Wednesday, April 24, 2024

Islam, Jalan Hidup Kartini


Raden Ajeng Kartini (1879-1904) secara tidak langsung ikut merintis terjemahan Al-Qurân pertama dalam bahasa Jawa.

Raden Ajeng Kartini, seorang Muslimah pahlawan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara (Jawa Tengah). Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1962), Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan Jepara pada saat itu sebagai sebuah daerah yang baru saja lepas dari Tanam Paksa (Cultuurstelsel), yang amat mencekik peri-kehidupan masyarakat setempat. Pada masa puncak penerapan Cultuurstelsel, lanjut Pram, para petani Jepara harus menyerahkan sepertiga dari tanah garapannya kepada pihak gubernur jenderal untuk ditanami tanaman-tanaman komoditas ekspor, seperti kopi, karet, cokelat, dan tebu.

RA Kartini berasal dari keluarga priayi yang kental nuansa feodalisme. Sebelum wanita ini lahir, ayahnya yakni Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai wedana di Desa Mayong, Jepara. Saat usia putrinya itu masih bayi, Ario Sosroningrat telah diangkat menjadi bupati Jepara.


Pengangkatan ini berimbas bukan hanya pada lingkungan kerja, tetapi juga keluarga. Ario Sosroningrat menikah lagi dengan seorang perempuan ningrat Madura, Raden Ajeng Moerjam. Alhasil, istri pertamanya yang bernama Ngasirah mengalami turun posisi hingga berstatus bukan istri resmi.

Bukan itu saja ujian yang dialami Ngasirah, perempuan yang dinikahi Ario ketika masih berusia 14 tahun. Ibu kandung Kartini tersebut bahkan mesti memanggil anak-anaknya dengan sapaan ndoro. Itu menandakan rendahnya kedudukan seorang ibunda di hadapan darah dagingnya sendiri.

Bagaimanapun, anak-anaknya tidak pernah mau merendahkan ibu mereka sendiri. Hal itu ditegaskan adik kandung Kartini, Kardinah. Menurutnya, mereka selalu memuliakan Ngasirah, sebagaimana wajarnya anak terhadap orang tua.


Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara, kandung dan tiri. Ia mewarisi darah ulama dari ibu kandungnya. Th Sumartana dalam buku “Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” (1993) mengungkapkan, Ngasirah merupakan putri Kiai Modirono, seorang ulama masyhur asal Desa Telukawur, Jepara.

Di samping mengajarkan agama Islam, kakek Kartini itu juga bekerja sebagai pedagang kopra di Desa Mayong. Adapun Ngasirah sejak masih berusia anak-anak telah mahir mengaji Al-Qurân. Ketika sudah menikah dan jabatan suaminya perlahan-lahan merangkak naik, wanita itu mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa Jawa serta Melayu walaupun tak sempurna.

Berbeda dengan pihak istri pertamanya, Ario Sosroningrat berasal dari keluarga ningrat Jawa yang sangat terbuka pada pendidikan Barat. Kakek Kartini dari pihak bapaknya, Pangeran Ario Tjondronegoro, merupakan bupati Demak. Di rumahnya, tidak jarang mereka menggunakan bahasa Belanda.

Ario Sosroningrat meneruskan kesukaan ayahnya pada gaya pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Bahkan, seorang kakak Kartini yang bernama Kartono dikirimkan ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studi.

Raden Ajeng Kartini berkerudung dan pakai jilbab?

Menurut Th Sumartana, hal itu merupakan tanda bahwa kalangan elite lokal Jawa pada masa itu telah menyadari pentingnya penyesuaian diri dengan budaya dan cakrawala pengetahuan Eropa. Pendidikan Barat pun menjadi gerbang bagi para penguasa pribumi agar mampu memperoleh atau mempertahankan jabatan di struktur birokrasi kolonial.

Sekalipun menyukai pendidikan Barat, ayah Kartini tidak begitu saja melalaikan pendidikan agama. Saat menjadi bupati Jepara, ia mengundang para dai ke kabupatennya untuk mengajarkan Al-Qurân. Untuk anak-anaknya pun, Ario Sosroningrat mendatangkan guru ngaji (ustadz) untuk membimbing mereka.

Bagaimanapun, lanjut Th Sumartana, metode pengajaran agama Islam yang diperoleh Kartini dan saudara-saudaranya tidaklah mendalam. Ustadz yang datang ke rumahnya hanya mengajarkan cara membaca Al-Qurân. Tidak ada pembahasan tentang terjemahan atau makna kitab suci tersebut.

Dalam suratnya kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar pada 6 November 1899, Kartini mencurahkan perasaannya mengenai agama ini: “Tentang ajaran Islam, tidak dapat saya ceritakan, Stella. Agama Islam melarang pemeluknya untuk mempercakapkannya dengan pemeluk agama lain. Dan, sebenarnya saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam.

Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi asli bahasa Belanda.

Belakangan, Kartini mulai membangun pandangan kritis terhadap pendidikan Islam yang diterimanya sejak kanak-kanak. Hal itu berkat kebiasaannya semasa remaja berkorespondensi dengan kawan-kawannya yang orang Belanda. Dalam surat yang sama, Kartini menulis: “Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak memahaminya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Qurân terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apa pun juga. Di sini, tidak ada orang yang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-Qurân, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.

Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila: mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. [...] Bukankah demikian, Stella?

Cara pandang Kartini yang menilai pengajaran Islam kala itu tidak memadai, menurut Sumartana, menciptakan jarak tertentu baginya terhadap Islam. Gap ini memungkinkan wanita ningrat Jawa tersebut untuk bersikap kritis terhadap agamanya, sebagaimana terbaca dari surat-suratnya untuk Stella Zeehandelaar.


Stella Zeehandelaar berusia lima tahun lebih tua daripada Kartini. Begitu lulus dari sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS), wanita kelahiran Belanda itu bekerja pada Kantor Pos, Telepon dan Telegram di Amsterdam.

Saat berusia 20 tahun, Kartini memasang sebuah iklan di majalah terbitan Belanda, De Hollandsche Lelie. Isinya menjelaskan bahwa dirinya merupakan putri seorang bupati Jepara di Hindia Belanda (Indonesia) dan sedang mencari teman perempuan untuk dapat saling bertukar pikiran melalui surat-menyurat. Kawan yang dicarinya ini harus merupakan orang Belanda dan berusia sebaya dengannya.

Kebetulan, Stella membaca iklan tersebut. Sebagai seorang aktivis feminisme, wanita Belanda itu tertarik dan bersedia untuk menjadi teman korespondensi bagi seorang putri ningrat Jawa. Demikianlah awal pertemanan mereka. Kini, hasil surat menyurat keduanya telah dibukukan dalam berbagai terbitan. Salah satunya adalah On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 (1995).

Mr Jacques Henrij (JH) Abendanon dan istrinya Rosa Abendanon.

Kartini juga memiliki kawan korespondensi lainnya, yakni EC Abendanon, seorang anak pasangan Mr Jacques Henrij (JH) Abendanon dan Rosa Abendanon. Antara tahun 1900 dan 1905, JH Abendanon merupakan menteri pendidikan Hindia Belanda. Sesudah Kartini wafat, pejabat Belanda itu dan istrinya berinisiatif mengumpulkan surat-surat almarhumah dan menghimpunnya ke dalam buku, yang diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang).

Seperti curahan hatinya kepada Stella, Kartini pun mengungkapkan kegelisahan batinnya mengenai praktik pengajaran agama Islam kepada EC Abendanon. Dalam sebuah surat kepada anak JH Abendanon itu tertanggal 15 Agustus 1902, sang putri Jawa sampai-sampai mengaku tidak mau membaca Al-Qurân lagi. Sebab, dirinya toh tidak mengerti arti ayat-ayat kitab suci tersebut dalam bahasa Arab. Pengakuan itu cenderung merupakan ekspresi Kartini yang merasa kecewa karena tidak ada siapapun di sekitarnya yang bersedia menerangkan Al-Qurân kepadanya.

Dan waktu itu, aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qurân, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,
” tulis Kartini kepada Abendanon.

Sumartana berpendapat, sikap Kartini itu sesungguhnya menyasar pada budaya tempatnya berada, bukan Islam sebagai agama yang dianutnya. Wanita ningrat Jawa itu merasa terkungkung oleh lingkungan yang menjalankan ajaran Islam secara taklid sehingga untuk “sekadar” menjelaskan isi kitab suci pun tidak mampu (ketakutan?). Keluh kesah ini diungkapkan Kartini melalui korespondensinya dengan kawan-kawannya yang orang Belanda.

Ayat Al-Quran yang menginspirasi RA Kartini: "mina azh-zhulumaati ila an-nuur".

Faidh al-Rahman
Sesudah wafatnya RA Kartini, surat-suratnya kemudian dikumpulkan oleh Abendanon ke dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang). Versi terjemahan bahasa Melayu terbit pada 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Nyai Dahlan dalam artikel “Inspirasi Kartini di Kalangan Muslimat” memandang, metafora “dari kegelapan menuju terang benderang” itu merujuk pada kata-kata yang banyak disebut dalam ayat-ayat Al-Qurân: mina azh-zhulumaati ila an-nuur. Misalnya, surah al-Baqarah ayat ke-257.

Dalam firman-Nya itu, Allah menegaskan bahwa Dia adalah pelindung orang yang beriman. “Dia (Allah) mengeluarkan mereka (orang beriman) dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.” (QS al-Baqarah: 257).

Dalam fase kehidupan RA Kartini, menurut Nyai Dahlan, ada titik yang dari sanalah sang putri Jepara mulai berhijrah. Titik yang dimaksud adalah perjumpaannya dengan KH Shaleh Darat as-Samarani (wafat 1903 M), seorang ulama besar yang mengajar di Semarang (Jawa Tengah).


Cerita pertemuan ini bermula ketika Kartini mengunjungi kediaman pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, yang merupakan seorang bupati Demak. Saat tiba, perempuan ningrat itu mendapati bahwa sedang ada pengajian di rumah sang paman. KH Shaleh Darat hadir sebagai pengisi materi.

Dalam kesempatan itu, ulama tersebut menjelaskan tafsir surah al-Fatihah kepada hadirin yang memadati pendopo rumah Pangeran Ario Hadiningrat. Mendengarnya, Kartini langsung tertarik. Dengan saksama ia menyimak seluruh uraian Kiai Shaleh Darat.

Bagi Kartini, inilah untuk pertama kalinya ia diberi tahu tentang arti dan makna ayat-ayat suci Al-Qurân. Sebelumnya, wanita yang cerdas ini hanya diajarkan untuk sekadar membaca teks Al-Qurân atau menghafalkan beberapa surah pendek, tanpa menyelami kandungan isi kitab suci tersebut.

Untuk pertama kalinya, Kartini merasa terbebas dari kejumudan para pemuka Islam yang selama ini ditemuinya. Usai pengajian, Kartini segera mendekati pamannya agar bersedia memperkenalkannya kepada Kiai Shaleh Darat. Awalnya, Ario Hadiningrat merasa enggan. Namun, keponakannya itu sedikit memaksa sehingga jadilah mereka menemui langsung sang ulama.


Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini setelah memperkenalkan diri.

Mendengar itu, tampak Kiai Shaleh tertegun. Mungkin karena belum memahami alur pertanyaan Kartini. “Mengapa Raden Ajeng bertanya begitu?” selidik ulama ini kemudian.

Kiai, selama hidupku, baru kali ini aku memahami makna surah al-Fatihah. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ungkap Kartini dengan bersemangat.

Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qurân ke dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Qurân pembimbing hidup bahagia bagi manusia?” tanya perempuan itu lagi.


Kiai Shaleh terpana mendengar kata-kata Kartini, yang sopan tetapi begitu kritis. Belum pernah seorang Jawa pun —lebih-lebih dari kalangan perempuan— yang mengajukan pertanyaan sebegitu tajam dan mendalamnya. Ulama ini hanya menggumamkan “Alhamdulillah”. Kemudian, pertanyaan Kartini dijawabnya secara umum, sekadar untuk menghilangkan kegelisahan dari hati perempuan tersebut.

Bagaimanapun, hikmah besar terjadi beberapa waktu sejak pertemuan itu. Tergerak oleh pertanyaan yang diajukan Kartini, Kiai Shaleh mulai merasa yakin akan pentingnya penerjemahan teks Al-Qurân. Ini adalah pekerjaan besar yang belum pernah diambil oleh seorang ulama pun sebelumnya.

Mengapa demikian? Pertama-tama, Al-Qurân merupakan Kalamullah yang hadir dalam bahasa Arab dengan kualitas bahasa yang paripurna. Menerjemahkannya ke dalam bahasa sasaran, semisal bahasa Jawa, tentu bukanlah perkara ringan.

Selain itu, tidak sedikit ulama pada masa itu memandang skeptis tindakan menerjemahkan kitab suci. Ambil contoh teks Injil yang telah diterjemahkan oleh orang-orang sesudah zaman Nabi Isa AS. Naskah asli yang berbahasa Ibrani tidak beredar luas atau bahkan hilang, sedangkan terjemahan dalam bahasa Yunani tersebar luas dan inilah yang justru kemudian dianggap sebagai “Injil sungguhan.” Pada akhirnya, Injil tidak lagi terjaga (corrupted), bahkan hadir dalam banyak versi —bukan hanya banyak bahasa.


Jika pintu terjemahan dibuka, maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan menerjemahkannya ke bahasa masing-masing sehingga akan muncul banyak versi terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan Injil,” demikian kata seorang ulama al-Azhar Mesir, Syekh al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Tentunya, keputusan KH Shaleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qurân ke dalam bahasa Jawa tidak bertujuan menghadirkan “Al-Qurân versi baru.” Tergerak oleh keluhan RA Kartini, ulama besar Semarang itu semata-mata ingin membantu kaum Muslimin Jawa agar lebih memahami isi Kalamullah. Sebab, tidak semua penduduk pulau ini bisa mengerti bahasa Arab.

Tidak sekadar melakukan alih bahasa, Kiai Shaleh Darat juga menulis tafsir Al-Qurân. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya itu yang membahas mulai dari juz pertama hingga juz ke-13 Al-Qurân. Karyanya itu kemudian diberi judul Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur'an, sebuah terjemahan dan tafsir Al-Qurân dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.


Kiai Shaleh lantas memberikan salah satu salinan karyanya itu kepada RA Kartini sebagai hadiah ketika wanita Jawa itu menikah dengan bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat. Kartini begitu terharu saat menerima pemberian tersebut. Buku itu dikatakannya sebagai kado pernikahan yang tak ternilai harganya.

Selama ini, (surah) al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi, sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Rama Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata Kartini.

Kartini mempelajari terjemahan dan tafsir yang dibuat Kiai Shaleh Darat secara sungguh-sungguh. Sayang sekali, sang ulama “hanya” mampu menyelesaikan pekerjaannya hingga surah Ibrahim, tidak sampai an-Nas sebagai surah terakhir dalam Al-Qurân. Sebab, waliyullah asal Semarang itu terlebih dahulu wafat.

Dengan membaca Faidh al-Rahman, Kartini benar-benar terkesan. Dari seluruh firman Allah yang dibahas Kiai Shaleh Darat di sana, ada yang paling menarik perhatiannya, yakni ayat ke-257 dari surah al-Baqarah. Ayat itu menerangkan bahwa Allah membimbing manusia beriman dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, “mina azh-zhulumati ila an-nur.” Bagi Kartini, pengalaman semacam itu telah dialaminya berkat menelaah karya Kiai Shaleh Darat, yang menerangkan makna Al-Qurân kepadanya.


Sejak saat itu, isi korespondensi Kartini dengan kawan-kawan Belandanya berubah nuansa. Tidak lagi dipenuhi pesimisme atau bahkan kekecewaan terhadap kejumudan orang-orang Islam. Warnanya kini menjadi lebih optimistis, terutama mengenai masa depan Islam.

Pandangan Kartini tentang Barat juga berubah. Tak lagi menganggapnya tolok ukur tertinggi peradaban manusia. Perhatikan surat tokoh emansipasi perempuan ini tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah Ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban? Kami sekali-kali tak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa yang kebarat-baratan.

Lalu dalam korespondensi bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, wanita asal Jepara ini menegaskan: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai.

Hasanul Rizqa
Jurnalis Republika Online
https://www.republika.id/posts/52167/islam-jalan-hidup-kartini

Monday, March 18, 2024

Ramadhan Bulan Al-Qurân


Allah –Subhanahu wa Ta’ala– berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya ––mulai–– diturunkannya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan mengenai petunjuk itu, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil.” (QS Al-Baqarah: 185)

Al-Hafizh Ismail bin Umar bin Katsir Al-Bashrawi Ad-Dimasyqi (700-774) yang lebih terkenal dengan sapaan Ibnu Katsir –rahmatullah ‘alaih, berkata mengenai ayat ini dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim (I/460-461; Darul Hadits), “Allah menyanjung bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lain karena bulan Ramadhan telah dipilih sebagai waktu diturunkannya Al-Quran Al-‘Adhim. Karena hal ini pula Dia mengistimewakannya."

Kitab-kitab Samawi: Al-Quran, Zabur, Taurat dan Injil.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kitab-kitab suci diturunkan kepada para nabi –‘alaihimussalaam, di bulan ini. Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah– [Al-Musnad VI/107] berkata; "Abu Said Maula Bani Hasyim telah bercerita kepada kami, Imran Abul Awwam telah bercerita kepada kami, dari Qatadah, dari Abul Malih, dari Watsilah yaitu Al-Asqa, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda,

أنزلت صحف إبراهيم في أول ليلة من رمضان ، و أنزلت التوراة لست مضين من رمضان و الإنجيل لثلاث عشر خلت من رمضان و أنزل الله القرآن لأربع و عشرين خلت من رمضان

Suhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada enam Ramadhan, Injil diturunkan pada tiga belas Ramadhan, dan Allah menurunkan Al-Quran pada dua puluh empat Ramadhan.

Telah diriwayatkan pula hadits dari Jabir bin Abdullah –radhiyallahu ‘anhu; “Bahwasannya Zabur diturunkan pada dua belas Ramadhan dan Injil pada sepuluh Ramadhan.” Sementara yang lainnya sebagaimana di atas yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.

Adapun Shuhuf, Taurat, Zabur, dan Injil, maka diturunkan secara spontan kepada nabi yang menerima. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara spontan di Baitul ‘Izzah yang berada di langit bumi. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan di malam Qadar (lailatul qadar), berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Kami telah menurunkannya di lailatul qadar,” juga pernyataan-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam yang penuh keberkahan.” Kemudian setelah itu turun berangsur-angsur berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Demikian itulah keterangan Ibnu Katsir.


