah berlalu seiring berakhirnya Perang Dingin. Serangan terhadap WTC pada 11 September 2001-yang diikuti oleh berbagai aksi terorisme lainnya, seolah menguatkan dugaan itu.
Tapi sayang, gagasan itu lebih banyak merumuskan gelombang ketegangan budaya lewat relasi Timur-Barat, dari pada ketegangan struktural yang direfleksikan dalam Utara-Selatan. Dengan demikian, dialog antarbudaya dianggap solusi ampuh untuk mengatasi semua ingar-bingar peradaban, tapi urung mengatasi kemiskinan yang diaktivasi oleh imperialisme, eksploitasi, perbudakan, terutama oleh the religion of globalization.
Setelah perkongsian besar dalam pertemuan Bretton Woods pada Juli 1944, agaknya dunia internasional perlu kembali melakukan pertemuan serupa. Serangkaian kesepakatan yang menggelontorkan ide pembentukan 3 lembaga keuangan dunia-IMF, WTO/GATT, dan World Bank-perlu ditinjau ulang atas nama kepentingan ma- syarakat dunia. Kenyataannya, ketiga lembaga itu bertanggung jawab menciptakan iklim yang tak sehat bagi perkembangan negara-negara yang justru, dianggap, tengah dibantu.
Pertemuan itu menjadi begitu mendesak akibat paradigma yang melandasi pembentukan 3 lembaga keuangan dunia itu hanya dilandasi oleh tekstur kepentingan negara-negara pemenang perang masa itu. Yang dalam perkembangannya bertransformasi sebagai negara-negara industri dan maju pesat akibat perselingkuhan yang mengakali keterbelakangan Dunia Ketiga yang tengah kalut.
Wajah peradaban yang coreng-moreng akibat siklus kekerasan yang telanjur berurat akar menantang dunia untuk mencari terapi yang tepat. Ketika demokrasi dan hak asasi terus dikumandangkan-dan kematian jutaan orang Yahudi di tangan Nazi telah menuai kecaman, maka globalisasi sesungguhnya telah merenggut korban dalam jumlah yang sukar diterima akal sehat.
Dalam cara yang lebih mengerikan, globalisasi telah menciptakan ladang pembantaian baru umat manusia, sebuah holocaust yang kejam. Maka, tak salah bila tuturan Vandana Shiva-seorang pemikir asal India, dalam Violence of Globalization menjadi refleksi tentang dunia dan menutup tulisan ini We thought we had put slavery, holocausts and apartheid behind us - that humanity would never again allow dehumanizing and violent systems to shape the rules by which we live and die. Yet globalization is giving rise to new slavery, new holocausts, new apartheid. It is a war against nature, women, children, and the poor. A war which is transforming every community and home into a war zone. It is a war of monocultures against diversity, of big against small, of war time technologies against nature.
Mendesak untuk dipikirkan, ke mana dunia hendak bergerak?
* Penulis adalah peneliti, mahasiswa pada RWTH Aachen, Jerman Suara Pembaruan – 13 Oktober 2004
Gunungbatu gunungbatu desa yang melahirkan laki-laki kuli-kuli perkebunan seharian memikul kerja setiap pagi makin bungkuk dijaga mandor dan traktor delapan ratus gaji sehari di rumah ditunggu mulut perut anak istri
gunungbatu desa yang melahirkan laki-laki pencuri-pencuri menembak binatang di hutan lindung mengambil telur penyu di pantai terlarang demi piring nasi kehidupan sehari-hari
gunungbatu desa terpencil jawa barat dipagari hutan dibtasi pantai-pantai cantik ujung genteng, cibuaya, pangumbahan sulit transportasi -jakarta dekat- sulit komunikasi
sejarah gunungbatu sejarah kuli-kuli sejak kolonial sampai republik merdeka
sejarah gunungbatu sejarah kuli-kuli gunungbatu masih di tanah air ini
2 comments:
Holocaust Kapitalisme Global
Oleh Agus Haryadi
Francis F ukuyama dan Thomas L. Friedman mudah-mudahan bisa berhenti sejenak dari sarapan paginya yang bergizi tinggi. Setelah keyakinannya terhadap globalisasi, liberalisme, privatisasi, dan kapitalisme sebagai akhir sejarah, membentur realitas getir yang dituturkan Kofi Annan dalam pertemuan G-77 yang lalu.
Tidak kurang 25.000 orang tewas akibat kelaparan dan kemiskinan setiap harinya di seluruh dunia. Sementara itu, setiap 5 detik seorang bayi meninggal akibat krisis gizi dan pangan. Kondisi itu masih terus dilengkapi dengan sederet tragedi lain yang meliputi kelaparan hebat yang menimpa nyaris satu miliar umat manusia saat ini. Angka itu belum termasuk lebih dari 777 juta penduduk dunia yang menghadapi kelangkaan pangan dan rawan gizi.
