Wednesday, June 7, 2023

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi


Presiden yang saya hormati,

Surat terbuka ini saya tulis karena cinta saya dari dalam lubuk hati kepada tanah air dan hormat saya kepada Bapak sebagai Kepala Negara.

Bapak bisa membacanya sebagai kritik, tetapi saya tidak ragu karena Bapak pernah bilang langsung kepada saya bahwa Bapak tidak keberatan dikritik karena kritik adalah masukan bagi Bapak.

Saya juga percaya bahwa kritik itu penting. Bahkan kritik dari seorang kawan itu tujuannya agar kawan kita tidak terjerumus. Dengan memuji terus-menerus, maka justru kawan kita akan jatuh terjerembab.


Seperti Bapak tahu, saya pada mulanya adalah pendukung kuat Bapak, bahkan pernah mengedarkan selebaran terkenal yang berjudul “10 Alasan Mengapa Saya Memilih Jokowi” saat periode Pertama.

Begitu pula pada periode kedua saya menjadi pendukung Bapak, meski saya tidak pernah masuk tim resmi kampanye Bapak.

Namun demikian, pada periode dua, saya dapati Presiden saya telah banyak berubah dan banyak membuat kesalahan.

Umpamanya dalam penempatan pembantu-pembantunya, lemah dan tebang pilih dalam penegakan hukum, mengusung kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan kelompok pemodal termasuk modal asing.


Juga menghalangi partisipasi publik dalam proses berbagai UU yang penting. Dan banyak hal lagi yang pernah saya tulis dan tidak akan saya ulangi di sini.

Tapi, yang utama dan terpenting dalam tulisan singkat ini adalah saya merasa, di ujung jabatan Bapak, presiden kita telah mengambil langkah-langkah dan manuver-manuver politik yang membahayakan demokrasi kita.

Demokrasi yang dengan susah payah ditegakkan dan dengan korban jiwa yang telah dikorbankan untuk membangun negeri ini oleh anak-anak muda pada revolusi atau reformasi tahun 1998, sekarang menurut pendapat saya, dalam keadaan bahaya menuju keruntuhan.

Yang saya maksud adalah dalam setahun terakhir ini, Bapak tidak lagi konsentrasi kepada pekerjaan utama yang dimandatkan rakyat, yang harus diakui telah mencapai berbagai kemajuan menggembirakan, tetapi telah bermanuver untuk merusak demokrasi.


Antara lain dengan pembatasan jumlah calon presiden oleh UU dan ada berbagai perilaku aib yang membahayakan demokrasi, baik langsung oleh Bapak sendiri maupun oleh pembantu-pembantu Bapak yang dekat dan bekerja di Istana yang tidak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan dan restu dari orang paling berkuasa di negeri ini, yaitu Presiden RI.

Seperti kita ketahui, meski UU dibuat di DPR, namun tidak akan menjadi UU tanpa kesepakatan dan persetujuan eksekutif yang ikut bersama menyusunnya.

Saya ingin mengingatkan bahwa korupsi itu bukan sekadar korupsi uang saja, tetapi ada korupsi dalam bentuk lain.

Presiden Jokowi diberi mandat oleh rakyat agar bekerja sepenuh waktu untuk sebesar-besar manfaat bagi seluruh bangsa Indonesia.


Namun ketika Presiden menggunakan waktunya dan fasilitas serta simbol negara untuk bermanuver politik bagi keuntungan dirinya atau kelompok yang dekat dengannya atau keluarganya, maka sebenarnya beliau telah terperosok ke dalam perbuatan koruptif yang hukumnya haram.

Saya yakin Bapak adalah seorang Muslim yang baik dan religius. Oleh karena itu, saya akan mengingatkan hal ini dari sudut pandang agama Islam juga.

Dalam Islam, istilah husnul khotimah dan su’ul khotimah sangat dikenal. Artinya akhir yang baik dan akhir yang buruk.

Biasanya diartikan bahwa akhir yang baik (husnul khotimah) sebagai mati dalam keadaan beriman dan sebaliknya su’ul khatimah mati dalam kondisi menolak kehadiran Ilahi.


Namun husnul khotimah bisa juga diartikan ketika seseorang konsisten dan banyak melakukan kebaikan sampai akhir hayatnya.