Al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam, anugerah yang paling agung dan akan terus bersinar hingga akhir zaman. Keberkahannya terus mengalir dan tak akan pernah terputus. Sebuah kitab suci yang akan selalu membimbing seorang muslim menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang yang menjadikannya imam, akan selamat dengan izin Allah, namun siapa yang tak menghiraukannya, maka cepat atau lambat kebinasaan pasti akan menghampirinya.

Keberkahan Al-Quran nampak jelas dengan adanya riwayat-riwayat yang mengabarkan keutamaan dan keistimewaannya. Ia merupakan pedoman hidup seorang muslim, obat dari segala penyakit badan dan hati, dan banyak lagi keistimewaan lainnya. Allah berfirman:

وَ نُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ لَا يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang zalim hanya akan menambah kerugian.” (QS Al-Isra’: 82)


Dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Quran), maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf. Namun Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR At-Tirmidzi)

Dari Abu Umamah Al-Bahili –radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, aku mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Bacalah Al-Quran. Sebab pada hari kiamat ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi pengembannya.” (HR Muslim)

Diriwayatkan pula dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkannya, pada hari kiamat orang tuanya akan dikenakan mahkota yang cahayanya lebih bagus daripada cahaya matahari yang masuk ke rumah-rumah di dunia. Lantas bagaimana menurut kalian dengan orang yang mengamalkannya?” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Sanadnya shahih”)

Berikutnya, Abdullah bin Umar –radhiyallahu ‘anhuma, meriwayatkan, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Puasa dan Al-Quran akan datang pada hari kiamat untuk mensyafaati hamba. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya dari makanan dan minuman di siang hari, oleh karena itu izinkanlah aku memberinya syafaat.’ Al-Quran berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya tidur malam, oleh sebab itu berilah aku izin untuk memberinya syafaat.’ Maka keduanya pun memberi syafaat.” (HR Ahmad, Ibnu Abiddunya, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Quran.


Al-Quran di Bulan Ramadhan
Orang-orang terdahulu memiliki perhatian luar biasa kepada bulan Ramadhan ini. Perhatian mereka ditunjukkan jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba. Disebutkan bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum ajma’in, selama enam bulan pertama memanjatkan doa kepada Allah agar mereka disampaikan di bulan Ramadhan, kemudian di enam bulan setelahnya mereka berdoa agar mereka dipertemukan kembali dengan bulan mulia ini. Hal semacam ini tentu merupakan bukti kuat akan antusiasme mereka dalam menggapai pahala besar padahal secara umum mereka telah dijamin masuk surga.

Jika mereka yang jelas-jelas manusia yang dijamin surga saja begitu hebatnya dalam berlomba-lomba untuk meraih kebaikan, tentu kita sebagai manusia belakangan yang tidak ada yang menjamin surga, mestinya harus lebih semangat lagi untuk lebih banyak melakukan kebaikan.

Khususnya aktifitas membaca Al-Quran, mereka memiliki perhatian yang sangat besar. Dalam Lathaif Al-Ma’arif, Ibnu Rajab –rahmatullah ‘alaih, menyebutkan, “Kebiasaan orang-orang terdahulu di bulan Ramadhan ialah membaca Al-Quran, baik dalam shalat maupun selainnya.

Malaikat Jibril –‘alaihissalam, selalu mendatangi baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam, di setiap Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Pengkhususan Jibril pada bulan Ramadhan tentu menjadi sinyal kuat bahwa Ramadhan benar-benar waktu yang istimewa sehingga ia pantas menjadi waktu untuk tadarus Al-Quran.

Imajinasi Al-Malaikah.

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas –radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan sosok yang paling dermawan. Terlebih lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpainya untuk mengajarinya Al-Quran. Jibril menemui beliau di setiap malam Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Maka ketika Jibril menjumpainya, beliau adalah orang yang paling dermawan, lebih dari angin yang bertiup.

Mengenai riwayat ini, Ibnu Rajab menuturkan (Lathaif Al-Ma’arif: 243), “Dalam hadits Ibnu Abbas bahwa tadarus yang berlangsung antara beliau (Nabi –shallahu ‘alaihi wa sallam) dan Jibril di malam hari menunjukkan sunnahnya memperbanyak membaca Al-Quran malam hari di bulan Ramadhan." Sebab, di malam hari sudah tidak ada lagi kesibukkan, semangat menguat, hati dan lisan akan saling bersepakat untuk tadabbur, berdasarkan firman Allah, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS Al-Muzammil: 6)

Lihatlah Amirul Mukminin Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu, bagaimana beliau bersama Al-Quran di bulan Ramadhan. Dikabarkan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya. Beliau membaca Al-Quran di setiap rakaat shalat yang beliau kerjakan.

Bahkan sahabat Nabi, Ubai bin Ka’ab –radhiyallahu ‘anhu, mampu mengkhatamkan Al-Quran di setiap delapan harinya. Sementara sahabat Nabi yang lain, Tamim Ad-Dari, konon mampu mengkhatamkan Al-Qurân dalam setiap pekannya.


