Menurut dia, apabila pengelola BPI Danantara bekerja dengan integritas maka sovereign wealth fund (SWF) milik Indonesia itu akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tanah air. “Kalau tidak diawasi (dengan) baik, dia akan menjadi monster ini, tapi kalau diawasi dengan baik, dia bekerja dengan baik, kami harapkan integritasnya baik, maka dia akan menjadi malaikat penyelamat bagi bangsa ini. Dan dia akan membawa negara Indonesia ini terbang tinggi begitu,” ujarnya.
Untuk itu, dia menekankan bahwa pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan BPI Danantara menjadi faktor kunci dari kebermanfaatan hadirnya badan pengelola investasi negara itu. “Jadi ya kuncinya di sana, kalau saya lihat memang dari pelaksanaannya dan pengawasannya,” katanya.
Dia berharap para sosok yang ditunjuk ke dalam struktur organisasi BPI Danantara mampu berkinerja dengan baik dalam menjalankan operasional badan tersebut. “Kami haraplah mereka kerja dengan baik ya, bekerja dengan baik, integritasnya tinggi, kompetensinya saya lihat juga sudah bagus, ya. Hanya nanti pelaksanaannya saja, integritasnya saja yang nanti kita akan evaluasi ketat di DPR maupun oleh instansi lain begitu,” ucapnya.
Dia pun menekankan bahwa DPR RI bersama sejumlah lembaga pengawas lainnya akan ikut mengevaluasi pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja BPI Danantara. “Saya pikir nanti pengawasannya dari segala arah ini, kalau kita lihat dari Kementerian BUMN, dari DPR, dari BPK, dari auditor, dari penasihat juga mengawasi, dan begitu banyak (yang) mengawasi. Kalau sampai 'lolos' jago banget ini Kepala Badan Pelaksananya,” ujar dia.
Bari Baihaqi
Jurnalis Neraca
NERACA, 25 Februari 2025
Menteri Mengontrol Menteri
Empat bulan berkuasa, Presiden Prabowo Subianto melahirkan Danantara, sebuah korporasi raksasa milik negara. Ada yang bilang, ini 'bayinya' Prabowo. Lebih jauh, kata Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, ini gagasan ayahnya, begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo.Siapakah orang-orang yang duduk di puncak Danantara? Sudah ada telaah mengupas rekam jejak orang-orang itu. Ada juga yang menjawab rasa penasaran, siapakah yang menang di dalam tarik-menarik kepentingan menentukan CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief Investment Officer) dan COO (Chief Operating Officer) Danantara?
Saya tak tertarik membicarakan 'orang-orang', apakah mereka duduk di situ buah meritokrasi, buah patronase, atau buah nepotisme. Saya tertarik melihat aspek organisasi, aspek 'nonhuman' Danantara.
Mengawasi ialah mengamat-amati dan menjaga baik-baik; mengontrol. Maka, terjadilah keganjilan, menteri mengawasi menteri, menteri mengontrol menteri.
Kata dasar 'pengawas' adalah 'awas', alias 'tidak meleng'; 'waspada'. Serem juga membayangkan di puncak suatu organisasi bisnis skala raksasa, di situ ada dua pembantu presiden alias menteri yang 'waspada'/'tidak meleng' terhadap satu pembantu presiden lainnya yang setara kedudukannya di kabinet sebagai menteri.
COO Danantara adalah wakil menteri BUMN yang sehari-hari di kabinet melapor kepada menteri BUMN, tetapi sehari-hari di Danantara dia melapor kepada CEO yang adalah menteri investasi dan hilirisasi yang diawasi menteri BUMN dan menteri keuangan. Tak perlu ekstra cerdas untuk menyimpulkan: ruwet !!!
Keruwetan itu bakal permanen bila tiga menteri dan satu wakil menteri tersebut nangkring di puncak Danantara sebagai ex officio. Bila terjadi reshuffle, menteri atau wakil menteri penggantinya 'dengan sendirinya' kembali duduk di singgasana Danantara.
Demikianlah struktur organisasi Danantara itu contoh struktur organisasi yang di dalam bahasa Jawa ngoko disebut mbulet dan bikin 'mumet'. Pertanyaannya, kenapa yang ruwet, mbulet, dan bikin mumet itu terjadi?