Sedang su’ul khotimah adalah mereka yang mulanya baik, tetapi di penghujung hidupnya terperosok ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak layak, yang tidak diridhoi Allah SWT.

Inilah mereka yang berada dalam kerugian besar yang sangat merugikan dirinya, baik bagi kehidupannya di sini seterusnya maupun kehidupan berikutnya di akhirat nanti.

Seperti kita ketahui, hidup kita di sini hanya sementara, hidup kita yang panjang nanti ada pada tahap berikutnya yaitu, di alam akhirat.


Bahkan kita disarankan untuk tidak memberi nama anak kita yang baru lahir dengan nama orang besar sebelum orang itu wafat.

Sebab tidak sedikit orang hebat yang memulai sesuatu dengan baik menjadi terkenal dan dikagumi, tetapi pada ujung hayatnya sebelum wafat dia telah melakukan perbuatan buruk. Dan itulah yang diingat oleh masyarakat.

Dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden bulan Februari tahun depan, tugas seorang presiden adalah memastikan bahwa pemilu dan pilpres berjalan dengan damai, adil dan jujur, bukan ikut campur di dalam menentukan siapa yang boleh ikut di dalam kontes presiden maupun yang tidak boleh karena pertimbangan-pertimbangan kepentingan kelompok.

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang dituju oleh Presiden Jokowi sehingga ada kandidat yang terang terangan dihalangi untuk maju sebagai capres.


Orang bertanya, apakah Pak Jokowi takut bila calon itu menang bisa membongkar rahasia-rahasia yang membahayakan dirinya?

Atau ini hanya sebuah ego bahwa presiden mendatang harus melanjutkan program-program yang ditinggalkan oleh presiden Jokowi seluruhnya, baik program-program itu dinilai tepat maupun dinilai tidak menguntungkan rakyat banyak?

Satu hal lagi sebagai akibat dari campur tangan penguasa tertinggi di Indonesia ini dalam pemilu dan pilpres bisa juga menimbulkan bahaya hilangnya kedamaian di negeri ini, menimbulkan chaos, pemberontakan, dan sebagainya, seperti reformasi tahun 1998 yang mengakibatkan kerusakan, pembakaran, dan hilangnya nyawa dan sebagainya. Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari bencana itu.

Perlu saya ingatkan, meski tidak banyak, tetapi masih ada waktu untuk Bapak berubah dan memperbaiki diri segera, menjadikan Presiden Jokowi sebagai penguasa tertinggi yang menjamin kelancaran perjalanan pemilihan umum dan pilpres mendatang dengan damai, adil, dan jujur.


Menjadi Presiden yang mewariskan legacy yang kosong dari catatan buruk. Melanjutkan pulang ke Solo dengan hidup tentram dan bahagia bersama keluarga tanpa rasa bersalah.

Untuk itu dengan hormat, saya imbau Bapak menghentikan segera manuver-manuver politik Bapak dan pembantu-pembantu Bapak yang secara kasat mata sangat merugikan perjalanan demokrasi di negeri kita.

Apalagi sekarang dengan UU yang ada, rakyat tidak bebas memilih siapa presidennya karena calon-calon presiden itu telah ditentukan oleh UU yang memberi monopoli kepada partai atau gabungan partai yang memiliki jumlah suara minimal 20 persen kursi di DPR.


Mudah-mudahan Allah membantu Bapak untuk sadar diri dan yakin bahwa mandat yang diberikan oleh rakyat kepada diri Bapak adalah mandat untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi apalagi kepentingan kelompok dan konco-konco yang banyak mengambil keuntungan dari perjalanan pemerintahan selama ini.

Mudah-mudahan Allah menyelamatkan bangsa ini dengan menolong penguasa tertinggi di negeri ini agar kembali ke jalan yang lurus, jalan yang diakhiri dengan husnul khotimah, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Jalan yang berakhir dengan baik dan dicatat dalam sejarah manusia maupun dalam catatan Allah sebagai amal yang ganjarannya taman surga (jannah). Aamiin.

Abdillah Toha
Pemerhati politik, sosial, ekonomi, agama,
Penasihat wakil presiden periode 2009-2014,
Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN)

Kompas.com, 30 Mei 2023

Friday, June 2, 2023

Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan


Para pendiri Republik ini merancang sebuah negara yang memungkinkan siapa pun yang memiliki karya dan gagasan bisa menjadi pemimpin. Dengan harapan, sang pemimpin menyelenggarakan pemerintahan dengan cara-cara berintegritas.

Pulau itu hanya sebesar satu titik di peta. Banyak orang menjuluki pulau itu “Sang Penjaga Utara”. Sayangnya, selama puluhan tahun, sang penjaga itu makin tertinggal. Warganya tak bisa mengakses listrik sepanjang hari, kesulitan mengakses air bersih, dan kapal hanya melintas seminggu sekali.

Nama sang penjaga itu Pulau Sebira. Letaknya di ujung utara Jakarta, bahkan secara geografis lebih dekat dengan Pulau Sumatera daripada ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Mungkin banyak orang akan menganggapnya jauh.

Jarak kilometernya dari Monas memang jauh. Namun, perspektif jauh-dekat semacam itu perlu kita ubah. Semua pulau di Indonesia jaraknya adalah nol kilometer dari Ibu Pertiwi.

Pulau Sebira, Pulau Seribu, DKI Jakarta.

Beranjak dari perspektif tak ada yang dinomorduakan, kita mewujudkan hak-hak dasar di Pulau Sebira. Layanan listrik hadir, air bersih mengalir, akses pasar pangan dan kapal bisa melintas tiap hari.

Dalam hitungan matematis, pemberian layanan semacam itu bisa dianggap tak menguntungkan. Namun, Republik ini hadir bukan untuk memilah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Republik ini tak dibangun dengan logika untung rugi. Republik ini berdiri dengan sebuah janji: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali! Janji keadilan sosial bukan saatnya hanya jadi dokumen sejarah.

Kami ingin memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret. Gagasan yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan Republik ini.


Demokrasi dan kesetaraan hukum
Demokrasi adalah sebuah jalan panjang yang perlu terus kita rawat. Keliru jika kita memandang demokrasi sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan bertahan begitu saja (taken for granted). Kita memilih jalan demokrasi bukan sebagai jalan pintas pembangunan, kita memilih demokrasi sebagai ikhtiar mewujudkan manusia yang bermartabat. Manusia yang merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan tindakan.

Basis dari demokrasi adalah trust (kepercayaan). Wis wayahe, mengembalikan kepercayaan itu!

Kepercayaan bukan muncul dari fanatisme buta. Layaknya sebuah pertandingan sepak bola, wasitnya harus adil, aturan mainnya harus jelas dan berlaku sama pada semua, baru kepercayaan akan muncul.

Anies di tengah lautan pendukungnya.

Kepercayaan akan tumbuh dengan adanya penguatan demokrasi. Kita ingin mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip utama: menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral.

Esensi demokrasi adalah memberikan ruang yang setara bagi semua. Menghadirkan kepastian hukum dan rasa aman dengan menjamin hak-hak warga negara, terutama ruang yang aman bagi perempuan, anak, difabel, masyarakat adat, dan kelompok marjinal.

Demokrasi yang sehat dan kesetaraan hukumlah yang akan mendorong kemajuan ekonomi berkeadilan. Karena kemajuan ekonomi tanpa perspektif keadilan sosial akan terasa semu.


Ekonomi untuk semua
Ketika bicara pertumbuhan ekonomi, kerap kali yang kita lihat hanya berhenti pada angka-angka makro. Angka-angka itu ibarat sebuah potret dua dimensi. Menunjukkan yang di permukaan, tetapi tidak selalu menggambarkan kedalaman dampak yang dirasakan warga.

Prinsip yang ingin kita dorong: pertumbuhan ekonomi harus berkualitas. Bukan sekadar melihat dari aspek makro, lebih dari itu dampaknya bisa menjangkau semuanya. Kualitas pertumbuhan itu adalah pada jangkauannya. Semakin merata, maka semakin tingi kualitas pertumbuhannya.

Selama ini pembahasan ekonomi kerakyatan hanya berhenti di level filosofis. Akibatnya, cara pandang kita terhadap ketimpangan tak berkembang, sekadar ditopang program Jaring Pengaman Sosial. Perspektif ini perlu kita ubah!

Perekonomian perlu kita rancang untuk memperhitungkan mereka yang miskin dengan mengakomodasinya melalui kesempatan-kesempatan yang setara dalam sistem perekonomian. Kita terus berupaya membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar.


Urusan ketimpangan tidak boleh lagi sekadar diselesaikan lewat jaring pengaman sosial, tetapi diselesaikan melalui instrumen-instrumen ekonomi. Cara pandang ini akan membuat masalah ketimpangan bukan menjadi masalah sektoral semata.

Masalah ketimpangan perlu diintegrasikan melalui instrumen ekonomi, seperti moneter, kredit, perdagangan, perpajakan, investasi, dan kebijakan sosial, untuk menciptakan perekonomian yang memberikan kesejahteraan semua warga, bukan hanya sebagian warga.

Konsep semacam itu kerap dikenal dengan social market economy yang belakangan ini menjadi alternatif baru. Jika ditelaah lebih dalam, konsep itu sebenarnya senyawa dengan ekonomi kerakyatan yang sudah digaungkan para pendiri Republik ini sejak lama.

Ketika pemikiran itu diturunkan dalam bentuk kebijakan, diaplikasikan secara konkret, dan dieksekusi untuk kepentingan warga, hasilnya dahsyat. Ini yang kita rasakan ketika tahu bahwa usaha mikro kecil adalah yang mendominasi Jakarta sehingga kita menggunakan ragam instrumen untuk memberi kesempatan yang setara.

Anies Baswedan: "Gagasan - Narasi - Karya"

Dahulu, gerbang kesetaraan itu tertutup rapat. Bayangkan, ketika izin usaha kecil harus menggunakan alamat kantor, belum lagi kredit permodalan minimal Rp 50 juta. Sejak lama, peraturan itu dianggap wajar. Ketika peraturan itu kita pandang dari kacamata pengusaha kecil, akan terlihat bias ketimpangan yang begitu besar.

Kami ingin kesetaraan tak berhenti di tataran filosofis. Maka, izin usaha mikro kecil (IUMK) kita dorong agar relevan dengan kebutuhan pegiat usaha kecil. IUMK diterbitkan sebagai gerbang awal insentif bagi para pengusaha pemula.

Perizinan semacam ini perlu kita pandang bukan sekadar kebutuhan administrasi, melainkan kita gunakan sebagai terobosan untuk kesetaraan. Skala pinjaman, misalnya, sebelumnya besarannya memberatkan pengusaha pemula sehingga terjadi ketidaksetaraan akses permodalan.

Kita berinovasi agar bisa lebih relevan dengan kebutuhan usaha pemula, pinjaman bisa dilakukan mulai dari Rp 5 juta – Rp 10 juta. Ini juga didukung layanan perizinan yang dipercepat dan alamat rumah bisa diakui sebagai domisili usaha. Upaya-upaya itu merupakan manifestasi agar ketimpangan tidak sekadar ditopang jaring pengaman sosial, tapi melalui instrumen yang basisnya kesetaraan.

Ekosistem ekonomi yang setara perlu didukung dengan ekosistem sosial yang lestari. Keduanya harus saling menguatkan, bukan meniadakan.


Masyarakat guyub dan sejahtera
Jika Pancasila dilihat tujuan akhirnya, terlihat bahwa keadilan bagi semua adalah tujuan utamanya. Sejak awal, para pendiri Republik ini menyadari betul bahwa kekuatan ekosistem sosial warga akan menjadi kokoh jika ditata di atas rasa keadilan.

Keberagaman manusia Indonesia adalah karunia Allah, tetapi mendorong masyarakat bersatu dan guyub adalah ikhtiar bersama. Guyub berarti mewujudkan interaksi yang saling menguatkan antara warga dan penyelenggara negara.

Kuncinya ada pada dua aspek: kolaborasi dan meritokrasi! Perspektif kolaborasi dan meritokrasi meyakini pembangunan sebagai kesempatan bagi semua untuk berkiprah.

Penyelenggara negara perlu rendah hati dengan tidak memonopoli kebenaran, tetapi justru menggelar tikar yang nyaman agar warga bisa duduk bersama dan terlibat.

Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies sering memborong hadiah dan penghargaan.

Pendekatan pembangunan tak bisa lagi sekadar penyelenggara negara menjadi administrator. Pendekatan konvensional itu harus berubah dengan menjadikan penyelenggara negara menjadi kolaborator dan warga menjadi ko-kreator sehingga bisa memunculkan beragam kolaborasi. Inilah yang kita lakukan di Ibu Kota dengan mengusung konsep “Jakarta, Kota Kolaborasi!

Syarat utama pemerintahan yang kolaboratif adalah tata kelola pemerintahan yang benar (good governance). Suka tidak suka, seluruh dunia menuju ke arah good governance. Ini seperti saat seluruh dunia bergerak menghapus perbudakan.

Salah satu cara untuk mewujudkan good governance adalah dengan meritokrasi. Para pendiri Republik ini merancang sebuah negara yang memungkinkan siapa pun yang memiliki karya dan gagasan bisa menjadi pemimpin. Kemerdekaan telah menggulung konsep aristokrat dan monarki, sebuah bukti Indonesia lahir dengan prinsip meritokrasi.


Hari ini, pemerintahan yang bisa menjalankan meritokrasi akan mengirimkan pesan tegas bahwa pemerintahannya berintegritas. Kita berikhtiar menyelenggarakan pemerintahan dengan cara-cara berintegritas. Meluruskan jalan, menghadirkan kesetaraan, dan meraih kemajuan yang berkeadilan.

Gagasan ini ditulis dengan keyakinan bahwa setiap kita punya mimpi besar untuk masa depan Indonesia. Kami mengundang setiap warga negara Republik ini untuk berkolaborasi mewujudkan gagasan ini. Bismillah, kolaborasi ini bisa meluruskan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

Anies Rasyid Baswedan,
Gubernur DKI Jakarta 2017-2022
KOMPAS, 17 Februari 2023

Wednesday, May 10, 2023

Menggugat Etika Politik dan Netralitas Presiden Jokowi


My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.

— Manuel L. Quezon

Saya itu pejabat publik sekaligus pejabat politik”, demikian jawaban Presiden Jokowi ketika dipertanyakan soal cawe-cawe-nya dalam mengurusi koalisi dan kontestasi Pilpres 2024 (Kamis, 4 Mei 2023). Karena juga sebagai politisi, maka Presiden Jokowi merasa berhak dan wajar ikut dalam berpolitik praktis, dan merasa tidak ada aturan konstitusi yang dilanggar.

Jawaban Presiden itu seolah-olah benar. Namun, jika dikuliti lebih jauh, terutama dari sisi etika kepresidenan, maka ada batasan-batasan moral dan hukum yang dilanggar oleh Presiden Jokowi, termasuk pelanggaran konstitusi, ketika ikut turut campur dalam soal Pilpres 2024.


Tulisan ini berniat mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi etika berpolitik dan melaksanakan perintah konstitusi untuk menjadi wasit yang netral dalam pemilu.

Perlu dicatat, etika tidak bisa dipisahkan dari hukum. Pelanggaran etika adalah juga pelanggaran hukum. Etika adalah pondasi dasar hukum. Ronald Dworkin mengatakan, “Moral principle is the foundation of law”.

Presiden yang tidak mengerti etika berpolitik, etika bernegara, etika berkonstitusi, seharusnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Tanpa memahami dan melaksanakan etika berpolitik kepresidenan, siapapun tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia.


Etika Politik Presiden Vs Etika Politik Joko Widodo
Setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya untuk berpolitik. Namun demikian, tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk orang pribadi dibandingkan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk seorang presiden.

Jika disandingkan, ada perbedaan prinsipil antara politik institusional Jokowi sebagai Presiden, dengan politik personal Joko Widodo sebagai pribadi.

Nah, irisan antara politik Presiden Jokowi, dengan politik pribadi Joko Widodo itu yang harus dipahami, serta wajib dipisahkan penyikapannya secara tegas dan disiplin. Salah memahami, ataupun mencampur-adukkan antara politik sebagai presiden dengan politik sebagai pribadi, akan mengakibatkan benturan kepentingan (conflict of interest) yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.


Paling tidak ada dua aspek yang membedakan antara politik institusional Presiden Jokowi dengan politik personal Joko Widodo tersebut, satu, kepentingan yang diperjuangkan, dan dua, fasilitas yang dipergunakan.

Dari sisi kepentingan, sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik. Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, dan tanpa diskriminasi.

Politik institusional presiden tidak boleh partisan. Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja.


Karena itu menjadi aneh ketika sebagai Presiden, Jokowi masih memiliki dan mengadakan temu relawan. Sifat dasar relawan adalah partisan dan dilahirkan untuk memenangkan kandidat presiden yang didukungnya. Relawan adalah elemen pemenangan capres. Bagi presiden yang sedang memerintah seharusnya tidak ada lagi elemen relawan.

Seharusnya, begitu dilantik menjadi presiden, ketika kontestasi pilpres selesai, elemen relawan dibubarkan. Presiden yang masih merawat relawannya, akan terus memperpanjang suasana kompetisi, dan akibatnya melanjutkan keterbelahan di tengah masyarakatnya.

Relawan bagi Presiden Jokowi makin tidak relevan. Beliau adalah outgoing president, yang akan mengakhiri periode kedua kepresidenannya. Presiden Jokowi seharusnya mengedepankan persatuan (integrasi), karena tidak akan ada lagi peluang pertandingan (kompetisi) baginya untuk menjadi presiden kembali.


Karena itu menjadi pertanyaan, misalnya, untuk apa ada temu relawan bertajuk Gerakan Nusantara Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), pada Sabtu, 26 November tahun yang lalu?

Pertanyaannya, apakah temu relawan itu adalah agenda politik Presiden Jokowi atau acara pribadi Joko Widodo?

Kalau itu adalah agenda kebangsaan Jokowi sebagai Presiden, kenapa kepentingannya sangat partisan relawan. Kalau itu agenda Joko Widodo sebagai pribadi, kenapa dia datang dengan pin kepresidenan? Kenapa dengan pin kepresidenan yang melekat di dada kirinya, di hadapan ribuan relawan, Presiden Jokowi memberi kode dukungan partisan kepada sang “rambut putih”?

Pertemuan Presiden Jokowi dengan relawan tersebut bahkan dikecam oleh Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Pak Hasto menyebut, acara relawan itu menurunkan citranya sebagai pemimpin negara. “Saya menyesalkan adanya elite relawan yang memanfaatkan Presiden Jokowi sehingga menurunkan citranya sebagai pemimpin negara”.


Lagi-lagi, harus tegas dipisahkan antara politik kelembagaan Presiden Jokowi, dengan politik perseorangan Joko Widodo.

Sebagai pribadi, Jokowi berhak punya aspirasi sendiri. Sebagai pribadi Jokowi berhak dan dapat menjadi petugas partai. Bagi saya, petugas partai adalah bahasa lain saja dari kader partai.

Sebagai Presiden, Jokowi tidak boleh partisan. Tetapi, sebagai pribadi Joko Widodo berhak menjadi kader salah satu partai, dalam hal ini PDI Perjuangan.

Sebagai Presiden, Jokowi tidak boleh mendukung salah satu bakal calon presiden. Tetapi sebagai pribadi, Joko Widodo boleh punya sokongan kepada salah satu kandidat, atau pada saatnya nanti bahkan berkampanye bagi salah satu calon presiden tersebut.


Tentu, jika Joko Widodo akan kampanye untuk Capres Ganjar Pranowo, misalnya, maka ia harus cuti sebagai presiden. Demikian aturan UU Pemilu secara tegas mengatur, untuk memastikan Presiden tidak menggunakan fasilitas dan jabatan publiknya sebagai presiden untuk kepentingan politik diri-pribadi.

Dari sisi fasilitas, untuk kepentingan politik kebangsaan, Presiden Jokowi berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara. Sebaliknya, untuk kepentingan politik partisan diri-pribadi, Joko Widodo harus menggunakan fasilitas diri-sendiri.

Itu sebabnya, Istana Negara dan Istana Merdeka tidak boleh digunakan untuk membahas strategi pemenangan koalisi pemilihan umum, termasuk Pilpres 2024. Karena agenda politik demikian, bukanlah agenda kebangsaan, tetapi agenda politik partisan.

Presiden Jokowi sudah jujur mengatakan tidak lagi mengundang Nasdem karena sudah punya koalisi sendiri. Tentu yang dimaksud adalah koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Joko Widodo dengan jelas sedang berpolitik partisan, dengan menunjukkan preferensi kepada koalisi Ganjar dan Prabowo di satu sisi, serta resistensi kepada partai koalisi pendukung Anies Baswedan pada sisi yang lain.


Politik partisan demikian, harus dikategorikan sebagai politik pribadi Joko Widodo, dan karenanya tidak boleh dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara. Tidak boleh dilakukan di Istana Merdeka.

Seorang pejabat negara, ketika melakukan kegiatan pribadi, tidak boleh menggunakan mobil dinas. Demikian pula seorang Presiden. Ketika sedang berpolitik pribadi, tidak boleh menggunakan anggaran dan fasilitas negara.

Sebenarnya Presiden Jokowi pasti paham. Ketika kampanye sebagai calon presiden di Pilpres 2019, Jokowi berganti menggunakan mobil innova, dan tidak menggunakan mobil dinas kepresidenan.


Presiden Jokowi Wajib Netral Dalam Pilpres 2024
Dengan memahami perbedaan politik Jokowi sebagai presiden dan politik Joko Widodo sebagai pribadi, maka harus tegas disampaikan bahwa: Jokowi sebagai presiden harus menjadi wasit yang netral dalam Pilpres 2024. Presiden Jokowi tidak boleh partisan, ikut mendiskusikan koalisi, apalagi mengambil peran dalam penentuan pasangan capres-cawapres.

Ketika Presiden Jokowi menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk mempengaruhi kontestasi Pilpres 2024, maka jelas Presiden telah melanggar konstitusi. Karena salah satu tugas dan mandat setiap Presiden adalah melaksanakan konstitusi dengan selurus-lurusnya, termasuk menjalankan Pilpres 2024 yang LUBER, Jujur dan Adil.

Saya telah menulis panjang-lebar dalam artikel “Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, dan Menolak Anies”.

Silakan klik https://integritylawfirms.com/indonesia/2023/04/24/bagaimana-jokowi-mendukung-ganjar-mencadangkan-prabowo-dan-menolak-anies/ untuk membaca lengkap analisis, informasi, dan fakta bagaimana Presiden Jokowi bertindak sebagai wasit yang berpihak dalam Pilpres 2024.


Setelah tulisan itu viral dan dibaca lebih dari 6.000 orang, saya mendapatkan banyak feedback bahwa apa yang saya tulis valid dan akurat. Beberapa elit partai mengkonfirmasi, apa yang saya paparkan adalah fakta panggung belakang, yang coba disamarkan lewat sandiwara panggung depan.

Berkali-kali Presiden Jokowi menyatakan urusan capres adalah ranah partai politik. Beliau tidak ikut cawe-cawe. Tetapi di balik layar, Presiden Jokowi aktif menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk mendukung Ganjar dan Prabowo, serta menjegal Anies.

Tidak mengundang Nasdem hanya salah satu bukti kuat bagaimana Presiden Jokowi menggunakan fasilitas negara (Istana Merdeka) untuk hanya mengundang para Ketum Partai yang satu kubu dengan politik partisannya.

Modus untuk tidak mengundang lawan demikian bukan sekali dilakukan. Nasdem juga tidak diundang ketika buka puasa bersama di Partai Amanat Nasional yang memunculkan pernyataan pers bersama para Ketum dengan Presiden Jokowi soal strategi pembentukan “Koalisi Besar”.


Modus tidak mengundang juga dapat ditarik ke sejarah kompetisi Pilgub Jakarta 2017. Seorang pejabat setingkat menteri juga tidak lagi diundang ke rapat kabinet, karena mendukung Anies, bukan Ahok.

Bapak mendukung siapa di Pilgub Jakarta?

Anies, Bapak Presiden”.

Kenapa tidak Ahok? Kan survei-surveinya menang Ahok”.

Ahok punya masalah dengan mulutnya Bapak Presiden”.

Setelah perbincangan itu, sang pejabat tidak lagi diundang rapat kabinet oleh Presiden Jokowi. Niatannya mengundurkan diri hanya urung terwujud karena seorang Menteri lingkaran istana tidak membawa surat pengunduran dirinya, sengaja meletakkan di meja ruang tamu rumahnya, sambil pura-pura pamit ke kamar kecil.

Romahurmuziy (Romi) dan Jenderal (Purn TNI) Moeldoko.

Problem Kedaulatan Partai dan Pencopetan Partai Demokrat
Presiden diduga menggunakan strategi “tahanan luar KPK”, untuk memaksa arah koalisi sesuai strategi Pilpres 2024. Sering saya sampaikan, hukum dijadikan alat untuk menentukan arah koalisi dan strategi pemenangan Pilpres 2024. Jika tidak tunduk dengan strategi pemenangan ala status quo, akan dimunculkan kasus korupsinya.

Modus lain, jika tidak setuju dengan strategi pemenangan ala Istana, akan ada ancaman dilengserkan sebagai pimpinan parpol. Faktanya, sudah ada yang diganti ketua umumnya. Kedaulatan partai terus diganggu. Partai oposisi terus dilemahkan. PKS sudah terpecah dengan lahirnya Gelora.

Yang paling terang-benderang adalah dugaan pencopetan Partai Demokrat. Istilah copet digunakan Muhammad Romahurmuziy (Romi), Ketua Majelis Pertimbangan PPP dalam salah satu podcast.


Saya sebenarnya ingin sekali bertanya kepada Presiden Jokowi. Mengapa Presiden Jokowi mendiamkan langkah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang terus mengganggu Partai Demokrat?

Bukankah langkah politik Moeldoko itu merusak hubungan Presiden Jokowi dengan Presiden Keenam SBY?

Para jubir lingkaran Istana mengatakan Presiden Jokowi tidak setuju, tetapi tidak bisa melarang, karena itu hak Moeldoko untuk bebas berpolitik, termasuk berupaya menjadi Ketum Partai Demokrat?

Pertanyaannya, sejak kapan Moeldoko menjadi anggota Partai Demokrat sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Ketua Umum? Apakah itu hak politik, atau sebagaimana dibahasakan dengan tepat oleh Romi, hanyalah pencopetan Demokrat?


Analoginya, kalau ada tindak pidana pencurian, apakah bisa dibenarkan hanya dengan berkilah itu hak hidup sang pencuri?

Kalau benar tidak setuju, kenapa Presiden Jokowi membiarkan dugaan pencopetan Partai Demokrat oleh Moeldoko?

Tidak ada jawaban logis, kecuali Presiden Jokowi memang membiarkan dugaan pencopetan terus terjadi, untuk mengganggu Partai Demokrat, dan ujung akhirnya: mengganggu koalisi serta pencapresan Anies Baswedan.

Lebih jauh, saya ingin bertanya kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, kenapa kedaulatan partai-partai begitu mudah diganggu pada era pemerintahan petugas partai Joko Widodo? Apakah Presiden Jokowi tidak diberi pelajaran pahitnya sejarah, ketika Orde Baru melalui Soerjadi mengganggu PDI Megawati, meskipun akhirnya menjadi jalan lahirnya PDI Perjuangan.

Si Baju Putih mengendorse Si Rambut Putih.

Tahapan Pilpres Sudah Berjalan, Presiden Jokowi Netrallah!
Presiden Jokowi juga menunjukkan bahasa tubuh, baru akan “diam” ketika sudah ada penetapan KPU terkait paslon capres-cawapres. Seakan-akan etika netralitas Presiden baru dimulai ketika paslon sudah terdaftar resmi di KPU.

Artinya, Presiden Jokowi secara sadar mengakui ikut cawe-cawe, mengakui ikut campur, dan belum diam, karena belum ada penetapan KPU soal pasangan capres-cawapres 2024.

Presiden harus lebih rajin membaca. Tahapan Pemilu 2024, termasuk Pilpres 2024 sudah lama dimulai. Pasal 167 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 menegaskan, tahapan pemilu sudah wajib dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Artinya tahapan Pilpres 2024 secara hukum sudah dimulai sejak tanggal 14 Juni 2022.

Presiden Jokowi harus sadar, bahwa salah satu faktor kepresidenannya bisa lahir adalah berkat sikap netral presiden sebelumnya. Ketika memberikan pesan “Salam Dua Jari” untuk paslon Jokowi-JK, dengan bekas tinta di hari pencoblosan Pilpres 2014, saya mendapatkan teguran tertulis dari Presiden Keenam SBY. Presiden SBY meminta saya, sebagai Wamenkumham dan bagian dari kabinet, untuk bersikap netral, serta tidak menunjukkan dukungan partisan kepada paslon capres manapun.

Melbourne, Sabtu 6 Mei 2023

Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Law Firm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia

IntegrityLawFirms.com