Hasilnya, para calon presiden (capres) merapat sedekat mungkin atau harus hati-hati jika melempar kritik. Terlepas dari presidential toolbox yang digunakan Jokowi dalam mengonsolidasikan elite partai di seputar Istana, tingkat kepuasan yang tinggi dan efek elektoralnya terhadap dua capres penerus, yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, menggiring banyak pihak untuk pada kesimpulan bahwa siapa pun pemenang pemilihan presiden (pilpres) adalah hasil “arahan” Jokowi pada pendukungnya.
Para ilmuwan politik, seperti Fiorina dan Kramer, sejak lebih dari setengah abad lalu telah mengajukan dan menguji tesis penting dalam teori economic voting: Pemilih akan menghadiahi petahana dengan memilihnya kembali atau memilih penerusnya jika performa dianggap baik atau memuaskan.
Sebaliknya, publik akan menghukum petahana (implisit para calon penerusnya) jika performa petahana dianggap buruk atau tak memuaskan.
Pertanyaannya, apakah tingkat kepuasan publik atau jamak dikenal sebagai job approval rating mempunyai kekuatan prediktif elektoral sedemikian besar? Jawabnya, belum tentu.
Setidaknya terdapat tiga argumen penting yang menyebabkan kepuasan publik bisa saja berakhir sebagai mitos, sebuah kisah yang diglorifikasi, tetapi tak terlihat bukti dan jejaknya di kemudian hari, hingga hanya menyisakan desas-desus.
Dalam pemerintahan koalisi, beberapa ilmuwan politik, seperti Whitten dan Paul, menganggap bahwa clarity of responsibility ini penting untuk dicek. Semakin tinggi tingkat kejelasan bahwa Presiden Jokowi-lah yang berjasa atas performa pemerintah, dan bukan para pembantunya, semakin tinggi kredit untuk Jokowi. Begitu juga sebaliknya.
Kekalahan Megawati Soekarnoputri sebagai sang petahana dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang adalah bekas pembantunya pada pemilihan presiden (pilpres) bulan Juli 2004 menjadi contoh bekerjanya teori ini secara terbalik.
Meskipun tak ada data survei yang secara sistematis menguji relasi kausal kepuasan publik terhadap dinamika dan output pemilu jelang Pilpres 2004, pada isu keamanan bisa jadi tingkat clarity of responsibility cukup rendah bagi Megawati sebagai the sitting president dan justru cukup tinggi bagi SBY sebagai pembantu di bidangnya.
Hal ini akibat begitu iritnya sang presiden muncul di publik dan menjelaskan program ekonominya. Kontras dengan Presiden Jokowi yang sangat dominan menyampaikan agenda ekonomi dan pembangunan hingga berhasil menempatkan dirinya sebagai titik pusat gravitasi pembangunan sepanjang hampir sepuluh tahun kepemimpinannya.
Meski demikian, Jokowi dan para capres “penerus” belum tentu aman dari mitos kepuasan publik meskipun clarity of responsibility yang dimiliki Jokowi cukup tinggi.
Argumen lain yang diajukan para kritikus-revisionis teori economic voting (seperti Christopher Andersons, Matthew Singer, atau Larry Bartels) adalah bahwa pemilih tidak memiliki cukup kemampuan untuk menilai kinerja pejabat publik dari lamanya durasi administrasi pemerintahan, apalagi dari total durasi jabatan (misalnya, lima tahun seperti di Indonesia).
Pemilih hanya sanggup mengukur kinerja pejabat maksimal dalam beberapa bulan terakhir pemerintahan. Achen dan Bartels (2016), misalnya, menggagalkan teori perilaku rasional pemilih di AS yang sebenarnya menderita myopic judgement. Para pemilih menderita rabun jauh dalam menentukan kandidat berdasarkan performanya hanya pada beberapa bulan menjelang pemilu.
Keterbatasan memori, rendahnya pengetahuan politik soal tugas dan kinerja pejabat publik, dan kurangnya perhatian pada isu-isu publik menyebabkan mayoritas pemilih mengevaluasi performa pemerintah pada satu hingga tiga bulan terakhir sebelum hari pemungutan suara atau ketika jadi responden survei.
Sebaliknya, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi saat ini tak menyisakan implikasi elektoral berarti baik bagi Jokowi maupun “penerusnya” jika kepuasan publik anjlok pada awal tahun depan. Nasib buruk ini pernah terjadi pada SBY ketika tingkat kepuasan publik terhadapnya terus berada pada angka 50-an persen hingga pemilu legislatif pada April 2014.
Terlepas dari klaim SBY bahwa dirinya tak cawe-cawe, pengaruhnya sebagai the sitting president tak mampu menahan anjloknya suara Demokrat hingga dua kali lipat menjadi 10 persen pada 2014, dari 21 persen pada 2009 ketika beberapa sigi merekam job approval rating di angka 70-80 persen beberapa bulan jelang Pemilu Legislatif 2009.
Ketiga, publik pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas dalam membangun nexus antara kinerja petahana dan pilihan politik mereka. Achen dan Bartels menyebutnya sebagai blind retrospection.
Meski demikian, saya lebih sepakat untuk memahaminya sebagai “kebutaan” publik terhadap performa petahana akibat hadirnya faktor lain yang berdampak besar pada kehidupan pemilih. “Faktor lain” ini sering disebut sebagai random forces (atau juga random shocks), di mana bencana alam atau kejadian mendadak yang terjadi menjelang pemilu bisa saja merusak efek kepuasan publik terhadap preferensi mereka.
Contoh klasik yang sering diperdebatkan ilmuwan politik adalah serangan hiu beruntun yang terjadi di New Jersey sekitar dua bulan menjelang pemilu presiden Amerika Serikat pada 1916. Kejutan acak tersebut telah merusak suara Woodrow Wilson di daerah pemilihan sepanjang pantai New Jersey meskipun sang petahana sangat populer pada masanya, sementara kondisi ekonomi nasional, termasuk New Jersey, juga pada titik terbaik.
Basuki Tjahaya Purnama alias BTP alias Ahok.
Di Indonesia, blind retrospection akibat kejadian mengejutkan juga pernah menyisakan kepuasan publik sebagai mitos. Bedanya, kebutaan atas evaluasi kinerja petahana ini terjadi karena random shocks yang justru dibuat oleh sang petahana.
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 adalah contoh paling dekat dengan ingatan kita bahwa efek elektoral atas tingkat kepuasan yang tinggi berakhir sebagai mitos.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur petahana dengan tingkat kepuasan antara 75 persen dan 80 persen berakhir dengan cerita sedih bagi pendukungnya. Sang petahana yang menyandang dual-minority menciptakan random shock-nya sendiri dengan satu-dua kalimat sensitif.
Ahok versus Anies
Mayoritas warga DKI puas terhadap kinerja Ahok, tetapi pilihan jatuh kepada kandidat lain yang bahkan belum pernah duduk sebagai kepala daerah. Sebagian pihak menganggap dinamika Pilgub DKI 2017 adalah anomali, seperti terjadinya semacam psychological dissonance di level mikro (individu); atau sebuah gradual causation atas mobilisasi politik identitas yang mereduksi efek kepuasan publik terhadap pilihan rasional.
Namun, yang pasti, pemilih pada dasarnya “buta” dalam mengevaluasi kinerja petahana ketika kejutan destruktif membutakan penglihatan rasional mereka. Dalam hal ini, komunikasi publik kandidat yang telah mengaktivasi sentimen identitas agama yang telah lama mengendap sebagai kompas moral pilihan politik adalah ceruk pemilih yang cukup besar hingga “membutakan” preferensi rasional mereka.
Gary Hart kandidat presiden AS dari Partai Demokrat yang kandas karena diguncang isu perselingkuhan.
Kisah candidate-made random shocks lain yang cukup populer adalah jatuhnya suara Gary Hart dalam nominasi capres Demokrat di AS pada 1987 akibat skandal perselingkuhannya pada periode kampanye meskipun kisah ini tak berbicara langsung dengan kepuasan publik terhadap petahana.
Pada dasarnya ada cukup banyak preskripsi bagi para calon penerus “Pak Lurah” yang bisa saja melakukan mitigasi atas rabun jauh (myopic judgment) dan kebutaan (blind retrospection) yang diderita publik dan dapat terjadi kapan saja.
Namun, yang pasti, kepuasan publik tak akan berakhir sebagai mitos jika sang presiden terus menjaga performa dan mengantisipasi terjadinya random shocks yang berdampak pada hajat hidup orang banyak ataupun yang berakibat pada tatanan kohesi sosial.
Arya Budi,
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM;
Direktur Riset Poltracking Indonesia
KOMPAS, 30 Agustus 2023
No comments:
Post a Comment