Monday, April 27, 2009

Menjadi Negara (Demokrasi) Tanpa Tuan?


Setelah Komisi Pemilihan Umum menolak disalahkan (Kompas, 15/4), pemerintah menolak bertanggung jawab, bahkan menuduh rakyat ikut andil dalam kekisruhan daftar pemilih tetap (Kompas, 16/4).

Keadaan ini seakan menampilkan wajah sebuah negeri tanpa tuan. Jika semua penanggung jawab kebijakan publik cuci tangan, kita sedang dalam sistem negara demokrasi tanpa tuan?

Pemilu dalam kerangka negara demokratis merupakan ajang para pemimpin mendapat legitimasi atas kekuasaannya. Namun, ia bukan sekadar masalah jumlah suara. Legitimasinya terkait soal bagaimana jumlah suara itu diperoleh. Ia terkait nilai-nilai yang diperjuangkan.

Kekacauan daftar pemilih tetap mencederai salah satu nilai dasar yang ingin ditegakkan dalam demokrasi, yakni kedaulatan rakyat. Aturan pemilu legislatif yang lalu telah gagal memaksimalkan partisipasi warga untuk menggunakan hak politiknya terkait nilai-nilai dasar yang ingin dijamin dalam kehidupan publik pada masa mendatang. Pemerintah seharusnya berlaku sebagai penjamin proses itu.

Absennya penanggung jawab untuk menjamin kepentingan umum mengingatkan lemahnya usaha menghayati demokrasi. Hannah Beech memperlihatkan pengamatan yang mengesankan tentang praktik demokrasi di Asia. Menurut dia, banyak negara Asia berlomba mengadakan proses demokratisasi pemerintahan, mendukung nilai-nilai ideal demokrasi, tetapi belum meninggalkan mentalitas yang bertentangan dengan demokrasi.

Mentalitas itu misalnya tampak dalam kepercayaan naif rakyat terhadap moralitas pejabatnya dengan memberikan kuasa kepada mereka tanpa kontrol (Time, 1/1). Indonesia tampaknya tidak luput dari bentuk demokrasi yang demikian.

Sebuah judul berita yang provokatif, ”Elu Dapat Apa, Gue Dapat Apa?” (Kompas, 5/4), mengungkap apa yang terjadi pada kompetisi merebut kursi legislatif dalam pemilu 9 April lalu. Kampanye para caleg dari pintu ke pintu tidak terarah pada pembeberan nilai dan visi yang ditawarkan guna kepentingan umum, tetapi diubah menjadi tawar-menawar kepentingan, dilandasi mentalitas do ut des (aku memberi agar engkau memberi). Dalam kondisi itu, sarana demokratisasi seperti pemilu diubah menjadi cara menghasilkan para pengambil kebijakan publik yang tidak demokratis dan bebas dari kontrol publik.

Demokrasi yang sejati melibatkan aneka prosedur yang dilandasi nilai dan terarah pada kepentingan umum. Pengakuan akan hak politik (baca: hak memilih) tidak cukup hanya tertulis dalam UUD 1945. Hak demokratis itu mengandaikan adanya penanggung jawab yang menjamin pelaksanaannya. Karena itu, sebuah demokrasi sejati hanya mungkin terlaksana dalam sebuah negara di mana hukum berfungsi. Sebuah demokrasi tanpa nilai-nilai yang dijamin dalam negara hukum akan dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terbuka, sebagaimana terjadi dalam sejarah (Yohanes Paulus II, Centesimus annus, 1991).

Kesan kurang tanggapnya para pemimpin untuk mengemban tanggung jawab publik sering disaksikan saat rakyat dilanda bencana. Dalam bencana, sering terjadi sikap saling melempar tanggung jawab antarpejabat dan antarinstansi pemerintahan berhadapan dengan urusan publik. Kejadian itu menampakkan betapa kurang disadarinya keberpihakan negara pada kepentingan umum sebagai nilai utama demokrasi.

Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi memindahkan rapat kabinetnya dari Roma ke Aquila yang baru saja dilanda gempa bumi untuk menyatakan solidaritas dengan ribuan penduduk yang sedang menderita. Pemerintahan negara-negara demokratis berlomba memenangkan hati rakyat dengan melayani, bukan dengan menyalahkan.

Bagi Indonesia, kiranya penting mencamkan pengamatan filsuf-biarawati Edith Stein, murid filsuf-fenomenolog Edmund Husserl, tentang peran negara. Dalam pandangan fenomenologisnya, negara sebagai negara hanya mempunyai fungsi jika membantu individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakatnya bertumbuh kehidupannya.

Bantuan pertumbuhan itu diwujudkan negara dengan memenuhi aneka kebutuhan pokok mendasar (bisogni vitali) dan melindungi nilai-nilai dasar (valori vitali) yang menopang keberadaan individu dan kelompok masyarakat di dalamnya (Edith Stein, Una ricerca sullo stato, 1999: 137-139).

Saat rakyat bertanya, untuk apa pemilu? Apa manfaatnya bagi rakyat? Di sana negara dan kehadirannya diragukan kegunaannya. Klaim kemenangan golput sekitar 30 persen dalam pemilu legislatif (Kompas, 14/4) menjadi tanda peringatan kaburnya peran negara bagi rakyatnya. Bila keadaan itu masih diperparah dengan arogansi dan cuci tangan pejabat dalam memikul tanggung jawab bagi kepentingan publik, kita dapat bertanya, masih perlukah negara?

Bila masih perlu, kita prihatin, mengapa negara ini seakan berjalan tanpa tuan?

Paulinus Yan Olla MSF, Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma
KOMPAS, 23 April 2009

No comments: