Wednesday, November 29, 2023

Ketika Dinasti Jokowi Meninggalkan Megawati


Tahun 2004, untuk kali awal kita menyelenggarakan pemiliham umum presiden/wakil presiden. Saya masih menjadi anggota KPU yang kala itu ditunjuk menjadi pokja kampanye.

Di situ saya mengenal karakter seorang yang bernama Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ketika itu.

Beberapa kali saya membunyikan sempritan, pertanda ada hal yang harus tidak dilakukan. Misalnya, tidak melakukan kampanye karena jatahnya sudah habis.

Megawati sangat patuh. Tidak menggunakan jabatannya untuk melarang saya dan KPU meniup sempritan terhadap diri dan partainya.

Ilustrasi: Megawati, Jokowi dan Hamid Awaludin (insert).

Ia tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindih demi kemenangan. Ia paham betul bahwa negeri yang dipimpinnya itu, harus diawali dengan disiplin tinggi.

Caranya, patuh pada aturan main. Ia memaklumi bahwa pemimpin itu harus memberi contoh yang baik. Bukan pemimpin berpura-pura disiplin dan taat azas, tetapi penuh intrik yang melecehkan hukum dan akal sehat.

Bukan pemimpin yang lain ucapan, lain kelakuan. Akhlak politik Megawati adalah mumpuni. Bukan tabiat pat gulipat. Ia tidak menggunakan tangan orang lain untuk membungkam. Ia kesatria.

Kini, hari-hari Megawati dijejali dengan persoalan pelik. Betapa tidak, anak dan orangtua anak yang dibesarkannya, bisa dipersepsikan meninggalkan dirinya dalam keadaan terluka parah.


Megawati memberi mereka kehormatan melalui karpet merah yang digelarnya, dan mengorbankan diri, anak dan kader-kadernya sendiri.

Gibran, putra Presiden Jokowi, kini dicalonkan sebagai Wakil Presiden RI dari partai politik lain. Langkah politik yang dilakukan oleh dinasti Presiden Jokowi, yang menurut ukuran manusia normal, sangat bisa menyakitkan hati.

Tentu saja Megawati, anak-anak dan para kadernya, terluka dengan langkah ini. Betapa tidak, Gibran naik menjadi Wali Kota Solo atas dukungan Megawati, dengan cara mengorbankan hasrat dan keinginan kadernya sendiri.

Langkah Gibran ini, berbanding lurus dengan jalan yang ditempuh sang ayah, Jokowi. Megawati bersama partainya, PDI-P mengorbankan kadernya yang lain untuk jalan mulus Jokowi menjadi Wali Kota Solo dua periode.


Belum cukup dengan ini. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, membujuk Megawati agar Jokowi diberi peluang dan kepercayaan menjadi Gubernur DKI.

Megawati menyetujui usulan Jusuf Kalla tersebut, kendati harus menempuh jalan berbeda dengan suaminya, karena almarhum Taufik Kiemas mendukung orang lain.

Waktu berjalan. Ambisi kian menaik. Jokowi berhasrat jadi Presiden RI. Megawati mengurungkan niatnya untuk maju dan memberi jalan mulus untuk mewujudkan ambisi Jokowi.

Megawati melepaskan segala ambisi dan hasrat diri, keluarga, dan kader-kadernya yang lain, untuk Jokowi. Ia tidak mengumbar tuntutan karena ia membayangkan orang lain sama dengan dirinya, “tahu diri.”


Megawati tidak mengayun kapak amuk marah. Ia hanya mengelus dada, menahan rasa sakit yang kian mendera badan dan pikirannya. Semua ongkos politik dengan segala tentakel yang ada, telah ia bayar.

Untuk urusan ini, saya pernah mendengar metafora yang menyentuh batin. Ketika Jokowi maju sebagai calon Wali Kota Solo, gelas berisi seperempat air yang hendak diminum kadernya di Solo, tetapi Jokowi haus tak kepalang, maka air itu batal diminum oleh kader PDI-P, tetapi diberikan ke Jokowi.

Beberapa tahun kemudian, Jokowi haus lagi, ingin menjadi Gubernur DKI. Air minum yang berisi setengah gelas, hendak diminum oleh orang lain, tetapi demi Jokowi, Megawati menyerahkan segelas air tersebut ke dirinya. Bukan ke orang lain.

Kini, gelas berisi penuh air, hendak diminum sendiri oleh Megawati dan ia pun mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, tetapi Jokowi haus lagi, Megawati mengurungkan niat meminum air tersebut. Ia ikhlas menyerahkan lagi segelas air itu kepada Jokowi. No problem.


Air minum yang telah Mega berikan itu, ternyata menjadi pembangkit energi politik tersendiri bagi Jokowi dan keluarganya.

Karena itu, ada yang beranggapan bahwa kehadiran Jokowi sangat menguntungkan PDI-P dan Megawati karena Jokowilah sehingga perolehan suara PDI-P menanjak terus hingga hari ini.

Bila jalan pikiran ini kita ikuti, maka sebenarnya skor antara keluarga Jokowi dengan Megawati, seimbang: satu sama.

Namun, bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa sebelum Jokowi memasuki arena Jakarta, perolehan suara PDI-P sejak era reformasi, sudah tidak tergoyahkan. Selalu menduduki peringkat atas.

Lagi pula, urusan budi baik dan keikhlasan itu, sebaiknya tidak dihitung dengan pendekatan matematika. Budi baik dan keikhlasan, ukurannya adalah moral dan etika. Bukan yang lain-lain.

Gibran Rakabuming (Wali Kota Surakarta), Bobby Nasution (Wali Kota Medan), Kaesang Pangarep (Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia).

Itulah sebabnya, kita acapkali menemukan bahwa orang yang mempraktikkan: “Air susu dibalas air tuba,” selalu berakhir dengan mengenaskan. Berakhir dengan cara porak poranda, nihil nilai. All are gone. No chance for regaining honor and dignity.

Belum selesai di sini. Menantu Jokowi pun, Bobby Nasution, melewati karpet merah untuk menjadi wali kota Medan. Lagi-lagi, kader PDI-P disisihkan demi Bobby Nasution.

Megawati, tentu hanya mengurut dada sekarang. Namun, ia figur politik yang memiliki daya tahan yang luar biasa selama puluhan tahun.

Ia, karena itu, juga memiliki ketabahan dan kesabaran luar biasa. Baginya, dignity jauh lebih penting daripada berkasak kusuk, tanpa pertimbangan moral dan etika, untuk kekuasaan.

Setidaknya, Megawati tidak sendirian merasa ditinggalkan. Jusuf Kalla, orang yang dipercaya Megawati menjadi pendamping Jokowi pada periode pertamanya, mungkin juga sudah merasa ditinggalkan.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16.

Abraham Lincoln, idola saya, sangat benar ketika ia mengatakan: “Semua orang bisa mengatasi persoalan yang dihadapinya. Namun, jika hendak mengukur kualitas seseorang, berilah ia kekuasaan.”

Bagaimana ke depan? Is the game over bagi Megawati? Sama sekali tidak!

Masa pemerintahan Jokowi masih tersisa setahun. Banyak ikhwal yang bisa terjadi selama setahun ke depan.

Pemerintahan Jokowi tidak bakal berjalan efektif tanpa partai jangkar yang menahan ombak agar perahu tak oleng, atau karam dan tenggelam. Partai jangkar Jokowi adalah PDI-P.

Anis Matta (Ketum Partai Gelora), Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB).

Bagaimana partai politik yang mendukung pencalonan Gibran sebagai Wapres RI? Agak pelik untuk mengatakan mereka adalah partai politik yang setia kepada Jokowi.

Kesetiaan mereka hanya bersifat temporer belaka, sesuai kepentingan sesaat yang memberi kenikmatan seketika.

Kalau toh mereka setia, hitungan matematika masih berada di bawah jumlah partai yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin.

Saya membayangkan bahwa setahun ke depan, bisa jadi para parpol pendukung Ganjar dan Anies menyatu padu dalam hal menyiasati sisa masa pemerintahan Jokowi tersebut. Ini yang perlu dihitung matang oleh pemerintahan Jokowi. Jangan dianggap remeh.


Perlu kita hitung-hitungan dengan asumsi yang kuat: Sebagian partai pendukung yang berada di barisan pencalonan Gibran, adalah juga partai politik yang terluka.

Dari awal mereka memiliki calon yang lain, bukan Gibran. Mereka hanya memaksakan diri untuk ikut irama gendang politik yang ditabuh oleh tahta dan titah kekuasaan. Bukan karena kemauan politik mereka dan kader-kader mereka. Wallahu a’lam bishawab.

Dan akhirnya memang, Mas Gibran benar: “Mari kita serahkan kepada warga”. Putusan terhadap akhlak atau tabiat politik, ditentukan di tempat pemungutan suara, oleh rakyat yang berdaulat.

Kedaulatan itu harus dijaga bersama, bukan kedaulatan yang digiring dengan intimidasi kuasa.

Hamid Awaludin, LL.M, Ph.D
Anggota Komisi Pemilihan Umum Indonesia (2001 – 2004)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004 – 2007)
Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia (2008 – 2011)
Presiden Komisaris dan Komisaris Independen PT Delta Dunia Makmur Tbk (2001 – sekarang)
Presiden Komisaris (Independen) PT ESSA Industries Indonesia Tbk (2012 – sekarang)
Presiden Direktur PT Adimitra Baratama Nusantara (2014 – sekarang)
Presiden Direktur PT Kutai Energi (2017 – sekarang)
Presiden Komisaris dan Komisaris Independen PT Pelita Samudera Shipping Tbk (2017 – sekarang)
Komisaris Independen & Ketua Komite Audit PT Archi Indonesia Tbk (2021 – sekarang)

KOMPAS, 23 Oktober 2023

Wednesday, October 25, 2023

Kotak Pandora Itu Bernama Gibran


Setelah Golkar mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo, maka deklarasi Koalisi Indonesia Maju untuk pasangan Prabowo Gibran akan segera dilakukan yang berlanjut pada pendaftaran ke KPU. Majunya Gibran membenarkan sinyalemen bahwa Putusan MK adalah pembuka pintu. Sulit membantah peran besar dari Mahkamah Keluarga tersebut. MK adalah pendosa besar.

Gibran sebenarnya bukan solusi bagi Prabowo. Semua sudah faham pilihan pada Gibran hanya bertumpu pada faktor Jokowi, bukan karena kapasitas atau elektabilitas. Gibran tidak memiliki basis dukungan partai maupun organisasi kemasyarakatan. Tingkat kematangan berpolitik juga rendah. Prabowo yang sudah “jatuh hati habis” pada Jokowi merasa perlu menarik Gibran sebagai pasangannya.


Menjadi fenomena politik menarik bahwa figur politik berpengalaman seperti Airlangga, Zulhas, Yusril atau SBY dengan mudah menyepakati kontroversi ini. AHY yang dahulu ngotot ingin menjadi Cawapres, kini begitu sunyi. Begitu juga dengan Yusril yang percaya diri akan terpilih seperti hanya bisa menunduk terdiam. Semua bertekuk lutut pada sang Raja dan Putera Mahkota.

Prabowo jumawa pada sukses merebut Gibran seolah berhasil mendapatkan Jokowi. Sementara Jokowi merasa bahagia karena sang pangeran dapat menjadi Cawapres dengan menyingkirkan tokoh yang lebih pantas seperti Airlangga, Erick Thohir, Yusril ataupun AHY sendiri. Nampaknya tidak sia-sia kerja adik ipar sebagai Ketua Mahkamah Keluarga.

