Thursday, December 21, 2023

Dinasti Politik Jokowi Menghancurkan Demokrasi


“Menempatkan anak sebagai calon wakil presiden adalah wujud paranoia Jokowi. Kepentingan personal yang merusak demokrasi.”

Sepuluh tahun lalu, mayoritas rakyat Indonesia memilih Joko Widodo sebagai presiden untuk mencegah Prabowo Subianto berkuasa. Prabowo adalah salah satu simbol kekuatan lama Orde Baru yang hendak diputus melalui Reformasi 1998. Kini, tak hanya bersekutu, Jokowi bahkan menyokong Prabowo dengan memasangkan Ketua Umum Partai Gerindra itu dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon presiden dan wakil presiden 2024.

Setelah gagal mendapatkan dukungan publik dan partai politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden, Jokowi memakai cara yang sepintas demokratis untuk tetap berkuasa. Di banyak negara, politik dinasti memang tak dilarang. Tapi ia terbukti merusak demokrasi karena menodai fairness dalam sistem pemilihan. Sebagai penguasa, Jokowi bisa memobilisasi aparatur dan alat negara serta sumber dana untuk memenangkan calon presiden yang ia dukung.


Penggantian Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Pertanian, serta Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat oleh orang-orang yang dikenal punya sejarah kedekatan dengan Jokowi mudah ditafsirkan sebagai bagian dari upaya pemenangan Pemilu 2024 ketimbang perbaikan teknokratik di ketiga lembaga.

Dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020, mobilisasi alat kekuasaan oleh patron calon kepala daerah efektif menjaring suara pemilih. Dari 804 calon, sebanyak 16,8 persen memiliki hubungan dengan dinasti politik dan 42,96 persen memenangi pemilihan. Seperti disebut Herbert Simon dalam Administrative Behavior (1947), dalam sistem pemilihan yang demokratis, suara pemilih cenderung mengikuti suara elite yang punya sumber daya menguasai informasi. Studi Halilul Khairi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri pada 2022 menyebutkan pemilih umumnya mencoblos kepala daerah yang populer meski mereka tak kompeten dan bagian dari dinasti politik.


Keleluasaan Jokowi mengacak-acak cita-cita Reformasi 1998 terjadi akibat partai-partai hanya memikirkan perut sendiri. Alih-alih memimpin oposisi, Prabowo Subianto menerima pinangan Jokowi menjadi Menteri Pertahanan setelah kalah dalam Pemilu 2014 dan 2019. Dalih rekonsiliasi menyembuhkan polarisasi tersebab dua pemilu menjadi alasan yang dipakai keduanya membangun koalisi ganjil tersebut.

Bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi diikuti partai-partai lain. Koalisi tanpa syarat yang dibentuk Jokowi membuat ia leluasa merangkul dan memiting lawan politiknya. Partai-partai yang haus kekuasaan kemudian berlomba melayani keinginan Jokowi memereteli dan melumpuhkan lembaga-lembaga pengontrol kekuasaan.


Partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat setuju ketika Jokowi mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi. Partai-partai membiarkan Mahkamah Konstitusi dikuasai Jokowi melalui pernikahan adiknya dengan Ketua MK Anwar Usman. Jokowi bahkan terang-terangan memakai lembaga hukum untuk menggebuk lawan politik yang tak sejalan dan mencegah sekutu itu membelot.

Penelusuran majalah ini menemukan dukungan Golkar terhadap Gibran Rakabuming Raka terjadi karena Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto tersandera kasus korupsi minyak goreng dan dugaan penyalahgunaan subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Penyelidikan Kejaksaan Agung membuat Golkar sukarela menjadi kendaraan Gibran sebagai calon wakil presiden meski ia kader PDI Perjuangan.

IKN (Ibu Kota Nusantara) di antara impian (atas) dan kenyataan (bawah).

Ketika kekuasaan tak punya kontrol, presiden seperti Jokowi bisa sesuka hati membuat kebijakan betapapun membahayakan Indonesia. Proyek-proyek mercusuar yang membebani anggaran negara, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur tanpa studi yang kuat, dan pengerukan sumber daya alam yang merusak lingkungan hanyalah output kekuasaan tanpa kontrol itu.

Dengan kebijakan yang tak memenuhi tata kelola yang baik seperti itu, Jokowi membutuhkan presiden setelah 2024 yang melindunginya dari konsekuensi hukum. Menempatkan anak keturunannya sebagai calon wakil presiden adalah wujud paranoia dan ketidakpercayaan diri Jokowi —sesuatu yang personal tapi secara fundamental merusak demokrasi.

Setri Yasa
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO, 28 Oktober 2023

Wednesday, November 29, 2023

Ketika Dinasti Jokowi Meninggalkan Megawati


Tahun 2004, untuk kali awal kita menyelenggarakan pemiliham umum presiden/wakil presiden. Saya masih menjadi anggota KPU yang kala itu ditunjuk menjadi pokja kampanye.

Di situ saya mengenal karakter seorang yang bernama Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ketika itu.

Beberapa kali saya membunyikan sempritan, pertanda ada hal yang harus tidak dilakukan. Misalnya, tidak melakukan kampanye karena jatahnya sudah habis.

Megawati sangat patuh. Tidak menggunakan jabatannya untuk melarang saya dan KPU meniup sempritan terhadap diri dan partainya.

Ilustrasi: Megawati, Jokowi dan Hamid Awaludin (insert).

Ia tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindih demi kemenangan. Ia paham betul bahwa negeri yang dipimpinnya itu, harus diawali dengan disiplin tinggi.

Caranya, patuh pada aturan main. Ia memaklumi bahwa pemimpin itu harus memberi contoh yang baik. Bukan pemimpin berpura-pura disiplin dan taat azas, tetapi penuh intrik yang melecehkan hukum dan akal sehat.

Bukan pemimpin yang lain ucapan, lain kelakuan. Akhlak politik Megawati adalah mumpuni. Bukan tabiat pat gulipat. Ia tidak menggunakan tangan orang lain untuk membungkam. Ia kesatria.

Kini, hari-hari Megawati dijejali dengan persoalan pelik. Betapa tidak, anak dan orangtua anak yang dibesarkannya, bisa dipersepsikan meninggalkan dirinya dalam keadaan terluka parah.


Megawati memberi mereka kehormatan melalui karpet merah yang digelarnya, dan mengorbankan diri, anak dan kader-kadernya sendiri.

Gibran, putra Presiden Jokowi, kini dicalonkan sebagai Wakil Presiden RI dari partai politik lain. Langkah politik yang dilakukan oleh dinasti Presiden Jokowi, yang menurut ukuran manusia normal, sangat bisa menyakitkan hati.

Tentu saja Megawati, anak-anak dan para kadernya, terluka dengan langkah ini. Betapa tidak, Gibran naik menjadi Wali Kota Solo atas dukungan Megawati, dengan cara mengorbankan hasrat dan keinginan kadernya sendiri.

Langkah Gibran ini, berbanding lurus dengan jalan yang ditempuh sang ayah, Jokowi. Megawati bersama partainya, PDI-P mengorbankan kadernya yang lain untuk jalan mulus Jokowi menjadi Wali Kota Solo dua periode.


Belum cukup dengan ini. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, membujuk Megawati agar Jokowi diberi peluang dan kepercayaan menjadi Gubernur DKI.

Megawati menyetujui usulan Jusuf Kalla tersebut, kendati harus menempuh jalan berbeda dengan suaminya, karena almarhum Taufik Kiemas mendukung orang lain.

Waktu berjalan. Ambisi kian menaik. Jokowi berhasrat jadi Presiden RI. Megawati mengurungkan niatnya untuk maju dan memberi jalan mulus untuk mewujudkan ambisi Jokowi.

Megawati melepaskan segala ambisi dan hasrat diri, keluarga, dan kader-kadernya yang lain, untuk Jokowi. Ia tidak mengumbar tuntutan karena ia membayangkan orang lain sama dengan dirinya, “tahu diri.”


Megawati tidak mengayun kapak amuk marah. Ia hanya mengelus dada, menahan rasa sakit yang kian mendera badan dan pikirannya. Semua ongkos politik dengan segala tentakel yang ada, telah ia bayar.

Untuk urusan ini, saya pernah mendengar metafora yang menyentuh batin. Ketika Jokowi maju sebagai calon Wali Kota Solo, gelas berisi seperempat air yang hendak diminum kadernya di Solo, tetapi Jokowi haus tak kepalang, maka air itu batal diminum oleh kader PDI-P, tetapi diberikan ke Jokowi.

Beberapa tahun kemudian, Jokowi haus lagi, ingin menjadi Gubernur DKI. Air minum yang berisi setengah gelas, hendak diminum oleh orang lain, tetapi demi Jokowi, Megawati menyerahkan segelas air tersebut ke dirinya. Bukan ke orang lain.

Kini, gelas berisi penuh air, hendak diminum sendiri oleh Megawati dan ia pun mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, tetapi Jokowi haus lagi, Megawati mengurungkan niat meminum air tersebut. Ia ikhlas menyerahkan lagi segelas air itu kepada Jokowi. No problem.


Air minum yang telah Mega berikan itu, ternyata menjadi pembangkit energi politik tersendiri bagi Jokowi dan keluarganya.

Karena itu, ada yang beranggapan bahwa kehadiran Jokowi sangat menguntungkan PDI-P dan Megawati karena Jokowilah sehingga perolehan suara PDI-P menanjak terus hingga hari ini.

Bila jalan pikiran ini kita ikuti, maka sebenarnya skor antara keluarga Jokowi dengan Megawati, seimbang: satu sama.

Namun, bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa sebelum Jokowi memasuki arena Jakarta, perolehan suara PDI-P sejak era reformasi, sudah tidak tergoyahkan. Selalu menduduki peringkat atas.

Lagi pula, urusan budi baik dan keikhlasan itu, sebaiknya tidak dihitung dengan pendekatan matematika. Budi baik dan keikhlasan, ukurannya adalah moral dan etika. Bukan yang lain-lain.

Gibran Rakabuming (Wali Kota Surakarta), Bobby Nasution (Wali Kota Medan), Kaesang Pangarep (Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia).

Itulah sebabnya, kita acapkali menemukan bahwa orang yang mempraktikkan: “Air susu dibalas air tuba,” selalu berakhir dengan mengenaskan. Berakhir dengan cara porak poranda, nihil nilai. All are gone. No chance for regaining honor and dignity.

Belum selesai di sini. Menantu Jokowi pun, Bobby Nasution, melewati karpet merah untuk menjadi wali kota Medan. Lagi-lagi, kader PDI-P disisihkan demi Bobby Nasution.

Megawati, tentu hanya mengurut dada sekarang. Namun, ia figur politik yang memiliki daya tahan yang luar biasa selama puluhan tahun.

Ia, karena itu, juga memiliki ketabahan dan kesabaran luar biasa. Baginya, dignity jauh lebih penting daripada berkasak kusuk, tanpa pertimbangan moral dan etika, untuk kekuasaan.

Setidaknya, Megawati tidak sendirian merasa ditinggalkan. Jusuf Kalla, orang yang dipercaya Megawati menjadi pendamping Jokowi pada periode pertamanya, mungkin juga sudah merasa ditinggalkan.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16.

Abraham Lincoln, idola saya, sangat benar ketika ia mengatakan: “Semua orang bisa mengatasi persoalan yang dihadapinya. Namun, jika hendak mengukur kualitas seseorang, berilah ia kekuasaan.”

Bagaimana ke depan? Is the game over bagi Megawati? Sama sekali tidak!

Masa pemerintahan Jokowi masih tersisa setahun. Banyak ikhwal yang bisa terjadi selama setahun ke depan.

Pemerintahan Jokowi tidak bakal berjalan efektif tanpa partai jangkar yang menahan ombak agar perahu tak oleng, atau karam dan tenggelam. Partai jangkar Jokowi adalah PDI-P.

Anis Matta (Ketum Partai Gelora), Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB).

Bagaimana partai politik yang mendukung pencalonan Gibran sebagai Wapres RI? Agak pelik untuk mengatakan mereka adalah partai politik yang setia kepada Jokowi.

Kesetiaan mereka hanya bersifat temporer belaka, sesuai kepentingan sesaat yang memberi kenikmatan seketika.

Kalau toh mereka setia, hitungan matematika masih berada di bawah jumlah partai yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin.

Saya membayangkan bahwa setahun ke depan, bisa jadi para parpol pendukung Ganjar dan Anies menyatu padu dalam hal menyiasati sisa masa pemerintahan Jokowi tersebut. Ini yang perlu dihitung matang oleh pemerintahan Jokowi. Jangan dianggap remeh.


Perlu kita hitung-hitungan dengan asumsi yang kuat: Sebagian partai pendukung yang berada di barisan pencalonan Gibran, adalah juga partai politik yang terluka.

Dari awal mereka memiliki calon yang lain, bukan Gibran. Mereka hanya memaksakan diri untuk ikut irama gendang politik yang ditabuh oleh tahta dan titah kekuasaan. Bukan karena kemauan politik mereka dan kader-kader mereka. Wallahu a’lam bishawab.

Dan akhirnya memang, Mas Gibran benar: “Mari kita serahkan kepada warga”. Putusan terhadap akhlak atau tabiat politik, ditentukan di tempat pemungutan suara, oleh rakyat yang berdaulat.

Kedaulatan itu harus dijaga bersama, bukan kedaulatan yang digiring dengan intimidasi kuasa.

Hamid Awaludin, LL.M, Ph.D
Anggota Komisi Pemilihan Umum Indonesia (2001 – 2004)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004 – 2007)
Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia (2008 – 2011)
Presiden Komisaris dan Komisaris Independen PT Delta Dunia Makmur Tbk (2001 – sekarang)
Presiden Komisaris (Independen) PT ESSA Industries Indonesia Tbk (2012 – sekarang)
Presiden Direktur PT Adimitra Baratama Nusantara (2014 – sekarang)
Presiden Direktur PT Kutai Energi (2017 – sekarang)
Presiden Komisaris dan Komisaris Independen PT Pelita Samudera Shipping Tbk (2017 – sekarang)
Komisaris Independen & Ketua Komite Audit PT Archi Indonesia Tbk (2021 – sekarang)

KOMPAS, 23 Oktober 2023

Wednesday, October 25, 2023

Kotak Pandora Itu Bernama Gibran


Setelah Golkar mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo, maka deklarasi Koalisi Indonesia Maju untuk pasangan Prabowo Gibran akan segera dilakukan yang berlanjut pada pendaftaran ke KPU. Majunya Gibran membenarkan sinyalemen bahwa Putusan MK adalah pembuka pintu. Sulit membantah peran besar dari Mahkamah Keluarga tersebut. MK adalah pendosa besar.

Gibran sebenarnya bukan solusi bagi Prabowo. Semua sudah faham pilihan pada Gibran hanya bertumpu pada faktor Jokowi, bukan karena kapasitas atau elektabilitas. Gibran tidak memiliki basis dukungan partai maupun organisasi kemasyarakatan. Tingkat kematangan berpolitik juga rendah. Prabowo yang sudah “jatuh hati habis” pada Jokowi merasa perlu menarik Gibran sebagai pasangannya.


Menjadi fenomena politik menarik bahwa figur politik berpengalaman seperti Airlangga, Zulhas, Yusril atau SBY dengan mudah menyepakati kontroversi ini. AHY yang dahulu ngotot ingin menjadi Cawapres, kini begitu sunyi. Begitu juga dengan Yusril yang percaya diri akan terpilih seperti hanya bisa menunduk terdiam. Semua bertekuk lutut pada sang Raja dan Putera Mahkota.

Prabowo jumawa pada sukses merebut Gibran seolah berhasil mendapatkan Jokowi. Sementara Jokowi merasa bahagia karena sang pangeran dapat menjadi Cawapres dengan menyingkirkan tokoh yang lebih pantas seperti Airlangga, Erick Thohir, Yusril ataupun AHY sendiri. Nampaknya tidak sia-sia kerja adik ipar sebagai Ketua Mahkamah Keluarga.

Sesungguhnya di tengah kebahagiaan atau mungkin harapan dari Partai Gerindra, Golkar, PAN dan lainnya, kehadiran dan penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo adalah bencana. Gibran bagai kotak pandora yang terbuka. Masalah besar yang tidak diinginkan sedang mengancam. Seperti berharga tetapi sebenarnya musibah.


Pertama, bagi Prabowo sendiri ini adalah “kutukan” dari pendukung dahulu yang merasa tersakiti atau terkhianati. Tanpa diduga ternyata ada kiriman “Gibran” anak kecil yang diorbit paksa oleh sang bapak. Gibran bukan penguat atau akselerator tetapi beban berat bagi Prabowo. Citra “Singa” Prabowo semakin terkikis. Bualan survey berfakta hanya sekelas Gibran.

Kedua, bagi partai-partai politik yang sepakat Gibran sebagai Cawapres adalah bukti adanya sihir atau jampi-jampi yang membuat pimpinan partai kehilangan akal sehat, berfikir pendek, pragmatis dan kehilangan idealisme. Di depan konstituen partai-partai politik tersebut akan ambruk. Mungkin terjadi perpecahan.

Ketiga, Gibran menjadi suntikan perseteruan tajam Megawati dengan Jokowi. Balas dendam Jokowi menyakitkan hati. Bukan hanya ia tidak loyal tetapi sama saja Jokowi telah mengumumkan perang. Perang dengan memanfaatkan Prabowo bertameng Gibran. Wajah culun yang mampu memerahkan muka Mega.


Keempat, Gibran menjadi penyakit bangsa dan pencemar politik etik. Nepotisme atau politik dinasti terbukti. Jokowi membuta babi. Berjuang untuk melindungi diri pasca lengser nanti. Sesungguhnya publik menilai bahwa Jokowi salah kalkulasi dikira Gibran adalah penyelamat padahal bom bunuh diri.

Kelima, menciptakan negara bagai istana boneka. Mengurus bangsa dengan bermain-main. Rakyat hanya diposisikan sebagai penonton yang disuruh bertepuk tangan, bersedih atau berteriak. Panggung hanya milik pemain atau boneka-boneka itu. Gibran mengisi ruang “negara cemen” dan “negara fantasi”.

Kotak pandora Gibran adalah menyebarkan khayalan untuk menjadikan Indonesia seperti negara Korea Utara. Dinasti Kim yang berkuasa dari sejak Kim Il Sung kepada Kim Jong Il dan kini Kim Jong Un. Nah mungkin Jokowi kini sedang menyiapkan Jan Ethes untuk pemimpin berikutnya, he he heee ....

M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 24 Oktober 2023

Thursday, September 21, 2023

Main Intel Memata-matai Partai Politik


Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa ia punya data intelijen arah dukungan partai politik dalam pemilihan presiden 2024 kian menunjukkan watak autokratik. Hanya di negara otoritarian badan intelijen menjadi alat kekuasaan, bukan alat negara seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17/2011 tentang intelijen negara.

Indonesia sedang membangun kehidupan demokrasi yang sehat. Ciri demokrasi yang sehat adalah otonomi partai politik. Memata-matai partai politik, karena itu, merupakan bentuk intervensi kekuasaan. Pernyataan Jokowi di depan para relawannya di Bogor pada 16 September 2023 adalah gertak penguasa kepada partai. Tujuannya jelas: menakut-nakuti pengurus partai politik yang tak sejalan dengannya.

Presiden Jokowi melontarkan pernyataannya itu ketika membuka Rapat Kerja Nasional Sukarelawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi. Presiden menyampaikan dia telah mengetahui semua data seperti angka survei hingga arah dukungan partai politik pada pemilihan presiden 2024 dari informasi intelijen Badan Intelijen Negara, Intelijen Polri, dan Badan Intelijen Strategis TNI.


Dalam UU Intelijen jelas disebutkan bahwa tugas badan-badan telik sandi adalah mengumpulkan data untuk mencegah, menangkal, dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan nasional. Intelijen tak bertugas memata-matai partai politik, organ utama demokrasi. Usaha menginteli partai politik jelas melanggar otonomi partai.

Partai politik adalah elemen penting demokrasi sehingga tidak seharusnya penguasa memantau atau bahkan menyadap dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden. Intelijen memang berfungsi memberikan informasi kepada presiden. Namun, informasi itu seharusnya menyangkut keamanan nasional bukan soal partai politik.

Pernyataan Presiden Jokowi itu mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan. Badan Intelijen bukan untuk kepentingan politik presiden melainkan untuk tujuan keamanan nasional. Pengumpulan data dan informasi oleh intelijen hanya boleh untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan guna memata-matai partai politik. Tindakan mengumpulkan informasi serta data dan mematai-matai partai politik jelas melanggar Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Partai Politik.

Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo

Sebulan menjelang penutupan pendaftaran, baru tiga partai yang mendeklarasikan calon presiden. PDI Perjuangan mengajukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Partai Gerindra mengusung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Partai NasDem menggadang mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.

Dari ketiganya, baru Anies yang sudah terbuka menggandeng Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai calon wakilnya. Sedangkan Ganjar dan Prabowo belum menentukan pendamping masing-masing. Jokowi, meski berasal dari partai yang sama dengan Ganjar Pranowo, cenderung mendukung Prabowo Subianto yang terlihat dari dukungan Jokowi Mania dan Pro Jokowi, dua organisasi relawannya.

Dengan calon wakil presiden dua kubu yang belum jelas, arah dukungan partai masih cair. Sejauh ini, Ganjar salah satunya mendapat dukungan PPP, sementara Prabowo mendapat sokongan Golkar dan Partai Amanat Nasional. Belakangan Demokrat menyatakan bergabung dengan Gerindra setelah hengkang dari koalisi NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera.


Memata-matai dukungan partai politik kepada calon presiden merupakan bentuk intervensi kepada organ demokrasi. Di akhir kekuasaannya sebagai presiden, seharusnya Jokowi memahami pemakaian alat negara untuk kepentingan politik itu berbahaya bagi iklim demokrasi.

Pemakaian lembaga intelijen untuk kepentingan politik tak hanya menyalahgunakan kekuasaan secara telanjang, namun juga melanggar konstitusi, dan memperburuk iklim demokrasi Indonesia. Jokowi mesti melihat dampak buruk intervensi kekuasaan, termasuk pemakaian intelijen, untuk kepentingan politik jangka pendek.

Skandal Water Gate akhirnya menjungkalkan Presiden AS, Richard Nixon.

Di Amerika Serikat, Presiden Richard Nixon dari Partai Republik mencoba memata-matai Partai Demokrat menjelang Pemilu 1972. Kerja investigasi wartawan Washington Post akhirnya mengungkap skandal Water Gate yang memakzulkan Nixon. Begitu juga di Korea Selatan dalam Pemilu 2012. Badan intelijen di negara itu mengaku telah membantu Partai Konservatif memenangi pemilihan presiden. Skandal itu berbuntut Presiden Partai Konservatif terpilih masuk penjara karena tuduhan korupsi.

Penyalahgunaan kekuasaan tak lepas dari korupsi. Pemakaian badan intelijen untuk tujuan kekuasaan seperti terjadi di Korea Selatan adalah tindakan korup karena memakai dana publik untuk tujuan politik.

Sekarang Jokowi mungkin menang secara politik karena dukungan perangkat negara yang tak terbatas. Cawe-cawenya menentukan presiden penggantinya akan memakan ongkos yang mahal: longsornya kepercayaan publik pada Pemilu, kepada partai, kepada sistem demokrasi yang diperalat oleh kekuasaan.

Editorial Tempo
Tempo.co, 18 September 2023
https://kolom.tempo.co/read/1773182/main-intel-memata-matai-partai-politik

Friday, September 15, 2023

Mitos Kepuasan Publik


Tak bisa dimungkiri bahwa tingkat kepuasan yang tinggi terhadap Jokowi pada tahun politik menaikkan daya tawar sang petahana sebagai the sitting president, pemimpin koalisi, ataupun junjungan para pendukungnya.

Hasilnya, para calon presiden (capres) merapat sedekat mungkin atau harus hati-hati jika melempar kritik. Terlepas dari presidential toolbox yang digunakan Jokowi dalam mengonsolidasikan elite partai di seputar Istana, tingkat kepuasan yang tinggi dan efek elektoralnya terhadap dua capres penerus, yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, menggiring banyak pihak untuk pada kesimpulan bahwa siapa pun pemenang pemilihan presiden (pilpres) adalah hasil “arahan” Jokowi pada pendukungnya.


“Economic voting”
Para ilmuwan politik, seperti Fiorina dan Kramer, sejak lebih dari setengah abad lalu telah mengajukan dan menguji tesis penting dalam teori economic voting: Pemilih akan menghadiahi petahana dengan memilihnya kembali atau memilih penerusnya jika performa dianggap baik atau memuaskan.

Sebaliknya, publik akan menghukum petahana (implisit para calon penerusnya) jika performa petahana dianggap buruk atau tak memuaskan.

Pertanyaannya, apakah tingkat kepuasan publik atau jamak dikenal sebagai job approval rating mempunyai kekuatan prediktif elektoral sedemikian besar? Jawabnya, belum tentu.

Setidaknya terdapat tiga argumen penting yang menyebabkan kepuasan publik bisa saja berakhir sebagai mitos, sebuah kisah yang diglorifikasi, tetapi tak terlihat bukti dan jejaknya di kemudian hari, hingga hanya menyisakan desas-desus.


Pertama, publik —yang juga terdiri atas berbagai simpatisan partai— bisa saja menilai kinerja Presiden Jokowi sebagai kinerja kolektif para pembantunya, seperti para menteri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Gerindra, PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP, PSI, atau Perindo.

Dalam pemerintahan koalisi, beberapa ilmuwan politik, seperti Whitten dan Paul, menganggap bahwa clarity of responsibility ini penting untuk dicek. Semakin tinggi tingkat kejelasan bahwa Presiden Jokowi-lah yang berjasa atas performa pemerintah, dan bukan para pembantunya, semakin tinggi kredit untuk Jokowi. Begitu juga sebaliknya.

Kekalahan Megawati Soekarnoputri sebagai sang petahana dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang adalah bekas pembantunya pada pemilihan presiden (pilpres) bulan Juli 2004 menjadi contoh bekerjanya teori ini secara terbalik.

Meskipun tak ada data survei yang secara sistematis menguji relasi kausal kepuasan publik terhadap dinamika dan output pemilu jelang Pilpres 2004, pada isu keamanan bisa jadi tingkat clarity of responsibility cukup rendah bagi Megawati sebagai the sitting president dan justru cukup tinggi bagi SBY sebagai pembantu di bidangnya.


Di sisi lain, terlepas dari model underdog campaign dan playing victim dalam komunikasi publik SBY menjelang dan pasca-pengunduran dirinya sebagai menteri koordinator (menko) pada Maret 2004, performa dan kinerja pemerintahan Megawati dengan pertumbuhan ekonomi stabil dan bahkan cenderung meningkat bisa jadi dianggap publik sebagai jasa para pembantunya.

Hal ini akibat begitu iritnya sang presiden muncul di publik dan menjelaskan program ekonominya. Kontras dengan Presiden Jokowi yang sangat dominan menyampaikan agenda ekonomi dan pembangunan hingga berhasil menempatkan dirinya sebagai titik pusat gravitasi pembangunan sepanjang hampir sepuluh tahun kepemimpinannya.

Meski demikian, Jokowi dan para capres “penerus” belum tentu aman dari mitos kepuasan publik meskipun clarity of responsibility yang dimiliki Jokowi cukup tinggi.


Rabun jauh pemilih
Argumen lain yang diajukan para kritikus-revisionis teori economic voting (seperti Christopher Andersons, Matthew Singer, atau Larry Bartels) adalah bahwa pemilih tidak memiliki cukup kemampuan untuk menilai kinerja pejabat publik dari lamanya durasi administrasi pemerintahan, apalagi dari total durasi jabatan (misalnya, lima tahun seperti di Indonesia).

Pemilih hanya sanggup mengukur kinerja pejabat maksimal dalam beberapa bulan terakhir pemerintahan. Achen dan Bartels (2016), misalnya, menggagalkan teori perilaku rasional pemilih di AS yang sebenarnya menderita myopic judgement. Para pemilih menderita rabun jauh dalam menentukan kandidat berdasarkan performanya hanya pada beberapa bulan menjelang pemilu.

Keterbatasan memori, rendahnya pengetahuan politik soal tugas dan kinerja pejabat publik, dan kurangnya perhatian pada isu-isu publik menyebabkan mayoritas pemilih mengevaluasi performa pemerintah pada satu hingga tiga bulan terakhir sebelum hari pemungutan suara atau ketika jadi responden survei.


Dalam konteks Indonesia, publik akan lupa dan tak hirau atas pengalaman tingginya harga minyak goreng dan BBM yang berimplikasi pada biaya hidup hampir seluruh populasi pemilih ketika pemerintah di bawah komando Presiden Jokowi dianggap berhasil dalam beberapa bulan sebelum hari pemungutan suara.

Sebaliknya, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi saat ini tak menyisakan implikasi elektoral berarti baik bagi Jokowi maupun “penerusnya” jika kepuasan publik anjlok pada awal tahun depan. Nasib buruk ini pernah terjadi pada SBY ketika tingkat kepuasan publik terhadapnya terus berada pada angka 50-an persen hingga pemilu legislatif pada April 2014.

Terlepas dari klaim SBY bahwa dirinya tak cawe-cawe, pengaruhnya sebagai the sitting president tak mampu menahan anjloknya suara Demokrat hingga dua kali lipat menjadi 10 persen pada 2014, dari 21 persen pada 2009 ketika beberapa sigi merekam job approval rating di angka 70-80 persen beberapa bulan jelang Pemilu Legislatif 2009.


Faktor lain
Ketiga, publik pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas dalam membangun nexus antara kinerja petahana dan pilihan politik mereka. Achen dan Bartels menyebutnya sebagai blind retrospection.

Meski demikian, saya lebih sepakat untuk memahaminya sebagai “kebutaan” publik terhadap performa petahana akibat hadirnya faktor lain yang berdampak besar pada kehidupan pemilih. “Faktor lain” ini sering disebut sebagai random forces (atau juga random shocks), di mana bencana alam atau kejadian mendadak yang terjadi menjelang pemilu bisa saja merusak efek kepuasan publik terhadap preferensi mereka.

Contoh klasik yang sering diperdebatkan ilmuwan politik adalah serangan hiu beruntun yang terjadi di New Jersey sekitar dua bulan menjelang pemilu presiden Amerika Serikat pada 1916. Kejutan acak tersebut telah merusak suara Woodrow Wilson di daerah pemilihan sepanjang pantai New Jersey meskipun sang petahana sangat populer pada masanya, sementara kondisi ekonomi nasional, termasuk New Jersey, juga pada titik terbaik.

Basuki Tjahaya Purnama alias BTP alias Ahok.

Di Indonesia, blind retrospection akibat kejadian mengejutkan juga pernah menyisakan kepuasan publik sebagai mitos. Bedanya, kebutaan atas evaluasi kinerja petahana ini terjadi karena random shocks yang justru dibuat oleh sang petahana.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 adalah contoh paling dekat dengan ingatan kita bahwa efek elektoral atas tingkat kepuasan yang tinggi berakhir sebagai mitos.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur petahana dengan tingkat kepuasan antara 75 persen dan 80 persen berakhir dengan cerita sedih bagi pendukungnya. Sang petahana yang menyandang dual-minority menciptakan random shock-nya sendiri dengan satu-dua kalimat sensitif.

Ahok versus Anies

Mayoritas warga DKI puas terhadap kinerja Ahok, tetapi pilihan jatuh kepada kandidat lain yang bahkan belum pernah duduk sebagai kepala daerah. Sebagian pihak menganggap dinamika Pilgub DKI 2017 adalah anomali, seperti terjadinya semacam psychological dissonance di level mikro (individu); atau sebuah gradual causation atas mobilisasi politik identitas yang mereduksi efek kepuasan publik terhadap pilihan rasional.

Namun, yang pasti, pemilih pada dasarnya “buta” dalam mengevaluasi kinerja petahana ketika kejutan destruktif membutakan penglihatan rasional mereka. Dalam hal ini, komunikasi publik kandidat yang telah mengaktivasi sentimen identitas agama yang telah lama mengendap sebagai kompas moral pilihan politik adalah ceruk pemilih yang cukup besar hingga “membutakan” preferensi rasional mereka.

Gary Hart kandidat presiden AS dari Partai Demokrat yang kandas karena diguncang isu perselingkuhan.

Kisah candidate-made random shocks lain yang cukup populer adalah jatuhnya suara Gary Hart dalam nominasi capres Demokrat di AS pada 1987 akibat skandal perselingkuhannya pada periode kampanye meskipun kisah ini tak berbicara langsung dengan kepuasan publik terhadap petahana.

Pada dasarnya ada cukup banyak preskripsi bagi para calon penerus “Pak Lurah” yang bisa saja melakukan mitigasi atas rabun jauh (myopic judgment) dan kebutaan (blind retrospection) yang diderita publik dan dapat terjadi kapan saja.

Namun, yang pasti, kepuasan publik tak akan berakhir sebagai mitos jika sang presiden terus menjaga performa dan mengantisipasi terjadinya random shocks yang berdampak pada hajat hidup orang banyak ataupun yang berakibat pada tatanan kohesi sosial.

Arya Budi,
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM;
Direktur Riset Poltracking Indonesia

KOMPAS, 30 Agustus 2023

Thursday, August 24, 2023

Revolusi Pola Pikir


Berdasarkan prediksi Goldman Sachs, pada tahun 2050 hingga 2070 Indonesia akan menjadi negara terbesar keempat di dunia. Pada tahun 2050 keempat negara tersebut adalah Tiongkok, Amerika Serikat, India dan Indonesia. Ini pula yang kini dijadikan acuan pemerintah dalam formulasi rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045 untuk mencapai Indonesia emas.

Tentu tidak serta merta prediksi tersebut otomatis akan terwujud. Sebaliknya diperlukan prasyarat persiapan teknokratik berupa strategi dan eksekusi langkah-langkah sistematis menuju 2045. Namun apakah gerak perubahan menuju 2045 itu akan sama dengan gerak perubahan sebelumnya?


Kecepatan Perubahan
Memprediksi gerak perubahan menuju Indonesia 2045 sulit dilakukan di tengah perubahan yang begitu cepat ini. Dulu perubahan terjadi setiap 1000 tahun sehingga dikenal istilah milenium. Lalu sejak revolusi industri perubahan terjadi setiap 100 tahun dan dikenal istilah abad. Namun kini akibat revolusi teknologi 4.0, perubahan terjadi setiap 10 tahunan (dekade), dan bukan tidak mungkin mulai 2030 perubahan disruptif akan terjadi setiap 5 tahunan, bahkan setiap 2 tahunan. Karena itulah tidak ada perencanaan yang permanen, bahkan seorang ahli Mc Kinsey pernah mengatakan bahwa “strategy as a journey”, karena perubahan datang begitu cepat dan membawa ketidakpastian.

Kecepatan perubahan ini dipicu berkembangnya kecerdasan buatan, internet of things, blockchain, robotik, dan big data. Sejumlah perusahaan besar bertumbangan karena ketidaksiapan beradaptasi, sementara perusahaan-perusahaan pemula berbasis teknologi 4.0 bermunculan. Umur (lifetime) jenis pekerjaan juga makin tak pasti. Pekerjaan mudah hilang dan lalu muncul jenis pekerjaan baru.

Menurut the Future Job Report 2020, lima besar pekerjaan yang akan menurun permintaannya adalah tenaga administrasi, tenaga data entry, akuntan dan auditor, tenaga perpustakaan, dan pekerja pabrik. Sementara pekerjaan baru antara lain adalah analis data, spesialis kecerdasan buatan dan machine learning, spesialis big data, spesialis pemasaran digital, dan spesialis proses otomasi.

Di Korea Selatan robot sudah mulai menggantikan pelayan restoran, begitu pula layanan di bandara internasional. Apakah pekerjaan baru tersebut akan bertahan lama ataukah akan terdisrupsi oleh inovasi baru yang kita juga belum tahu ?


Pola Pikir Baru
Salah satu modal penting dalam mewujudkan Indonesia emas 2045 adalah modal manusia, lebih-lebih kita sedang mengalami bonus demografi. Kita bisa belajar dari sejumlah negara yang gagal dalam memanfaatkan bonus demografi seperti Brazil dan Afrika selatan, maupun yang sukses seperti Jepang dan Korea Selatan. Seiring perubahan yang begitu cepat di atas, maka pengembangan modal manusia harus seiring sejalan dengan arus perubahan. Jenis kompetensi, keterampilan umum, dan keterampilan lunak baru pun harus menyesuaikan dengan cepat.

Namun perubahan perilaku, kompetensi, dan keterampilan baru tersebut hanya terjadi kalau ada perubahan mindset atau pola pikir. Pola pikir akan menentukan pemikiran dan perilaku seseorang. Pola pikir juga menentukan respon seseorang terhadap perubahan. Oleh karena itu di saat situasi perubahan terjadi begitu cepat maka mestinya pola pikir pun juga tumbuh berkembang sesuai dinamika perubahan. Inilah yang disebut Carol Dweck (2017) sebagai growth mindset (GM) atau pola pikir tumbuh.

Carol Dweck membedakan pola pikir tumbuh atau growth mindset (GM) dan pola pikir tetap atau fixed mindset (FM). Orang yang memiliki FM cenderung pesimis dan tidak percaya diri bahwa dirinya bisa berubah. Mereka fokus pada kelemahannya. Akibatnya sulit untuk terus belajar mendapatkan skill dan kemampuan baru. Orang yang tergolong FM ini sulit untuk memiliki mimpi besar.


Sebaliknya, orang yang memiliki GM umumnya yakin bahwa dirinya bisa berubah, baik kemampuan, bakat, kebiasaan, bahkan IQ. Karena yakin bahwa dirinya bisa berubah, maka orang GM umumnya memiliki kekuatan kemauan yang tinggi. Inilah yang kemudian membuat mereka berani bermimpi dan bercita-cita besar. Mereka pun lalu menjadi pembelajar sejati dan memiliki kegigihan dan passion kuat, yang oleh Angela Duckworth (2016) disebut “Grit”.

Kesuksesan bukan terwujud karena bakat semata tetapi karena grit. Orang yang memiliki grit bisa mengalahkan orang yang berbakat. Umumnya, grit diperolah ketika seseorang punya tujuan, harapan, minat, dan ikhtiar yang kuat (Duckworth, 2017). Pada akhirnya atribut-atribut seperti cita-cita, optimisme, kepercayaan diri, kekuatan kemauan, bekerja keras, disiplin, dan pembelajar adalah atribut kesuksesan. Dan itu semua bermula dari pola pikir dan grit.

Hasil studi Mc Kinsey di 72 negara tentang prestasi akademik siswa di sekolah menunjukkan bahwa ternyata faktor yang paling berpengaruh bukan sekolah, guru, atau orang tua, melainkan pola pikir siswa itu sendiri. Siswa-siswa yang memiliki GM akan penuh dengan motivasi untuk terus berprestasi. Wajar bila kita lihat ada seorang siswa yang berasal dari desa terpencil dengan sekolah dan guru yang serba terbatas dan orang tua yang miskin namun bisa berprestasi lalu masuk perguruan tinggi dan kini sukses karirnya. Ini adalah bukti bahwa tindakan merupakan konsekuensi dari pola pikir.

Putri Ariani, penyanyi tuna netra Indonesia yang mendapat golden buzzer dari Simon Cowell di ajang America’s Got Talents (AGT).

Pola pikir inilah yang menghidupkan mimpi, imajinasi, dan cita-cita, yang kemudian menjadi energi positif untuk terus bergerak meraih mimpi tersebut. Cita-cita, mimpi dan imajinasi akan menjadi penentu eksistensi kita di masa mendatang. Sebagaimana kata-kata Jack Ma, bahwa ke depan bukan lagi kompetisi pengetahuan, melainkan kompetisi imajinasi dan kreativitas. Lalu bagaimana mendorong masyarakat kita agar mau dan mampu berimajinasi, bermimpi, dan bercita-cita besar serta mau dan mampu mewujudkannya?

Putri Ariani, penyanyi tuna netra Indonesia yang mendapat golden buzzer dari Simon Cowell di ajang America’s Got Talents (AGT) bisa menjadi contoh sangat baik bahwa ia bisa seperti itu karena ia tidak pernah pasrah pada keadaan. Ia selalu berpikir positif. Keterbatasannya kini menjadi kelebihannya. Kata-katanya sangat menggugah, “saya tidak bisa melihat kalian, tapi suatu saat kalian semua akan melihat saya”. Putri bisa tumbuh dan hebat karena pola pikir dan grit nya. Orang tuanya berperan dalam memperkuat pola pikir itu, sehingga Putri menjadi percaya diri, optimis, dan berani bermimpi besar.

Imajinasi, mimpi, dan cita-cita seseorang sangat ditentukan oleh pola pikirnya. Orang dengan GM bukanlah orang yang tidak pernah gagal. Yang membedakan GM dan FM adalah sikapnya dalam merespon kegagalan. Orang GM selalu berpikir positif melihat kegagalan. Baginya kegagalan adalah kesempatan untuk kembali belajar.


Strategi Penguatan Pola Pikir
Mimpi besar bangsa Indonesia 2045 hanya bisa diwujudkan dengan kemampuan kita mengembangkan mindset kolektif warga. Pola pikir baru ini akan membangunkan kepercayaan diri dan optimisme bahwa Indonesia akan menjadi bangsa besar dan maju. Implikasinya, akan menguatkan mental sebagai pembelajar tangguh yang inovatif, berani bermimpi, melakukan terobosan baru, gigih bekerja dan berkarya, tidak gampang menyerah, atau memiliki grit yang kuat. Pola pikir ini akan menjadi penentu kesanggupan kita merespon dinamika perubahan amat cepat sepanjang 2023-2045.

Lalu bagaimana kita terus memperkuat GM agar menjadi energi bagi kemajuan bangsa kita di masa depan? Tentu diperlukan strategi besar untuk mempercepat berkembangnya mindset kolektif yang mencerminkan GM.

Pertama, mengembangkan budaya grit sebagai faktor eksternal penting bagi tumbuhnya mentalitas grit (Duckworth, 2016). Sistem meritokrasi yang tangguh akan menjadi pilar bagi tumbuhnya budaya tersebut. Orang akan berlomba-lomba bekerja keras mengejar mimpinya ketika arenanya fair, sportif dan menghargai prestasi. Mobilitas vertikal warga jadi makin terbuka. Prinsip meritokrasi ini sudah semestinya menjadi penciri baru dalam kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan, dan kehidupan sosial lainnya.


Kedua, diperlukan transformasi pendidikan menyeluruh multi jenjang, sehingga guru dan dosen menjadi sumber inspirasi. Seperti kata pepatah, “guru biasa bisa menyampaikan, guru yang baik bisa menjelaskan, namun guru yang hebat bisa menginspirasi”. Menginspirasi adalah proses menggerakkan hati, pikiran, dan tindakan orang lain.

Selain itu, di era 4.0 ini dimana pengetahuan mudah didapatkan dari dunia internet dan aneka kecerdasan buatan terus tumbuh, maka guru dan dosen mesti berubah perannya dari sumber pengetahuan menjadi fasilitator, motivator, dan inspirator agar peserta didik semakin optimis, percaya diri, dan berani bermimpi besar tentang masa depan dengan basis budi pekerti yang kuat.

Ketiga, sektor industri kreatif terbukti bisa menjadi sumber inspirasi yang dahsyat. Film Laskar Pelangi adalah contoh film yang menginspirasi anak-anak untuk berani bermimpi mengubah nasib, dan mimpi inilah yang kemudian mendorong berbagai sikap dan tindakan positif untuk kemajuan. Film tentang tokoh-tokoh bangsa perlu juga terus diperbanyak untuk mengajarkan nilai-nilai perjuangan dan mengenalkan imajinasi serta mimpi-mimpi para tokoh tentang Indonesia di masa depan.


Keempat, sektor media juga memiliki peran strategis untuk membangun mindset positif masyarakat. Media harus turut membangun optimisme, mencerdaskan publik, menebar harapan, dan menjadi inspirasi bagi pembaca maupun pemirsa. Industri media semakin dituntut untuk itu di tengah menguatnya media sosial yang sering kali asosial.

Masih banyak strategi penguatan pola pikir baru yang harus dirumuskan dan dijalankan. Pola pikir baru ini diperlukan untuk merespon perubahan cepat yang makin membuat masa depan penuh ketidakpastian sehingga sulit diprediksi.

Namun Abraham Lincoln pernah mengatakan, “the best way to predict the future is to create it” —cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Karena itu, apa yang akan terjadi pada 2045 tergantung dari karya inovasi kita hari ini.

Untuk itu, marilah kita ciptakan Indonesia emas 2045 mulai sekarang, didahului dengan revolusi pola pikir !!!

Arif Satria
Rektor IPB University
Ketua Umum ICMI Pusat

KOMPAS, 16 Agustus 2023

Friday, August 18, 2023

Buku, Kuda, Nirwan Ahmad Arsuka


Tiba-tiba suatu sore Nirwan Arsuka muncul di kantor saya di Mampang, dengan sepeda motor yang warna dan modelnya kontan mengingatkan saya pada motor tukang pos yang tiap bulan mengantarkan wesel dari kampung. Dua lapis pakaiannya terbungkus jaket kulit hitam. Kerapatan sapu tangan penutup mulutnya memastikan ia mustahil ditembus debu Jakarta.

Tak jelas ia tinggal di mana, lebih tak jelas lagi pekerjaannya. Maka saya, di pertengahan 1990an itu, mengajaknya tinggal bersama di bedeng kontrakan seluas 5 x 7 m2 yang saya tempati sendirian di kawasan Jagakarsa.

Kami lalu mendirikan PT Paradigma Internasional, menjual ringkasan buku-buku manajemen dan kepemimpinan dari Soundview, Amerika, yang menyeleksi ketat buku-buku bergenre itu, yang terbit 1.500 judul per tahun.

Berkantor di lantai 11 gedung mentereng di Rasuna Said Kuningan, pemberian seorang kenalan yang baik hati, sebentar saja terbukti ia bukan direktur yang mahir mengelola bisnis; dan saya komisaris yang lebih buruk dari penjaga pintu kereta. Tak sampai setahun, ikhtisar Soundview yang bagus itu, dan diterjemahkan dengan baik pula, lenyap tak bersisa. Kami hanya bisa tertawa pahit dan diam-diam sama mengakui bahwa kami memang tak berbakat dagang.


Kami menempati pondok di sisi selatan di deretan tiga rumah itu. Ketika setahun kemudian rumah di ujung utara kosong, ia mengontraknya —dan baru keluar 15 tahun kemudian. Ia sedih karena tiba-tiba pemilik menyatakan ingin memakai rumah itu buat dirinya sendiri. Ia kesal karena baginya rumah dan kampung itu telah membuatnya nyaman. Suasana tenangnya ia nikmati nyaris 24 jam. Lokasinya mudah dicapai, dan yang terpenting: biaya kontraknya murah.

Para tetangga terdekat selalu heran. Hampir tiap minggu ada paket buku dari Amazon datang ke alamatnya. Ia seakan tak membutuhkan apapun di dunia ini selain buku, yang harganya rata-rata mahal. Ruang kerjanya di kamar depan penuh dengan rak buku yang doyong keberatan muatan. Ruang tamunya yang kecil disesaki rak-rak buku yang sama doyongnya. Ia tetap memilih menambah rak untuk buku-buku yang pasti datang nanti, daripada memasang meja-kursi.

Para tamunya tak kurang bahagia berbincang dengannya meski harus bersila di lantai bertikar seadanya. Beberapa tamu tak jarang datang dengan membawa aneka minuman mahal, yang harus ditampung di gelas dan cangkir yang warna-warnanya sesuai jumlahnya. Ia konsisten, rupanya. Anti keseragaman, apalagi penyeragaman. Tak boleh ada gelas-cangkir yang sama.


Tetangga makin heran karena dengan situasi seperti itu, tamunya ada yang datang dengan sedan Mercedes terbaru atau jip Lexus. Saya tak pernah bisa memberi jawaban yang memuaskan setiap tetangga bertanya apa pekerjaan warga pengontrak bedeng yang selalu membungkuk di depan layar komputer itu.

Kami, apalagi kalau seluruh peserta obrolan adalah geng lama Jogja, lebih sering memilih kongko di teras kecilnya. Sebab kondisinya lumayan: ada sofa rotan dengan kemiringan 30 derajat, yang jok busa tipisnya pasti dulu berwarna putih. Plus cahaya bohlam 5 watt.

Tiada yang peduli pada ironi besar bahwa dengan fasilitas semacam itu bahan obrolan adalah soal jatuh dan bangunnya peradaban-peradaban besar dunia, state of the art kesastraan Indonesia, alasan-alasan Seamus Heaney memenangkan Nobel Sastra tahun ini, film-film artistik-filosofis karya sineas Zhang Yimou dan Abbas Kiarostami, buku-buku yang memotret perkembangan mutakhir sains dan teknologi.


Ia mungkin tak selalu setia pada semua hal lain, tapi tidak pada buku. Di kampung halamannya di Dusun Leppe’e, Kabupaten Barru, atau di Makasar setelah ia di masa SD pindah ke sana, ia tersihir oleh serial-serial karya Kho Ping Hoo yang tak pernah tamat. Ia memilih membeli atau menyewa buku daripada menggunakan uang jajannya untuk es cendol dan gorengan yang dijajakan di dekat sekolahannya.

Ia mencuri rokok pamannya dan menjualnya untuk membeli buku. Ketika uangnya habis, dan ia melihat buku yang digilainya di toko buku, ia mencurinya. Dan tertangkap. “Sejak itu saya bersumpah akan membalasnya,” katanya. “Saya harus membalasnya dengan cara menyediakan buku-buku kepada anak-anak tak mampu agar mereka bisa membaca buku.”

Dan sumpah itulah yang diwujudkannya, puluhan tahun kemudian, ketika ia rasa sudah bisa bergerak dengan lebih leluasa; meski ia tak pernah benar-benar lapang dalam soal pemilikan uang.


Ia yakin, jaringan teman-temannya, yang rata-rata menaruh minat besar pada perbukuan, juga para sukarelawan yang ia percaya akan datang sendiri untuk membantu ikhtiarnya, akan bisa membantunya menggerakkan organisasi langka yang tak ada orang yang berani memulainya: Kuda Pustaka, kemudian dibakukan menjadi Pustaka Bergerak. “Jika anak-anak tak mampu itu kesulitan mendatangi pusat-pusat perbukuan di perkotaan,” katanya, “maka bukulah yang harus mendatangi mereka.

Dan ia benar-benar menyodorkan buku-buku itu kepada anak-anak di tempat-tempat paling terpencil. Di lereng gunung di pedalaman Jawa Barat, di perkampungan nelayan di Sulawesi Selatan, di pedalaman Sumatera Utara. Anak-anak itu tak bisa lolos. Di mana pun mereka berada, buku-buku Nirwan akan mengejar mereka.

Ia mengerahkan semua sarana transportasi yang tersedia: kuda, perahu, sepeda, juga pundak manusia. Keyakinannya terbukti. Begitu banyak orang yang dengan sukarela membantu mengantarkan buku-buku itu, termasuk dengan memanggulnya sambil berjalan kaki, mendaki lereng pegunungan.


Yang paling mengharukan,” tuturnya, “adalah setiap relawan Pustaka Bergerak mendatangi kampung-kampung terpencil, anak-anak yang sedang bermain langsung berhamburan ingin segera mendapatkan pasokan buku terbaru.”

Ia jengkel setiap mendengar keluhan lama bahwa minat baca anak-anak kita, juga kalangan dewasa, sangat rendah. Baginya masalahnya adalah ketersediaan buku. Jika buku tersedia, seperti yang dibuktikannya dengan kegigihan Pustaka Bergerak, anak-anak maupun orang dewasa di kampung-kampung suka membacanya.

Soal lain, katanya, harus diakui bahwa mutu buku kita —penulisan, ilustrasi dan keseluruhan tampilannya— memang harus terus dibenahi. Ia sendiri di masa kecil menggandrungi seri Time Life, yang mematri minatnya seumur hidup pada sains dan teknologi.

Sampai dua tahun lalu Pustaka Bergerak telah menyalurkan lebih dari 300 ton buku. Dugaannya kembali terbukti. PT Pos Indonesia menggratiskan biaya pengiriman buku-buku itu ke mana pun buku dialamatkan. Di tiap alamat, sudah ada barisan relawan yang siaga menunggu untuk segera menyalurkannya ke banyak titik. Para anggota polisi dengan suka rela mengawal para relawan itu sampai tujuan.


Dengan semua itu Keluarga Besar Alumni Universitas Gadjah Mada tahun lalu menganugerahinya Penghargaan Alumni Berprestasi. Ini melengkapi penghargaan oleh Presiden Joko Widodo yang ia terima sebelumnya.

Sejak lima belasan tahun terakhir, ia meminati kuda dan perkudaan —kuda pula yang ia kawinkan dengan kegairahannya menyebarkan buku, dengan memanfaatkan punggungnya untuk menggendong ratusan buku menapaki jalan-jalan kecil di pedalaman. Terdengar kabar bahwa ia membeli seekor kuda dan menyimpannya di suatu tempat di luar Jakarta. Saya hanya pernah melihat beberapa aksesori untuk keperluan penunggangan kuda, khususnya cambuk kulit yang artistik.

Terdengar pula kabar bahwa ia sedang menulis novel dengan tema kuda. Saya tak pernah berani menanyakan perkembangan penulisannya; tapi saya duga keras novel itu akan lama selesai. Sebagai penulis esai yang hebat, ia menulis dengan sepenuh kesungguhan dan sangat cermat memilih diksi. Untuk karya fiksi, kesungguhan dan kecermatannya pasti digandakannya tiga kali.


Sejak lama ia juga meminati kesastraan. Di sini pun ia mencoba mengawinkannya dengan minat-minatnya yang lain. Ia menyoroti langkanya puisi dan prosa fiksi Indonesia dalam menggarap tema sains.

Ia menyebut, satu-satunya novel, atau yang pertama dalam sastra Indonesia, yang cukup apresiatif terhadap manfaat sains adalah “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer.

Juga sebaris singgungan atas aspek ini dalam sebuah puisi Sapardi Djoko Damono. Ia cukup gembira dan menghargai penyinggungan ini, betapapun sangat minim; jauh lebih sedikit daripada yang ia harapkan. Ia menulis kritik yang kuat terhadap sisi sains yang dikisahkan oleh sebuah novel Dewi Lestari.

Ia sendiri lebih memilih peran sebagai pemerhati dan sekali-sekali menjalankan fungsi kritikus sastra. Sebagai penulis esai-esai kebudayaan dan dampak sosial-budaya dari perkembangan sains, ia tak bisa disebut tak produktif. Ia menghasilkan tiga jilid kumpulan tulisan, salah satunya hampir seribu halaman.

Fokusnya tetap: keajaiban manusia, yang sering disebutnya “maha manusia.” Sejak mahasiswa ia memang mengagumi Prof. Teuku Jakob, ahli antropologi ragawi bereputasi internasional yang pernah menjabat rektor UGM.


Meski ia tak pernah bekerja sesuai keahliannya sebagai sarjana Teknik Nuklir, minatnya pada sains tak pernah surut. Setahun lalu kami bersama tujuh kawan lain mendirikan ForSains, untuk menyebarkan semacam scientific culture, sebagai pengimbang kecil bagi maraknya religious culture. Sejauh ini buahnya lumayan, berupa media online berisi berita, ide dan temuan-temuan terbaru sains.

Perbukuan dan penulisan selalu lekat di hatinya yang terdalam. Pekan ini, dua tulisannya terbit, sebuah kolom di Kompas, sebuah lagi di majalah Tempo. Ia menulis keduanya dalam kesendiriannya yang hening di lantai 5 apartemen pinjaman dari sahabat lamanya.

Ia tak sempat menyaksikan terbitnya dua kolomnya itu. Saya akan membacakannya untukmu, Nirwan Ahmad Arsuka, Barru 1966 - Jakarta 2023.

Hamid Basyaib
Facebook, 9 Agustus 2023
https://www.facebook.com/hamid.basyaib


Beruntun Duka itu Tiba

Ichan Loulembah. Nirwan Ahmad Arsuka. Lalu Raharja Waluya Jati. Ah, ketiganya memiliki makna dan sumbangan tersendiri dalam perjalanan, pergumulan dan pertumbuhanku.

Ichan kukenal ketika menjadi menjadi jurnalis. Ia menjadi jurnalis dan penyiar terkemuka di Radio Trijaya FM saat aku jadi jurnalis DeTik pada 1992-1994. Lalu persinggungan dan perjumpaan terjadi dengannya, sebagian besar di ranah aktivisme dan gerakan sosial.

Perjumpaan dan pergumulanku dengan Nirwan jauh lebih panjang. Kami aktivis UGM pada kurun yang sama; dia berkuliah di Teknik Nuklir, sedang aku di Sosiologi. Gelanggang Mahasiswa, panggung demonstrasi, dan angkringan menjadi sejumlah ajang perjumpaan yang selalu menghidupkan dan menghangatkan percakapan kami.


Bahkan, ia juga cukup kerap mampir ke ‘markas’ kami di pinggir kali Code pada tahun 88-89 yang kami beri nama “Code 340” —sesuai nomor rumah yang terletak persis di atas tebing kecil di pinggir kali Code itu. Yang kuingat, ia beberapa kali datang pada larut malam, lalu berdiskusi seru diiringi bernyanyi bersama diiringi petikan dari gitarku. Kadang ia menginap atau pulang dini hari.

Mungkin teman se‘markas’ bisa menambah cerita yang sudah lama terkubur itu. Jawil Yahya Biasa Erwan Widyarto Harko Suharko Jusra Abdi dkk.

Belakangan kami bersua lagi saat aku tinggal dan menjadi jurnalis di Jakarta pada 1992-1995. Sementara ia aktivis dan peneliti lepas di berbagai project dan aktivisme. Ia sempat menjadi redaktur Lembar Budaya Kompas selain menjadi Direktur Eksekutif Freedom Institute. Belakangan ia lebih dekat dengan adikku, Hasif Amini, dan sempat tinggal di rumah petak di daerah Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta.


Dengan Jati, aku tak pernah terlalu dekat. Pergumulanku dengannya lebih banyak lantaran sejumlah aktivis adik kelasku di UGM, semacam Andi Arief, Arie Djito, Nezar Patria.

Yang kuingat, perjumpaanku terakhir dengannya di sebuah cafe di Sagan sekitar tahun 2017. Waktu itu tak lama seusai Pilkada DKI yang riuh rendah. Aku kencan ngobrol dengan Bung Nezar yang waktu itu masih Pemred di The Jakarta Post, jika tak salah ingat.

Di tengah obrolan hangat bersama keluarga itu bergabunglah Jati, Dadang Juliantara dan Widadi Kasno. Obrolan itu mengasyikkan karena merefleksikan keragaman kubu dan poros politik tapi kami tetap bisa berbincang dengan hangat.


Duka terdalam atas kepergian kalian bertiga, sobat. Maafkan, aku tidak sempat menjumpai dan mengantar kalian menuju peristirahatan terakhir menuju ke keabadian.

Doa terbaik untuk kalian bertiga —yang aku yakin punya mimpi yang sama untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Lanjutkan nongkrong di angkringan di surga.

Lahum Alfatihah ....

Note: Kutulis di atas KA menuju Yogyakarta International Airport

Najib Azca
Dosen Universitas Gadjah Mada
Wasekjen PBNU
https://www.facebook.com/najib.azca


In Memoriam Nirwan Ahmad Arsuka, Nabi yang Membuka Jendela Semesta

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Sahabat kita, pegiat literasi untuk wong cilik dan terpencil di Nusantara telah pergi meninggalkan kita semua. Nirwan, pendiri perpustakaan bergerak itu, telah membuka jendela dunia untuk anak-anak dan warga yang hidup di daerah terpencil. Pustaka Bergerak yang telah menyalurkan buku-buku bacaan ke seluruh pelosok Nusantara adalah legasi Nirwan yang akan dikenang sepanjang masa.

Perkenalanku dengan Nirwan
Nirwan Ahmad Arsuka, 5 September 1967 – 6 Agustus 2023, pernah mengirim tulisan ke redaksi majalah Ulumul Quran (UQ) yang diterbitkan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tahun 1990-an. Saat itu aku redaktur UQ, setelah resign dari Badan Tenaga Atom Nasional. Artikel Nirwan membahas sains dan filsafat dalam Islam.

Setelah aku baca, aku putuskan dalam rapat redaksi, tulisan Nirwan lolos, layak muat. Mas Dawam Raharjo sebagai Pemred pun setuju.



api karena antriannya panjang —maklum majalah triwulanan— harus menunggu lama untuk muncul di UQ. Sampai kemudian aku "dipinang" Republika tahun 1993 untuk memilih naskah opini dan menulis tajuk rencana di "koran Islam" itu. Aku lupa, apakah tulisan Nirwan yang bagus tadi jadi dimuat atau tidak oleh redaktur UQ sepeninggalku.

Sejak itulah aku terkesan pada sosok Nirwan, sarjana teknik nuklir UGM yang berpikiran luas dan bernas. Lama aku ingin berkenalan dengan anak muda kreatif ini. Saat itu, aku yakin Nirwan akan menjadi some body. Bukan sebagai ahli nuklir yang berkutat di laboratorium fisika radiasi atau reaktor nuklir, tapi dalam dunia filsafat, puisi, dan literasi.

Betul dugaanku. Di tahun 2000-an dan seterusnya, nama Nirwan Ahmad Arsuka sering muncul di berbagai media massa. Baik sebagai penulis kolom maupun nara sumber. Nirwan pun menjelma menjadi "seleb intelektual" di Indonesia. Publik mengenal Nirwan bukan sebagai fisikawan, tapi budayawan.


Kekagumanku yang lain terhadap Nirwan adalah ketika ia dengan serius membedah hikayat sastra fenomenal dari Bugis, La Galigo. Kitab sastra epik kehidupan ini ditulis dari budaya lisan suku Bugis (konon sudah ada sejak abad ke-13) dan merupakan salah satu karya sastra terbesar di dunia. UNESCO menyebut La Galigo sebagai "Memory of the World".

Karya sastra ini berupa surek (narasi atau serat sastra puitis) yang terdiri dari 6.000 halaman dan 300.000 baris teks. La Galigo menceritakan sebuah kisah asal-usul manusia dan peradabannya. Seperti epik Adam dan Hawa yang kemudian anak cucunya memenuhi bumi dengan dinamika peradabannya.

Pada awal kelahiran La Galigo, surek ini dipercaya oleh leluhur suku Bugis sebagai pedoman hidup. Karena itu surek La Galigo dianggap sakral. La Galigo ditulis dalam huruf asli Bugis kuno yang konon, saat ini, hanya dipahami oleh ratusan orang suku Bugis. Nirwan adalah salah satu orang Bugis yang berusaha memahaminya.

Surek La Galigo dibaca dengan irama seperti Shalawat Nabi atau Dandang Gula karena dipercaya sebagai mantra. Mantra ini dibaca untuk tolak bala, selamatan rumah baru, menyambut musim tanam, upacara pernikahan dan lain-lain.


Hikayat La Galigo dimulai dari kisah penciptaan dunia dan turunnya anak sulung raja langit yang diutus ke bumi (di kawasan Sulawesi Selatan, Luwu). Putra Langit tersebut bergelar Batara Guru. Batara Guru lalu digantikan Batara Lattu, putranya. Batara Lattu memiliki dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah. Sawerigading dan We Tenriabeng.

Saat dewasa dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah ini kembali ke Luwu. Ternyata Saweri dan Tenri saling jatuh cinta. Eiiit, saudara kembar tak bisa dinikahkan. Jika dipersatukan, Langit akan murka.

Pemuda Sawerigading pun sedih. Ia merantau ke Negeri China dengan perahu bersama para pengawal kerajaan.

Dalam perjalanannya menuju China, ia menghadapi banyak ujian hidup. Semuanya bisa dihadapi Sawerigading. Sampai di China, Sawerigading bertemu wanita cantik. Si cantik yang kemudian jadi istrinya itu bernama We Cudai. Dari perkawinan ini, lahirlah La Galigo. Dari hikayat inilah, lahir kisah-kisah lain —semacam serendipity sureq— yang berkaitan dengan kehidupan dan peradaban manusia. Pinjam narasi Nirwan —hikayat La Galigo adalah percakapan manusia dengan semesta. Percakapan ini muncul dalam narasi. Di suku Bugis narasi ini muncul dalam bentuk surek La Galigo.


Menurut Nirwan, dunia jika dikuak intinya, tiada lain adalah narasi. Segala sistem pengetahuan manusia, entah itu filsafat, kosmologi, atau bahkan sastra, dibangun di atas sebuah narasi. Melalui “lidah” manusia, alam semesta mewujudkan dirinya melalui kisah yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain, ujar Nirwan, sepanjang manusia menciptakan narasi tentang hidupnya, maka alam semesta pun mengungkapkan dirinya di hadapan manusia.

Itulah sebabnya, tukas Nirwan, peradaban yang tidak ditopang dengan narasi, lambat laun akan punah. Tidak ada peradaban di mana pun tanpa narasi.

Minat baca Nirwan memang luar biasa —ia melalap sastra, filsafat, sains, kosmologi, sosiologi, politik, dan entah apalagi. Itu tercermin dari tulisan-tulisannya yang tersebar di media cetak dan elektronik. Nirwan pun kemudian lebih dikenal sebagai budayawan, alih-alih fisikawan nuklir.

Nirwan seperti halnya fisikawan cum budayawan Fritjof Capra berusaha mengeksplorasi sains, filsafat, dan sastra hingga bertemu di titik yang sama dalam kosmologi kehidupan. Yaitu: manusia sebagai satu kesatuan antara mikro dan makrokosmos. Jalaluddin Rumi menyebutnya, manusia adalah samudra dalam setitik air.


Betul, manusia yang berasal dari setitik nutfah atau air hina (pinjam Rhoma Irama) kemudian menjelma menjadi penguasa jagat raya. Di era artificial intelligent (AI), era manusia sebagai raja diraja di semesta, niscaya terwujud. Pertanyaannya, apakah sang raja diraja kelak akan memelihara bumi atau menghancurkannya?

Inilah yang saat ini menjadi polemik. Tolong, tanyakan kepada Oppenheimer —bagaimana perasaan hatinya setelah bom atom ciptaannya meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Kenapa Oppenheimer tak mau melanjutkan proyek bom hidrogennya? Tampaknya Oppenheimer takut, manusia akan musnah di muka bumi akibat pengetahuannya. Ia akan menyesal sepanjang hidupnya karena menciptakan senjata pemusnah massal yang mengerikan itu. Oppenheimer tampaknya ogah menjadi manusia seperti kisah Frankenstein. Ilmuwan yang menciptakan senjata pemusnah massal yang akhirnya memusnahkan manusia sendiri.

Kembali ke Nirwan. Beruntung, setelah rajin mengikuti pikiran-pikiran Nirwan yang menembus batas, aku berkenalan secara fisik dengannya di perpustakaan Freedom Institute (FI) milik Rizal Mallarangeng di Jalan Proklamasi, Jakarta. Saat itu Nirwan adalah direktur perpus tersebut.

Di era Nirwan inilah FI sangat prestisius. Bukan hanya perpusnya yang ramai, tapi kegiatan diskusinya juga sangat berkualitas. Aku selalu datang di acara-acara diskusi filsafat, sastra, dan budaya di FI.


Di FI, inilah aku berkenalan dengan sosok unik, Ryu Hasan, seorang ahli bedah saraf yang "sarap". Dalam sebuah diskusi yang dikomandani Nirwan, Ryu Hasan yang konon berdarah "habib" ini mempertanyakan, bagaimana Tuhan menghukum manusia yang kode genetik ketuhanan di pita DNA-nya telah dipotong? Bagaimana Tuhan menentukan umur manusia bila kode genetik usianya di benang DNA dipotong?

Ya. Semua kepercayaan dan agama muncul sebagai konsekwensi adanya kode-kode genetik yang ada dalam pita DNA di sel-sel tubuh manusia. Aku tak tahu bagaimana respon Nirwan terhadap perspektif Ryu Hasan. Ini artinya, Nietzsche benar —ketika berbicara bahwa manusia bisa "membunuh" Tuhan. Entahlah! Konsep tentang Tuhan memang absurd. Tidak sesederhana seperti yang dipaparkan Abdul Somad dan Aa Gym.

Satu hal, kini Nirwan dengan "ruh" nya yang tanpa jasad akan mengeksplor di kehidupan baru yang oleh manusia beragama disebut alam akhirat atau alam malakut. Nirwan, apakah hukum fisika ada di alam sana? Apakah narasi masih diperlukan untuk berkomunikasi di alam tanpa materi itu? Apakah ada sastra dan filsafat di kehidupan bidadari dan malaikat?


Kau pasti akan menjawabnya kelak ketika bereinkarnasi menjadi "Avatar" di kehidupan lain. Kelak di alam yang lain, aku ingin mempertanyakan hal tersebut padamu.

Nirwan, kau sekarang pasti memahami kenapa Yesus hidup tanpa istri. Maaf, aku yang sering bertanya, kenapa kau lama menjomblo waktu di FI —kini terpaksa mengakui kehebatanmu. Hidup menjomblo telah membuatmu terbang dengan imajinasi yang liar tentang wanita ideal. Dan ternyata wanita ideal itu hanya ada dalam khayal Khalil Gibran melalui surat-surat cintanya kepada May Ziadah, kekasih imajinatifnya. May Ziadah mungkin adalah "titik nol-nol-nol koma sekian" dari relasi manusia dan semesta seperti dinarasikan hikayat La Galigo. Mungkinkah itu Nirwan?

Melalui tulisan ini, aku ucapkan Selamat Jalan, Nirwan. Dunia literasi kelak akan menyebutmu sebagai nabi. Nabi yang berhasil membangun surga di bumi. Kau telah membuka jendela semesta untuk umat manusia.

Syaefudin Simon
Freelance Columnist
https://www.facebook.com/eldin.ibnuathiyyah