Di tengah pergulatan keras masyarakat miskin dunia-yang hampir seluruhnya berasal dari Dunia Ketiga, ironi lain menyajikan serangkaian realitas lain yang kontras. Ratusan juta penduduk-termasuk anak-anak-yang tinggal di negara maju harus bertarung habis-habisan untuk menurunkan berat badan akibat kelebihan konsumsi pangan dan gizi. Keadaan itu sekaligus diimbuhi dengan pemusnahan gandum di sejumlah negara maju yang telanjur diproduksi secara berlebihan, atas nama stabilitas harga.
Inilah tatanan dunia baru yang menipu bulat-bulat negara-negara berkembang dengan mitos kesejahteraan. Yang ternyata direproduksi lewat tumbal nyawa jutaan orang miskin setiap bulannya-demi menyubsidi kelebihan gizi dan memanjangkan usia harapan hidup penduduk negara-negara maju.
Senandung *beep* uyama dan Friedman memang tak semerdu sebelumnya. Setelah banyak cendekiawan terus menelanjangi gagasan neoliberal yang dianggap menyederhanakan masalah, mereka kiranya perlu berpikir lebih matang sambil tak alpa mengasah hati.
Bukan hanya karena gagasan-gagasan simplistis yang disebar sebagai mimpi-mimpi kosong telah melahirkan frustasi kolosal. Melainkan juga akibat tragedi kemanusiaan yang tak sanggup dihentikan dalam laju eksploitasi, penghisapan, dan perbudakan jenis baru yang dibungkus dalam mantera agung bernama pasar bebas.
Meski usia peradaban manusia telah melampaui 2 milenium, namun sejarah kemanusiaan tak pernah menemukan bentuknya yang elok. Usia yang kian senja justru mengetengahkan parade yang kian sulit disebut kian beradab.
Dominasi-Subordinasi
Secara tradisional dan primitif, manusia agaknya tak lepas dari hubungan yang dibangun lewat perbudakan satu pihak atas yang lainnya. Relasi kuasa yang menciptakan kerangka dominasi-subordinasi, menjadi satu cara yang khas dan paling tidak sumir untuk menjelaskan fenomena metropolis-satelit yang tidak setara. Karenanya, perspektif struktural yang diutarakan para teoretisi terkemuka dependensia tetap relevan untuk merumuskan akar masalah kemanusiaan yang rawan pembusukan, sekaligus mencari terapi penyelesaian.
Hanya saja, perkembangan zaman dan gerak modernisasi tentu ikut membawa dampak terhadap tipologi perbudakan jenis baru. Bila sebelumnya cara-cara konvensional digunakan untuk memeras tenaga kerja oleh para tuan tanah, bangsawan, dan baron-baron-seperti umum terjadi dalam kultur Yunani kuno dan diwariskan berabad-abad lamanya di hampir semua kawasan dunia. Maka, Abad Pertengahan bisa dianggap mewakili corak baru bentuk-bentuk eksploitasi tersebut dalam wujud imperialisme dan kolonialisme yang terlihat atraktif.
Di titik inilah sesungguhnya akar kekerasan bisa ditemukan. Tanpa dimaksudkan bertindak defensif-apalagi apologetik, bahkan kekerasan di skala makro yang diwujudkan dalam terorisme sekalipun, tidak dapat dilepaskan dari penjelasan ini. Ada semacam aksi-reaksi yang menghubungkan kekerasan konvensional (terorisme) sebagai kontra terhadap kekerasan struktural (imperialisme).
Sementara itu, agama sekadar aksesoris eksotis untuk melegitimasi tindakan yang sesungguhnya tidak otentik diinspirasikan oleh spirit keagamaan apa pun. Agama sekadar dijadikan daya tarik yang membenarkan para pelakunya yang sudah sejak lama antisosial (baca: psikopat). Kondisi yang nyaris seragam juga bisa ditemukan dalam perilaku Adolf Hitler dan Benito Mussolini yang memanfaatkan sentimen ras untuk berlaku agresif.
Padahal, seperti dituturkan Carlton Clymer Rodee, telah ditemukan sejumlah alasan teoretik lainnya yang memicu kekecewaan mereka terhadap dunia internasional. Yakni, konspirasi curang, culas, dan serakah, yang bisa dilacak sejak Konferensi Perdamaian Paris hingga Kesepakatan Versailles usai Perang Dunia Pertama. Kekerasan strukturallah yang sesungguhnya memicu berbagai kekerasan konvensional-sekaligus meminta persembahan korban nyawa jauh lebih banyak.
