Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Tuesday, September 9, 2008
Inspirasi Amerika Latin
Derasnya arus neososialisme yang merambah Amerika Latin kian menjadi perhatian dunia. Bisa saja hal itu dilihat secara miris, sekadar reaksi atas gembosnya roda kapitalisme.
Namun, bila pengaruhnya sudah menggurita mencakup Kuba, Venezuela Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan kini Paraguay, hal itu bukan lagi kebetulan.
Pesimisme
Awal abad XX dengan janji kesejahteraan menyeluruh, disambut penuh antusias di Amerika Latin dan diakui para uskup AL dalam Dokumen Medellin (1968). Ada optimisme bakal terwujudnya emansipasi total, pembebasan dari segala bentuk perbudakan, kemantangan pribadi, dan integrasi kolektif.
Dalam kenyataan, harapan itu cepat sirna. Optik desarrollista (asal dianggap maju) yang mengandalkan pinjaman luar negeri, dengan cepat diketahui kedoknya. Kesejahteraan yang dijanjikan berubah wajah menjadi seram. ”Bantuan” telah menggiring negara miskin ke jalan buntu. Mereka terus ”dibuntuti” untuk melunasi utang luar negeri.
Oleh Leonardo Boff (Pasado y Futuro de la Teologia de la Liberacion, 1987) kenyataan ini dilihat sebagai produk logika pasar (logica del mercado). Di sana modal dibiarkan bergerak semau gue. Sementara itu, gerakan ke arah pendistribusian kekayaan demi meratanya kesejahteraan dibendung.
Bukan itu saja. Kemiskinan menjadi awal dari serentetan kekerasan baru. Konflik, pertentangan, peperangan, kelaparan, dan kematian menjadi wajah baru. Oleh José Comblin (Liberación y Cautiverio, 1976), fenomena ini disebut kekerasan yang terinstitusionalisasi (violencia institucionalizada). Hal ini memprihatinkan. Hidup seakan tidak berharga karena begitu mudah dimangsa kematian oleh perebutan makanan.
Logika kehidupan
Jeratan neokapitalisme yang dipromotori oleh saudara sebenua AS dengan cepat disadari. Tawaran memperbanyak senjata dan menggandakan militer demi mengatasi konflik dipahami sebagai taktik licik. Di sana, atas ”nama keamanan”, sejumlah negara miskin (tetapi kaya sumber alam) dipaksakan memiliki delapan kali lipat tentara daripada jumlah dokter (R Ruiz, El Paiz, 1992). Padahal, masalah yang dihadapi adalah ancaman kematian oleh kelaparan.
Kuba yang cukup mahir mempelajari gelagat ”sang tetangga”, menawarkan jalan keadilan sosial. Kekayaan bersama dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama dan menjamin hak hidup masyarakat. Tak pelak, puluhan rumah sakit dibangun. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba yang hanya berpenduduk 10 juta jiwa memiliki 4.000 tamatan dokter spesialis setiap tahun. Sebanyak 30.000 dokter bekerja di jaringan rumah sakit (red de hospitales), 20.000 lebih sebagai dokter keluarga. Yang lain sebagai peneliti dan pengajar di berbagai tempat. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba telah menjadi pionir dalam pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran di seluruh Amerika Latin (Gianni Mina, Habla Fidel, 1987). Seluruh dokter tamatan Kuba kini melayani hampir 70 juta penduduk dunia.
Venezuela dengan keunggulan sumber daya alam tidak kurang keterlibatan sosialnya. Pada saat dunia menjerit akibat kenaikan harga BBM, Chavez menawarkan ”harga berdamai” kepada sesama negara di Amerika Latin. Ia bahkan menawarkan harga 100 dollar AS per barrel kepada pemerintahan sosialis Spanyol. Di Bolivia, bertepatan dengan hari Buruh 1 Mei 2006, Evo Morales memulai program reapropiación social de la riqueza pública dengan menasionalisasi semua perusahaan migas. Baginya, perwujudan keadilan sosial adalah harga mati.
Harapan
Gelombang sosialisme yang menyebar di Amerika Latin menjadi inspirasi bagi kita.
Pertama, butuh komitmen pada keadilan sosial sebagai pijakan awal. Ia bukan sekadar ekspresi aksi karitatif yang mungkin dilakukan dengan motif politis sekunder. Tidak. Keadilan sosial dipahami secara komutatif demi terpenuhinya kebutuhan dasar dan terjunjungnya harkat dan martabat semua manusia.
Kita masih jauh dari idealisme ini. Kelangkaan kebutuhan dasar, melambungnya harga BBM dan gas, kian sulitnya mendapatkan beras murah, selain orang miskin yang ”dilarang untuk sakit” (karena itu berarti ajal) adalah tanda betapa jauhnya kita dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, butuh gerakan sosial yang kompak. Untuk ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia bersyukur punya Ramadhan, bulan penuh rahmat. Di sana pembaruan sosial berawal dari pengekangan nafsu badaniah perlahan dibatinkan untuk kemudian hadir sebagai gerakan sosial demi membarui negeri ini.
Pembaruan seperti ini bersifat menyeluruh karena mencakup dimensi transenden sekaligus imanen, demikian Boff dalam El águila y la gallina (1989). Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Kalau proses ini dijalani, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.
Robert Bala
Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid.
KOMPAS, 9 September 2008
Label:
Ideologi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
GLOBALISASI NEO-LIBERAL DAN DUNIA KETIGA
Fidel Castro Ruz
Sumber: Jurnal Kiri, Volume 3, Oktober 2000
Penerbit: Neuron
Versi Online: Situs Indo-Marxist (http://come.to/indomarxist), Januari 2002
Yang mulya,
Para delegasi dan tamu-tamu yang terhormat,
Dalam kehidupan manusia, baru sekarang ini lah bisa dicapai potensi ilmu-pengetahuan dan teknologi yang begitu mengagumkan, hingga mencapai kemampuan yang luarbiasa untuk menghasilkan kekayaan, kelimpahan dan kesejahteraan; namun demikian, pada saat yang sama, tak pernah terjadi sebelumnya juga, semakin mempertajam kesenjangan dan ketidakadilan di dunia.
Kehebatan teknologi yang walaupun, dalam hal komunikasi dan jarak, bisa menautkan seluruh planet ini, namun nyatanya semakin memperlebar kesejangan antara yang makmur dengan yang miskin, antara yang maju dengan yang terbelakang.
Globalisasi adalah suatu realitas obyektif yang bisa lebih memperjelas fakta bahwa kita sebenarnya merupakan penumpang dalam satu kapal yang sama, yakni, bumi tempat kita hidup. Tapi, para penumpang kapal tersebut mengadakan perjalanannya dengan kondisi-kondisi yang sangat berbeda.
Minoritas-kecil mengadakan perjalanan di kabin yang sangat mewah, dilengkapi fasilitas internet, telepon selular, dan memiliki akses ke jaringan-jaringan komunikasi golabal. Mereka bisa menikmati makanan yang bergizi, sehat, dan berlimpah, serta bisa mendapatkan pasokan air bersih. Mereka memperoleh pelayanan atau perawatan kesehatan yang canggih dan bisa menikmati kebudayaan.
Sementara, mayoritas-berlimpah yang sengsara mengadakan perjalanan dalam kondisi seperti pada zaman perdagangan budak (yang mengenaskan) dari Afrika ke Amerika di zaman kolonial pada masa yang lalu. Sebagain besar penumpang kapal tersebut, yakni sekitar 85 %, berada dalam kabin yang penuh sesak dan kotor, kelaparan, penyakitan dan tak ada yang menolong.
Jelas sekali, bahwa kapal yang sarat dengan ketidakadilan, yang sedang mengarungi jalur irasional dan tak masuk akal mustahil bisa tetap mengapung dan bisa selamat ke pelabuhan yang dituju. Pelayaran seperti itu ditakdirkan akan menabrak gunung es, dan karam. Dan bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam bersama kapal karam tersebut.
Pimpinan negara dan pimpinan pemerintahan yang hadir di sini, yang mewakili mayoritas-melimpah yang sengsara tersebut, bukan saja berhak tapi juga berkewajiban menyelamatkan mereka dan mengarahkan jalur kapal yang membahayakan tersebut ke arah yang benar. Adalah tugas kita bersama untuk memperoleh tempat yang aman, agar semua penumpang bisa mengadakan perjalanan dalam suasana solidaritas, persamaan dan keadilan.
Selama dua dekade terakhir ini, Dunia Ketiga berulang-ulang dicekoki, harus selalu mendengarkan, hanya satu wacana simplistik, yang hanya menghasilkan satu kebijakan.
Selalu, kita diceritai bahwa deregulasi pasar, swastanisasi maksimum dan melepaskan campurtangan negara dalam aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip menguntungkan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial.
Degan Garis kebijakan seperti itu, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan transnasional akan lebih diuntungkan dan IMF, yang selama dua dekade terakhir ini telah merancang tatanan ekonomi dunia, sangat menentang kemajuan negeri-negeri kita dan kemampuan kita untuk tetap bertahan—dalam melidungi masyarakat dan menyelamatkan lingkungan.
Globalisasi telah ditautkan, diidentikan, dengan neoliberalisme; dengan demikian, bukan kemajuan atau kesejahteraan yang disebarluaskan secara global tapi kemiskinan; bukan kedaulatan bangsa yang dihargai tapi dominasi; bukan solidaritas di antara rakyat kita tapi sauve qui peut (sebisa-bisanya menyelamatkan diri mereka sendiri) dalam kompetisi tak seimbang di pasar bebas.
Dua dekade pelaksanaan apa yang mereka namakan penyesuaian struktural hanya lah mewariskan kegagalan pembangunan ekonomi dan kerusakan sosial. Tugas para politisi yang bertanggung jawab dalam menghadapi persoalan tersebut adalah mengambil keputusan yang sanggup memberikan landasan yang kondusif bagi Dunia Ketiga agar bisa keluar dari lorong yang gelap.
