“
Demokrat Dapat Nangkanya dan Golkar Dapat Getahnya”. Runtuhnya suara Partai Golkar di Pemilu 2009 telah diprediksi banyak pihak. Sejumlah lembaga survey papan atas secara konsisten menempatkan Golkar di kelas tiga besar sejak awal 2009 lalu. Kini, teka-teki itu terjawab sudah.
Hasil
quick count sejumlah lembaga survey, baik LSI, LSN, LP3ES, dan CIRUS, secara serentak bersepakat ‘menjungkalkan’ Golkar dari predikat pemenang di Pemilu 2004 menjadi pecundang di Pemilu 2009. Memang belum final hasil
quick count itu, namun dari gajala politik dan
trend elektabilitas yang muncul sejak akhir 2008, memang rendah kemungkinan Golkar untuk mempertahankan mahkota politik yang sempat diraihnya pada pesta demokrasi 2004 lalu.
Lalu mengapa kondisi ini mendera Golkar? Secara general, fluktuasi perolehan suara Golkar kali ini dipengaruhi oleh dua faktor, yakni
swing voters dan
civic disangagement.
Swing voters adalah gejala lunturnya afiliasi politik pemilih kepada partai pilihan lamanya sebagai respon politik yang logis atas mandulnya kinerja partai dalam memenuhi janji-janji politiknya kepada konstituen.
Sementara
civic disangagement bisa diartikan sebagai sikap tegas publik yang berusaha mengambil jarak dengan arena politik sebagai konsekuensi logis dari semakin matangnya perilaku pemilih untuk berpolitik secara rasional.
Kuatnya dua kecenderungan itu memicu maraknya pembangkangan politik di tingkat konstituen (
protest voters), yang kemudian memutuskan diri mencabut dukungan politiknya serta menggelontorkannya kepada partai politik lain yang lebih mampu memikat dan meyakinkan mereka.
Apa yang dialami Golkar kali ini, tidak jauh berbeda dengan kondisi patologis yang dihadapi PDIP pada Pemilu 2004 lalu, yang perolehan suaranya terpaksa merosot di bawah suara modal, yakni dari 23 persen menjadi 19 persen. Golkar yang di Pemilu 2004 lalu masih nangkring di angka perolehan suara 20 persen, bisa jadi di pemilu 2009 ini jika hasil
quick count sesuai dengan penghitungan akhir KPU, akan mentok di angka sekitar 15 persen.
Jika itu terjadi, maka Golkar akan menelan pil pahit dengan kehilangan 5 persen dukungannya, dan akan tercatat sebagai perolehan suara terburuk dalam sejarah pertarungan politik Golkar di pemilu nasional. Realitas politik ini merupakan kabar gembira bagi demokrasi, sebagai bukti meningkatnya rasionalitas perilaku pemilih, yang selanjutnya memproduksi
critical voters atau
smart voters yang pada akhirnya menguatkan dua fenomena di atas, yakni
swing voters dan
civic disengagement.
Lalu apa faktor yang mempengaruhi kuatnya
swing voters dan
civic disengagement tersebut? Tentu banyak varian penjelasan yang bisa digunakan menjawab pertanyaan itu. Namun yang pasti, selama periode pemerintahan KIB (2004-2009), Golkar terbukti kurang cermat dalam memainkan strategi politiknya yang berakibat pada loyonya performa si beringin perkasa ini.
Sebagai partai pemenang pemilu 2004 dan salah satu pemilik saham besar di pemerintahan dengan tampilnya Ketum DPP Partai Golkar di kursi Wapres, Golkar seharusnya memiliki kesempatan leluasa untuk merekonsolidasi kekuatan politiknya jelang 2009 ini. Tapi itu tidak terjadi. Sebaliknya, Golkar justru terkunci oleh bayang-bayang Partai Demokrat dengan SBY sebagai
patron client-nya, yang sebenarnya memiliki modal suara lebih rendah dibanding Golkar.
Patut dicatat, secara umum, dalam lima tahun waktu pemerintahan setidaknya terdapat tiga fase politik. Pertama, fase bulan madu politik dan konsolidasi awal. Keadaannya, partai yang diakomodasi di kabinet akan senang, yang tidak diakomodasi akan oposan. Kedua, fase transisi. Situasinya, konsolidasi sudah lewat tapi masa pemilu mendatang belum dekat.
Ketiga, fase konstalasi dan rekonsolidasi di masing-masing internal partai. Semua partai bergerak, termasuk partai kecil. Nah, dalam tiga fase itu, Golkar jelas-jelas tidak mampu menempatkan dirinya sebagai pionir yang lihai mengelola setiap isu untuk menangguk keuntungan berupa popularitas politik partainya.