Sesungguhnya di tengah kebahagiaan atau mungkin harapan dari Partai Gerindra, Golkar, PAN dan lainnya, kehadiran dan penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo adalah bencana. Gibran bagai kotak pandora yang terbuka. Masalah besar yang tidak diinginkan sedang mengancam. Seperti berharga tetapi sebenarnya musibah.


Pertama, bagi Prabowo sendiri ini adalah “kutukan” dari pendukung dahulu yang merasa tersakiti atau terkhianati. Tanpa diduga ternyata ada kiriman “Gibran” anak kecil yang diorbit paksa oleh sang bapak. Gibran bukan penguat atau akselerator tetapi beban berat bagi Prabowo. Citra “Singa” Prabowo semakin terkikis. Bualan survey berfakta hanya sekelas Gibran.

Kedua, bagi partai-partai politik yang sepakat Gibran sebagai Cawapres adalah bukti adanya sihir atau jampi-jampi yang membuat pimpinan partai kehilangan akal sehat, berfikir pendek, pragmatis dan kehilangan idealisme. Di depan konstituen partai-partai politik tersebut akan ambruk. Mungkin terjadi perpecahan.

Ketiga, Gibran menjadi suntikan perseteruan tajam Megawati dengan Jokowi. Balas dendam Jokowi menyakitkan hati. Bukan hanya ia tidak loyal tetapi sama saja Jokowi telah mengumumkan perang. Perang dengan memanfaatkan Prabowo bertameng Gibran. Wajah culun yang mampu memerahkan muka Mega.


Keempat, Gibran menjadi penyakit bangsa dan pencemar politik etik. Nepotisme atau politik dinasti terbukti. Jokowi membuta babi. Berjuang untuk melindungi diri pasca lengser nanti. Sesungguhnya publik menilai bahwa Jokowi salah kalkulasi dikira Gibran adalah penyelamat padahal bom bunuh diri.

Kelima, menciptakan negara bagai istana boneka. Mengurus bangsa dengan bermain-main. Rakyat hanya diposisikan sebagai penonton yang disuruh bertepuk tangan, bersedih atau berteriak. Panggung hanya milik pemain atau boneka-boneka itu. Gibran mengisi ruang “negara cemen” dan “negara fantasi”.

Kotak pandora Gibran adalah menyebarkan khayalan untuk menjadikan Indonesia seperti negara Korea Utara. Dinasti Kim yang berkuasa dari sejak Kim Il Sung kepada Kim Jong Il dan kini Kim Jong Un. Nah mungkin Jokowi kini sedang menyiapkan Jan Ethes untuk pemimpin berikutnya, he he heee ....

M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 24 Oktober 2023

Thursday, September 21, 2023

Main Intel Memata-matai Partai Politik


Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa ia punya data intelijen arah dukungan partai politik dalam pemilihan presiden 2024 kian menunjukkan watak autokratik. Hanya di negara otoritarian badan intelijen menjadi alat kekuasaan, bukan alat negara seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17/2011 tentang intelijen negara.

Indonesia sedang membangun kehidupan demokrasi yang sehat. Ciri demokrasi yang sehat adalah otonomi partai politik. Memata-matai partai politik, karena itu, merupakan bentuk intervensi kekuasaan. Pernyataan Jokowi di depan para relawannya di Bogor pada 16 September 2023 adalah gertak penguasa kepada partai. Tujuannya jelas: menakut-nakuti pengurus partai politik yang tak sejalan dengannya.

Presiden Jokowi melontarkan pernyataannya itu ketika membuka Rapat Kerja Nasional Sukarelawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi. Presiden menyampaikan dia telah mengetahui semua data seperti angka survei hingga arah dukungan partai politik pada pemilihan presiden 2024 dari informasi intelijen Badan Intelijen Negara, Intelijen Polri, dan Badan Intelijen Strategis TNI.


Dalam UU Intelijen jelas disebutkan bahwa tugas badan-badan telik sandi adalah mengumpulkan data untuk mencegah, menangkal, dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan nasional. Intelijen tak bertugas memata-matai partai politik, organ utama demokrasi. Usaha menginteli partai politik jelas melanggar otonomi partai.

Partai politik adalah elemen penting demokrasi sehingga tidak seharusnya penguasa memantau atau bahkan menyadap dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden. Intelijen memang berfungsi memberikan informasi kepada presiden. Namun, informasi itu seharusnya menyangkut keamanan nasional bukan soal partai politik.

Pernyataan Presiden Jokowi itu mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan. Badan Intelijen bukan untuk kepentingan politik presiden melainkan untuk tujuan keamanan nasional. Pengumpulan data dan informasi oleh intelijen hanya boleh untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan guna memata-matai partai politik. Tindakan mengumpulkan informasi serta data dan mematai-matai partai politik jelas melanggar Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Partai Politik.

Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo

Sebulan menjelang penutupan pendaftaran, baru tiga partai yang mendeklarasikan calon presiden. PDI Perjuangan mengajukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Partai Gerindra mengusung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Partai NasDem menggadang mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.

Dari ketiganya, baru Anies yang sudah terbuka menggandeng Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai calon wakilnya. Sedangkan Ganjar dan Prabowo belum menentukan pendamping masing-masing. Jokowi, meski berasal dari partai yang sama dengan Ganjar Pranowo, cenderung mendukung Prabowo Subianto yang terlihat dari dukungan Jokowi Mania dan Pro Jokowi, dua organisasi relawannya.

Dengan calon wakil presiden dua kubu yang belum jelas, arah dukungan partai masih cair. Sejauh ini, Ganjar salah satunya mendapat dukungan PPP, sementara Prabowo mendapat sokongan Golkar dan Partai Amanat Nasional. Belakangan Demokrat menyatakan bergabung dengan Gerindra setelah hengkang dari koalisi NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera.


Memata-matai dukungan partai politik kepada calon presiden merupakan bentuk intervensi kepada organ demokrasi. Di akhir kekuasaannya sebagai presiden, seharusnya Jokowi memahami pemakaian alat negara untuk kepentingan politik itu berbahaya bagi iklim demokrasi.

Pemakaian lembaga intelijen untuk kepentingan politik tak hanya menyalahgunakan kekuasaan secara telanjang, namun juga melanggar konstitusi, dan memperburuk iklim demokrasi Indonesia. Jokowi mesti melihat dampak buruk intervensi kekuasaan, termasuk pemakaian intelijen, untuk kepentingan politik jangka pendek.

Skandal Water Gate akhirnya menjungkalkan Presiden AS, Richard Nixon.

Di Amerika Serikat, Presiden Richard Nixon dari Partai Republik mencoba memata-matai Partai Demokrat menjelang Pemilu 1972. Kerja investigasi wartawan Washington Post akhirnya mengungkap skandal Water Gate yang memakzulkan Nixon. Begitu juga di Korea Selatan dalam Pemilu 2012. Badan intelijen di negara itu mengaku telah membantu Partai Konservatif memenangi pemilihan presiden. Skandal itu berbuntut Presiden Partai Konservatif terpilih masuk penjara karena tuduhan korupsi.

Penyalahgunaan kekuasaan tak lepas dari korupsi. Pemakaian badan intelijen untuk tujuan kekuasaan seperti terjadi di Korea Selatan adalah tindakan korup karena memakai dana publik untuk tujuan politik.

Sekarang Jokowi mungkin menang secara politik karena dukungan perangkat negara yang tak terbatas. Cawe-cawenya menentukan presiden penggantinya akan memakan ongkos yang mahal: longsornya kepercayaan publik pada Pemilu, kepada partai, kepada sistem demokrasi yang diperalat oleh kekuasaan.

Editorial Tempo
Tempo.co, 18 September 2023
https://kolom.tempo.co/read/1773182/main-intel-memata-matai-partai-politik