Kegagalan pembangunan ekonomi merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Di bawah kebijakan-kebijakan neoliberalisme, ekonomi Dunia mengalami pertumbuhan global antara tahun 1975 hingga tahun 1988, tidak sampai setengahnya dari pertumbuhan yang dicapai antara tahun 1945 hingga 1975—saat menjalankan kebijakan-kebijakan Keynesian dan negara berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi.
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidak lah lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali, tapi sekarang berhutang sebesar 1 trilyun dolar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin juga yang terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan,.
Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar semakin seringnya terjadi krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negeri-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah semakin melebar.
Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tidak kurang dari 3 trilyun dolar.
Negeri kita diharuskan lebih transparan dalam memberikan informasinya dan lebih efektif dalam pengawasan bank, sedangkan lembaga-lembaga keuangan seperti penyandang dana, yang tak memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatannya, benar-benar, absolut, tak bisa dibatasi aturan dan malahan mengatur semua kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh cadangan devisa yang tersimpan di bank-bank negeri-negeri Selatan.
Dalam atmosfir spekulasi yang tak terbatas, gerakan-gerakan kapital jangka-pendek akan menyebabkan negeri-negeri-negeri Selatan rentan terhadap ketidakpastian yang datang dari luar.
Dunia Ketiga dipaksa menghentikan mobilisasi sumber keuangannya sendiri agar cadangan devisanya merupakan hutang luar negeri yang, katanya, dapat digunakan untuk mempertahankan serangan dari para spekulator. Dalam beberapa tahun terakhir ini, lebih 20 % dari pendapatan kapital yang diperoleh dihentikan mobilisasinya, dijadikan sekadar cadangan devisa, namun tak juga cukup untuk menahan serangan para spekulator—terbukti bila dilihat dari krisis finansial yang terjadi di Asia Tenggara.
Sekarang ini, sejumlah 727 milyar dolar yang berasal dari bank-bank pusat cadangan devisa dunia tersimpan di Amerika Serikat. Hal tersebut akan mengarah pada paradok: negeri-negeri miskin, dengan cadangan devisanya, akan menawarkan pinjaman jangka-panjang yang murah untuk membiayai negeri-negeri makmur dan paling berkuasa di dunia, padahal cadangan tersebut sebenarnya bisa (lebih baik) digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan sosial mereka.
Alasan mengapa Kuba bisa berhasil menjalankan program-program pendidikannya, pelayanan kesehatannya, kebudayaannya, ilmu-pengetahuannya, olah raganya dan program-program lainnya—yang tak seorang pun di dunia ini menyangsikannya, walau diblokade secara ekonomi dalam empat dekade—dan, dalam lima tahun terakhir ini, kami berhasil meningkatkan nilai mata uang kami (terhadap dolar) sebanyak tujuh kali, itu karena posisi terhormat kami sebagai bukan anggota IMF—terima kasih atas perlakuan tersebut.
Sistim finansial yang secara paksa menahan mobilisasi sumber keuangan yang begitu besar—yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh negeri-negeri Dunia Ketiga untuk melindungi dirinya dari instabilitas yang disebabkan oleh sistim yang diarahkan agar si miskin membiayai si kaya—harus dienyahkan.
IMF merupakan simbul organisasi sistem moneter yang ada sekarang, dan Amerika Serikat memiliki hak veto terhadap segala keputusannya.
Sepanjang berbicara mengenai krisis keuangan yang baru saja terjadi, IMF menunjukkan kelemahannya dalam memprediksi dan tak memiliki kemampuan untuk menangani situasi tersebut. IMF mendesakkan aturan-aturan pengkondisian yang melumpuhkan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial pemerintah, sehingga menciptakan ancaman domestik yang serius dan menghambat akses terhadap sumberdaya-sumberdaya penting ketika sangat dibutuhkan.
Sudah saatnya Dunia Ketiga menuntut dengan keras agar lembaga tersebut—yang tak bisa memberikan jaminan stabilitas bagi ekonomi Dunia Ketiga, yang juga tak bisa memasok dana pada negeri-negeri debitor agar bisa mengatasi krisis likuiditasnya—dibubarkan; lembaga tersebut hanya lah diarahkan untuk melindungi dan menyelamatkan negeri-negeri kreditor.
Dimana kah letak kerasionalan dan etika tatanan moneter internasional bila hanya memberikan kesempatan pada para teknokrat—yang posisinya tergantung pada dukungan Amerika Serikat—untuk merancang program-program penyesuaian ekonomi, yang identik dengan Washington, guna diterapkan di berbagai negeri demi mengatasi problem-problem khusus Dunia Ketiga?
Siapakah yang harus bertanggung jawab bila program-program penyesuaian tersebut menimbulkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan medestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumberdaya alam dan manusia yang besar seperti terjadi di Indonesia dan Ekuador?