Karena merasa di atas angin, Golkar cenderung lebih getol memenuhi target-taget kekuasaannya dengan memainkan sejumlah isu, yang notabene secara jangka panjang sangat rentan bagi dirinya. Ambil contoh, menjelang
reshuffle kedua dan ketiga, Golkar menjadi bagian dari garda depan gerakan oposisi di parlemen dengan mengusung sejumlah wacana penggunaaan hak interpelasi kepada eksekutif, yang dengan mudah diendus oleh banyak pihak sebagai upaya politik Golkar untuk menambah jatah kursi di jajaran KIB.
Buktinya, wacana interpelasi selalu berakhir dengan antiklimaks, dan partai-partai berubah sikap secara total dari yang semula keras menjadi mlempem. Itu terjadi mulai dari agenda interpelasi import beras, interpelasi busung lapar, interpelasi resolusi Iran, interpelasi Lapindo, interpelasi BLBI, dan lainnya.
Memang benar, supaya Golkar tidak tenggelam dan terkunci oleh bayang-bayang SBY dengan Partai Demokrat-nya, maka sepatutnya Golkar memainkan ‘politik dua muka’ atau ‘politik standard ganda’. Di satu pihak menggempur kebijakan pemerintah, sementara di sisi lain dirinya menjadi bagian dari pembuat kebijakan itu sendiri. Celakanya, ‘politik dua muka’ ini kurang termanage dengan baik.
Walhasil, bukannya meningkatkan citra Golkar, justru kian mempertegas watak oportunisme dan pragmatisme Golkar, yang secara lamban tapi pasti menggerogoti popularitas partainya di mata publik.
Rakyat yang semakin cerdas kini dengan mudah bisa membedakan antara gerakan oposisi yang
genuine ataukah sebatas oposisi temporal yang menjadi kendaraan politik untuk mencapai target-target pragmatis partai. Sementara selama ini, kebanyakan wacana oposisi yang terbangun di Senayan umumnya tidak bersifat
genuine, terlembaga, dan punya basis politik yang kuat untuk berhadapan dengan pemerintah.
Sebaliknya, gerakan oposisi itu acapkali bersifat temporer,
ad hock, dan cair. Koalisi hanya terbangun oleh dinamika waktu, isu, dan konteksnya. Walhasil, upaya interpelasi berujung pada antiklimaks partai-partai,
wabil-khusus Golkar, dengan melunak dan berubah sikap tunduk di hadapan pemerintah. Yang awalnya garang menjadi pendiam, yang semula
vocal menjadi melempem.
Aspirasi dan kepentingan rakyat jadi terbengkelai. Parahnya, reaksi itu terjadi berulang-ulang, terus menerus, dan ujungnya kini menjadi hantaman balik yang keras bagi Parpol tersebut. Perolehan suara mereka turun. Kepercayaan rakyat melemah. Barangkali inilah hukuman setimpal yang layak diberikan.Selain itu, Golkar tampaknya juga terlalu lelap dininabobokan oleh kenyamanan politik periode 2004-2009. Sekali lagi, Golkar merasa di atas angin. Wapres Jusuf Kalla yang notabene ketua umum Golkar berada di posisi aman dari segala gempuran politik. Barangkali memang itulah konsekuensi dari sistem presidensial. Sekalipun Wapres dipilih dalam paket bersama presiden di Pilpres, namun akuntabilitas kekuasaan tidak bisa dipindahkan.
Akibatnya, presiden tetap menjadi sasaran tembak utama dari setiap gerakan oposisi yang ada di parlemen, baik yang
genuine maupun temporal. Kenyamanan ini tampaknya membuat para kader Golkar mengalami surplus kepercayaan diri dan terfokus pada target-target kue kekuasaan yang terhidang di depan mata, hingga lupa bahwa ada “pekerjaan rumah” yang lebih besar yang harus diselesaikan.
“Pekerjaan rumah” yang dimaksud adalah menata kembali mesin politik partai, membangun komunikasi antar elit di internal partai yang belakangan terkesan jalan sendiri-sendiri, dan bersikap lebih cekatan dalam meredam setiap gejolak yang muncul di internal partai. Alih-alih melakukan itu, sejumlah kelompok pro-Kalla di tubuh DPP Partai Golkar sendiri justru merasa terlampau
enjoy dengan duet SBY-JK, dan berniat untuk menyandingkan Kalla untuk kali keduanya di Pilpres 2009 ini.
Mereka adalah kelompok yang terkunci oleh bayang-bayang SBY dan Partai Demokrat. Tak hanya itu, sikap manja tersebut juga berimplikasi pada menurunnya kemampuan daya endus politik Golkar, ini dibuktikan oleh seringnya Golkar mengalami kekalahan Pilkada di beberapa provinsi strategis secara politik, dibanding dengan PDIP misalnya. Akumulasi dari semua permasalahan itu membuat mesin politik Golkar menjadi semakin aus, berjalan tidak efektif, sementara agenda pencitraan partai tidak tergarap dengan baik.
Keberhasilan Golkar tertutupi oleh pencitraan buruk yang merebak tentang Golkar yang gigantis, besar tapi penyakitan. Walhasil, di saat fase-fase konsolidasi politik (2008-2009), ketika Partai Demokrat dan PDIP terfokus untuk mensinergikan kekuatannya, yang mencuat ke publik dari Golkar justru lebih didominasi oleh berita menguatnya garis faksionalisme, benturan antar kutub kekuatan politik internal, dan menguatnya sentimen kolektif antar kutub yang berujung pada ketegangan dan konflik internal di kalangan elit partai Golkar.
Memang, sebagai entitas politik, partai tidak akan homogen, partai pasti heterogen. Tapi jika heterogenitas itu termanage secara professional, maka mustahil Golkar bisa dikalahkan oleh Partai Demokrat, yang notabene baru “anak kemarin sore” dalam jagad perpolitikan Indonesia. Kini, kekhawatiran lahirnya ‘gigantisme Golkar’ menjadi nyata. Besar tubuhnya, tapi dipenuhi oleh beragam penyakit, karena tidak terurus dengan baik.
Munculnya
swing voters,
civic disengagemenet, dan
protest voters ini, yang paling diuntungkan adalah Partai Demokrat (PD). PD mendapatkan limpahan suara dari para
protest voters cukup signifikan. Jika dalam Rakernas Partai Demokrat tahun 2007 dan 2008 mereka menargetkan 15 persen, maka perolehan suara kali ini telah melampaui batas tersebut.
Mengapa Partai Demokrat mampu menggandeng sekian banyak suara mengambang dan kalangan
protest voters itu secara
massif? Tentu tidak lepas dari performa pemerintahan KBI selama ini. SBY sebagai
patront-nya Demokrat, juga berjasa besar meningkatkan derajat angka perolehan suara partainya. Selain itu, kerja-kerja pencitraan memang menjadi agenda besar dalam pemerintahan SBY kali ini. Pencitraan itu tidak hanya terletak pada aspek kebijakan pemerintah, melainkan juga pada area individu secara pribadi.
Implikasinya, banyak keputusan yang seharusnya dirumuskan dengan cepat, menjadi lambat diputuskan karena terlampau banyak pertimbangan. Ada pihak yang menilai itu sangat keterlaluan, ada juga yang memahaminya sebagai ekspresi kegamangan, namun ada juga yang mengartikan sikap SBY itu sebagai sikap kehati-hatian. Dalam artian, setiap kebijakan pemerintah harus diamankan dengan menstabilkan situasi politik Senayan.
Sementara, kekuatan Demokrat yang hanya sekitar 7 persen di sana, dan Golkar serta partai pendukung pemerintah lainnya, kebanyakan memilih sikap mendua, alias memainkan politik dua muka, supaya lebih gesit mencari keuntungan.
Dalam konteks inilah, kemampuan diplomasi dan kedewasaan politik para politisi Demokrat menjadi faktor penting untuk mengelola setiap isu yang berkembang di Senayan, di saat rekan-rekan koalisi sesekali juga beramai-ramai ikut menghajarnya. Sederhananya, dalam politik, yang paling diuntungkan adalah mereka yang bisa mengolah isu dengan baik untuk menangguk keuntungan besar dari pertarungan panjang ini.
Kini, terbukti sudah bahwa kesabaran itu manis buahnya.Kemenangan besar Partai Demokrat adalah sebuah pretasi yang patut diapresiasi. Namun jika Demokrat tidak ingin bernasib sama dengan Golkar, maka pengalaman 2004-2009 bisa menjadi pelajaran penting baginya. Jangan lupa, rakyat bagaikan gelombang di lautan. Jika kau tebarkan kotoran di atas lautan, maka kau dan kotoran itu akan digiring oleh ombak ke pinggiran pantai.
Sama halnya, jika kini para
stakeholders bangsa ini diberi kesempatan untuk mempimpin bangsa, maka jangan kau kotori dia. Jika kau melakukannya, kau akan digiring oleh gelombang rakyat dan waktu, kembali dipinggirkan dan dicatat dengan tinta merah dalam sejarah peradaban bangsa di masa mendatang.
A. Khoirul Umam, Kandidat master dari School of Political and International Studies Flinders University of South Australia 11 Osborne Street, St Marys, SA, 5042 Phn: +61431011013
detikPemilu, 10 April 2009