Imam kita, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i –rahmatullah ‘alaih, bahkan di bulan berkah ini, konon mampu mengkhatamkan Al-Quran sebanyak enam puluh kali secara tersendiri, selain dari Al-Quran yang beliau baca di waktu shalat.

Adalah Qatadah –rahmatullah ‘alaih, biasa mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali di setiap bulan Ramadhan. Diceritakan, jika datang bulan Ramadhan, beliau mampu mengkhatamkannya setiap tiga harinya dan di sepuluh hari terakhirnya beliau mampu mengkhatamkannya di setiap malamnya. (Lathaif Al-Ma’arif: 191)

Diriwayatkan pula bahwa Ibrahim An-Nakha’i melakukan hal itu (mengkhatamkan Al-Qurân setiap hari) khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sedangkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tiga hari sekali. (Lathaif Al-Ma’arif: 191)

Disebutkan pula bahwa Qatadah biasa mengajar Al-Quran di bulan Ramadhan.

Imam Malik bin Anas Al-Asbahi yang bergelar Imam Darul Hijrah, memiliki pengajian dengan hadirin yang luar biasa banyaknya, namun demikian beliau rela meninggalkan pengajiannya itu dan bergegas demi untuk membaca Al-Quran.


Abdurrazzaq menceritakan, “Apabila Sufyan Ats-Tsauri menjumpai bulan Ramadhan, beliau biasa meninggalkan seluruh ibadah (sunnah) dan bergegas untuk membaca Al-Quran.

Sufyan meriwayatkan, “Apabila Zubaid Al-Yami memasuki bulan Ramadhan, beliau khusus mengutamakan Al-Quran dan mengumpulkan murid-muridnya.

Muhammad bin Mas’ar menceritakan, “Ayah saya tidak pernah tidur sampai beliau membaca setengah Al-Quran.” (Lathaif Al-Ma’arif: 318-319)

Jika ada yang bertanya, bagaimana mungkin mereka mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari sementara Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarang hal tersebut?

Berikut adalah jawaban Ibnu Rajab, “Adapun larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari, maka itu khusus jika dilakukan terus-menerus. Sedangkan di waktu-waktu yang memiliki keistimewaan sebagaimana bulan Ramadhan terkhusus malam-malam yang di dalamnya diburu lailatul qadar, atau di tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti di Makkah bagi orang-orang asing yang memasukinya, maka disunnahkan memperbanyak membaca Al-Quran sebagai bentuk perhatian pada masalah waktu dan tempat (situasi dan kondisi). Inilah pendapat yang dianut juga oleh Imam Ahmad, Ibnu Ishaq, dan imam-imam lain. Ini pulalah yang dipraktekkan oleh selain mereka sebagaimana yang telah disebutkan di atas.” (Lathaif Al-Ma’arif: 319)


Kiranya cerita-cerita di atas sudah cukup untuk dijadikan sebagai motivasi dan penyemangat bagi orang-orang yang ingin mencari hasanah dunia-akhirat. Muhammad bin Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ali bin Adam bin Musa Al-Atsyubi –hafizhahullah, dalam Qurratu ‘Ain Al-Muhtaj (I/6) memberikan penjelasan, “Orang yang cerdas akan faham hanya dengan isyarat yang tidak difahami oleh orang yang bodoh, meski dengan seribu ungkapan. Orang yang dungu juga tak akan memperoleh faedah meski dibacakan Taurat, Injil dan Al-Qurân sekaligus.

Semoga Allah –‘Azza wa Jalla, memberikan kita kekuatan, ketabahan dan kesabaran untuk bisa lebih memanfaatkan bulan Ramadhan kali ini dan juga bulan-bulan lainnya dalam hal beribadah kepada Allah wabil khusus dalam hal menggeluti Al-Qurân yang Agung, seiring dengan berkurangnya jatah hidup kita masing-masing di dunia fana ini.

Semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurahkan kepada kita semua sebagaimana baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta seluruh keluarga dan shahabat beliau telah mencapainya hingga husnul khatimah fiddunya wal-akhirah.

Penulis Firman Hidayat (telah diedit seperlunya oleh pemilik Blog)
Pengajar dan Alumni Pondok Pesantren Hamalatul-Quran Yogyakarta
Artikel ini sudah dimuat di muslim.or.id, 25 Oktober 2023

Monday, February 26, 2024

Awas, Ada Hak Angket


Hak Angket, dalam tradisi negara-negara barat, disebut sebagai right of inquiry (hak penyelidikan).

Hak Angket dimulai di Inggris pada abad ke-14. Hak ini digunakan untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan administrasi pemerintahan.

Dasar pemikiran penggunaan Hak Angket oleh para anggota legislatif adalah cabang legislatif yang membuat hukum, sementara yang menjalankannya adalah cabang eksekutif.

Alur pikir di atas, diimplementasikan dalam bentuk praktik nyata. Parlemen Inggris (House of Common) mengontrol suplai dan pengeluaran uang publik yang dilakukan oleh pemerintah.

Selanjutnya, segala tindakan atau kebijakan pemerintah harus memiliki alas hukum yang jelas.


Di Amerika Serikat, praktik Hak Angket memang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Konstitusi negara tersebut. Namun, berbagai putusan Mahkamah Agung (Supreme Court), memberi kewenangan kepada Kongres dan Senat untuk melakukan penyidikan terhadap berbagai kasus, termasuk individu yang bukan aparat pemerintah dan juga pihak korporasi.

Kita ambil contoh dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1920-an. Dalam kasus McGrain melawan Dougherty (1927), Mahkamah memutuskan memberikan otoritas kepada Kongres dengan nama Congressional Committee, untuk melakukan pemanggilan kepada orang atau badan hukum yang dinilai melakukan pelanggaran.

Bagi mereka yang tidak datang memenuhi panggilan, dianggap melakukan pelecehan parlemen, dan itu pidana.

Kewenangan yang diberikan kepada Kongres dan Senat tersebut dikenal luas dengan prinsip members of the Senate and Congress to serve as the eyes and ears of the American public.


Hari-hari belakangan ini di republik kita, Indonesia, penggunaan Hak Angket oleh anggota DPR-RI menjadi wacana keseharian yang menyedot perhatian publik. Semua lantaran hasil pemilu yang diumumkan melalui instrumen dan mekanisme quick count.

Ada pihak yang secara gamblang menolak, bahkan mengejek pihak yang menghendaki dilakukannya penggunaan Hak Angket. Mereka dianggap orang yang tidak kesatria karena tak mau menerima kekalahan dalam pemilihan presiden beberapa pekan lalu (tepatnya 14 Februari 2024).

Posisi saya sangat jelas. Saya sangat mendukung penggunaan Hak Angket karena dasar hukumnya jelas tertuang dalam Pasal 20A (2) UUD 1945, DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.

Penggarisan konstitusional tersebut, dielaborasi dalam Pasal 79 UU No 17 Tahun 2014 (UU MD3). Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Simpul kata, Hak Angket adalah mekanisme dan instrumen untuk mengontrol jalannya praktik pemerintahan dan kekuasaan. Ini menjadi praktik yang sangat sah di negara-negara demokratis. Tidak perlu lagi kita persoalkan.

Sekarang, pihak yang tidak menyetujui penggunaan Hak Angket berdalih bahwa hasil penggunaan hak tersebut sia-sia, mubazir dan sebagainya, karena tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan pemilihan presiden, yang bisa membatalkan hasil pilpres tersebut.

Kata mereka, kalau mau bersoal tentang hasil pilpres, dibawa ke ranah hukum saja, yakni Mahkamah Konstitusi.

Itu benar, karena ujung dari Hak Angket adalah rekomendasi belaka. Namun, yang hendak dijadikan isu utama dalam penggunaan Hak Angket kali ini bukan masalah kalkulasi perbedaan suara yang sangat mencolok antara pasangan No 2 dengan pasangan No 1 dan 3.


Yang hendak disoal dalam penggunaan Hak Angket adalah proses pemilu yang dinilai penuh aroma busuk. Proses pemilu adalah proses politik, karena itu, salurannya pun saluran politik, yakni DPR.

Katakanlah, misalnya, Hak Angket tersebut menyoal masalah bantuan sosial (bansos) yang disalahgunakan oleh penyelenggara negara untuk memenangkan pasangan tertentu.

Bansos tersebut memang tidak bisa dihitung secara eksak korelasinya dengan perolehan suara. Namun, bansos yang digelontorkan oleh Presiden Jokowi menjelang pilpres, terendus ketidakberesannya.

Coba kita lihat, jumlah bansos yang digelontorkan Jokowi sejak dua tahun terakhir, jauh lebih banyak dibanding bansos selama masa Covid-19 berlangsung, padahal eskalasi dan daya mematikan Covid-19 jauh lebih dahsyat.

El Nino bisa menjadi kambing hitam.

Pemerintah mengatakan, bansos yang banyak digelontorkan menjelang pemilu karena banyak yang kena dampak El Nino. Alasan ini tentu saja kurang betah tinggal di pikiran orang yang berakal waras.

Dampak El Nino terfokus pada petani. Bukan terhadap orang-orang yang tinggal di perkotaan. Jadi bagaimana dengan bagi-bagi bansos di kota Jakarta, khususnya di depan Istana Negara?

Di situlah masalah utamanya. Bansos itu harus ditujukan kepada orang tertentu yang memiliki alamat dan status ekonomi yang jelas dan harus dibantu. Semua itu ada dasar hukumnya.

Selaras dengan ini, timbul pertanyaan, mengapa sejak Gibran Rakabuming Raka dinyatakan lolos menjadi calon Wapres RI, jumlah bansos yang digelontorkan di daerah tertentu, misalnya Jawa Tengah, naik melangit, dan berapa kali Jokowi mengunjungi daerah tersebut selama putranya lolos jadi calon.


Hal-hal inilah yang hendak disoal di DPR kelak. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban para anggota Dewan kepada rakyat yang mereka wakili, karena bagi-bagi bansos tanpa acuan sesuai aturan main adalah pemborosan uang negara dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hak Angket kelak juga bisa menyoal mengapa aparat negara, termasuk para kepala desa, dilibatkan memenangkan pasangan calon tertentu, dan mengalahkan pasangan lainnya. Ini bukan rahasia lagi.

Mengapa Presiden Jokowi bisa membuat kebijakan mengangkat penjabat gubernur, bupati dan wali kota, yang pada umumnya dari Jakarta? Selama ini, biasanya cukup eselon dua dari provinsi bersangkutan yang diturunkan. Dan masih banyak lagi rentetan kejadian miring yang terjadi selama proses pilpres berlangsung.

Keluarga Jokowi, foto ini dibuat ketika Kaesang Pangarep belum menikah.

Penggunaan kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu, adalah penyalahgunaan kekuasaan. Ini yang disebut kecurangan pemilu terstruktur karena menggunakan struktur dan organ negara.

Maka, memang ada baiknya penggunaan Hak Angket didukung secara luas. Biar masalah-masalah politik yang dilaksanakan secara tekor akhlak dan nir moral serta pelanggaran aturan, bisa dikanalisasi melalui mekanisme politik juga. Bukan dengan cara-cara kekerasan.

Bagaimana dengan mekanisme Mahkamah Konstitusi?

Ada baiknya kita menoleh ke belakang pada 2008. MK dibawah kepemimpinan Mahfud MD pernah membuat putusan membatalkan hasil pemilukada (bupati-walikota dan gubernur), dan mendiskualifikasi calon. Itu karena masuk dalam kategori pelanggaran terstruktur, sistemik, dan masif (TSM).

Sang Anak Haram Konstitusi yang menggemparkan jagat perpolitikan Indonesia.

Sistemik berarti terdesain dengan baik dan meluas. Perencanaan dilakukan dengan cara pat gulipat yang sangat rapi.

Pilpres kita ini di hampir seluruh daerah mengalami fenomena sama, politik uang, serangan fajar, dan keterlibatan aparatur negara, dan sebagainya.

Sementara masif berkaitan dengan implikasi masif dari perbuatan pejabat yang berkongkalikong.

Ini berarti, bola masih bergulir. Putusan MK dengan tolok ukur TSM tersebut, sudah menjadi preseden hukum, yang bisa saja terulang pada uji hasil pilpres yang telah dilaksanakan, kendati kepercayaan publik terhadap MK sudah mengalami delusi akibat ulah mantan ketuanya, Anwar Usman. Siapa tahu MK melakukan taubat nasuha?

Pak Jkw, Sang Pemilik Ijazah KW yang rajin cawe-cawe, adalah Sang Maestro Dirty Mind, Dirty Hand, and Dirty Vote ....

Pada 2016 di kota Rio De Janeiro, Brasil, berlangsung kejuaraan Olimpiade. Dalam pertandingan final bulutangkis partai ganda campuran, pasangan Indonesia, Tontowi (Owi) Achmad-Liliyana Natsir (Butet) berhadapan dengan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon-Goh Liu Ying.

Set pertama dimenangkan Owi-Butet dengan skor 21-14. Pada set kedua, Owi-Butet sudah meraih angka 19, sementara Peng-Yin masih di angka 12. Owi sudah mulai loncat-loncat kecil pertanda kegirangan dan ingin segera mengakhiri permainan. Butet menunjuk-nunjuk Owi, mengingatkan bahwa game is not over yet.

Seorang pewarta wanita Inggris yang melaporkan jalannya pertandingan, tatkala melihat Owi meloncat-loncat, langsung berteriak: Be careful, it is till too early to celebrate (hati-hati, masih terlampau dini untuk melakukan selebrasi) karena masih ada dua angka yang tersisa. Segalanya bisa berubah. Begitu kira-kira jalan pikiran sang wartawati.

Saya pun membayangkan, Bawaslu kita sekarang ini berteriak keras kepada pasangan calon nomor 2 bahwa jangan terlampau dini melakukan selebrasi.

Hamid Awaludin, LL.M, Ph.D
Anggota Komisi Pemilihan Umum Indonesia (2001 – 2004)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004 – 2007)
Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia (2008 – 2011)

KOMPAS, 25 Februari 2024