Layak Gugat
Dengan demikian, hipotesis *beep* uyama tentu menjadi layak gugat. Bukan hanya karena penyederhanaan kesimpulan yang ditinjaunya dari keruntuhan Uni Soviet, Jerman Timur, dan negara-negara Eropa Timur lainnya yang komunis-yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Dingin. Melainkan, karena gagasan akhir sejarah yang menjanjikan kesejahteraan itu, justru menjadi biang keresahan di semua negara-yang di dalamnya ada sejumlah besar penduduk yang tewas akibat kelaparan.
Dalam cara yang agak provokatif, sebetulnya ramalan Huntington soal benturan peradaban telah mematahkan hipotesis *beep* uyama. Dikotomi Islam dan Barat telah menjadi semacam antitesis yang membungkam semua teori yang percaya bahwa konflik global sudah berlalu seiring berakhirnya Perang Dingin. Serangan terhadap WTC pada 11 September 2001-yang diikuti oleh berbagai aksi terorisme lainnya, seolah menguatkan dugaan itu.
Tapi sayang, gagasan itu lebih banyak merumuskan gelombang ketegangan budaya lewat relasi Timur-Barat, dari pada ketegangan struktural yang direfleksikan dalam Utara-Selatan. Dengan demikian, dialog antarbudaya dianggap solusi ampuh untuk mengatasi semua ingar-bingar peradaban, tapi urung mengatasi kemiskinan yang diaktivasi oleh imperialisme, eksploitasi, perbudakan, terutama oleh the religion of globalization.
Setelah perkongsian besar dalam pertemuan Bretton Woods pada Juli 1944, agaknya dunia internasional perlu kembali melakukan pertemuan serupa. Serangkaian kesepakatan yang menggelontorkan ide pembentukan 3 lembaga keuangan dunia-IMF, WTO/GATT, dan World Bank-perlu ditinjau ulang atas nama kepentingan ma- syarakat dunia. Kenyataannya, ketiga lembaga itu bertanggung jawab menciptakan iklim yang tak sehat bagi perkembangan negara-negara yang justru, dianggap, tengah dibantu.
Pertemuan itu menjadi begitu mendesak akibat paradigma yang melandasi pembentukan 3 lembaga keuangan dunia itu hanya dilandasi oleh tekstur kepentingan negara-negara pemenang perang masa itu. Yang dalam perkembangannya bertransformasi sebagai negara-negara industri dan maju pesat akibat perselingkuhan yang mengakali keterbelakangan Dunia Ketiga yang tengah kalut.
Wajah peradaban yang coreng-moreng akibat siklus kekerasan yang telanjur berurat akar menantang dunia untuk mencari terapi yang tepat. Ketika demokrasi dan hak asasi terus dikumandangkan-dan kematian jutaan orang Yahudi di tangan Nazi telah menuai kecaman, maka globalisasi sesungguhnya telah merenggut korban dalam jumlah yang sukar diterima akal sehat.
Dalam cara yang lebih mengerikan, globalisasi telah menciptakan ladang pembantaian baru umat manusia, sebuah holocaust yang kejam. Maka, tak salah bila tuturan Vandana Shiva-seorang pemikir asal India, dalam Violence of Globalization menjadi refleksi tentang dunia dan menutup tulisan ini
We thought we had put slavery, holocausts and apartheid behind us - that humanity would never again allow dehumanizing and violent systems to shape the rules by which we live and die. Yet globalization is giving rise to new slavery, new holocausts, new apartheid. It is a war against nature, women, children, and the poor. A war which is transforming every community and home into a war zone. It is a war of monocultures against diversity, of big against small, of war time technologies against nature.
Mendesak untuk dipikirkan, ke mana dunia hendak bergerak?
* Penulis adalah peneliti, mahasiswa pada RWTH Aachen, Jerman
Suara Pembaruan – 13 Oktober 2004
Gunungbatu
gunungbatu
desa yang melahirkan laki-laki
kuli-kuli perkebunan
seharian memikul kerja
setiap pagi makin bungkuk
dijaga mandor dan traktor
delapan ratus gaji sehari
di rumah ditunggu
mulut perut anak istri
gunungbatu
desa yang melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak binatang di hutan lindung
mengambil telur penyu
di pantai terlarang
demi piring nasi
kehidupan sehari-hari
gunungbatu
desa terpencil jawa barat
dipagari hutan
dibtasi pantai-pantai cantik
ujung genteng, cibuaya, pangumbahan
sulit transportasi
-jakarta dekat-
sulit komunikasi
sejarah gunungbatu
sejarah kuli-kuli
sejak kolonial
sampai republik merdeka
sejarah gunungbatu
sejarah kuli-kuli
gunungbatu
masih di tanah air ini
november 87
Post a Comment