Wednesday, April 8, 2009

Elu Dapat Apa, Gue Dapat Apa?


Kompetisi merebut kursi legislatif dalam Pemilu 9 April nanti sungguh sengit. Dengan sistem pemilihan berdasar suara terbanyak, setiap calon anggota legislatif (caleg) harus bersaing dengan sesama caleg satu partai serta partai lain lewat kampanye yang mahal. Apa yang bisa diharapkan dari hajatan politik semacam ini?

Banyak orang bilang, Pemilu 2009 ini memang agak edan, setidaknya dilihat dari jumlah peserta yang bengkak. Bayangkan saja, pemilu ini bakal melibatkan 38 partai nasional dan enam partai lokal di Aceh. Ada 11.301 caleg DPR, 1.116 caleg DPD, puluhan ribu caleg DPRD provinsi, dan ratusan ribu caleg DPRD kabupaten/kota yang bertanding meraih kursi.

Dengan peserta begitu banyak, pemilu kali ini jadi mirip perayaan. Namun, ini perayaan yang ketat karena diperkirakan ada sejuta lebih caleg yang bertarung memperebutkan total 18.440 kursi legislatif tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan DPD. Untuk menang, mereka mesti berjuang keras meraih simpati pemilih lewat kampanye, kalau perlu dengan menggelontorkan uang besar.

Hawa panas kompetisi tercium jauh-jauh hari. Data Litbang Kompas mencatat, demi mencari dana kampanye, sebagian caleg nekat ambil jalan pintas. Di Banten, Januari lalu, misalnya, caleg DPRD Kabupaten Pandeglang, Romdoni (31), ditangkap polisi karena menggandakan uang. Bersama komplotannya, dia menggasak uang Rp 56 juta, yang katanya untuk biaya sosialisasi.
Sebulan kemudian, caleg DPRD Lebak, Ujang Zaenal Abidin (40), juga dicokok polisi. Lelaki ini diduga mendalangi penjarahan kebun kelapa sawit. Saat diperiksa, dia mengaku hasil jarahan itu untuk ongkos kampanye.

Pada musim kampanye terbuka akhir Maret sampai awal April ini, makin banyak caleg yang mengeluarkan jurus-jurus kepepet. Sebagian caleg DPRD Kediri terang-terangan pinjam uang Rp 75 juta hingga Rp 100 juta dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sejumlah caleg asal Palembang, Sumatera Selatan, ramai-ramai jual mobil dan rumah. Beberapa dari Bogor, Jawa Barat, dan Pamekasan, Jawa Timur, menggadaikan barang berharga, seperti tanah dan perhiasan.

”Saya terpaksa menggadaikan sertifikat rumah dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) mobil sedan,” kata Ali Wasiin, caleg DPRD Kabupaten Nganjuk dari PKB. Pengusaha agrobisnis itu sudah menghabiskan Rp 200-an juta untuk kampanye.

Seorang caleg DPR Kabupaten Bantul, sebut saja Rudi, mengaku menjual sawah dan kebun warisan orangtua demi mengumpulkan uang Rp 150 juta. Dana itu untuk beli nomor urut 1 (saat belum ditetapkan pemilihan berdasar suara terbanyak) dan biaya kampanye. ”Eh, ternyata sekarang enggak pakai nomor urut lagi,” katanya.

Jorjoran
Sebenarnya, berapa sih dana kampanye? Menurut informasi dari para caleg, besarannya bervariasi, sesuai dengan level kursi yang dibidik. Caleg DPR rata-rata butuh sekitar Rp 1 miliar. Caleg DPRD provinsi perlu Rp 500-an juta, sedangkan DPRD kabupaten/kota lebih kurang Rp 200 juta.

Biaya besar itu cukup realistis. Ambil contoh, seorang caleg DPR menyosialisasikan dan mengampanyekan dirinya selama tiga bulan di satu daerah pemilihan (satu dapil rata-rata terdiri dari 600-an desa). Untuk honor koordinator tim sukses desa saja (dengan satu orang digaji Rp 200.000 per bulan), dibutuhkan Rp 360 juta. Biaya cetak 3.000 baliho plus pemasangannya Rp 600 juta (satu baliho Rp 200.000).

