Sunday, December 11, 2022

Apakah Anies Baswedan Akan Seperti Adnan Menderes?


Nama aslinya Ali Adnan Ertekin Menderes. Ia seorang negarawan Turki dan Pemimpin pertama Turki yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Turki.

Ia juga seorang kader Mustafa Kemal, tokoh utama yang menghancurkan Khilafah Utsmaniyah. Ia bukan lahir dan besar di kalangan keluarga aktivis Muslim seperti pemimpin besar Islam Turki Necmettin atau Najmuddin Erbakan (rahimahullah) dan Recep Thayib Erdogan, Presiden Turki sekarang.

Kendati demikian, ia seorang Muslim berakal sehat dan memiliki tekad kuat memperbaiki nasib bangsa Turki dan umat Islam yang porak poranda oleh Mustafa Kemal melalui penghancuran Islam politik dengan program sekularisasinya sejak tahun 1924.

Dengan menjatuhkan sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem sekularisme ala Eropa, melalui tangan besinya, Mustafa Kemal adalah dalang utama kehancuran bangsa Turki dan dunia Islam lainnya dalam segala lini kehidupan. Akhirnya ia mati dengan kondisi sangat mengenaskan dan menakutkan.

Partai Rakyat Republik yang dalam bahasa Turki disebut Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), adalah sebuah partai politik di Turki yang saat ini menjadi partai Oposisi dan Partai Nomor 2 terbesar menurut hasil pemilu November 2015. Partai Rakyat Republik Turki sering juga disingkat CHP atau PRR dalam Bahasa Indonesia.

Berdasarkan keprihatinan mendalam, Adnan Menderes keluar dari Partai Rakyat Republik yang didirikan Mustafa Kemal lalu mendirikan Partai Demokrat pada tahun 1946.

Pada Pemilu 1950, qadarullah, partai besutan Adnan Menderes itu memenangkan Pemilu sehingga ia menjabat sebagai Perdana Menteri Turki pertama yang terpilih secara demokratis.

Tak ayal lagi, pemerintahan Adnan Menderes hasil Pemilu ini digoyang terus oleh kelompok sekular, baik pun dari kalangan sipil maupun militer.

Sejak Adnan Menderes memegang pucuk pemerintahan Turki pada 29 Mei1950, sampai 27 Mei 1960 tidak kurang telah dilaksanakan empat kali Pemilu. Semuanya dimenangkan Partai Demokrat pimpinan Adnan Menderes.

Adnan Menderes dan Partai Demokrat (Turki).

Akhirnya kaum sekular dari kalangan militer kehilangan akal dan kesabaran lantas memutuskan untuk mengkudeta Adnan Menderes pada tahun 1960. Dan tragisnya mereka lalu menjatuhkan hukuman gantung pada Menderes pada tanggal 17 September 1961.

Alasan kelompok militer sekular yang saat itu masih menganut ideologi sekularisme ala Barat bahwa Adnan Menderes akan mengembalikan bentuk pemerintahan sistem Khilafah yang pernah tegak di atas bumi Turki dan negeri-negeri Islam lainnya lebih dari lima ratus tahun (5 abad).


Pertanyaan Mendasar
Ada pertanyaan mendasar terkait rahasia kemenangan gemilang Adnan Menderes di tengah masyarakat dan pemerintahan sekular Turki yang sudah berjalan sekitar 37 tahun dengan tangan besi itu.

Padahal semua institusi negara dan ormas sudah dikuasai dan berubah menjadi sekular. Bahkan militer telah menjadi backbone sekularisme yang siap menghabisi setiap apapun dan siapapun yang berseberangan dengan pemikiran dan pandangan mereka. Adnan Menderes adalah salah satu bukti korban keganasan kelompok sekular Turki, kendati ia merupakan pemimpin Turki pertama kali yang terpilih secara demokratis melalui mekanisme Pemilu.

Jika dianalisa apa rahasia kemenangan gemilang Adnan Menderes di tengah dominasi kaum sekular baik sipil maupun militer yang bahkan mendapat dukungan hampir tak terbatas dari negara-negara Barat? Sehingga ia dapat memimpin Turki dengan baik dan cukup berhasil selama 10 tahun, mulai tahun 1950 hingga dikudeta tahun 1960 dan dihukum gantung tahun 1961.

Adnan Menderes sedang berpidato di tengah lautan massa.

Di antaranya:
1. Adnan Menderes terkenal cerdas dan menonjol dalam dunia pendidikan serta besar dalam keluarga berpendidikan, sehingga Mustafa Kemal saat bertemu pertama kali sangat tertarik padanya dan merekrutnya menjadi kader petinggi partainya yakni Partai Rakyat Republik.

2. Adnan Menderes sangat berani dan urat saraf takutnya sudah tidak ada. Hal itu disebabkan sangat kuatnya iman beliau kepada Takdir Allah. Ia menyadari betul suatu saat nyawanya akan terancam oleh kaum sekular. Sebab itu saat diputuskan hukuman gantung di pengadilan, ia menjawab dengan gagah perkasa: “Silakan gantung Adnan Menderes, nanti akan Allah lahirkan seribu Adnan Menderes lainnya!” Begitu ujarnya penuh percaya diri dan bahagia.

3. Adnan Menderes memiliki keikhlasan dalam beramal dan berjuang. Amal dan perjuangannya ia tujukan hanya karena Allah dan kebahagiaan akhiratnya semata. Bukan mengharapkan pujian manusia, apalagi karena mencari kekayaan tujuh turunan. Sebab itu, ia bangga dihukum gantung karena alasan yang bukan kesalahannya seperti, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.

17 November 1961, Ali Adnan Ertekin Menderes, digantung di Pulau Imrali, Laut Marmara, Turki.

4. Adnan Menderes mencintai agama, umat dan negerinya melebihi cinta pada diri, anak, istri dan keluarganya. Saat ada peluang lolos dari tiang gantungan asal mau mengakui kesalahan-kesalahan yang diada-adakan oleh rezim militer saat itu, ia tidak gunakan kesempatan itu. Alasannya jelas, ia ingin buktikan pada agama, umat dan negerinya perihal keberaniannya berkorban. Kendati dengan nyawa sekalipun.

Akhirnya, nama beliau sekarang sangat harum di tengah masyarakat Turki yang paham sejarah. Sehingga nama bandara di kota terbesar ke-3 di Turki, yakni kota Izmir diberi nama dengan Bandara Internasional Adnan Menderes.

5. Program dan janji yang diangkat Adnan Menderes saat kampanye pemilu sangat sederhana, tidak muluk-muluk seperti di negeri kita ini. Program dan janji kampanye ia realisasikan 100%. Ini menunjukkan Adnan Menderes memahami kebutuhan rakyatnya dan amanah dalam memikul tanggungjawab kepemimpinan.

Pada 27 Mei 1960, Ali Adnan Ertekin Menderes dikudeta militer yang dipimpin oleh Cemal Gürsel dengan tuduhan mengubah konstitusi negara.

Di antara program dan janji politik Adnan Menderes saat kampanye pertama kali dalam Pemilu tahun 1950 ialah:

1. Mengembalikan Adzan dengan bahasa Arab. Sebelumnya kumandang Adzan telah diubah Kemal Ataturk menjadi bahasa Turki.

Dituliskan dalam sejarah Turki moderen, saat Adnan Menderes memenuhi janjinya terkait Adzan dikembalikan berbahasa Arab, jutaan masyarakat Turki di seantero negeri serentak sujud syukur di semua tempat; di jalanan, di pasar-pasar dan di mana saja mereka berada saking gembiranya.

2. Memperbolehkan ibadah haji, karena selama 37 tahun kekuasaan Mustafa Kemal, ibadah haji telah dilarang.

3. Memperbolehkan melakukan pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang sebelumnya dilarang selama 37 tahun.

4. Membuka kembali sekolah kader Imam dan Khatib yang dibubarkan Mustafa Kemal sejak ia berkuasa. Presiden Erdogan sekarang adalah alumni salah satu sekolah kader Imam dan Khatib tersebut.

5. Menghapus UU yang melarang muslimah untuk berjilbab yang sudah diterapkan selama 37 tahun.

Anies Baswedan dan Adnan Menderes.

Nah! Lalu bagaimana dengan Anies Baswedan? Kami melihat ada beberapa kesamaan beliau dengan Adnan Menderes. Di antaranya:

1. Kesamaan kepribadian dan karakter seperti, cerdas, memiliki visi dan misi yang jelas, berani menghadapi resiko apapun. Semoga beliau juga siap mati demi perjuangan agama, umat dan negeri, seperti yang dimiliki Allahuyarham Adnan Menderes.

2. Kesamaan situasi dan kondisi negeri saat beliau mencalonkan atau dicalonkan menjadi Pemimpin tertinggi negerinya. Dimana kelompok sekularisme telah menguasai negeri sejak puluhan tahun, dan dukungan penuh asing terhadap mereka, lalu kondisi ekonomi yang carut marut. Dominasi asing dan aseng atas ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan lainnya. Islamophobia dan tekanan pada umat Islam yang sedang di puncaknya, kerinduan kebanyakan umat Islam terhadap tegaknya syariat Islam di tengah keterpurukan mereka di hampir semua sektor kehidupan dan lain sebagainya.

3. Memahami dengan baik situasi dan kondisi negeri dan masyarakat yang sedang terjadi. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan adalah yang mendasar dan membumi sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi.

3. Baik Adnan Menderes maupun Anies Baswedan sama-sama Muslim yang hidup, berpolitik di negeri mayoritas Muslim dan prihatin terhadap nasib mayoritas saudaranya di negeri mereka sendiri.


Adapun sisi perbedaannya ialah, Adnan Menderes memiliki kepastian politik karena memiliki partai sendiri yaitu Partai Demokrat, tidak terikat dengan ikatan threshold kendati partainya baru lahir dan hidup di zaman tirani kaum sekular.

Sedangkan Anies Baswedan tergantung kepada partai orang lain. Apalagi partai utama pendukungnya, NASDEM masih harus berkoalisi dengan dua partai lain agar lolos dari jeratan maut setan politik yang bernama threshold.

Lalu apa solusinya agar Anies Baswedan lolos dicalonkan menjadi Capres tahun 2024?

Karena Anies Baswedan sudah nyata mendapatkan dukungan yang tinggi dari rakyat lintas suku dan masyarakat, berdasarkan versi kasat mata dan tidak berdasarkan lembaga survey, maka menurut hemat penulis solusinya adalah sebagai berikut:


1. Partai pendukung pertama (NASDEM) wajib memberikan jaminan kepada kedua partai yang diajak berkoalisi (PKS dan Partai Demokrat) dan juga masyarakat luas bahwa niatnya adalah tulus untuk menyelamatkan kapal negeri yang sudah karam separuh badannya. Karena semua juga tahu bahwa selama Jokowi menjadi Presiden, NASDEM adalah bagian dari politik dan ekonomi oligarki istana.

Artinya, NASDEM harus benar-benar bertaubat dengan taubatan nashuha agar mendapat kepercayaan penuh dan dijamin tidak ada dusta di antara mereka.

Apalagi NASDEM dipimpin seorang yang berasal dari Aceh yang terkenal berwibawa dan konsisten dengan agamanya.

Dulu tersebutlah Soekarno datang menghadap seorang pemimpin besar Aceh bernama Daud Beureueh meminta agar sang ulama kharismatik itu tidak membawa Aceh berpisah dengan NKRI sambil mengeluarkan air mata buayanya. Eh, tidak lama setelah itu, Soekarno mengundang Beliau ke Jakarta. Ternyata untuk dipenjarakan alias tahanan rumah sampai wafat. Semoga Bapak Surya Paloh tidak meniru cerita Soekarno itu. Nanti bisa kualat, kata sebagian masyarakat kita.


2. Kedua partai yang diajak berkoalisi (PKS dan Partai Demokrat) jangan sampai mengajukan syarat koalisi dengan sesuatu yang paling berat atau mustahil seperti kursi Wapres karena masyarakat juga tahu masih ada Cawapres dari luar kedua partai tersebut yang mungkin lebih qualified demi kepentingan negara dan bangsa yang lebih baik dan lebih besar serta lebih berjangka panjang.

Lalu, bagaimana jika Anies Baswedan gagal dicalonkan menjadi Capres tahun 2024 yang akan datang? Apapun sebabnya, khususnya apabila karena ketiga partai tersebut tidak mendapatkan kesepakatan antara mereka dan masing-masing mencari tempat berlabuh sendiri-sendiri. (Semoga ini tidak terjadi ....)

Jika terjadi, menurut hemat penulis, bahwa ini adalah musibah besar ke-3 dalam sejarah perpolitikan Indonesia, khususnya bagi umat Islam.

Pertama saat pencabutan Piagam Jakarta. Ini musibah besar yang ekses negatifnya dirasakan sampai hari ini dalam berbagai lapangan kehidupan umat sehingga umat ini sulit sekali bersatu, bangkit dan maju.


Kedua, saat Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto akibat people power 1998 ditolak pertanggung jawabannya sehingga ia tidak berhak lagi mencalonkan diri jadi Presiden berikutnya. Padahal kemampuannya sebagai Presiden, khususnya dalam masalah ekonomi tidak ada yang bisa menyamainya sampai saat ini, apalagi melebihinya (Allahuyarham). Akibatnya, sampai hari ini ekonomi negeri ini semakin tenggelam.

Alhamdulillah penulis pernah berjumpa langsung dengan beliau saat menjadi Wapres sambil menanyakan apa yang akan beliau lakukan jika ditakdirkan Allah menjadi Presiden. Alhamdulillah jawaban beliau waktu itu sangat tegas, cerdas dan meyakinkan.

Ketiga, jika Anies nanti tidak lolos sebagai Capres 2024, khususnya karena ulah tiga partai tersebut, maka itu jelas sekali musibah besar yang ke-3 dalam sejarah politik Indonesia, khususnya umat Islam yang akan berimplikasi kepada kemunduran politik Indonesia, khususnya umat Islam 25 tahun ke belakang.


Alasannya ialah:
1. Sekarang saatnya menghentikan oligarki politik dan bisnis yang berhaluan komunis-kapitalis. Ini masalah yang sangat serius. Jika tidak dihentikan sekarang (tahun 2024), rakyat Indonesia, khususnya umat Islam akan mengalami set back mungkin 20 - 30 tahun kebelakang. Bila hal ini terjadi tentu rakyat, khususnya kaum Muslimin akan mengalami situasi dan kondisi yang amat sulit 20 - 30 tahun ke depan.

2. Kondisi Indonesia ketika Anies Baswedan dicalonkan menjadi Capres saat ini mirip dengan kondisi ketika Adnan Menderes mencalonkan diri menjadi Perdana Menteri Turki. Kalau Adnan Menderes tidak berhasil menjadi Pemimpin saat itu, mungkin Turki tidak akan maju seperti keadaan sekarang ini.

Dengan terpilihnya Adnan Menderes menjadi pemimpin yang kuat dan amanah, maka secara langsung beliau berhasil memukul mundur kaum sekular yang militeristik, khususnya terhadap umat Islam dan sekaligus menanamkan kepercayaan diri mayoritas umat Islam saat itu untuk berjuang berdasarkan nilai-nilai Islam. Sejak itu terbukti nilai-nilai Islam itu jauh lebih unggul dalam membangun negeri yang maju dibanding sekularisme yang hanya menyebabkan mala petaka dan kehancuran negara, bangsa dan rakyat serta melanggengkan penjajahan Eropa atas negeri tersebut.

It's Time atau Wis Wayahe ....

3. Melihat track record yang ada selama era reformasi yang sudah berusia 24 tahun, hanya Anies Baswedan yang memiliki kualifikasi pemimpin yang berani dan mampu menghentikan program-program oligarki politik-ekonomi-kapitalis-komunis dan pada waktu yang sama menciptakan program-program alternatif yang berpihak kepada rakyat secara langsung seperti yang dibuktikannya selama 5 tahun terakhir memimpin DKI.

4. Berdasarkan kondisi real masyarakat, khususnya umat Islam saat ini, maka yang dibutuhkan adalah seorang Pemimpin negara yang takut pada Allah dan menyayangi rakyat atau masyarakat, sehingga kebijakan politik, ekonomi dan pembangunannya benar-benar berpihak kepada rakyat. Karena rakyat Indonesia mayoritasnya adalah Muslim, maka pasti umat Islam mendapat keuntungan yang paling besar.

Di samping itu, pemimpin yang dibutuhkan sekarang adalah yang juga mampu melawan atau tidak tunduk kepada keinginan-keinginan asing dan aseng, baik persoalan politik, ekonomi dan keumatan, seperti gerakan Islamophobia, penghancuran masyarakat Muslim dengan berkedok HAM, seperti LGBT, moderasi beragama dan lain-lain yang dilancarkan AS dan Eropa. Dan yang berkedok ekonomi pembangunan dan utang, seperti berutang ke China untuk menghidupkan kembali paham komunisme yang sudah usang dan mati melalui penguasaan aset-aset besar dan strategis.


Yang harus dipahami dan disadari oleh semua pihak bahwa apabila Anies Baswedan kelak ditakdirkan Allah menjadi presiden, tidak akan serta merta menjadikan Indonesia seperti Turki atau Qatar yang mampu berdiri sejajar dengan negara-negara Eropa kolonialis dan tidak bisa didikte. Bahkan sebaliknya negeri-negeri tersebut mampu memainkan peran dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam secara global seperti yang diperlihatkan Qatar dalam ajang Piala Dunia 2022 ini.

Apa yang dilakukan Turki dan Qatar, pada 10 tahun belakangan benar-benar sebuah perlawanan terhadap hegemoni Barat dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat Muslim dengan berbagai cara, wabil khusus menghadapi gerakan Islamophobia, moderasi beragama, LGBT dan sebagainya.

Untuk sampai seperti Turki dan Qatar, umat Islam Indonesia masih perlu waktu satu atau dua generasi lagi jika Anies Baswedan bisa dilantik menjadi Presiden RI ke-8 tahun 2024 yang akan datang, in sya-Allah.

Sebab itu, penulis sarankan PKS dan Demokrat segeralah berkoalisi dengan NASDEM serta dengan persyaratan-persyaratan yang realistis. Adalah sangat bijak jika berani mundur selangkah untuk maju 10 langkah ke depan. Sebab, bila nasi sudah menjadi bubur, penyesalan sudah tidak berguna lagi.

Kami tidak menginginkan dari tulisan ini kecuali perbaikan pemerintahan. Tidak ada taufik (bimbingan) yang terbaik selain dari Allah.

Allahu A'lam bish-shawab

Ust Fathuddin Ja'far
Suara Nasional, 7 Desember 2022
https://suaranasional.com/2022/12/07/apakah-anies-baswedan-akan-seperti-adnan-menderes/

Tuesday, November 22, 2022

Manusia “Aneh” yang Dibutuhkan Indonesia


Ditengah defisit moral, prestasi, dan karakter para pemimpin Indonesia hari ini, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta muncul sebagai manusia “aneh”. Ia pemimpin yang bersih ketika korupsi telah membudaya di negeri ini dan nyaris tak ada pemimpin yang, langsung atau tidak langsung, tidak bersinggungan dengan korupsi.

Akar korupsi, selain budaya dan karakter buruk pemimpin, diperkuat dan diperdalam oleh oligarki. Oligarki politik dimungkinkan dan ditumbuhkembangkan oleh UU Pemilu yang diskriminatif karena membatasi akses politik rakyat.

Parliamentary threshold 4% dan presidential threshold 20% membuat jutaan suara warga negara yang menyalurkan aspirasinya ke partai politik yang tidak masuk parlemen hilang percuma dan calon pemimpin pilihan publik tak dapat ikut berkontestasi dalam pemilu.


Tapi bukan hanya parpol (pembentuk oligarki politik) yang menentukan proses pencalonan pemimpin dalam pemilu, tapi juga para pemodal (pembentuk oligarki ekonomi). Dus, koalisi dua kekuatan inilah yang menentukan dinamika politik tanah air.

Berhubung mahar politik sangat mahal bagi calon legilslatif dan calon eksekutif untuk mendapat perahu parpol, maka calon yang menang pemilu harus melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, yang sebagian mereka dapatkan dari hasil berutang.

Tapi parpol pun tak sanggup membiayai seluruh tahapan pemilu karena dana yang disediakan negara tak cukup. Pada titik inilah oligarki ekonomi memasuki arena. Sebagai imbalan modal besar yang dikeluarkan, mereka harus ikut menentukan caleg dan capres yang akan berlaga.

Tentu si calon harus membuat komitmen terlebih dahulu untuk membalas budi pada oligarki. Maka, tak usah heran kalau kemudian sistem dan mekanisme politik ini melahirkan korupsi, pemimpin yang tidak kompeten, dan hanya menjadi kacung untuk melayani kepentingan oligarki dengan mengorbankan kepentingan rakyat yang memilih mereka.


Ironisnya, orang-orang Indonesia menjadi fatalis politik, yang menganggap semua yang menghalangi kemajuan bangsa ini sebagai keniscayaan realitas yang harus diterima. Bahkan, para influencer dan buzzer bayaran dimunculkan untuk mempertahankan status quo.

Kalau mereka diniatkan untuk sekadar menyosialisasikan program pemerintah secara rasional, terukur, dan bijaksana, mungkin tak terlalu merisaukan kita.

Faktanya, mereka telah bermetamorfosis menjadi semacam propagandis perang yang merusak akal sehat publik, mengeskalasi perpecahan dalam masyarakat, menyemburkan debu ke atmosfir sehingga mengaburkan realitas, dan berusaha secara bodoh membunuh karakter calon pemimpin yang otentik.


Herannya, Anies Baswedan tak ikut hanyut dalam durjana politik dan ekonomi Indonesia hari ini. Ia bahkan, dengan kekuatan terbatas yang dimilikinya, hendak mengubah status quo yang sudah demikian berakar, yang telah terbangun selama puluhan tahun. Anies memang aneh, tapi mengharukan.

Ia memposisikan diri sebagai David yang melawan Goliath ketika banyak orang Indonesia telah menerima kekalahan sebagai takdir di hadapan kekuatan besar yang sembrono dan rakus.

Pelan-pelan ia membangun Jakarta yang rumit dan bising dalam posisi underdog ketika citra Ahok sebagai Gubernur DKI sedang menjulang tinggi.

Ahok dicitrakan sebagai “manusia luar biasa” yang jadi korban kaum Muslim fanatik yang bodoh. Dalam posisi yang tidak meyakinkan itu, anehnya Anies dapat membalikkan keadaan. Hampir tiap hari dia membuat kita terheran-heran dengan prestasi-prestasi mengagumkan yang membuat Ahok terlihat kerdil.


Anies memang manusia “aneh”, entah dari mana dia memperoleh inspirasi-inspirasi besar yang tidak ada putusnya, yang membuat kita semua merasa bodoh, termasuk orang-orang yang membencinya.

Ya, postur moral, karakter, leadership, kecerdasan, dan jiwa legowo Anies tak dapat dilawan dengan jiwa kerdil, picik, dan culas. Lebih bijaksana kalau kita mengaguminya meskipun dengan perasaan malu.

Tapi Anies tidak membutuhkan rasa terima kasih kita padanya, yang membuat Jakarta terlihat lebih modern, indah, manusiawi, dan cerdas.

Toh, ia belum merasa cukup berbuat lebih baik untuk seluruh warganya. Masih banyak yang ingin ia lakukan. Kalaupun ada sesuatu yang dianggap berharga dari upayanya membangun Jakarta adalah cukup dengan mengapresiasi model pembangunan yang dilakukannya, yang mengintegrasikan aspek budaya, sosial, ekonomi, agama, manusia, dan politik global dalam setiap kebijakan yang diambilnya.

Anies Baswedan, Zulkifli Hasan, Gatot Nurmantyo.

Ini belum pernah dilakukan gubernur DKI mana pun sepanjang sejarahnya. Bahkan, berkat karya dan beleidnya —termasuk dalam menangani covid-19 yang antisipatif dan cepat— membuat ia kini lebih populer di mata komunitas internasional ketimbang Jokowi.

Anies memang seorang kosmopolitan, yang dengan bahasanya yang terstruktur indah dalam menyampaikan pikiran dan gagasan bersifat universal, yang mudah difahami seluruh warga di planet ini. Ingat, bahasa mencerminkan kecerdasan. Bahasa yang belepotan, yang tentu saja melemahkan maksud yang ingin disampaikan, dengan sendirinya menunjukkan kualitas intelektualnya.

Yang juga aneh dari Anies adalah dia memiliki kualitas karakter yang melampaui para pemimpin Indonesia saat ini. Setidaknya pemimpin formal yang sedang berkuasa. Karakter terbagi dua. Karakter yang menunjuk pada kejujuran, rasa keadilan, empati pada orang kesusahan, dst.


Yang kedua adalah karakter yang menunjuk pada disiplin, kerja keras, berorientasi hasil, dst. Anies memiliki karakter yang utuh ini.

Karakter Anies yang menonjol yang didapat dari kombinasi internalisasi nilai-nilai yang ditanamkan orangtuanya yang relijius dan sangat terpelajar, interaksi dengan berbagai lingkungan budaya sepanjang perjalanan hidupnya, dan ilmu pengetahuan yang mendalam, hendak dihancurkan para pembencinya.

Sangat mungkin juga para oligarki yang khawatir kepentingannya terganggu bila Anies menggantikan Jokowi atau orang-orang yang ingin mempertahankan status quo. Namun, kearifan dan prestasi Anies sudah demikian tebal yang tidak mungkin dilawan dengan kebencian, kekerdilan, dan kerakusan.

Anies Baswedan dan Aher alias Ahmad Heryawan.

Lihat, sejak hari pertama ia mengambil alih balai kota dari Ahok, hunjaman kecaman dan fitnah sudah menggempurnya. Aneh, Anies cuma senyum. Ia terus menjawab mereka dengan karya dan karakter yang terjaga. Bisa jadi Anies melihat mereka bukan lawan sepadan dari sisi moral dan pengetahuan.

Maka, ia membiarkan anjing terus menggonggong, kafilah tetap berlalu.

Karakter ini ternyata efektif membuat mereka frustrasi. Memang tidak ada ceritanya kebodohan dan keculasan mengalahkan karakter agung nan cerdas.

Bahkan kebodohan dan keculasan itu, tanpa mereka sadari, justru membuat ketokohan Anies semakin bersinar.

Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

Karena ia jadi pembeda antara yang batil dan jahil dengan yang benar dan pandai. Anies adalah manusia “aneh”, maka untuk melawannya harus orang yang aneh pula, yakni orang-orang yang mau melawan arus, berkarakter, berilmu, dan berani melawan penindasan dan hegemoni oligarki.

Kalau Anies bukan manusia “aneh”, tidak mungkin ia mau menghentikan belasan pulau reklamasi yang dijaga koalisi oligarki politik dan ekonomi.

Toh, kalau dia bukan manusia “aneh” dan mengikuti budaya korupsi bangsa, orang akan menganggapnya normal kalau ia menerima sogokan ratusan milyar dari para pengembang pulau reklamasi asalkan ia mengizinkan proyek bernilai lima ratusan triliun itu dilanjutkan.

Anies Baswedan bersama isteri dan keempat putra-putrinya.

Bagaimanapun, keanehan Anies membuat kita tersentak sadar bahwa kebatilan dapat dilawan dan bahwa bangsa ini dapat keluar dari lingkaran setan oligarki ketika oligarki mulai diterima sebagai realitas kehidupan bangsa yang harus diterima.

Apalagi sedang tumbuh mitos bahwa tanpa oligarki, ekonomi bangsa akan runtuh, yang dengan demikian akan semakin menyengsarakan rakyat. Anies membuktikan sebaliknya dan ini yang membuat oligarki ketakutan.

Mereka mulai menebarkan propaganda dengan narasi palsu bahwa Anies berbahaya bagi bangsa karena dia manusia “aneh”. Segala citra buruk pun ditimpakan pada tokoh ini yang membuat malaikat menangis.

Anies Baswedan bersama isteri Fery Farhati.

Tapi kita sebagai bangsa akan lebih menderita kalau tokoh “aneh” ini tersingkir dari panggung politik sebagai hasil dari konspirasi kekuatan-kekuatan jahat.

Hal ini bisa saja terjadi bilamana keinginan parpol mencapreskannya tidak diridhai oligarki ekonomi.

Namun, bila kita percaya pada pameo “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara tuhan) di mana suara dukungan kepada orang “aneh” bernama Anies Rasyid Baswedan semakin membesar, maka parpol-parpol akan dipaksa melirik tokoh bersahaja ini berdasarkan hitung-hitungan pragmatis dan keuntungan politik-ekonomi.

Toh, seandainya ia dicapreskan, peluang menangnya sangat besar. Rakyat menaruh harapan besar kepadanya untuk mengubah status quo yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat menjadi negeri kerakyatan yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua.


Mereka percaya Anies bisa karena, walaupun sejumlah parpol mengusungnya dalam pilgub 2017, ia tidak memberikan konsesi atau kompensasi apa pun kepada parpol pendukungnya setelah menjadi gubernur.

Tapi parpol tak kecewa, bahkan bersyukur, karena jagonya terbukti berhasil menghadirkan kemajuan sosial, ekonomi, dan agama warga Jakarta.

Kalau sekarang banyak orang berharap Anies memimpin Indonesia ke depan, itu karena “salah” Anies sendiri yang tanpa sengaja telah membangun dirinya menjadi seorang raksasa melalui postur moral, karakter, leadership, kecerdasan, tawadhu, dan karya-karya prestisius.

Semua ini bukan pencitraan, tapi hal-hal nyata yang bisa disaksikan orang Indonesia paling awam sekalipun. Memang kendati hanya berkapasitas sebagai seorang gubernur, karya Anies meng-Indonesia. Pemikiran dan gagasannya melampaui sekat-sekat daerah, suku, agama, dan golongan.

Orang “aneh” seperti ini yang diperlukan bangsa ini untuk membereskan pekerjaan rumah yang rumit di tengah persaingan global yang berat, yang tak bisa dilakukan manusia-manusia biasa yang tidak aneh dalam konteks Indonesia.


Apa kata sejarah kalau dalam momentum krusial seperti sekarang ini Indonesia gagal menghadirkan pemimpin yang mampu menjawab tantangan zaman.

Sejarah melahirkan tokoh dan, pada gilirannya, tokoh melahirkan sejarah. Anies dilahirkan oleh sejarah Indonesia dan dunia yang dialaminya sendiri dan yang dia pelajari melalui buku.

Dari sini dari hasil dialektikanya dengan sejarah zamannya dan sejarah yang telah jauh di belakang, serta pergumulan pemikiran dengan gagasan dan sejarah dunia memungkinkannya meletakkan Indonesia dalam peta dunia dan mencari jawaban yang pas atas tantangan yang dihadapinya.

Dengan begitu, Anies “si orang aneh” akan melahirkan sejarah yang memang hanya mungkin dilakukan oleh orang di atas rata-rata dari semua aspek. Semoga Allah mengabulkan kehendak rakyat Indonesia yang sudah lama menderita akibat dipimpin oleh tokoh inkompeten yang ahistoris.

Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
www.targethukum.com

Thursday, October 6, 2022

Kengerian di Pintu 13, Saat Tragedi Kanjuruhan


Perempuan, lelaki, hingga anak kecil berdesak-desakan di hadapan gerbang keluar Stadion Kanjuruhan. Dari arah lapangan, polisi terus menembakkan gas air mata. Sementara gerbang terkunci rapat-rapat. Di Pintu 13, nyawa mereka melayang.

Kopi hitam pesanannya belum lagi habis diseruput, ketika Eko Arianto mendengar suara menggelegar dari dalam Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu, 1 Oktober 2022.

Tar… taarr… taaarrr….

Malam belum begitu larut, tapi untuk ukuran pertandingan sepakbola di Indonesia, pukul sepuluh malam sudahlah hilir.

Di dalam stadion, wasit baru saja meniup peluit mengakhiri laga derby klasik Arema Malang versus Persebaya Surabaya. Tuan rumah kalah dengan skor 3-2.


Eko terkesiap. Dia tahu, suara menggelegar itu berasal dari senapan gas air mata yang biasa digunakan polisi kalau antarsuporter terlibat bentrok.

Tapi ia bimbang, karena hanya Aremania yang menonton di dalam stadion. Tak ada suporter Persebaya.

Eko sebenarnya sudah membeli tiket untuk menonton di dalam. Tapi malam itu, ia memutuskan tidak melihat langsung di tribun, melainkan minum kopi di warung dekat gerbang nomor 10 stadion.

Rasa penasarannya bertambah, ketika dari pintu dekat warung kopi terdengar suara jeritan orang-orang meminta pertolongan.


Eko bergegas mendekat ke pintu tribun 10. Sosok pertama yang tertangkap matanya adalah seorang perempuan lemas.

Di tengah-tengah jeritan minta tolong, perempuan yang lemas itu jatuh pingsan.

Mas… mas, tolong mas, kami tidak bisa keluar,” teriak seseorang dari dalam gerbang.

Ada gas air mata,” teriak yang lain.

Sejumlah Aremania bergegas menolong orang-orang yang terjebak tak bisa keluar dari pintu nomor sepuluh.

Lega karena sudah ada yang memberi bantuan, Eko mengajak teman-temannya yang lain memeriksa kondisi pintu lainnya.


Setibanya di pintu 13, Eko dihadapkan dengan pemandangan mengerikan. Perempuan, lelaki, bahkan anak-anak yang kesemuanya Aremania berdesak-desakan terperangkap.

Pintu keluar terkunci rapat-rapat. Dari arah lapangan, masih terdengar suara tembakan gas air mata yang ditujukan ke arah mereka.

Sempat ada yang menyuruh mereka ke arah tribun penonton, agar tak berdesak-desakan di depan pintu. Tapi masalahnya, polisi juga menembakkan gas air mata ke tribun. Mereka terjebak.

Di tengah kesesakan, Eko melihat orang-orang yang terjebak berusaha menjebol dinding semen agar bisa keluar dari stadion.

Dengan alat seadanya, Aremania berjuang menjebol dinding tersebut. Eko dan kawannya berinisiatif mencari aparat keamanan di sekitar agar bisa membantu membukakan pintu.


Pak, tolong pak, banyak yang terjebak di pintu 13. Terkunci, tak bisa keluar,” kata Eko saat bertemu seorang aparat.

Namun, bukannya menolong, aparat berseragam itu justru mencaci-maki Eko.

Jancok, teman saya juga ada yang kena!” hardiknya.

Aparat itu lantas hendak memukul Eko tapi berhasil ditangkis oleh temannya.

Tak menyerah, Eko berlari kembali menyisir sisi luar stadion untuk mencari pertolongan. Dia akhirnya bertemu anggota pengamanan pertandingan.

Namun, semuanya sudah terlambat. Ketika Eko dan petugas keamanan mendatangi pintu 13, banyak di antara Aremania yang tergeletak tak bernyawa.

Di lantai dekat pintu 13, Eko melihat banyak perempuan dan anak-anak tergeletak bertumpukan —lemas, meregang nyawa.


Eko mendadak terdiam, berhenti memberikan kesaksian tentang malam tragis itu. Tubuhnya melunglai hingga rebah di pangkuan Yuli yang ada di sampingnya.

Gak kuat aku mas,” tuturnya.

Aremania dari distrik Dau itu menangis meraung-raung. Yuli Sumpil lantas mengusap-usap punggungnya, menenangkan.

Yang kuat … gak apa-apa, ceritakan saja,” kata Yuli.

Eko dan Yuli hadir sebagai saksi dalam konferensi pers Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan, Malang, Senin 3 Oktober 2022.

Mereka adalah penyintas tragedi Kanjuruhan dua hari sebelumnya, yang mengakibatkan ratusan Aremania meninggal dunia. Tragedi itu bermula dari tembakan gas air mata polisi ke arah tribun penonton.

Gate 13 itu seperti kuburan massal mas, banyak perempuan dan anak-anak.

Setelahnya, Eko kembali menangis.


Korban nyawa demi cucu
Tempik sorak bergema di segala penjuru Stadion Kanjuruhan, Krajan, Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, saat Arema Malang berlaga melawan seteru abadinya, Persebaya.

Ahmad Wahyudi bersama istrinya Sulastri, juga ikut larut dalam gemuruh massa Aremania. Bersama mereka, ada ketiga keponakan, menantu, dan cucunya.

Tapi kegembiraan itu seketika berubah menjadi mencekam saat polisi dan TNI menghalau sejumlah Aremania yang memasuki lapangan hendak bersalaman dengan skuat kesayangannya tersebut.


Wahyudi yang berusia 60 tahun mengajak sang istri dan semua keluarganya untuk keluar lebih dulu karena situasi mulai tak asyik ditonton.

Ayo bu, kita keluar saja,” kata Wahyudi.

Kenapa pak?” jawab Sulastri.

Enggak baik anak kecil lihat kayak begini. Kita keluar saja cari makan, daripada cucu lihat begini.

Sulastri dan lainnya mengikuti langkah Wahyudi menuju tangga ke arah pintu keluar tribun nomor dua belas.

Bu, pegangan besi biar enggak jatuh,

Sulastri menuruti perkataan sang suami —usianya sudah masuk kepala lima, tubuhnya tak lagi kuat bila meniti anak tangga.


Dalam waktu bersamaan, Sulastri sempat melihat benda berasap melayang di atas kepalanya. Seketika itu pula matanya terasa perih.

Benda itu gas air mata yang ditembakkan polisi dari pinggir lapangan.

Saking perihnya, Sulastri tak bisa membuka mata. Pada kesempatan terakhir melihat, ia menggamit tangan Wahyudi.

Pegangan semua, pegangan,” perintah Wahyudi.

Wahyudi berada paling depan, diikuti Sulastri, menantu, cucu, dan ketiga keponakannya.

Dari sekitar tangga, persisnya di tribun nomor 12, Aremania lainnya banyak berteriak ketakutan. Polisi masih terus menembaki mereka memakai gas air mata.


Demi menyelamatkan diri, penonton bergegas ke tangga menuju pintu 12, sehingga Wahyudi sekeluarga harus melawan arus massa untuk sampai ke gerbang.

Ratusan orang berdesak-desakan, mencari jalan keluar. Tapi, pintu 12 hanya dibuka satu sisi.

Wahyudi mencari cara agar bisa menyelamatkan keenam anggota keluarganya. Sembari terus berpegangan tangan, mereka menyeruak mendekati pintu.

Sementara dorongan Aremania dari arah belakang semakin kuat. Tak ayal, pegangan Wahyudi dengan keenam keluarganya terlepas.


Sulastri, istri Wahyudi, terombang-ambing di tengah massa yang berdesak-desakkan. Ia terdorong ke sana-ke mari oleh suporter yang juga ingin selamat.

Dada Sulastri semakin sesak, kedua matanya tak bisa melihat karena perih. Dalam hati, ia hanya pasrah bila harus mati di pintu 12. Setelahnya, dia tak sadarkan diri.

Ketika siuman, Sulastri justru harus menerima kabar buruk: suaminya tewas. Sementara cucu, menantu, dan ketiga keponakannya berhasil keluar selamat dari stadion.

Bapak meninggal demi menyelamatkan kami dan cucunya,“ kata Sulastri, Senin 3 Oktober.

Suaranya masih parau. Sulastri bersama belasan penyintas tragedi Kanjuruhan larut dalam kesedihan yang sama di kantor Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, saat mengenang peristiwa tersebut.


‘Kenapa kami ditembaki?’
Aulia Rahman Maksum sebenarnya masih belum kuat untuk kembali ke Stadion Kanjuruhan, setelah dua hari sebelumnya terjebak di antara Aremania yang hendak menyelamatkan diri.

Senin siang, Aulia masih memakai baju seragam. Dari sekolahnya, SMK Negeri 1 Kepanjen, dia bersama teman-temannya menguatkan hati untuk kembali ke stadion, untuk berdoa bagi para korban.

Sabtu malam akhir pekan lalu, Aulia bersama enam temannya menonton laga Arema Vs Persebaya. Mereka tak mau melewatkan big match Liga Indonesia itu.

Aulia bersama teman-temannya membeli tiket dan duduk di tribun 14. Sepanjang pertandingan, tidak ada kejadian apa pun.

Tak pula ada perkelahian antarsuporter. Sebab, tak satu pun Bonek —suporter Persebaya—diperkenankan menonton laga.


Namun, setelah pertandingan selesai, turun salah seorang pendukung ke lapangan, mendatangi manajemen Arema.

Kalau saya, hanya diam di tribun. Tapi setelah satu orang pertama turun, beberapa orang lainnya ikut turun,” kata Aulia.

Menyusul kemudian polisi membawa senjata gas air mata masuk ke lapangan. Mereka menembak ke arah kerumunan yang ada di lapangan.

Parahnya, tembakan itu juga diarahkan ke tribun 14. Padahal, tidak ada satu pun Aremania yang berusaha manjat pagar masuk ke lapangan.

Saya sesalkan itu, kenapa tembakan diarahkan ke kami. Malah, orang yang berada di lapangan itu aman,” kata Aulia.


Tribun 12 dan 14 menjadi sasaran polisi menembakkan gas air mata. Tak ayal, Aremania di kedua tribun itu dikuasai kepanikan dan berdesak-desakan ke arah pintu keluar agar selamat.

Ketika itu, Aulia berdiri paling depan. Persis di depan pagar. Paling dekat sama polisi. Di tribun 14. Asap gas air mata sudah bergelayut pekat di udara.

Ia tidak lagi memperhatikan kondisi sekitar. Aulia sudah tidak bisa melihat. Matanya pedih. Bernapas pun susah.

Pikirannya saat itu cuma harus bisa keluar dari stadion. Aulia hanya bisa mendengar teriakan. Ada juga yang melontarkan caci-maki ke polisi yang tak henti menembakkan gas air mata.

Suara yang paling banyak saya dengar itu cewek. Ada juga suara anak-anak. Tapi, saya sudah tidak bisa melihat apa pun. Jalan saja hanya bisa meraba sekitar,” kata dia.


Tatkala sampai di gerbang keluar, pintu masih tertutup rapat. Sangat padat manusia di tangga. Saling dorong tak lagi terhindarkan.

Aulia sudah berada di tengah tangga. Pada detik tertentu, ada dorongan dari atas, akhirnya semua orang di tangga terjatuh.

Ingatan Aulia hanya sampai di situ. Karena detik selanjutnya, dia pingsan.

Saat terjatuh, saling tindih. Orang paling bawah itu meninggal dunia. Banyak banget yang seperti itu. Saya saja pingsan. Saat sadar, sudah di ruang VIP,” kata Aulia.

Aulia baru siuman Minggu subuh, sekitar pukul empat. Ternyata, teman-temannya lah yang menyelamatkannya.


Tak ada serangan ke pemain Persebaya
Dadang Hermawan, seorang Aremania, berani bersumpah tak ada satu pun di antara mereka yang menyerang pemain Persebaya saat masuk ke lapangan seusai laga. Karenanya, dia merasa janggal, kenapa polisi langsung melepas tembakan gas air mata.

Setelah wasit meniup peluit tiga kali, dua teman dari sektor Timur turun tidak menyerang pemain Persebaya. Sebab pemain Persebaya sudah masuk ruang ganti,” kata dia.

Dia mengatakan, Aremania yang memasuki lapangan tak ada yang berniat buruk, apalagi berbuat rusuh meski Arema Malang kalah dalam laga tersebut.

Nawak-nawak (kawan-kawan) hanya menyalami dan mensupport pemain Arema. Setelah itu diamankan steward.

Steward —petugas keamanan laga— meminta Aremania yang masuk ke lapangan untuk naik kembali ke tribun.


Tapi, Aremania dari tribun utara turun ke lapangan karena mengira ada keributan antara petugas keamanan dengan kawan mereka.

"Spontan turun dikira gegeran (ribut)," ujarnya.

Tak lama kemudian, aparat merespons dengan tindakan represif.

Bawa tameng dan senjata membubarkan kami. Saya kira cukup, ternyata disusul dengan menembakkan gas air mata.

Tembakan itu sontak membuat Aremania berlarian menyelamatkan diri. Bahkan ada yang nekat terjun dari pagar stadion.

"Mereka lari menyelamatkan diri ke tengah lapangan bukan untuk menyerang petugas. Mereka menyelamatkan diri dari gas air mata," tutur Dadang.


Gas air mata mengepung tribun. Dirasakannya gas tersebut sangat perih dan menyengat.

Ia menilai gas tersebut bukan untuk menghalau massa, tapi gas air mata untuk perang.

Berdasarkan literatur yang saya baca, gas itu (tragedi Kanjuruhan) di kulit saya perih banget. Bahkan sampai sekarang saya masih sesak.

Dadang sendiri saat itu memutuskan lari ke arah tribun VIP. Sampai di sana, betapa kagetnya dia melihat sejumlah Aremania tergeletak tak bernyawa, termasuk teman ngopinya.

"Saya temukan teman saya sudah meninggal dunia," kata dadang, menangis.


Dua hari setelah tragedi Kanjuruhan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.

Presiden Jokowi memerintahkan aparat penegak hukum mengusut tuntas tragedi tersebut. Tapi, belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menduga terdapat pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian maupun TNI dalam tragedi Kanjuruhan. Sedikit-dikitnya, hal itu terekam saat aparat menendang dan memukuli Aremania yang sedang berjalan.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut prajuritnya yang terekam video menendang Aremania bukanlah bentuk pertahanan diri, melainkan tindakan pindana. Dia berjanji mengusut dan menyeret sang prajurit ke pengadilan militer.

Reza Gunadha
Tim Liputan: Yuliharto Simon, Dimas Angga Perkasa, dan Aziz Ramadani.
Suara.com, 4 Oktober 2022

Thursday, September 22, 2022

Azyumardi Azra dan Sikap Mental Konspiratif


Dalam makalah di muktamar ABIM, Prof Azyumardi membahas potensi kebangkitan peradaban Muslim. Berikut ini sebuah catatan dari Asro Kamal Rokan.

Ketika dipercaya memimpin Dewan Pers, Mei 2022, banyak harapan masyarakat pers pada Prof Dr Azyumardi Azra, terutama untuk memperkuat kebebasan pers. Prof Edi ––begitu biasa disapa–– dikenal independen, sangat kritis, prodemokrasi, dan tentu cendekiawan. Ini modal besar sebagai penjaga yang tangguh kebebasan pers dari berbagai intervensi dan tekanan.

Lima bulan setelah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers dari unsur masyarakat, Prof Edi wafat, Ahad (18 September 2022) pukul 12.30 di Rumah Sakit Serdang, Selangor, Malaysia. Keterangan resmi Rumah Sakit Serdang, yang dikutip Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Ahad, menyebutkan Prof Edi menderita kelainan jantung.

Perjalanan terakhir Prof Azyumardi Azra menuju Malaysia.

Pada Jumat (16/9/2022) dalam penerbangan Jakarta ke Kuala Lumpur, Prof Edi mendadak sesak napas dan dipasang oksigen. Tiba di Bandara KLIA, cendekiawan Muslim itu dilarikan ke RS Serdang untuk perawatan lanjutan. Penasihat Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) Datuk Zakaria Abdul Wahab, setelah mendapat info, langsung ke RS Serdang.

Menurutnya, Prof Edi dalam kondisi tidak sadar. Mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Bernama Malaysia tersebut terus memberikan kabar kepada kami melalui WhatsApp Group.

Dan, Ahad siang, kabar meninggalnya Prof Edi kami terima. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, telah pergi seorang guru, cendekiawan, dan sahabat baik. Tokoh sederhana, yang kepadanya wibawa, marwah, dan martabat pers diharapkan semakin tegak, semakin independen.


Prof Azyumardi berada di Malaysia memenuhi undangan sebagai pembicara seminar internasional Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) di Bangi Convention Center, Kajang, Malaysia, Sabtu (17/9). Seminar ini bertema “Masa Depan Peradaban Kosmopolitan Islam ––Membina Optimistik Generasi Baharu”.

Prof Edi rencananya akan berbicara pada sesi pertama, Sabtu pagi, membawa makalah berjudul “Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Islam Asia Tenggara”. Makalah tersebut tidak sempat dibacakan Prof Edi, selamanya.

Dalam makalah 22 halaman, yang diedarkan kepada peserta muktamar ABIM, Prof Edi membahas potensi kebangkitan peradaban Muslim. Secara demografis di seluruh dunia, tulis Prof Azyu, jumlah kaum Muslimin meningkat secara signifikan, diperkirakan lebih dari 1,9 miliar jiwa (2022), agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan digabungkan).


Dengan jumlah yang terus meningkat itu, kaum Muslim memiliki potensi kian besar pula; tidak hanya untuk membangun peradaban Muslim, tetapi juga pada peradaban dunia secara keseluruhan.

Tetapi potensi itu belum bisa diwujudkan, belum dapat menjadi aset, bahkan sering lebih merupakan liabilities. Ini karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara berkembang, bahkan terkebelakang. Kondisi pendidikan tidak kompetitif, di bawah standar. Banyak murid putus sekolah. Tidak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban Muslim dan peradaban dunia.

Sementara itu, ada negara-negara Muslim kaya raya berkat minyak, mendatangkan windfall terus menerus karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, tulis Prof Edi, windfall tersebut justru menambah beban negara-negara Muslim yang tidak memiliki sumber daya alam BBM. Bahkan sebaliknya, mereka mensubsidi negara-negara kaya minyak tersebut.

Windfall itu tidak mengalir ke negara-negara Muslim miskin dalam bentuk grant atau investasi. Jika ada, jumlahnya tidak signifikan, boleh dikatakan hanya berupa tetesan belaka.


Karena itulah, menurut Prof Edi ––yang meraih gelar Master of Art (MA) di Universitas Columbia tahun 1988–– negara-negara Muslim yang miskin atau berkembang harus mengandalkan sumber-sumber lain, termasuk menambah utang dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Keadaan ini menambah ketergantungan pada Barat, yang jelas memiliki implikasi ekonomis, politis, dan bahkan psikologis di kalangan umat Islam.

Salah satu dampak psikologis itu, tulis Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, menguatnya sikap mental konspiratif; bahwa para penguasa negara-negara Muslim berkolaborasi dengan Barat, misalnya, mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslim dengan mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri.

Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik, dalam bentuk ketidakpercayaan pada rezim berkuasa, yang dapat mendorong instabilitas politik di banyak negara Muslim.


Menurut Prof Edi, psikologi konspiratif lebih jauh lagi menjadikan kalangan Muslim —khususnya sebagian ulama, pemikir dan aktivis Muslim— terperangkap ke dalam sikap defensif, apologetik, dan reaksioner; terpenjara ke dalam enclosed mind atau captive mind, mentalitas tertutup yang penuh kecurigaan dan syak wasangka.

Akibatnya, tulis Prof Edi, kalangan Muslim seperti ini lebih asyik pula dalam masalah-masalah furu’iyyah (percabangan), baik dalam bidang sosial, budaya, pemikiran dan keagamaan. Buahnya adalah keterjerambaban ke dalam tindakan dan aksi-aksi yang kurang produktif dalam upaya memajukan peradaban Muslim. Karena itu, jika kita mau berbicara tentang kemajuan peradaban Muslim, sudah waktunya kaum Muslimin membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan enclosed mind.

Harapannya, kaum Muslimin lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya kreatif dan produktif daripada terus dikuasai sikap defensif, apologetik, dan reaksioner yang sering eksesif.


Dalam seminar "Masa Depan Peradaban Kosmopolitan Islam" di Malaysia, yang tidak sempat dihadirinya tersebut, Prof Azyu mengajukan sejumlah usulan untuk kebangkitan peradaban ––yang dapat dilakukan Indonesia dan Malaysia, negara di luar Timur Tengah.

Prasyarat utama adalah stabilitas politik. Menurutnya, demokrasi Indonesia yang telah diadopsi dan dipraktikkan sejak 1999 masih perlu dikonsolidasikan dalam tiga hal: basis konstitusional-legal, kelembagaan (parpol, legislatif dan eksekutif), dan budaya politik. Hanya dengan konsolidasi lebih lanjut dapat ditegakkan good governance, penegakan hukum, dan kohesi sosial.

Sedangkan di Malaysia, menurutnya, juga mendesak perlu konsolidasi kekuatan politik umat Islam yang tercerai-berai dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan untuk mempertahankan hegemoni politik dan kekuasaan Melayu, baik di eksekutif maupun legislatif. Juga tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi yang mutlak perlu bagi kemajuan puak Melayu khususnya.

Konsolidasi demokrasi dan politik di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini mutlak untuk pembangunan peradaban utama juga meniscayakan partisipasi publik dalam proses politik demokrasi dengan segala ekses negatif yang sudah sampai pada titik yang tidak bisa dimundurkan lagi.


Tetapi juga jelas, tulis Prof Azyu, proses politik demokrasi di Malaysia dan Indonesia masih menyisakan banyak masalah, sejak dari fragmentasi politik, kepincangan politik, oligarki politik, korupsi, dan tidak fungsionalnya check and balances.

Prof Azyu percaya, kunci utama kebangkitan peradaban Islam adalah pendidikan. Pendidikan di Indonesia dan Malaysia, bukan hanya harus mencapai pemerataan (equity), tapi juga harus semakin berkualitas sejak dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Hanya dengan pendidikan seperti itu, kaum muda negeri ini dapat bertransformasi bersama menuju kemajuan peradaban.

Dalam konteks itu, pendidikan tinggi khususnya harus dikembangkan, bukan sekadar teaching higher institution —atau universitas pengajaran— tetapi sekaligus menjadi research institution. Proses pendidikan di perguruan tinggi sudah waktunya berbasiskan riset.


Pentingnya pendidikan tidak hanya dibahas Prof Azyumardi di seminar-seminar. Ia melakukannya. Ketika dipercaya sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) 1998-2002, ia melakukan perubahan besar. IAIN Syarif Hidayatullah diubah statusnya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2002. Ini diikuti perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lainnya.

Prof Azyumardi membangun Kampus UIN Jakarta menjadi lebih modern, melakukan transformasi besar-besaran, mengembangkan program studi, dan mendirikan sejumlah fakultas. Di antaranya Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Kesehatan, dan Fakultas Kedokteran.

Azyu berkeinginan generasi muda Islam menguasai teknologi, sosial, ekonomi, dan kedokteran ––yang pada Abad Pertengahan silam melahirkan pemikir-pemikir besar Islam.

Mantan wartawan majalah Panjimas yang menjadi Ketua Dewan Pers.

Transformasi
Sukses di UIN, nama Prof Azyumardi semakin dikenal luas, tidak saja sebagai pemikir Islam, tapi juga pendidik yang membumikan gagasannya. Ketika Redaktur Pelaksana Republika Nasihin Masha mengajukan nama Azyumardi sebagai penulis kolom tetap "Resonansi", sebagai Pemimpin Redaksi Republika saat itu, saya langsung setuju. Sejak 2003 itu, Azyumardi menjadi pengisi tetap kolom "Resonansi" hingga akhir hayatnya.

Kolomnya digemari. Tidak seperti umumnya akademisi, tulisan Azyumardi lebih cair dan mudah dimengerti. Kalimatnya efektif. Ini mungkin karena Azyu, yang juga wartawan, terbiasa menggunakan bahasa jurnalistik. Tulisan-tulisan Azyu di kolom "Resonansi", selain berisi berbagai gagasan, juga tentang kehadirannya dalam sejumlah seminar internasional.

Semasa hidup, Azyu sering diundang sebagai pembicara seminar-seminar internasional di mancanegara. Ia juru bicara yang baik dalam mempromosikan Islam rahmatan lil 'alamin di masyarakat yang mencurigai Islam. Sepanjang hidupnya diisi dengan belajar dan mendidik.

Mendapatkan gelar kehormatan dari Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris dan juga bintang kehormatan dari Pemerintah Jepang yang diserahkan oleh Kaisar Akihito.

Azyu orang Asia Tenggara pertama yang diangkat sebagai Guru Besar Kehormatan Universitas Melbourne, Australia (2004-2009). Carroll College, Montana, USA, memberinya Honoris Causa. Lebih dari 44 buku telah diterbitkan dan puluhan artikel telah ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia, dan Jerman.

Selain itu dia juga merupakan anggota Dewan Penyantun, penasihat dan Guru Besar Tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional.

Gagasan dan pemikiran Azyu melintasi batas-batas negara. Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris menghormatinya dengan memberi gelar Commander of the Most Excellent Order of British Empire (CBE), 2010. Azyu adalah satu-satunya akademisi Indonesia yang menerima penghargaan tinggi tersebut.


Pemerintah Jepang juga memberinya bintang The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star, yang diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Tokyo, Jepang (2017). Lelaki berpenampilan sederhana ini termasuk The 500 Most Influential Muslim Leaders (2009) dalam bidang keilmuan.

Prof Azyumardi Azra telah pergi menemui Sang Maha Pencipta, yang menentukan hidup manusia. Tapi, cendekiawan besar dan Guru Bangsa ini, tidak benar-benar pergi dan hilang. Puluhan buku, ratusan makalah yang berisi gagasan dan pemikirannya ––juga ilmu serta keteladanan yang diwariskannya–– akan tetap hidup dan bahkan akan berkembang sebagai kekayaan yang tidak ada habis-habisnya.

Selamat jalan Guru ....

Jakarta, 19 September 2022

Asro Kamal Rokan
Pemimpin Redaksi Harian Republika (2003-2005),
Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007),
Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023)

REPUBLIKA, 20 September 2022