Kata guru manajemen Peter F Drucker, “Struktur organisasi yang paling baik tidak akan menjamin adanya hasil dan prestasi, tetapi struktur yang salah merupakan jaminan bahwa tidak akan ada prestasi.”
Sebelum nasi menjadi bubur, sebelum Danantara berlayar rada jauh, baiklah Presiden menilik ulang kedudukan 'penghuni' struktur organisasi Danantara di kabinet/pemerintahan atau sebaliknya sehingga tak terjadi keganjilan seperti menteri mengontrol menteri.
Saur Hutabarat
Dewan Redaksi Media Group
Media Indonesia, 3 Maret 2025
Catatan Kritis Terhadap Danantara Indonesia
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto Djojohadikusumo meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025). Peluncuran dihadiri berbagai kalangan termasuk mantan presiden hingga pemimpin redaksi media massa.
Danantara merupakan superholding atau perusahaan induk yang mengendalikan berbagai perusahaan besar di sektor industri sekaligus manajer investasi dari tujuh BUMN untuk saat ini yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan MIND, serta Indonesia Investment Authority (INA) yang didirikan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam konteks ekonomi, superholding sering kali dibentuk oleh pemerintah untuk mengelola aset negara.
Berkaca dari holding BUMN yang telah dilakukan oleh Jokowi mulai dari holding BUMN Pertambangan, yaitu MIND ID pada tahun 2017, holding BUMN Migas, yaitu Pertamina Group pada tahun 2018, holding BUMN Farmasi pada tahun 2020, holding BUMN Perkebunan yaitu PalmCo & SugarCo pada tahun 2023, dan holding BUMN Pariwisata & Aviasi, yaitu InJourney yang didirikan pada tahun 2022.
Misalnya, holding BUMN Pertambangan masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan efisiensi dan teknologi pengolahan, sementara holding BUMN Migas masih menghadapi masalah keuangan akibat subsidi BBM dan utang yang meningkat.
Sementara, holding BUMN Farmasi masih menghadapi tantangan dalam daya saing produk lokal dibandingkan impor dan holding BUMN Pariwisata dan Aviasi, yaitu belum mampu mengeluarkan Garuda Indonesia dari utang yang besar.
Oleh karena itu, tantangan terbesar dari kelima sektor tersebut masih berkutat pada tata kelola, utang yang besar dan persaingan global. Dan holding BUMN yang berfokus pada sumber daya alam seperti MIND ID dan PalmCo lebih stabil dibandingkan sektor energi dan investasi.
Apakah memungkinkan perusahaan-perusahaan besar ini yang secara signifikan memiliki karakteristik industri yang berbeda bisa bersinergi secara optimal? Atau gabungan perusahaan dengan karakteristik industri yang terlalu berbeda secara signifikan akan melemahkan superholding karena perbedaan yang terlalu lebar.
Hal kedua yang menjadi catatan adalah meskipun Jokowi telah mendirikan Indonesia Investment Authority (INA), lembaga pengelola investasi milik negara yang didirikan pada tahun 2020 ini, sangat berbeda dengan Danantara Indonesia.
INA beroperasi secara independen dan tidak mengelola perusahaan-perusahaan secara langsung, sementara Danantara Indonesia yang baru saja diluncurkan dirancang untuk mengelola dan mengonsolidasikan aset-aset dari tujuh BUMN. INA juga lebih berperan sebagai pengelola portofolio investasi tanpa kepemilikan langsung atas perusahaan-perusahaan tersebut.
Pemerintah harusnya mempertimbangkan bagaimana cara menangani efek negatif dari mengintegrasikan perusahaan dengan karakteristik yang berbeda. Dan pemerintah seharusnya mempertimbangkan ulang jika Danantara Indonesia justru mengalami dis-sinergi.
Hal keempat yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah mengenai dana pihak ketiga milik depositor. Jika Danantara gagal, nasib depositor BNI, Bank Mandiri, dan BRI sangat tergantung pada bagaimana struktur keuangan dan perlindungan simpanan diatur.