Ini lah saat yang penting bagi Dunia Ketiga untuk bekerja membubarkan lembaga yang jahat tersebut, dan selain itu juga melenyapkan dasar filsafatnya yang masih bertahan, menggantikannya dengan badan pengatur keuangan internasional yang akan beroperasi di landasan demokratik dan tak seorang pun punya hak veto. Suatu Lembaga yang tak akan sekadar membela kepentingan para kreditor kaya dan tak akan memaksakan kondisi-kondisi penuh campur tangan, akan tetapi mengizinkan aturan-aturan dalam pasar finasial sehingga bisa menahan spekulasi yang tak terkendali.
Cara yang tepat dalam menjalankannya adalah dengan mengenakan pajak yang tidak cuma 0,1%—seperti yang dianjurkan oleh si cerdas Tuan Tobin—tapi sebesar minimal sebesar 1 %, yang tak disangsikan lagi bisa mengumpulkan dana yang sedemikian besarnya—melebih nilai normal, yakni sebesar 1 trilyun dolar setiap tahunnya—guna mengembangkan pembangunan Dunia Ketiga yang nyata, berkelanjutan dan konprehensif.
Hutang luar negeri bangsa-bangsa berkembang sangat lah mencengangkan, tidak saja karena hutang tersebut begitu besarnya tapi juga karena mekanismenya yang keji—mendominasi dan mengeksploitasi—serta formula yang ditawarkan negeri-negeri maju untuk mengatasinya tak masuk akal, absur.
Hutang luar negeri bangsa-bangsa berkembang jumlahnya sudah tak normal lagi, telah mencapai 2,5 trilyun dolar dan, dekade sekarang ini, lebih membahayakan ketimbang pada tahun 1970-an. Sebagian besar Hutang baru tersebut dengan mudahnya bisa berpindah tangan di pasar sekunder dan; kini, hutang tersebut lebih berserakan dan lebih sulit untuk dijadwalkan kembali.
Sekali lagi aku harus mengulangi apa yang telah kami katakan sejak tahun 1985: hutang tersebut sebenarnya sudah bisa kita bayar jika nilai tukarnya dolarnya sama dengan nilai kontraknya, tak terganggu oleh perubahan dan kenaikan serampangan nilai mata uang dolar dalam beberapa dekade yang lalu, dan tak terganggu oleh penurunan harga komoditi pokok—sumber pendapatan utama bagi negeri-negeri berkembang. Hutang terus menerus digunakan untuk membayar hutang (to feed on itself), dalam lingkaran setan gali lubang tutup lubang, hutang digunakan untuk membayar bunga hutang.
Sekarang, jadi lebih jelas dari sebelumnya, bahwa hutang bukan sekadar issue ekonomi tapi juga issue politik, karenanya, harus diselesaikan secara politik. Tak mungkin terus menerus memanipulasi fakta bahwa jalan keluar bagi problem tersebut harus secara mendasar diatasi oleh negeri-negeri yang seolah-olah memiliki sumberdaya dan kekuatan, yakni, negeri-negeri makmur.
Apa yang disebut sebagai Inisiatif Pengurangan Hutang Negeri-negeri Miskin yang Terbelit Hutang hanya lah gagah namanya saja tapi jelek hasilnya. Tak lain dan tak bukan: upaya goblok yang cuma mengurangi 8,3% total hutang negeri-negeri Selatan; tapi, selama hampir empat tahun setelah pelaksanaan program tersebut hanya empat negeri saja—di antara 33 negeri termiskin—yang sanggup melewati proses yang rumit untuk mengurangi hutangnya sekadar sebesar 2, 7 milyar dolar, atau hanya sebesar 33 % dari pembelanjaan Amerika Serikat yang digunakan untuk mempermanis citra dirinya.
Sekarang ini, hutang eksternal merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan dan merupakan bom yang, pada saat krisis ekonomi, setiap saat bisa meledakkan fondasi ekonomi dunia.
Sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengatasi akar persoalan tersebut tidak lah besar jika dibandingkan dengan kesejahteraan dan biaya-biaya yang dinikmati dan dikeluarkan oleh negeri kreditor. Setiap tahunnya dibutuhkan dana sebesar 800 milyar dollar untuk membiayai persenjataan dan tentara, bahkan melebih jumlah pendanaan Perang Dingin dan, sementara itu, tak kurang dari 400 milyar dolar digunakan untuk membeli narkotik serta tambahan 1 milyar milyar lagi digunakan untuk mendanai publikasi komersil—yang tak beda fungsinya seperti narkotik, tidak produktif, teralineasi dari nilai-guna komoditi; itu baru menyebut tiga contoh saja.
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, secara jujur dan realistik harus diakui bahwa hutang eksternal negeri-negeri Dunia Ketiga sudah tak bisa dibayar dan tak bisa dipungut kembali.
Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia dijadikan sebagai alat dominasi yang, di bawah globalisasi neoliberal, akan menjadi elemen yang semakin berguna untuk melanjutkan dan mempertajam ketidakadilan, serta juga merupakan teater yang mewadahi perselisihan sengit di kalangan negeri-negeri maju saat berebutan hendak menguasai pasar yang ada sekarang dan pasar di kemudian hari.
Wacana neoliberal menyarankan bahwa liberalisasi komersial merupakan cara terbaik dan formula satu-satunya bagi efesiensi dan pembangunan. Menurut wacana tersebut, seluruh bangsa harus menghapuskan segala instrumen proteksi terhadap pasar domestiknya tak perduli sebesar apapun perbedaan derajat pembangunan mereka, merupakan jalan keluar—satu-satunya jalan keluar—yang ditawarkan, yang tak boleh dibatasi oleh keabsyahan perbedaan apapun, walaupun tak bisa menawarkan kemungkinan jalan keluar lainnya. Setelah melalui perdebatan sengit dalam sidang WTO, negeri-negeri termiskin hanya diberikan perbedaan jedah-waktu sedikit saja untuk sepenuhnya bisa memahami sistem yang jahat tersebut.
Sementara neoliberalism terus menerus mengulang-ulang wacananya—karena memperoleh kesempatan menguntungkan dengan adanya perdagangan bebas—parisipasi negeri-negeri terbelakang dalam dunia ekspor, pada tahun 1998, mengalami penurunan ketimbang pada tahun 1953, atau, 45 tahun yang lalu. Dengan luas area 8, 5 juta kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sebanyak 168 juta orang, dan dengan nilai ekspor sebesar 51, 1 milyar dolar selama tahun 1998, nilai ekspor Brazil lebih kecil ketimbang nilai ekspor Belanda pada tahun yang sama, 198, 7 milyar dolar—padahal luas wilayahnya hanya sebesar 41.803 kilometer persegi, dan jumlah penduduknya hanya sebanyak 15, 7 juta orang.
Pada intinya, liberalisasi perdagangan berisi instrumen-instrumen untuk, secara sepihak, menghapuskan proteksi oleh negeri-negeri Selatan. Sementara, di sisi lain, bangsa-bangsa maju tidak melakukan hal yang sama: mempersulit ekspor Dunia Ketiga ke pasar-pasar mereka.
Bangsa-bangsa maju telah mendorong terjadinya liberalisasi dalam sektor-sektor strategis terutama yang bertalian dengan teknologi maju sehingga, dengan semakin bebasnya pasar, mereka bisa menikmati keuntungan yang sedemikian besar. Lihat saja kasus-kasus klasik: sektor jasa, teknologi informasi, bioteknologi dan telekomunikasi telah lama dideregulasikan.
Di sisi lain, sektor pertanian dan tekstil—dua sektor khusus yang sangat penting bagi negeri kita—masih belum sanggup menghapuskan pembatasan-pembatasan tersebut dalam pertemuan Uruguay Round karena sektor-sektor tersebut tidak menjadi kepentingan negeri-negeri maju.
Dalam (kebijaksanaan) OECD—klub negeri-negeri kaya—rata-rata tarif yang diterapkan pada ekspor barang-barang manufaktur dari negeri-negeri berkembang empat kali lebih tinggi ketimbang yang diterapkan pada ekspor negeri-negeri anggota OECD. Jadi, tembok-nyata hambatan non-tarif terletak di negeri-negeri Selatan itu sendiri.
Sementara itu, dalam perdagangan internasional, wacana hipokrit ultra-liberal memperoleh pembenarannya karena sesuai dengan proteksionisme selektif yang diterapkan oleh negeri-negeri Utara.
Komoditi-komoditi pokok masih merupakan rantai yang paling lemah dalam perdagangan dunia. Dalam kasus yang terjadi di 67 negeri-negeri Selatan, komoditi-komoditi tersebut nilainya belum sampai 50% dari nilai total pendapatan eskpor mereka.
Gelombang neoliberal telah melibas skema-skema pertahanan-diri yang sebenarnya terdapat pada komoditi-komoditi pokok. Diktum tertinggi ruang-pasar tidak bisa mentelorir distorsi apapun, karenanya, Kesepakatan Komoditi-komoditi Pokok dan formula pertahanan-diri lainnya—yang sebenarnya dirancang untuk menghadapi pertukaran yang tidak adil—dilanggar atau diabaikan begitu saja. Itu lah alasan mengapa sekarang daya beli komoditi-komoditi tersebut, seperti gula, coklat, kopi, dan lain-lainnya, hanya bernilai 20% dibandingkan dengan nilai pada tahun 1960; konsekuensinya, negeri-negeri tersebut tak bisa lagi menutup (bahkan) biaya-biaya produksinya.
Perlakuan istimewa dan perlakuan berbeda terhadap negeri-negeri miskin diberikan bukan atas dasar pertimbangan (tindakan mendasar) keadilan dan merupakan suatu keharusan yang tak boleh diabaikan, tapi atas dasar pertimbangan (tindakan temporer) karitas, belas-kasih. Sebenarnya, perlakuan berbeda tersebut bukan saja merupakan pengakuan atas banyaknya perbedaan dalam pembangunan—yang membutuhkan ukuran yang berbeda pula dalam menangani pembangunan di negeri-negeri kaya dan di negeri-negeri miskin—tapi seharusnya juga merupakan pengakuan bahwa (secara historis) kolonialisme negeri-negeri kaya terhadap negeri-negeri miskin di masa lalu dituntut memberikan konpensasi.
Kegagalan pertemuan Seattle membuktikan bahwa oposisi sudah bosan terhadap kebijakan-kebijakan neoliberal—bila dilihat dari opini umum yang semakin meluas ke berbagai sektor, baik di negeri-negeri Selatan maupun negeri-negeri Utara sendiri.
Amerika Serikat menyelenggarakan pertemuan kesepakatan perdagangan, yang seharusnya dimulai di Seattle, sebagai langkah yang lebih jauh lagi untuk meliberalisasikan perdagangan tak peduli, atau mungkin melupakan, bahwa Undang-undang Perdagangan Luar Negeri mereka, yang agresif dan diskriminatif, masih berlaku. Undang-undang tersebut memiliki aturan pelengkapnya—”Super-3101”—yang memberikan gambaran nyata tentang diskriminasi dan tindakan untuk menerapkan sanksi terhadap negeri-negeri lain dengan alasan untuk menindak mereka yang diasumsikan menentang/melanggar benteng-benteng yang melindungi produk-produk orang-orang Amerika, padahal asumsi-asumsinya didasari kualifikasi yang sewenang-wenang, sudah ditentukan sebelumnya, dan sering sinis—bahwa pemerintah memutuskan memberikan keistimewaan pada negeri-negeri lainnya atas dasar pertimbangan hak-hak azasi manusia.
Di Seattle, ada pemberontakan terhadap neoliberalisme. Contoh yang paling baru dalam menolak pemaksaan diberlakukannya Kesepakatan Multilateral dalam Investasi. Hal itu membuktikan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang menyebabkan kerusakan parah di negeri-negeri kita, sudah dilawan dengan keras dan gigih di dunia.
Sebagai tambahan bagi data bencana ekonomi yang telah disebutkan di atas: walau harga minyak meningkat secara signifikan, namun kenaikannya tersebut justru memberikan sumbangan terhadap memburuknya kondisi di negeri-negeri Selatan sebagai impotir-bersih sumberdaya alam yang sangat vital tersebut. Dunia Ketiga menghasilkan minyak sekitar 80 % dari total perdagangan dunia, dan sekitar 80 % dari jumlah tersebut diekspor ke negeri-negeri maju.
Bangsa-bangsa makmur mampu membayar seberapapun tingginya harga komoditi energi tersebut—yang mereka boroskan untuk mempertahankan tingkat konsumsi mewah mereka dan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Konsumsi minyak Amerika Serikat sekitar 8,1 ton per kapita, sementara Dunia Ketiga mengkonsumsi sekitar 0,8 ton per kapita, dan negeri termiskin Dunia Ketiga mengkonsumsi cuma sekitar 0,3 ton.
Dan harga minyak yang tiba-tiba melonjak, dari US $12 menjadi US $ 30 per barel, atau lebih, justru memiliki dampak yang sangat merusak bangsa-bangsa Dunia Ketiga—dan ini merupakan tambahan masalah terhadap masalah-masalah yang sudah ada, seperti masalah hutang eksternal, rendahnya harga komoditi-komoditi pokok, krisis finansial dan ketidakadilan dalam menanggung beban dampak negatif krisis. Sekarang, kita mengalami sebuah situasi buruk yang sama, yang merupakan tambahan masalah baru di kalangan bangsa-bangsa Selatan.
Minyak merupakan komoditi vital yang, secara universal, sangat dibutuhkan, yang bisa lari dari hukum-hukum pasar. Dengan satu atau lain cara, perusahaan-perusahaan transnasional dengan negeri-negeri Dunia Ketiga pengekspor minyak berupaya menghimpun dirinya agar bisa sama-sama mempertahankan kepentingan dirinya dalam bentuk menentukan harga minyak.
Rendahnya harga minyak lebih banyak menguntungkan negeri-negeri kaya yang sangat boros dalam penggunaan energi minyak, sehingga mereka terus menerus melakukan penelitian untuk mendapatkan deposit-deposit minyak baru yang dapat diekploitasi, demikian pula mereka berupaya mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi konsumsi dan dapat melindungi lingkungan; dan itu mempengaruhi ekportir-eksportir Dunia Ketiga. Di sisi lain, tingginya harga minyak, yang menguntungkan para eksportir, dengan mudah bisa ditanggung oleh negeri-negeri kaya namun sangat membahayakan karena bisa menghancurkan sebagian besar ekonomi dunia kita.
Itu lah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda terhadap negeri-negeri yang memiliki tahap pembangunan berlainan harus lah menjadi prinsip keadilan yang tak dapat dipisahkan dalam perdagangan dunia. Sangat lah tak adil bila negeri Dunia Ketiga seperti Mozambique, yang hanya memiliki US$ 84 per kapita GDP, harus mengeluarkan dana yang sama—untuk membeli komoditi vital tersebut—dengan negeri Switzerland, yang memiliki US$ 43.400 per kapita GDP, 516 kali (lebih tinggi) per kapita GDP negeri Mozambique.
Perjanjian San José, yang ditandatangani 20 tahun yang lalu oleh Venezuela dan Mozambique bersama sekelompok kecil negeri-negeri pengimpor minyak dalam regional tersebut, memberikan contoh yang baik tentang apa yang bisa dan harus ada dalam benak kita, benak setiap bangsa Dunia Ketiga, yang memiliki situasi yang sama—namun, walaupun demikian, pada saat ini kita harus menghindari kondisi-kondisi apapun sehubungan dengan perbedaan perlakuan yang mungkin akan mereka terima.
Beberapa negeri berada dalam keadaan tak mampu membeli lebih dari US$ 10 per barelnya, yang lainnya tak mampu membeli lebih dari US$ 15 per barelnya, dan tak satu pun negeri yang mampu membeli lebih dari US$ 20 per barelnya.
Bagaimanapun juga, negeri-negeri dunia kaya, yang cenderung membelanjakan uangnya dalam jumlah besar dan memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi, mampu membeli lebih dari US$ 30 per barelnya tanpa mengakibatkan kehancuran pada negeri mereka. Karena mereka mengkonsumsi 80% ekspor negeri-negeri Dunia Ketiga, maka kelebihan harga dan keuntungan dari penjualan ke negeri-negeri kaya tersebut bisa menutupi kerugian akibat harga penjualan yang lebih rendah ke sebagian besar bangsa miskin lainnya, yang memang seharusnya hanya membeli US$ 20 per barelnya.
Itu lah jalan kongkrit dan ampuh yang bisa merubah kerjasama Selatan-Selatan menjadi instrumen yang memiki kekuatan besar bagi pembangunan Dunia Ketiga. Mengambil jalan yang lain berarti menghancurkan diri sendiri.
Dalam tingkatan dunia global, dimana pengetahuan merupakan kunci bagi pembangunan, kesenjangan teknologi antara Utara dan Selatan cenderung semakin melebar dengan meningkatnya swastanisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.
Negeri-negeri maju, dengan populasi penduduk sekitar 15 % total penduduk dunia, sekarang ini mengkonsentrasikan 88% pengguna internet. Hanya di Amerika Serikat saja, terdapat lebih banyak komputer ketimbang di belahan bumi lainnya. Negeri-negeri tersebut menguasai 97% hak paten dunia dan menerima 90% hak lisensi internasional sementara, bagi sebagian besar negeri Selatan, penerapan hak pemilikan intelektual (intellectual property rights) belum ada atau sangat sulit dilakukan.
Dalam penelitian swasta, faktor keuntungan lebih didahulukan ketimbang faktor kebutuhan; adanya hak pemilikan intelektual mengakibatkan negeri-negeri terbelakang tak bisa memiliki akses terhadap pengetahuan, dan aturan hak paten tidak mengakui transformasi pengetahuan serta sistem-sistim kepemilikan tradisional, padahal sangat penting bagi negeri-negeri Selatan.
Penelitan swasta hanya mengabdi pada kebutuhan para konsumen-konsumen kaya.
Vaksin telah menjadi teknologi yang sangat efisien dan sangat murah untuk menjaga kesehatan karena bisa mencegah penyakit hanya dengan sekali dosis. Namun demikian, karena keuntungan yang diperoleh melalui pemakaian vaksinasi seperti itu akan semakin rendah, maka mereka membuat vaksin yang membutuhkan pemakaian berkali-kali, lebih dari sekali dosis.
Pengobatan baru, benih terbaik dan, secara umum, teknologi terbaik sudah dijadikan barang dagangan yang harganya hanya mampu ditanggung oleh negeri-negeri kaya.
Dampak buruk sosial perlombaan neoliberal tersebut sangat kasat mata. Di lebih 100 negeri, pendapatan per kapita lebih rendah ketimbang 15 tahun yang lalu. Sekarang ini, 1, 6 milyar orang hidup sangat mengenaskan ketimbang awal 1980-an.
Lebih dari 820 juta orang menderita kekurangan gizi, yang 790 jutanya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 juta orang yang hidup di Selatan sekarang ini tak akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke-40, mati.
Di negeri-negeri Dunia Ketiga—yang perwakilannya hadir saat ini—2 dari setiap 5 anak menderita gangguan pertumbuhan, dan 1 dari setiap 3 anak kekuarangan berat badan; 30.000 sekarat setiap harinya, walaupun bisa disematkan; 2 juta anak-anak perempuan terpaksa terjerumus ke pelacuran; 130 juta anak-anak tak memiliki akses pada pendidikan dasar; dan 250 juta anak di bawah umur 15 tahun terpaksa harus bekerja.
Tatanan ekonomi dunia hanya mengabdi pada 20 % dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80 % sisanya.