Ongkos bikin 10.000 kaus dan 100.000 poster sekitar Rp 100 juta. Dana untuk kegiatan sosial, seperti bakti sosial, kunjungan, silaturahmi, atau bingkisan bisa mencapai Rp 50 juta. Jadi, totalnya sekitar Rp 1,1 miliar. Belum lagi, uang yang dikeluarkan untuk memenuhi todongan ini-itu.

”Hitungan itu tidak mengada-ada. Saya sendiri menyiapkan dana Rp 2 miliar. Yang habis sudah Rp 1 miliar lebih,” kata Probo Yuniar Wahyudianto (54), caleg Partai Hanura untuk DPR dari Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.

Jika hitungan itu diakumulasi, jumlahnya lebih mengejutkan. Anggap saja masing-masing dari total 12.417 caleg DPR dan DPD mengeluarkan Rp 500 juta untuk kampanye, maka jumlahnya mencapai Rp 6,208 triliun. Seberapa besarkah itu? Bandingkan saja, dana bantuan langsung tunai (BLT) yang dicairkan Maret 2009 saja hanya Rp 3,7 triliun, atau sekitar separuhnya saja.
Kalau hitungan diperluas mencakup total dana kampanye semua caleg, tentu akumulasi dana kampanye nasional bakal lebih menyentak. Dengan biaya begitu besar, bagaimana kalau caleg itu nanti gagal?

”Pasti kecewa. Tapi, ini kan investasi politik. Setidaknya saya telah ikut memberi alternatif pilihan dari kalangan muda dan mendorong pendidikan politik,” kata TB Ace Hasan Syadzily (32), caleg Golkar untuk DPR dari Dapil Pandeglang-Lebak.

Sikap itu juga disiapkan Muh Musa Datuk, caleg PPD, jika ternyata upayanya meraih kursi DPR dari Dapil II DKI Jakarta kandas. Langkah legowo itu juga bakal diambil Zaini Rahman (36), caleg PPP untuk DPR di Dapil Jatim III. ”Saya tahu risikonya karena pernah kalah saat jadi caleg Pemilu 2004,” kata Zaini yang merelakan Rp 600-an juta untuk nyaleg kali ini.

Siapkah semua caleg bersikap legowo? Mungkin tak mudah menghadapi kekalahan setelah mengeluarkan dana begitu besar. Ingat saja Yuli Nursanto, pengusaha jasa transportasi yang kandas menduduki kursi bupati Ponorogo periode 2005-2010. Sulit menerima kenyataan dan dikejar-kejar utang untuk biaya kampanye, lelaki gempal itu akhirnya stres dan mencoba bunuh diri berkali-kali.

Namun, jika pun akhirnya terpilih, caleg yang sudah habis-habisan berkampanye sekarang ini sebenarnya juga agak rentan. Anggota legislatif terpilih nanti dikhawatirkan bakal lebih sibuk menutup biaya kampanye ketimbang bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat. ”Karena keluar banyak modal, caleg terpilih pasti berusaha mengembalikannya. Itu logika dasar,” kata Sapari (47), penjual tempe di Pasar Jombang, Ciputat, yang akrab dengan hitungan dagang.

Transaksi
Pengamat politik dari Surabaya, Daniel Sparinga, menilai, enam bulan sosialisasi dan tiga minggu kampanye pemilu itu terlalu panjang sehingga membengkakkan biaya. Pada sisi lain, banyak anggota masyarakat yang masih miskin. Mereka sudah lama merasa diperah alias dieksploitasi oleh sistem politik dan diabaikan elite.

Nah, ketika ajang sosialisasi dan kampanye datang, masyarakat merasa dapat peluang untuk mencari uang. ”Kasarnya, mumpung elu masih caleg, gue eksploitasi duluan. Sebab, kalau elu sudah jadi elite, elu yang mengeksploitasi gue. Betapa kasihannya caleg sekarang, mereka being exploited,” katanya.

Daniel sendiri pernah menyaksikan pemuka agama mendagangkan doa dukungan untuk caleg. Warga juga berani meminta tambahan jika amplop yang diterima dirasa kurang. Jadi, politik sekarang benar-benar berdasarkan transaksi. Ibarat kata, elu dapat apa, gue dapat apa? Padahal, semestinya politik dibangun atas dasar kontrak antara pemilih dan legislatif

”Keadaan sekarang sudah edan, it has been extremely crazy.”

Ilham Khoiri dan Budi Suwarna
KOMPAS, 5 April 2009

No comments: