Indonesia Rejects Gift of Mirage Airplanes
Indonesia has a gift of one squadron of Mirage combat airplanes from Qatar. According to Defense Minister, Juwono Sudarsono, the offer was rejected because of the limited budget available for their maintenance. “The gift is fine, but the maintenance is costly,” he said in his office yesterday.
Indonesia menolak hibah satu skuadron pesawat tempur Mirage dari Qatar. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tawaran itu ditolak karena minimnya anggaran yang tersedia untuk perawatan. "Hibahnya sih oke, tapi pemeliharaannya itu mahal," kata Juwono di kantornya, Departemen Pertahanan Jakarta, kemarin (18/3).
Tawaran hibah ini datang enam bulan yang lalu, disampaikan secara lisan oleh Duta Besar RI di Qatar, Rozy Munir. Menurut Juwono, sebenarnya syarat pelaksanaan hibah ini sangat ringan, yaitu cukup Menteri Pertahanan Indonesia mengirim surat kepada Menteri Pertahanan Qatar.
Juwono mengatakan, dilihat sepintas saja sudah bisa dipastikan bahwa hibah pesawat buatan Prancis tahun 2000 ini akan membutuhkan banyak biaya perawatan. Padahal pagu anggaran Departemen Pertahanan dan TNI tak memungkinkan untuk itu. Apalagi fokus pemeliharaan saat ini ditujukan pada pesawat angkut, seperti Hercules. Selain itu, kata Juwono, hibah itu bukan berarti tak ada biaya sama sekali. "Tetap ada. Misalnya, biaya perantara," ujarnya.
Bagi Departemen Pertahanan, penolakan itu juga karena pertimbangan lain. Menurut Juwono, ada dua beban yang akan muncul jika hibah diterima, yaitu soal dana dan beban pada sistem alat pukul udara. Dari segi sistem, hibah ini akan menambah beban pada anggaran serta mengganggu perencanaan yang telah ada. Saat ini TNI Angkatan Udara memiliki pesawat tempur F-5 dan F-16 buatan Amerika Serikat dan Sukhoi buatan Rusia.
Dalam sistem pemukul udara, Juwono melanjutkan, yang dipentingkan adalah varietas teknologi untuk daya tangkal. Dari segi jumlah, pesawat yang kita miliki memang tidak mencukupi. "Karena itu, kita beli Sukhoi, walaupun mahal," ujarnya. Dengan begitu, sistem penangkalan kita masih setara dengan Singapura kalau tahun depan negara itu membeli 24 pesawat F-15.
Menurut Juwono, awalnya Angkatan Udara tertarik kepada tawaran hibah ini. Namun, dia telah menjelaskan soal pagu anggaran yang tak memungkinkan, serta kekhawatiran tersedianya suku cadang. "Kita harus tahu betul apakah pabrik pembuatnya akan bertahan terus untuk buat atau tidak. Jangan-jangan malah punah," ujarnya.
Koran Tempo, 20 Maret 2009
2 comments:
Dulu, menristek Habibie pernah “disalahkan” karena mengambil hadiah dari Jerman berupa kapal-kapal perang tua. Tetapi, meskipun dicaci maki, diam-diam banyak juga yang mendukung keputusan beliau dan setuju. Sebabnya, Indonesia memang tak punya uang, sedangkan sebagai negara maritim, kapal adalah suatu keniscayaan. Maka jadilah kapal bekas dari Jerman, ditarik ke Indonesia. Akhirnya, kapal-kapal rusak itu bisa disulap (diperbaiki) di PT PAL Surabaya dan menjadi kapal-kapal tangguh yang menjaga kedaulatan Republik ini. Habibie tentu yakin, produk-produk teknologi Jerman tentulah luar biasa, mirip mobil Mercedes Benz yang melegenda.
Baru-baru ini, menurut Rozi Munir, Dubes Indonesia di Qatar, negri kita mau dapat hadiah gratis berupa pesawat terbang Mirage 2000 dari negara kaya minyak itu. Tetapi, melalui Mentri Pertahanan Indonesia Prof. Juwono Sudarsono, kita memilih menolak hadiah tersebut. Alasannya, menurut mantan dosen UI tersebut, Indonesia tak punya aggaran untuk memelihara (ngopeni-Jawa) pesawat berpilot tunggal itu. Dikhawatirkan, bila negara kita menerima hadiah itu, maka perencanaan anggaran pembelajaan Alutsista (Alat utama sistim pertahanan) kita akan berbelok arah. Yang semula anggaran sudah direncanakan untuk membeli pesawat angkut jenis Hercules, menjadi tidak fokus. Padahal, pesawat canggih yang mau dihibahkan tersebut sebanyak satu skuadron (12 pesawat). (Lihat Koran Tempo, 20 Maret 2009).
Ketika berita penolakan hadiah Mirage itu saya ceritakan ke teman-teman pengajian (Forum Thalabul ’Ilmi), komentarnya pating ceblung (macam-macam). Inilah beberapa komentarnya.
”Oalah kasihan engkau Indonesia..., lha wong mau punya pesawat Sukhoi saja pada zaman Ibu Megawati direwangi hutang sana-sini. Lha ini, ada yang mau ngasih hadiah pesawat Mirage 2000 satu skuadron dan masih bagus kok malah ditolak”.
”Emangnya kalau nggak kuat memelihara apa tidak bisa ditaruh di Museum Dirgantara untuk pendidikan, atau untuk mengganti pesawat bobrok yang ada di taman Kiai Langgeng Magelang, yang harga karcis masuk ke pesawat mogok tersebut Rp. 7.000.”
”Kalau saya setuju hadiah itu diterima, selanjutnya pesawat itu untuk mengganti pesawat yang nongkrong di Gembira Loka dan sudah karatan bin bobrok itu”.
”Ya kalau nggak punya duit untuk memelihara, yang penting hadiah itu diterima dulu, soal biaya operasional dipikirkan nanti bersama para anggota dewan terpilih”.
”Wah, saya itu bingung bagaimana pertimbangan para profesor itu. Satu Profesor Habibie dan lainnya Profesor Juwono Sudarsono. Dua-duanya melihat angle yang berbeda, akibatnya keputusan beda-beda. Apa ya ...lebih baik tak usah pakai profesor ?”.
Mendengar itu semua, kita sama-sama tertawa terbahak-bahak karena bingung dan lucu. Mentertawakan diri sendiri dan juga mentertawakan logika-logika para pemimpin kita hingga akhirnya ada yang bertanya:
”Sebenarnya siapa sih yang bodoh itu?”
”Yang bodoh ya kita-kita, lha wong kita tak pernah protes !”
Setelah puas sama-sama tertawa, saya jadi teringat guyonan SBY (Si Butet Yogya) yang bertanya :
”Apa beda pesawat Indonesia dengan Amerika Serikat ?”.
Setelah semua terdiam tak ada yang menjawab, maka Butet si Raja Monolog inipun menjelaskan,
”Kalau pesawat Amerika agar jatuh maka harus di tembak dulu, sedangkan pesawat Indonesia, tidak diapa-apakan sudah jatuh sendiri”.
Itulah ”potret kita” yang kalau menurut almarhum Jendral (purn) Edi Sudrajat: ”Senjata kita itu sebagian besar sudah tua dan usang”. Maka wajar saja, apabila pernah ada berita tentang kapal amfibi kita dalam suatu latihan perang, walaupun tidak tertembak apapun tetapi tenggelam karena bocor.
Akhirnya, walaupun persenjataan kita kuno, tetapi toh kita ”masih gagah” , yakni menolak pemberian Mirage 2000 dari Qatar. Ya...walaupun alasannya nylekutis (sepele): bahwa kita itu ternyata melarat. Nah...!!!!
Dulu, menristek Habibie pernah “disalahkan” karena mengambil hadiah dari Jerman berupa kapal-kapal perang tua. Tetapi, meskipun dicaci maki, diam-diam banyak juga yang mendukung keputusan beliau dan setuju. Sebabnya, Indonesia memang tak punya uang, sedangkan sebagai negara maritim, kapal adalah suatu keniscayaan. Maka jadilah kapal bekas dari Jerman, ditarik ke Indonesia. Akhirnya, kapal-kapal rusak itu bisa disulap (diperbaiki) di PT PAL Surabaya dan menjadi kapal-kapal tangguh yang menjaga kedaulatan Republik ini. Habibie tentu yakin, produk-produk teknologi Jerman tentulah luar biasa, mirip mobil Mercedes Benz yang melegenda.
Baru-baru ini, menurut Rozi Munir, Dubes Indonesia di Qatar, negri kita mau dapat hadiah gratis berupa pesawat terbang Mirage 2000 dari negara kaya minyak itu. Tetapi, melalui Mentri Pertahanan Indonesia Prof. Juwono Sudarsono, kita memilih menolak hadiah tersebut. Alasannya, menurut mantan dosen UI tersebut, Indonesia tak punya aggaran untuk memelihara (ngopeni-Jawa) pesawat berpilot tunggal itu. Dikhawatirkan, bila negara kita menerima hadiah itu, maka perencanaan anggaran pembelajaan Alutsista (Alat utama sistim pertahanan) kita akan berbelok arah. Yang semula anggaran sudah direncanakan untuk membeli pesawat angkut jenis Hercules, menjadi tidak fokus. Padahal, pesawat canggih yang mau dihibahkan tersebut sebanyak satu skuadron (12 pesawat). (Lihat Koran Tempo, 20 Maret 2009).
Ketika berita penolakan hadiah Mirage itu saya ceritakan ke teman-teman pengajian (Forum Thalabul ’Ilmi), komentarnya pating ceblung (macam-macam). Inilah beberapa komentarnya.
”Oalah kasihan engkau Indonesia..., lha wong mau punya pesawat Sukhoi saja pada zaman Ibu Megawati direwangi hutang sana-sini. Lha ini, ada yang mau ngasih hadiah pesawat Mirage 2000 satu skuadron dan masih bagus kok malah ditolak”.
”Emangnya kalau nggak kuat memelihara apa tidak bisa ditaruh di Museum Dirgantara untuk pendidikan, atau untuk mengganti pesawat bobrok yang ada di taman Kiai Langgeng Magelang, yang harga karcis masuk ke pesawat mogok tersebut Rp. 7.000.”
”Kalau saya setuju hadiah itu diterima, selanjutnya pesawat itu untuk mengganti pesawat yang nongkrong di Gembira Loka dan sudah karatan bin bobrok itu”.
”Ya kalau nggak punya duit untuk memelihara, yang penting hadiah itu diterima dulu, soal biaya operasional dipikirkan nanti bersama para anggota dewan terpilih”.
”Wah, saya itu bingung bagaimana pertimbangan para profesor itu. Satu Profesor Habibie dan lainnya Profesor Juwono Sudarsono. Dua-duanya melihat angle yang berbeda, akibatnya keputusan beda-beda. Apa ya ...lebih baik tak usah pakai profesor ?”.
Mendengar itu semua, kita sama-sama tertawa terbahak-bahak karena bingung dan lucu. Mentertawakan diri sendiri dan juga mentertawakan logika-logika para pemimpin kita hingga akhirnya ada yang bertanya:
”Sebenarnya siapa sih yang bodoh itu?”
”Yang bodoh ya kita-kita, lha wong kita tak pernah protes !”
Setelah puas sama-sama tertawa, saya jadi teringat guyonan SBY (Si Butet Yogya) yang bertanya :
”Apa beda pesawat Indonesia dengan Amerika Serikat ?”.
Setelah semua terdiam tak ada yang menjawab, maka Butet si Raja Monolog inipun menjelaskan,
”Kalau pesawat Amerika agar jatuh maka harus di tembak dulu, sedangkan pesawat Indonesia, tidak diapa-apakan sudah jatuh sendiri”.
Itulah ”potret kita” yang kalau menurut almarhum Jendral (purn) Edi Sudrajat: ”Senjata kita itu sebagian besar sudah tua dan usang”. Maka wajar saja, apabila pernah ada berita tentang kapal amfibi kita dalam suatu latihan perang, walaupun tidak tertembak apapun tetapi tenggelam karena bocor.
Akhirnya, walaupun persenjataan kita kuno, tetapi toh kita ”masih gagah” , yakni menolak pemberian Mirage 2000 dari Qatar. Ya...walaupun alasannya nylekutis (sepele): bahwa kita itu ternyata melarat. Nah...!!!!
Post a Comment