Tuesday, April 14, 2009

Ketika Hak Warga Negara Diabaikan


Dina, walaupun kesal berusaha menenangkan ibunya, Jenny Kosasih (61), yang marah, khawatir ibunya terkena serangan darah tinggi. Di tangan Jenny terlihat KTP dan lembaran kartu keluarga mereka. ”Kami sudah dari bulan Januari 2009 tanya kepada RT, RW, kelurahan, kok belum ada pendaftaran pemilih, katanya beres, beres, nanti ada. Eh sampai tadi (kemarin) malam belum ada juga,” ujarnya.

Padahal, Dina yang bekerja di Aceh secara khusus pulang ke rumahnya di kompleks Bukit Nusa Indah, Kelurahan Serua, Ciputat, hanya untuk ikut pemilu menggunakan hak pilihnya. Namun, ternyata sampai kemarin malam ia belum mendapat undangan untuk ikut pemilu. Mereka lalu mondar-mandir di TPS 37 dan 38, mencoba untuk ikut memilih dengan menggunakan KTP dan kartu keluarga.

”Eh, katanya enggak bisa. Cuma bisa untuk orang yang namanya sudah ada di DPT. Kalau mau, kata petugas KPPS, urus aja ke kelurahan,” katanya.

Begitu banyak orang yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Mereka yang kecewa itu ada di sekitar kita. Umumnya, mereka merasa sangat diabaikan oleh negara. Tidak diakui keberadaannya sebagai warga negara yang dapat menggunakan hak pilihnya.

”Saya bilang kepada teman-teman, saya ini dianggap lebih buruk daripada seorang narapidana yang kehilangan hak politik saya,” ujar Qudus, seorang warga Pamulang, Tangerang.

Kekecewaan warga negara yang tidak dapat melaksanakan hak suara ini pun ramai tertulis di wall facebook, sebuah jejaring pertemanan.

Jenny merasa peristiwa tidak terdaftarnya dia dan kedua anaknya sangat tidak masuk akal. Pasalnya, mereka sudah 25 tahun tinggal di rumah yang mereka tempati sekarang.

”Masak tahun-tahun lalu enggak masalah, sekarang tiba-tiba enggak bisa. Padahal, kami sudah usaha tanya-tanya sejak dari awal tahun ini,” katanya.

Banyak di antara mereka adalah remaja yang pertama kali menggunakan hak pilihnya.

Rendra, warga Legoso, Tangerang, Kamis (9/4), merasa gusar karena hak pilihnya hilang. Tetangga sekitarnya juga banyak yang tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) itu.

Ia mengungkapkan, sebenarnya semua warga telah didaftar. Namun, setelah DPT diumumkan, ternyata banyak nama warga di perumahan tempat Rendra tinggal tidak tercantum. ”Saya tidak mengerti apa alasannya karena pada pemilu dan pilkada lalu kami terdaftar dan mendapat undangan untuk memilih,” kata Rendra.

Yang membuatnya makin tidak mengerti adalah mengapa daftar yang diajukan RT dan RW tempatnya tinggal ternyata dikurangi. Akibatnya, banyak warga, termasuk dirinya, kehilangan hak pilih. Ia sempat menduga ada kecurangan terkait hilangnya nama warga yang berujung pada hilangnya hak mereka untuk memilih.

Hal senada diungkapkan Khasminah, warga Cikoneng, Tangerang. Dari 60 warga yang tinggal di kontrakan tempatnya tinggal, hanya satu keluarga yang terdaftar dan mendapat undangan memilih. Uniknya, TPS didirikan di depan kontrakan itu.

Menurut penjelasan Setyo Bardono, warga dari RT 1 Kampung Kekupu, RW 4, Kelurahan Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Depok, ada sekitar 40 warga di kampungnya yang tidak tercatat di DPT atau tidak mendapat surat pemberitahuan pencontrengan atau model C4.

”Bahkan, anak kelas 6 SD bernama Asep di RT2 RW4 Kelurahan Rangkapan Jaya malah tercatat dalam DPT,” ujar Setyo.

Sementara itu, menurut warga yang tinggal di Jalan Swakarsa, Jatibening, Bekasi, Indra Firman, petugas di TPS 35 Kelurahan Jatibening Baru II, tidak satu warga pun yang memiliki hak pilih pemilu masuk dalam DPT. Padahal, di jalan itu ada sekitar 40 keluarga lebih.

Dengan kondisi banyak warga yang kehilangan hak suaranya, kecewa, dan marah, apakah pemilu kali ini masih layak dianggap sebagai pesta demokrasi?

KOMPAS, 10 April 2009

No comments: