Friday, April 28, 2023

Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo dan Menolak Anies


Ini adalah kisah tentang kerja politik Presiden Jokowi untuk ikut memenangkan pemilihan presiden 2024. Pastinya bukan sebagai pasangan calon peserta pilpres, tetapi memastikan paslon yang beliau dukung tampil sebagai juara dalam kompetisi Pilpres 2024.

Maaf jika tulisannya akan panjang, karena banyak hal yang perlu saya sampaikan, agar lumayan lengkap dan utuh, meskipun tidak bisa seluruhnya diceritakan. Beberapa nama dan peristiwa terpaksa tidak diungkap jelas, agar lebih aman dan tidak justru menimbulkan persoalan. Supaya tidak gagal paham, mohon membaca tulisan ini sampai tuntas.

Tulisan ini saya buat sebagai ikhtiar, untuk menjaga agar Pilpres 2024 tetap berjalan Jujur dan Adil. Saya sadar betul apa yang saya tulis ini akan membuat tidak nyaman beberapa kalangan, khususnya Presiden Jokowi dan para pendukungnya. Namun, karena didasari niat tulus untuk menjaga kehormatan demokrasi kita, biarlah saya menyediakan diri untuk menjadi pengingat, tentu dengan risiko disalahartikan, serta tidak disukai beberapa kalangan tersebut.

Sebab, keterlibatan aktif Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2024 sedemikian rupa adalah salah satu ancaman nyata bagi demokrasi kita. Sebagai orang yang mengangkat salam dua jari dan ikut memilih Jokowi di Pilpres 2014, saya merasa bertanggung jawab untuk tidak membiarkan beliau melakukan kesalahan konstitusional yang sangat fatal dan membahayakan kehidupan berbangsa.

Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto.

Setiap orang —tidak terkecuali seorang presiden sekalipun— tentu berhak punya pilihan dan preferensi calon presiden. Tetapi ketika sang presiden yang sedang menjabat menyalahgunakan kewenangan dan pengaruh yang dimilikinya untuk memenangkan paslon yang didukungnya, maka sang presiden jelas-jelas telah melanggar konstitusi.

Karena salah satu tugas utama presiden adalah memastikan setiap pemilu berjalan free and fair. Sebab, dengan kekuatan dan jaringan yang dimilikinya, sang presiden punya peluang besar untuk mempengaruhi hasil pemilu. Akibatnya, arena pertandingan tidak lagi adil bagi semua paslon, utamanya yang tidak mendapat dukungan sang presiden.

Agaknya, tidak ingin lagi mengalami kekalahan sebagaimana kisah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam, ketika jagoan yang beliau dukung, Ahok alias BTP kalah dari Anies Baswedan, maka untuk Pilpres 2024, Presiden Jokowi betul-betul mengambil peran sebagai the real king maker, sayangnya dalam bentuk yang salah.

Sampai tulisan ini dibuat, tanpa menafikan adanya kemungkinan dinamika dan perubahan, Presiden Jokowi terbaca mendukung paslon Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno, lalu juga mencadangkan sokongan kepada Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, sambil tetap berusaha menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, yang kemungkinan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono, sepanjang partainya tidak berhasil “dicopet” Moeldoko, tentu dengan persetujuan Presiden Jokowi.

Koalisi Besar yang terdiri 5 Partai, gagasan Pak Jokowi. Dari kiri, Cak Imin (PKB), Prabowo (Gerindra), Airlangga (Golkar), Zulhas (PAN), dan Mardiono (PPP).

Di panggung depan, alias di hadapan publik, keterlibatan Jokowi ini beliau bantah. Namun dalam realitas panggung belakang, ketika melakukan lobi di ruang-ruang tertutup, langkah dan kerja politik itu nyata dan serius beliau kerjakan.

Target Presiden Jokowi, siapapun presiden penggantinya kelak, adalah orang yang bisa mengamankan dan melanjutkan program kerjanya. Kepada seorang petinggi negara salah seorang lingkar utama istana mengatakan paling tidak ada dua hal yang diinginkan Jokowi pasca beliau lengser.

Satu, proyek Ibu Kota Negara (IKN) berlanjut, serta dua, tidak ada masalah ataupun kasus hukum yang menjerat Jokowi ataupun keluarganya.

Dalam pandangan Eros Djarot di talkshow Satu Meja Kompas TV, Jokowi mendukung beberapa capres tertentu dan tidak ikut memilih Anies, karena ingin memastikan bahwa beliau akan mendarat secara aman dan nyaman.

Politik adalah Tipu Muslihat, dan beliau inilah Sang Raja Tipu Muslihat.

Karena itu, target utama Jokowi adalah sebisa mungkin hanya ada dua pasangan calon dalam Pilpres 2024. Keduanya adalah all the president’s Men. Calon yang diidentifikasi berseberangan dan mungkin tidak melanjutkan legacy kepresidenannya, sebisa mungkin dieliminasi, sedari awal.

Ibarat rumus makanan, 4 sehat 5 sempurna, maka ada 9 strategi 10 sempurna demi langkah pemenangan yang terbaca dijalankan Presiden Jokowi.

Pertama, di tahap awal, Presiden Jokowi dan lingkaran dalamnya mempertimbangkan opsi untuk menunda pemilu, sekaligus memperpanjang masa jabatan Presiden. Alasan pandemi COVID 19 dijadikan pintu masuk. Seiring berjalannya waktu, opsi ini makin tidak relevan dan kehilangan logika pembenarannya.

Kedua, masih di tahap awal, segaris dengan strategi penundaan pemilu, sempat muncul ide untuk mengubah konstitusi guna memungkinkan Presiden Jokowi menjabat lebih dari dua periode. Opsi ini cepat tenggelam karena tidak mendapat dukungan dari parpol yang sudah bersiap maju dalam Pilpres 2024. Apalagi Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan, sesuai konstitusi, presiden hanya menjabat maksimal dua periode.

Ketua KPK, Komjen Pol Firli Bahuri.

Ketiga, menguasai dan menggunakan KPK untuk merangkul kawan dan memukul lawan politik.

Strategi mengkerdilkan KPK tersebut berjalan beriringan dengan strategi keempat, yakni menggunakan dan memanfaatkan kasus hukum sebagai political bargaining yang memaksa arah parpol dalam pembentukan koalisi Pilpres.

Strategi ketiga dan keempat inilah yang dalam banyak kesempatan saya sebut: memperalat hukum sebagai instrumen dalam strategi pemenangan Pilpres 2024.

Kebetulan beberapa petinggi parpol mempunyai borok dugaan kasus korupsi. Ada yang terjerat pengadaan minyak goreng, izin lahan hutan, kardus duren, dan lain-lain. Ada juga tokoh yang telah disiapkan dugaan korupsi pembelian Bank Banten. Bank itu infonya hanya dibeli dengan harga di bawah 500 miliar, padahal harga seharusnya lebih dari 900 miliar.

Muhammad Mardiono, Sandiaga Salahuddin Uno, Suharso Monoarfa.

Strategi kelima, jika ada petinggi parpol yang keluar dari strategi pemenangan, maka dia berisiko dicopot dari posisinya. Sudah menjadi fakta, seorang pimpinan parpol digeser, salah satu alasannya karena diketahui beberapa kali bertemu dengan bakal calon presiden yang tidak disenangi Jokowi.

Ketika saya menawarkan mitigasi hukum kepada suatu parpol dalam rangka pemilu 2024, sang pimpinan parpol mengatakan, kita bisa bekerja sama, syaratnya hanya satu, “Anda tidak boleh mendukung Anies sebagai capres”.

Ketika saya tanya mengapa demikian, sang Ketum menjawab, “Saya harus memikirkan dan menyelamatkan partai” sambil tersenyum penuh arti.

Saat diingatkan konstituennya mayoritas adalah pendukung Anies Baswedan, dan jika tidak memilih Anies maka ada risiko parpol tersebut kehilangan pemilihnya sehingga tidak lagi mempunyai kursi di DPR, kader utama partai itu menjawab:

Jika kami tidak memilih Anies, kami mungkin akan hilang setelah pemilu 2024, tapi kalau ikut memilih Anies, kami akan hilang sejak sekarang” katanya sambil tersenyum kecut.

9 Hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Anwar Usman, yang kebetulan sekarang merupakan adik ipar Presiden Jokowi.

Strategi keenam, menyiapkan komposisi hakim Mahkamah Konstitusi untuk antisipasi dan memenangkan sengketa hasil Pilpres 2024. Sebagai bagian dari memanfaatkan hukum dalam pemenangan Pilpres, maka Jokowi paham benar peran strategis MK sebagai pengadil dan pemutus akhir pemenang Pilpres 2024. Maka komposisi hakim konstitusi pun sudah disiapkan untuk bisa mengamankan dan memuluskan jalan pemenangan.

Ditariknya Hakim Aswanto, dengan cara yang melanggar prinsip independence of the judiciary, karena berani-beraninya mbalelo dan menyeberang ke kelompok hakim yang membatalkan bersyarat UU Ciptaker, adalah salah satu indikator pengkondisian hakim MK yang pro-strategi Presiden Jokowi.

Setali tiga uang, hukuman ringan kepada Hakim Guntur padahal jelas-jelas melakukan skandal pengubahan putusan MK. Tidak aneh, hukuman minimalis demikian akan berbalik jasa dalam bentuk putusan yang menguntungkan kubu status quo. Terakhir, terpilihnya kembali Anwar Usman, sang adik ipar Presiden Jokowi, sebagai Ketua MK, menguatkan indikasi bahwa MK sudah siap menyambut strategi pemenangan Pilpres ala Jokowi.

Sebagaimana KPK yang sudah dikuasai dan disalahgunakan dalam penanganan beberapa kasus korupsi, MK pun sudah pula dikondisikan, dan karenanya menambah panjang ancaman pelaksanaan Pilpres 2024 yang seharusnya Jujur dan Adil.

Yang penting "Asal Bukan Anies!"

Strategi Jokowi yang ketujuh adalah tidak cukup hanya mendukung pencapresan Ganjar Pranowo, Jokowi juga memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto. Mengapa demikian?

Sedari awal preferensi Jokowi sebenarnya kepada Ganjar Pranowo. Ketika menghubungi para Ketum Partai salah satu poros koalisi bentukannya, Jokowi menginstruksikan tiga hal. Satu, segera bentuk koalisi tiga parpol. Dua, deklarasikan pencapresan Ganjar. Tiga, jangan sampai ada Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Ketika ketiga Ketum Parpol menghubungi Ganjar, kala itu, sang Gubernur Jawa Tengah mengatakan tidak akan maju kalau tidak didukung PDI Perjuangan dan mendapat restu Ketum Megawati Soekarnoputri. Ketika dilaporkan kepada Presiden Jokowi, beliau menjawab, “Baiklah, biar nanti saya yang akan berbicara dengan Ibu Mega”.

Sejarah kemudian mencatat, Megawati Soekarnoputri akhirnya memilih Ganjar ketimbang Puan Maharani, yang sebenarnya merupakan pilihan awal beliau. Alhasil, Jokowi berhasil melaksanakan misinya.

Akhirnya Megawati takluk pada "Jago"-nya Jokowi.

Penantian Ganjar bukanlah sebentar. Seorang pejabat negara bertanya ke Ganjar,

Jadi bagaimana ini Pak Ganjar soal Pilpres 2024?

Begini Pak. Saya dengan Ibu Megawati itu punya nomor khusus untuk kami berkomunikasi. Nah, sudah setahun ini nomor telepon itu tidak berbunyi. Saya juga masih menunggu kabar dari beliau. Hanya melalui orang di sekitar saya, Ibu Mega menitip pesan: Tolong Jaga Mas Ganjar ya!

Penantian panjang Ganjar Pranowo —senior saya di Fakultas Hukum UGM tersebut, akhirnya terjawab pada hari Kartini, 21 April lalu. Lantas, besoknya di hari lebaran (22/4/23), Presiden Jokowi di rumah Solo hanya menerima Prabowo Subianto.

Dalam harapan Jokowi yang ideal menjadi presiden adalah Ganjar Pranowo. Tetapi kalau langkah Anies Baswedan tidak terbendung untuk menjadi capres, maka harus ada capres ketiga, dan pilihan Jokowi jatuh kepada Prabowo Subianto.

Semuanya tertawa, nampak bahagia. Tapi ini belum final, baru awal kompetisi. Bagaimanakah endingnya kelak? Mari kita sama-sama "Wait and See ...."

Presiden Jokowi membaca survei politik. Salah satunya dari CSIS. Pada rilisnya di 26 September 2022, survei CSIS menyimpulkan meskipun Ganjar dominan, tetapi akan kalah jika dihadapkan head to head dengan Anies Baswedan. Anies bahkan juga dinyatakan menang jika melawan Prabowo Subianto.

Maka untuk memecah suara pendukung Anies yang kebanyakan dari kalangan Islam (hijau), maka dimunculkan Prabowo Subianto yang mengidentifikasikan diri sebagai capres dari kelompok hijau pada Pilpres 2019. Singkatnya, pemilih Prabowo dan Anies beririsan. Dengan memajukan Prabowo, kemungkinan Ganjar untuk menang semakin besar, ketimbang risiko hanya menghadapkannya langsung dengan Anies. Survei CSIS tadi, mengkonfirmasi itu.

Bukan hanya memecah suara Anies dengan mendukung pencapresan Prabowo. Jokowi juga menyiapkan Sandiaga Uno sebagai cawapres Ganjar, lagi-lagi tujuannya adalah untuk memecah suara kelompok Islam pendukung Anies.

Maka, jika di Pilgub Jakarta 2017, koalisi Prabowo mendukung Anies-Sandi melawan Ahok yang didukung Jokowi. Lalu di Pilpres 2019, Prabowo-Sandi adalah pilihan bagi aliran politik hijau-Islam, melawan Jokowi-Ma’ruf Amin dari kelompok merah-nasionalis. Maka, untuk Pilpres 2024, Jokowi sengaja memasang strategi memecah suara hijau tersebut, dengan target memenangkan politik aliran merah.

Prabowo Subianto, kisah seorang jenderal yang tidak pernah menyerah. Walau berulang kali kalah dan berulang kali dikhianati ....

Di Pilpres 2024, strategi Jokowi, jikalau Anies tidak berhasil dijegal sebagai capres, maka dia akan berbagi suara kelompok Islam dengan capres Prabowo, maupun Sandiaga yang akan menjadi cawapres Ganjar. Dengan harapan suara merah akan bulat ke Ganjar, dan karenanya lebih mungkin masuk putaran final, dan menang.

Mengapa saya yakin Sandiaga Uno akan menjadi cawapres Ganjar? Tentu saja politik selalu dinamis. Tetapi informasi dan tanda-tanda ke arah pasangan Ganjar-Sandi itu sudah mulai menguat. Di samping strategi Presiden Jokowi untuk memecah suara pemilih Islam tadi, Sandi juga sudah berpamitan dari Partai Gerindra, untuk bergabung dengan PPP. Katanya, karena ada penugasan di tempat lain.

Penugasan itu datang dari Jokowi, bagi Sandiaga —dan sebenarnya juga Erick Tohir— untuk mendekati partai-partai Islam. Sandi ditugaskan masuk ke PPP, lalu membawanya berkoalisi dengan PDI Perjuangan dan menjadi Cawapres Ganjar. Banyak survei menguatkan, pasangan calon Ganjar-Sandi akan sulit untuk ditandingi.

Memang ada juga informasi lain, bahwa Ibu Mega meminta cawapres Jokowi adalah dari NU yang sepuh. Rupanya beliau nyaman dengan sosok KH Ma’ruf Amin, yang tidak mengganggu dan menjadi kompetitor partai banteng moncong putih. Kita lihat saja dalam waktu dekat, apakah Sandiaga yang mendampingi Ganjar, atau tokoh lain yang lebih NU, Mahfud MD, misalnya.

Surya Paloh: “Abang ini meskipun dibunuh ataupun dipenjarakan tetap akan mendukung Anies, tidak akan berubah!

Persoalan dengan Prof Mahfud adalah, beliau mendapat dukungan luas dan populer di kalangan masyarakat bawah, tetapi ditakuti dan tidak menjadi pilihan di kalangan atas petinggi parpol. Itu pula yang menyebabkan Prof Mahfud gagal menjadi cawapres, meskipun sudah berbaju putih, di detik-detik akhir pengumuman pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019.

Strategi kedelapan Jokowi adalah membuka opsi mentersangkakan Anies Baswedan di KPK. Ini sudah menjadi rahasia umum, terkait dugaan korupsi Formula E. Meskipun opsi ini semakin kehilangan momentum, namun belum juga menghilang dari opsi Jokowi.

Ketika mendadak dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem, salah satu pemicu utamanya adalah ada informasi, bahwa Anies akan segera ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Partai Nasdem sendiri bukan tanpa ancaman ketika nekat mendeklarasikan Anies. Dalam pertemuan terbatas elit partainya, Surya Paloh dikabarkan berkata, “Abang ini meskipun dibunuh ataupun dipenjarakan tetap akan mendukung Anies, tidak akan berubah!”.

Prof Mahfud MD, itu mendapat dukungan luas dan populer di kalangan masyarakat bawah, tetapi ditakuti dan tidak menjadi pilihan di kalangan atas petinggi parpol.

Hasil pertemuan Jokowi-Surya Paloh sendiri menghasilkan kesepakatan “status quo”. Artinya, Partai Nasdem akan tetap mendukung Anies, dan menterinya di kabinet tetap tidak direshuffle. Tetapi bukan berarti posisi Nasdem aman. Dugaan korupsi BTS menyebabkan kader utama Nasdem Menkominfo Johnny G Plate diperiksa Kejaksaan Agung. Dapat dipastikan, pemeriksaan selevel menteri demikian tentunya atas sepengetahuan dan persetujuan Presiden Jokowi.

Soal info Anies menjadi tersangka sempat muncul dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan salah satu tokoh bangsa utama. Dalam obrolan tersebut sang tokoh terkejut, ketika disebutkan hanya akan ada dua paslon capres 2024.

Bukankah banyak kandidat yang bermunculan, Bapak Presiden, misalnya ada juga Anies Baswedan”.

Anies tidak bisa maju karena ada kasusnya di KPK”, jawab Jokowi.

Risau dengan berita pentersangkaan Anies tersebut, pembicaraan itu diceritakan sang tokoh ke Presiden Keenam SBY ketika berkunjung ke Cikeas. Maka muncullah statemen politik SBY di Jakarta Convention Centre pada Kamis 15 September 2021 yang intinya beliau risau dengan adanya skenario dari kelompok tertentu yang mengatur Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon, dan karenanya menjadi tidak jujur dan tidak adil.

Akankah Jenderal (Purn) Moeldoko berhasil "mencopet" Partai Demokrat dari tangan Mayor Inf (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono. Sekali lagi, wait and see ....

Strategi kesembilan adalah mengambil alih Partai Demokrat melalui langkah politik yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kita sama-sama paham bahwa Moeldoko telah dan terus berusaha mengambil alih Partai Demokrat. Terakhir diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Jika dimenangkan, maka Demokrat akan dikuasai Jokowi, dan dapat dipastikan, Anies akan kehilangan dukungan partai “Mercy” itu dan terancam tidak mendapat tiket pencapresan.

Saya ingin kita jujur dan tegas mengatakan yang mengambil alih Demokrat adalah Presiden Jokowi, bukan Moeldoko. Sudah jelas Moeldoko adalah KSP Presiden Jokowi, orang lingkar satu istana. Maka setiap langkahnya kalau dibiarkan, berarti mendapat persetujuan sang Presiden.

Ketika Moeldoko dibiarkan mengambil alih Partai Demokrat, tidak direshuffle, dan sekarang mengajukan PK ke MA, harus dikatakan ini adalah strategi Jokowi untuk mencaplok Demokrat, sekaligus menggagalkan pencapresan Anies Baswedan.

Seorang Advokat memberi info, bahwa PK Moeldoko tidak bisa dianggap ancaman yang enteng-enteng saja. Teman advokat ini menyampaikan bahwa dia telah dihubungi beberapa hakim agung yang terjerat kasus korupsi mafia perkara di MA. Mereka meminta sahabat advokat tersebut menjadi pengacaranya. Karena dia pernah di KPK, dan seorang aktivis antikorupsi, sang sahabat menolaknya.

3 orang petinggi PKIB (Partai Koalisi Indonesia Bersatu), dari kiri; Zulhas (PAN), Airlangga (Golkar), dan Mardiono (PPP).

Tapi dari pertemuan itu, ada kisah sangat menarik yang kemudian muncul, dan minta saya menyampaikan kepada petinggi Demokrat. Bahwa para hakim agung yang bermasalah itu dijanjikan dibantu kasusnya, bahkan hakim agung lain yang mestinya juga diciduk karena kasus yang sama tidak akan disentuh, dengan kesepakatan tukar guling perkara. Yaitu, para hakim agung itu mau membantu memenangkan PK yang diajukan Moeldoko Cs atas Partai Demokrat AHY.

Pencaplokan partai oleh seorang Presiden adalah persoalan serius. Apalagi partai yang dicaplok adalah partai seorang mantan presiden. Bukan saja itu membahayakan demokrasi kepartaian di negara kita, tetapi menunjukkan bagaimana kasarnya politik yang dilakukan. Bayangkan, untuk membatalkan pencapresan Anies, seorang Presiden sampai nekat merestui, paling tidak membiarkan KSP-nya, mengganggu partai resmi yang dilahirkan bukan orang sembarangan, Presiden Keenam RI, Pak SBY.

Strategi penutup kesepuluh yang menyempurnakan adalah dengan berbohong kepada publik, maka genap lengkaplah menjadi 10 sempurna. Presiden Jokowi berulang kali mengatakan urusan capres adalah kerja para Ketum Parpol, bukan urusan Presiden. Maka, beliau protes ketika semua soal capres dikaitkan dengan dirinya.

Tetapi pernyataan itu jelas tidak jujur. Di pertemuan buka puasa yang diadakan PAN saja, setelah melakukan pertemuan tertutup, Presiden Jokowi dengan seluruh partai pendukung pemerintah —kecuali Partai Nasdem yang tidak diundang untuk hadir— di hadapan media menyampaikan ide tentang koalisi besar, antara KIB dengan Gerindra dan PKB. Jelaslah, pembentukan koalisi besar ada urun andil dari Presiden Jokowi.

Dilema Prabowo Subianto diantara Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Ketum PKB Muhaimin Iskandar juga menceritakan ketika bertemu dengan Presiden Jokowi diarahkan segera deklarasi pasangan calon dengan Prabowo.

Segera saja Cak Imin deklarasi paslon dengan Pak Prabowo. Cak Imin sampaikan ke beliau, nanti saya juga akan bicara dengan Pak Prabowo”.

Baik Bapak Presiden”.

Tidak berapa lama setelahnya Presiden Jokowi juga bertemu dengan Ketum Gerindra Prabowo. Lalu akhirnya Prabowo bertemu Muhaimin di rumah Kertanegara pada 10 April 2023.

Pak Prabowo, Presiden Jokowi meminta kita segera deklarasi paslon Prabowo-Muhaimin”.

Lho, Pak Muhaimin, saya baru bertemu dengan Presiden Jokowi, dan pesannya segera deklarasi Prabowo-Airlangga”.

Terkejut dan kecewa atas pesan yang berbeda tersebut, Muhaimin akhirnya meninggalkan kediaman Prabowo dan menyampaikan pernyataan media: "Belum ada kesepakatan capres-cawapres".

Politik itu ya, tipu daya, tipu muslihat, penuh intrik, dan tentu saja bisik-bisik ....

Arah Jokowi mendukung Koalisi Besar dengan paslon Prabowo-Airlangga semakin terang ketika di hari lebaran pertama Prabowo bertemu Presiden Jokowi, lalu di hari kedua Prabowo menemui Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto.

Itulah sekelumit kisah bagaimana Jokowi mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno, dengan cadangan Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, sambil tetap berusaha menggagalkan Anies Baswedan, yang kemungkinan berpasangan dengan AHY. Kalau, Partai Demokrat AHY berhasil “dicopet” Moeldoko dengan restu Jokowi, nasib pencapresan Anies niscaya akan di ujung tanduk. Kecuali ada partai yang bergeser ke Koalisi Perubahan. Misalnya, PKB yang Muhaimin Iskandar terbaca kecewa, lalu berpindah mendukung Anies. Pertanyaannya seberapa kuat tameng perlindungan Cak Imin ketika diserbu dengan berbagai dugaan korupsi yang akan ditembakkan deras ke tubuhnya dan PKB.

Akhirnya, Presiden Jokowi tentu boleh punya preferensi capres jagoannya. Tetapi menggunakan pengaruh dan kekuatan kepresidenannya untuk menjegal bakal capres yang lain, seharusnya tidak dilakukan. Demokrasi dan Pilpres 2024 akan dicatat sebagai pemilu yang penuh rekayasa politik yang kotor, dan itulah legacy Presiden Jokowi yang harus dihentikan, sebelum menjadi kenyataan.

Pekalongan-Jakarta-Melbourne, 24 April 2023

Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Senior Partner INTEGRITY Law Firm,
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia

IntegrityLawFirms.com

Wednesday, April 19, 2023

Kartini dan Al-Qurȃn


Kebanyakan orang tidak tahu ––karena tidak diberi tahu–– bahwa Kartini merupakan orang yang berjasa besar dalam dakwah Al-Qurãn, khususnya terhadap orang Jawa.

Sebagai anak cerdas dan kritis, Kartini tidak bisa menerima begitu saja cara pendidikan agama yang kolot. Bila ia berani menusuk uluhati pemerintah kolonial Belanda dengan penanya yang sangat tajam, ia pun mampu menampar guru agamanya dengan lidahnya yang tak kalah tajam.

Suatu hari, dalam acara rutin pengajian, Kartini menanyakan makna ayat-ayat Al-Qurãn yang diajarkan gurunya. Tapi, alih-alih mendapat jawaban yang memuaskan, sang guru malah jadi murka, dan kemudian mengusir Kartini dari ruang pengajian.

KH Muhammad Sholeh bin Umar atau Kiai Sholeh Darat, dan kutipan awal surat Ibrahim yang menginspirasi RA Kartini dengan frasa "Habis Gelap (Dzulumat) Terbitlah Terang (Nur)".

Mungkin pengalaman itu menyebabkan Kartini menderita luka jiwa (trauma) yang dalam, sehingga pernah mogok shalat dan mengaji. Melalui surat yang ditulisnya untuk E.E. Abendanon, bertanggal 15 Agustus 1902, Kartini bercerita:

Waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qurãn, belajar menghafalkan perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan para ustadz dan ustadzahku pun tidak tahu artinya .…

Kartini mengatakan bahwa seandainya ia diberi tahu arti kata-kata (Al-Qurãn) yang diajarkan, maka selanjutnya ia akan mempelajari semuanya. Tapi tuntutannya itu malah membuatnya didakwa telah melakukan dosa. “Kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengetahui artinya,” keluh Kartini kepada Abendanon pula.


Pengetahuannya tentang agama Islam memang masih sangat dangkal. Karena itulah dalam beberapa suratnya ia pun banyak mengkritik perilaku masyarakat Jawa, terutama kebiasaan para bangsawan dan kaum pria dalam berpoligami, yang dianggap sebagai mewakili ajaran Islam.

Namun otaknya tidak pernah berhenti memikirkan agama yang telah ‘dihadiahkan’ orangtuanya sejak ia lahir. Lewat surat kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, seorang wanita Yahudi yang tinggal di Belanda, Kartini menuangkan isi hatinya:

Soal agama Islam, tak dapat kuceritakan, Stella. Agama ini melarang umatnya membicarakannya dengan pemeluk agama lain. Sejujurnya, aku memeluk agama Islam karena nenek moyangku beragama Islam. Bagaimana aku bisa mencintai agamaku, bila aku tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Qurãn terlalu suci untuk diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Di sini orang diajari membaca Al-Qurãn, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Aku menganggap hal itu sebagai perbuatan gila; mengajarkan orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Sama saja seperti kau mengajariku membaca buku bahasa Inggris dan aku harus hafal seluruhnya, tanpa kau terangkan arti sepatah kata pun dalam buku itu. Bila aku ingin mengenal dan memahami agamaku, aku harus pergi ke tanah Arab untuk mempelajari bahasanya di sana .…


Tak ada cerita atau pengakuan (lewat surat-suratnya) bahwa ia pernah ingin pergi ke Arab untuk memperdalam agama Islam. Yang jelas, pengusiran itu rupanya tidak membuat kartini putus asa. Rasa penasaran untuk mengetahui isi Al-Qurãn membawanya pergi ke rumah seorang pamannya, bupati Demak bernama Pangeran Aria Hadiningrat, yang hari itu sedang mengadakan acara pengajian keluarga. Kartini bergabung bersama para wanita bangsawan yang mengikuti pengajian dari balik tirai.

Pemimpin pengajian itu adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar, seorang alim besar dari Darat, Semarang, yang biasa mengajar di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Hari itu sang kiai membahas surat Al-Fatihah, yang ternyata membuat Kartini terpesona. Setelah pengajian selesai, Kartini mendesak pamannya untuk mengantarnya menghadap sang kiai. Melalui tulisan Fadhila Bc Hk, cucu Kiai Sholeh Darat, kita dapat mengetahui dialog di bawah ini.

Kiai, ijinkanlah saya bertanya: bagaimana hukumnya bila orang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini kepada sang kiai.

Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” sang kiai balik bertanya.

Kiai, baru sekali ini saya mengetahui arti surat pertama dalam Al-Qurãn, yang ternyata begitu indah dan menggetarkan hati. Saya heran, mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qurãn ke bahasa Jawa? Bukankah Al-Qurãn itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” kata Kartini.


Pertanyaan Kartini itu sangat menyentuh hati sang kiai, sehingga akhirnya ia berusaha menerjemahkan Al-Qurãn ke bahasa Jawa.

Tanggal 8 November 1903, ketika Kartini terpaksa harus menikah (menjadi istri keempat) dengan bupati Rembang, Joyodiningrat, Kiai Sholeh Darat menghadiahinya sebuah kitab berjudul Faizhur Rahman fi-Tafsiril-Qurãn, yang berisi terjemahan 13 juz Al-Qurãn (dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim) hasil karya sang kiai sendiri.

Tapi sayangnya pekerjaan itu tidak bisa ia tuntaskan, karena sang kiai keburu meninggal. Meskipun demikian, mulai saat itulah sebagian isi Al-Qurãn dikenal oleh Kartini, dan ia pun mempelajarinya dengan giat. Tapi tidak lama. Belum lagi usia pernikahannya mencapai setahun, tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal.


Kartini lahir di tengah keluarga bangsawan, dikungkung adat Jawa dan dihujani pengaruh pemikiran Barat melalui sekolahnya, Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk anak-anak Eropa), lewat bacaan, dan kemudian lewat persahabatannya dengan sejumlah wanita Belanda dan Yahudi. Di antara mereka ada yang merupakan aktifis feminis, tokoh politik, guru, dan bahkan pendeta. Mereka mendekati Kartini dengan tujuan membaratkan dan mengkristenkan wanita cerdas itu.

Tapi usaha mereka tidak sepenuhnya berhasil. Kartini, yang kakek dari garis ibunya ––Kiai Haji Madirono–– adalah seorang guru agama di Telukawur, Jepara, tetap teguh memeluk Islam sampai akhir hayatnya.

Seandainya ia berumur panjang, tidak mustahil bila Kartini pun bisa tampil memperjuangkan cita-citanya mengembangkan agama Islam. Kesan itu setidaknya tertangkap dari surat yang ditulisnya untuk Nellie Van Kol, seorang wanita penulis dan humanis, yang tampak paling berusaha keras mengkristenkan Kartini. Kartini menolak propaganda temannya itu secara halus.

Semoga kami mendapat rahmat, (agar) dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam layak dicintai,” kata Kartini.

(AH, Dari berbagai sumber).

Ahmad Haes, 19 April 2013
https://ahmadhaes.wordpress.com/2013/04/19/kartini-dan-al-quran-2/

Thursday, April 13, 2023

Dimensi Flexing: Dari Moralitas Hingga Krisis Reputasi


Istilah flexing atau pamer kekayaan belakangan ini ramai dibicarakan di media sosial dan media massa, setelah netizen mengkritik hobi para pejabat publik dan keluarganya yang kerap memamerkan gaya hidup di luar kewajaran jika dibandingkan penghasilan mereka sebagai pejabat publik.

Pertanyaannya, apakah flexing yang mereka lakukan tersebut secara moral benar atau salah? Dan apa standarnya?

Baru-baru ini, The Straits Times melaporkan bahwa di Korea Selatan, flexing sekarang sudah menjadi sebuah norma, bukan sebuah penyimpangan. Korea Selatan menjadi negara yang paling banyak membeli barang mewah pribadi di dunia, dengan nilai mencapai 21,8 triliun won atau setara dengan Rp 246 triliun, menurut laporan Morgan Stanley pada tahun 2022.


Penelitian lain dari Shrevan Goenka dan Manoj Thomas di Cornell University pada tahun 2020 yang berjudul “The Malleable Morality of Conspicuous Consumption” atau “Moralitas yang Fleksibel dalam Konsumsi dan Pamer Barang Mewah” menyatakan bahwa perbedaan nilai moral dasar individu akan membentuk perbedaan pendapat mengenai bermoral tidaknya flexing. Individu yang mengutamakan nilai kesejahteraan sosial dan kesetaraan akan keberatan dengan flexing, sedangkan individu yang mengagungkan kesetiaan pada kelompok dan kepatuhan pada norma kelompok tertentu akan lebih permisif terhadap flexing.

Di sisi agama, sebagai contoh, dalam Islam terdapat kisah Nabi Sulaiman, penguasa bumi paling kaya pada zamannya, yang memilih ilmu daripada harta dan tahta saat ditanya oleh Tuhan. Harta dan tahta tidak berarti apa-apa baginya, karena dengan ilmu, ia bisa memimpin dengan bijaksana, yang pada akhirnya akan membuat harta dan kekuasaannya terus bertambah dengan izin Tuhan. Sebaliknya, dalam kisah Islam lainnya, Qorun, sepupu Nabi Musa yang kaya raya, gemar mempertontonkan hartanya namun pelit dan bakhil, sehingga diberikan azab kebinasaan dan dihancurkan oleh Tuhan dalam sebuah gempa bumi.


Di Indonesia, nilai moral tentang hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Sila ke-5 Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perilaku hidup sederhana, hemat, dan tidak bermewah-mewahan dan tidak pamer kemewahan (flexing) adalah perilaku yang selaras dengan Sila ke-5.

Bagi pejabat publik, pegangan moralitasnya ditetapkan dalam Kode Etik Pegawai pada setiap institusi publik di tingkat nasional maupun daerah, yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No 94/2021 dan UU Aparatur Sipil Negara No 5/2014. Salah satu poin dalam Kode Etik Pegawai yang relevan dengan larangan flexing adalah berpola hidup sederhana.


Sederet Persoalan
Ada beberapa masalah dan tantangan saat membahas nilai hidup sederhana, salah satunya terkait dengan Kode Etik Pegawai. Dari 20 sampel Kode Etik di institusi publik yang diobservasi, ada tiga kode etik yang tidak mencantumkan nilai hidup sederhana. Oleh karena itu, tanpa harus menyebut nama institusi, penulis menyarankan agar setiap institusi publik meninjau kembali dan memperbarui Kode Etik Pegawainya jika ada kekurangan.

Jika Kode Etik tersebut tidak memuat poin pola hidup sederhana, maka perilaku flexing tentu tidak dapat diberikan peringatan ataupun sanksi karena tidak ada ketentuan Kode Etik yang dilanggar. Institusi publik harus memastikan bahwa mereka tidak dianggap membiarkan gaya hidup bermewah-mewahan, terutama karena institusi tersebut dibiayai oleh uang pajak rakyat.

Namun, bahkan ketika Kode Etik Pegawai sudah lengkap ketentuannya, tantangan lain muncul di dalam institusi publik terkait dengan efektivitas sosialisasi, internalisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kepatuhan terhadap Kode Etik Pegawai. Juga perihal pemberian imbalan atas kepatuhan serta sanksi atas pelanggaran Kode Etik, dan upaya peningkatan kapasitas baik pada pejabat publik maupun pada fungsi-fungsi pelaksana kampanye kepatuhan terhadap Kode Etik Pegawai ini.


Komisi Aparatur Sipil Negara pernah menyoroti lemahnya penegakan Kode Etik Pegawai ini dalam policy brief-nya pada edisi Desember 2018, sebuah isu yang masih relevan seiring dengan terciduknya perilaku flexing para pejabat publik maupun keluarganya. Kelemahan ini harus ditangani dengan baik agar Kode Etik Pegawai dapat ditegakkan kembali dengan efektif.

Persoalan selanjutnya datang dari konten media sosial yang gampang dikonsumsi setiap saat. Konten flexing di media sosial sangat umum terjadi di seluruh dunia, terlihat serba enak dan mudah dilakukan, serta pelakunya mendapatkan popularitas. Godaan popularitas dan pengakuan publik di media sosial ini seringkali mempengaruhi para pejabat dan keluarganya yang gemar ber-flexing tanpa memperhatikan apakah yang dipamerkan itu milik sendiri, pinjaman, atau bahkan hasil korupsi.

Menjadi pertanyaan besar bagaimana cara terbaik bagi institusi publik untuk memonitor perilaku media sosial dari pejabat publik dan keluarganya.


Beruntungnya, netizen saat ini semakin pintar dengan menghubungkan perilaku flexing ini dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). LHKPN para pejabat yang gemar ber-flexing dikupas habis-habisan, diperbandingkan dengan harga barang-barang yang dipamerkannya, sehingga memunculkan dugaan korupsi atau manipulasi LHKPN. Hal ini memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengklarifikasi dan menginvestigasi pejabat publik tersebut.

Kasus flexing yang paling terkenal adalah kasus Mario Dandy, yang membuat ayahnya, Rafael Alun, pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diperiksa KPK karena laporan harta yang mencapai Rp 56 miliar. Rafael kemudian dipecat Kemenkeu karena telah memanipulasi LHKPN dan melakukan pencucian uang, dan kini diproses secara hukum oleh KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi. Selain Rafael, ada beberapa pejabat di Direktorat Jenderal Bea Cukai, Sekretariat Negara, Kementerian Perhubungan, Polri, Sekretariat Daerah Riau yang tercatat mendapatkan sanksi karena dirinya atau keluarganya melakukan flexing.


Persoalan terbesar yang merupakan dampak terburuk flexing adalah krisis reputasi institusi publik, seperti yang dialami oleh Direktorat Jendral Pajak Kemenkeu. Seruan di media sosial untuk tidak membayar pajak, sorotan negatif dari media sosial dan media massa, rasa malu menjadi pegawai pajak, hingga kesulitan menjalankan tugas sehari-hari sebagai pegawai pajak adalah ukuran telah terjadi krisis. Tidak ada yang menduga bahwa flexing ini akan memiliki dampak yang sedahsyat ini. Bahkan, perilaku tersebut kemudian membuka masalah lain seperti ketidaklincahan dalam penanganan krisis reputasi oleh institusi publik, yang dapat dilihat dari keteterannya Kementerian Keuangan dalam upaya meminimalkan dampak dari perilaku flexing ini.

Peringatan Presiden Joko Widodo kepada pejabat dan pegawai pemerintah untuk tidak bermewah-mewahan dan lebih fokus pada perbaikan pelayanan publik menjadi semakin relevan. Hal ini memang wajar disampaikan oleh pemimpin tertinggi negeri ini, agar “leadership by example” atau kepemimpinan dengan memberikan teladan perilaku hidup sederhana lebih ditegakkan secara konsisten. Jika ini tidak dilakukan, maka dapat diproyeksikan bahwa akan terjadi krisis kepemimpinan yang meluas di negeri ini, di mana ketentuan dalam kode etik tidak dihiraukan sendiri oleh para elit pemimpinnya.

Dengan adanya contoh perilaku dari pimpinan yang hidup sederhana, institusi publik dapat membangun sistem dukungan yang kuat bagi tegaknya Kode Etik Pegawai. Apalagi, dengan adanya pengawasan publik yang kuat, terutama dari netizen, hal ini juga menjadi bagian dari sistem dukungan untuk menjaga integritas institusi publik.


Mengefektifkan Manajemen Risiko dan Krisis
Perilaku flexing yang dikupas dalam tulisan ini jelas telah memicu keluarnya berbagai persoalan mulai dari standar moralitas, korupsi hingga krisis reputasi di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu. Deretan persoalan tersebut sebenarnya dapat diantisipasi melalui manajemen risiko dimana suatu risiko dapat dilokalisir, dihindari ataupun ditransfer. Jika sampai meluas hingga mengakibatkan krisis, hal ini menunjukkan adanya titik lemah dimana ada suatu tahapan manajemen risiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Mungkin saja perilaku flexing ini belum teridentifikasi sebagai risiko, sehingga ketika muncul dan publik bereaksi negatif, flexing langsung cepat menimbulkan krisis. Kemungkinan lainnya, flexing ini sudah masuk dalam identifikasi risiko, namun tidak dinilai sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi, sehingga mitigasinya tidak dianggap terlalu penting. Saat flexing mengemuka di media sosial, tim monitoring kemudian mendeteksi sentimen negatif dari publik yang cepat meluas dan di luar kendali. Akibatnya, krisis tetap terjadi.


Oleh karena itu, identifikasi, penilaian risiko, dan mitigasi yang sudah ada harus ditinjau ulang dan diperbaiki dengan mempertimbangkan bahwa monitoring/pengawasan oleh publik melalui media sosial dapat dengan cepat mengubah persoalan yang sebelumnya dianggap sepele menjadi sesuatu yang berdampak besar. Hal ini berlaku tidak hanya tentang flexing, tapi juga kemungkinan pelanggaran Kode Etik Pegawai yang lain, baik di Kementerian Keuangan, maupun di institusi publik lainnya, di mana tingkat kesiapan manajemen risiko mungkin masih lebih rendah.

Jika krisis tetap terjadi, institusi publik harus lebih siap menghadapinya dengan penguasaan manajemen krisis agar dampaknya dapat diminimalkan. Aturan manajemen krisis, komunikasi krisis, serta simulasi krisis, secara rutin harus terus menerus dilatih sehingga penanganan krisis di institusi publik menjadi lebih seragam, terstruktur, dan efektif. Dengan demikian, institusi publik akan lebih siap dan lebih mampu menghadapi berbagai macam tantangan yang mungkin timbul di masa yang akan datang.

Moch N. Kurniawan,
Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University
Jawa Pos, 11 April 2023