Dalam konsep investasi, dana investasi merupakan dana lebih yang siap hilang kapan pun sehingga investasi tidak hanya mengantisipasi keuntungan tetapi juga kerugian atau kita katakan dana siap hilang. Jika Danantara Indonesia hanya gagal dalam pengelolaan aset atau mengalami kerugian investasi, simpanan deposan seharusnya tetap aman karena ketiga bank tersebut masih berdiri sebagai entitas terpisah dengan cadangan modal sendiri.
Namun, bagaimana dengan depositor bisnis UMKM yang memiliki dana terkait dengan penerimaan dan pembayaran gaji sejumlah pegawai di atas Rp 2 miliar? Siapa yang akan menanggung simpanan UMKM dan bisnis menengah di ketiga bank BUMN tersebut?
Maka langkah aman yang bisa diambil depositor secara umum adalah membatasi simpanan sampai Rp 2 miliar di masing-masing bank peserta Danantara Indonesia agar tetap dijamin oleh LPS dari risiko sistemik.
Skandal 1MDB adalah salah satu kasus korupsi dan pencucian uang terbesar dalam sejarah dunia, yang melibatkan dana miliaran dolar yang dicuri dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah dana investasi milik negara Malaysia.
Awalnya 1MDB dibentuk oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, sebagai dana investasi negara untuk pembangunan ekonomi. Dana ini awalnya bertujuan menarik investasi asing dan membiayai proyek infrastruktur.
Namun, dari tahun 2009-2015, terjadi penyelewengan dana sekitar US$ 4,5 miliar (sekitar Rp 72 triliun) melalui transaksi keuangan yang kompleks. Uang ini dialihkan ke rekening pribadi pejabat tinggi dan digunakan untuk membeli properti mewah, karya seni, dan kapal pesiar.
Oleh karena itu, jika secara desain melalui dipersulitnya pihak ketiga seperti BPK dan KPK mengaudit Danantara Indonesia, pengendalian internal dan pengawasan yang lemah terhadap dana investasi negara maka bisa membuka peluang korupsi besar-besaran.
Ditambah lagi kolaborasi global dalam pencucian uang dapat memperumit pelacakan dana yang dicuri. Kasus ini menjadi peringatan bagi negara lain agar lebih transparan dalam pengelolaan keuangan publik.
Jumlah total anak perusahaan BUMN, yang sering disebut anak cucu, diperkirakan mencapai ratusan. Karena persyaratan untuk mengungkapkan informasi tentang anak perusahaan, yang secara teknis tidak diklasifikasikan sebagai BUMN, lemah, dan kapasitas pengawasan pemangku kepentingan terbatas, korupsi sering terjadi di anak perusahaan ini.
Nurhastuti Kesumo Wardhani
Akademisi dan dosen senior di Program Doktoral Ilmu Ekonomi konsentrasi Akuntansi di Universitas Trisakti.
Penulis buku dengan gelar Ph.D. di bidang keuangan dari University of Queensland Australia.
CNBC Indonesia, 28 Februari 2025
Danantara: Bagaimana dan Untuk Siapa?
Pemerintah Indonesia telah meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai strategi untuk mengelola aset negara senilai Rp 14.000 triliun (USD 900 miliar) guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun, dalam diskusi yang digelar Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), para ekonom menyoroti berbagai tantangan, termasuk inefisiensi tata kelola, intervensi politik, dan ketidakjelasan strategi penggabungan BUMN. Prof. Didik J. Rachbini menegaskan bahwa keberhasilan Danantara sangat bergantung pada reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas BUMN, sementara Esther Sri Astuti mengkritisi potensi ketidakefisienan akibat pengelolaan aset yang tidak optimal.
Selain itu, peluncuran Danantara mendapat respon negatif dari pasar, terlihat dari kontraksi IHSG pada hari pertama operasionalnya, yang menurut Andry Satrio Nugroho menunjukkan rendahnya kepercayaan investor terhadap independensi dan tata kelolanya. Risiko moral hazard juga dikhawatirkan muncul jika aset strategis BUMN yang memiliki kewajiban layanan publik (seperti PLN dan Pertamina) justru dialihkan untuk investasi komersial. Ketidaksesuaian antara proyeksi dividen BUMN sebagai sumber pendanaan —yang diklaim Rp 300 triliun tetapi diperkirakan hanya Rp 90 triliun— juga menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan model keuangan Danantara.
Diskusi Publik
INDEF, 24 Februari 2025