Kita tak bisa gampang-gampangan menerima begitu saja masuk ke abad berikutnya sebagai negeri yang terbelakang, miskin dan terhisap; korban kejahatan rasisme dan senopobia bisa menghambat akses terhadap pengetahuan dan menderita alienasi akibat kabar-kabar (yang sangat beorientasi pada konsumen) yang disampaikan orang-orang asing dan diglobalkan oleh media.
Sebagai anggota kelompok G 77, sudah tak saatnya lagi mengemis dari negeri-negeri maju, tunduk, menyerah, menghiba-hiba pada mereka, atau terpecah belah saling menghancurkan. Saatnya lah sekarang untuk memulihkan kembali semangat juang kita, kesatuan kita dan bersatu padu mempertahankan tuntutan-tuntutan kita
Lima puluh tahun yang lalu, kita dijanjikan bahwa suatu hari kelak tak akan ada lagi kesenjangan antara negeri-negeri maju dan negeri terbelakang. Kita dijanjikan dengan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi, hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapatkan penderitaan, kelaparan dan semakin banyak ketidakadilan.
Dunia bisa saja diglobalkan di bawah kekuasaan neoliberal, tapi tak mungkin menguasai milyaran orang yang lapar kesejahteraan dan keadilan.
Gambaran ibu-ibu dan anak-anak yang mengalami ketakutan akan musim kemarau dan penderitaan lainnya di seluruh regional Afrika mengingatkan kita pada kamp konsentrasi Nazi Jerman; kondisi tersebut membangkitkan kembali ingatan kita pada tumpukan mayat laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang sekarat.
Dibutuhkan perjanjian Nuremberg lainnya untuk mengadili kejahatan tatanan ekonomi yang dipaksakan pada kita, sebagaimana mereka memerintahkan pembunuhan orang-orang yang lapar dan tak mendapatkan perlidungan dari penyakit, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, setiap tiga tahunnya, lebih banyak ketimbang pembunuhan enam tahun Perang Dunia II.
Di sini, kita harus mendiskusikan apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya.
Kami, di Kuba, biasanya mengatakan: “Tanah air atau Mati!” Dalam pertemuan Pimpinan-pimpinan puncak negeri-negeri Dunia Ketiga, kita harus mengatakan: Bersatu dan pererat lah kerjasama, atau mati!”
Terimakasih banyak.
GLOBALISASI, KEMISKINAN DAN AGAMA
Oleh Hizbut Tahrir Indonesia
Bagi negara-negara Dunia Ketiga, globalisasi tiada lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang kejam dan tak kenal ampun. Jerry Mander, Debi Barker, dan David Korten tanpa ragu menegaskan,”Kebijakan globalisasi ekonomi, sebagaimana dijalankan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan ketimbang memberikan jalan keluar.” (The International Forum on Globalization, 2004: 8). Jadi, globalisasi adalah produsen kemiskinan. Namun ada yang belum jelas, yaitu bagaimana hubungan globalisasi dan kemiskinan di satu sisi, dengan agama (atau agama-agama) di sisi lain. Memang respon umum agama-agama adalah sikap resistensi terhadap globalisasi. Karena globalisasi dapat dikatakan sebagai ekspansi budaya Barat yang sekularistik, materialistik, dan liberal. Secara demikian, globalisasi dipastikan akan mengikis dan menggerus nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas berbagai agama. Anis Malik Toha (2005:48 ) menerangkan di antara dampak globalisasi adalah, ”…manusia harus mengubah (revise) atau merombak (deconstruct) pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan semangat zaman, zeitgeist, dan nilai-nilai yang diyakini “universal.”” Maka nilai-nilai agama yang dikatakan tradisional seperti penolakan aborsi, homoseksual, dan lesbianisme, dapat luntur ketika berhadapan dengan globalisasi yang tak mengenal moral. Namun persoalannya, apakah respon resistensi (penolakan) sudah cukup? Jelas tidak. Yang diperlukan tak sekedar menolak atau mengkritik globalisasi, tapi juga bagaimana solusi alternatif yang dapat diajukan, termasuk jalan untuk menuju solusi itu. Inilah perkara yang belum jelas ketika kita berbicara kaitan agama dengan globalisasi dan kemiskinan. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan menjelaskan 3 (tiga) poin yang saling terkait dalam konteks globalisasi, kemiskinan, dan agama; yaitu : Pertama, bagaimana hubungan globalisasi dan kemiskinan. Akan dijelaskan dan dibuktikan bahwa globalisasi hanyalah penghasil kemiskinan bagi kebanyakan manusia di muka bumi. Kedua, bagaimana respon agama (atau agama-agama) terhadap globalisasi. Akan dijelaskan bagaimana peta gerakan anti globalisasi, sehingga dapat diketahui di mana dan bagaimana posisi agama-agama terhadap globalisasi. Ketiga, bagaimana respon Hizbut Tahrir terhadap globalisasi. Akan dijelaskan bagaimana Hizbut Tahrir dengan konsepnya yaitu Islam sebagai ideologi dan pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, kiranya akan dapat menjadi harapan umat manusia untuk membebaskan diri dari neo imperialisme global yang menjadi substansi globalisasi.
Post a Comment