Monday, April 13, 2009

Mereka Pun Dipaksa Jadi Golput


Setelah sejak Selasa (7/4) mencari informasi, hingga Rabu pukul 14.30, vokalis Kla, Katon Bagaskara, belum juga mendapatkan kepastian di mana namanya terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2009. Jangankan surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara, namanya saja tak terdaftar.

Tidak heran, di Blackberry dan Facebook-nya, Katon menuliskan, ”Aku tak bisa pindah, dari Bekasi terutama pas pemilu....”

”Saya masih bingung mau pilih apa, tetapi bukan berarti saya sebagai calon pemilih tak didaftar, kan?” katanya sengit. Ia bingung karena tak ada informasi apa pun berkaitan dengan pendaftaran pemilih yang diperolehnya, mulai dari surat hingga kedatangan petugas.

Semalam ia bertanya kepada ketua RT-nya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Nama Katon tidak ada dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ia lalu mencari keterangan ke rumahnya di Sinabung, Kebayoran, Jakarta Selatan, yang kini dikontrakkan sejak empat tahun lalu. Pada Pemilu 2004, Katon tinggal di Sinabung dan didatangi petugas untuk didaftarkan sebagai pemilih. Pada Pemilu 2009, warga dan ketua RT di sekitar rumah Katon di Sinabung tak pernah didatangi petugas dan didaftarkan sebagai pemilih.

Sejumlah kawan Katon juga mengakui tak memperoleh undangan untuk memilih pada Kamis ini.
Piye tho (bagaimana ini)? Pemerintah pengen kita golput, ya? Ini namanya dipaksa golput,” katanya lagi.

Pilihan terakhirnya kini tinggal Kamis ini ke Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, untuk mencoba peruntungan, barangkali saja namanya ada dalam DPT di wilayah itu, sesuai dengan alamat kartu tanda penduduk (KTP)-nya. Namun, ia juga belum yakin dapat memilih di wilayah itu.

”Mencari” hak pilih
Bayangan keriuhan pemilih karena hak pilihnya tak dihargai, dengan nama mereka tak terdaftar dalam DPT, sudah muncul hampir satu bulan terakhir. Warga sudah meramaikan DPT. Sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengelak, mereka hanya memperoleh data kependudukan yang menjadi dasar penyusunan DPT dari Departemen Dalam Negeri. Pejabat Depdagri menolak karena DPT adalah urusan KPU.

Jelang hari pemungutan suara, seperti Katon, warga pun kian gelisah. Mereka yang tak terdaftar melampiaskan kegeramannya melalui Facebook atau email groups. Sebagian lainnya mencari informasi dan meluapkan kegelisahan ke kantor media massa, termasuk ke Redaksi Kompas. Sejak Selasa sampai Rabu, sejumlah warga mempertanyakan hak pilih mereka melalui telepon ke Kompas.

Seperti Abdul Azis Maliki, warga Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu. Ia mengeluh karena hanya mendapat dua undangan untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Padahal, keluarganya yang memiliki hak pilih berjumlah enam orang.

”Ke mana ya saya harus melapor? Banyak warga yang belum mendapatkan undangan. Masalahnya, kalau tahu-tahu nama saya tercantum di DPT, tetapi surat undangannya dipakai warga lain, jelas hak suara saya akan hilang,” kata Abdul Azis, karyawan Thai Airways.

Kekecewaan serupa diungkapkan Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian Fauzi Azis. ”Dari empat anggota keluarga saya, hanya ada tiga undangan yang diserahkan panitia. Amburadul sekali sih pemilu kali ini,” ujarnya.

Chief Executive Officer Senayan City Handaka Santosa mengalami hal serupa. ”Apakah betul saya bisa pakai KTP untuk ikut pemilu? Takutnya, KPU bilang boleh, petugas di lapangan ngeyel melarang pakai KTP,” katanya.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali menyatakan prihatin terhadap kacau-balaunya persiapan pemilu. Ini lebih kacau daripada Pemilu 2004.

Deden Kuswondo, seorang warga RT 04 RW 09, Kelurahan Rawa Buntu, Kompleks Bumi Serpong Damai, Kota Tangerang Selatan, juga termasuk yang namanya tak ada dalam DPT. Sebaliknya, nama tetangganya, Djoko Pitono, tercatat tiga kali dalam DPT. ”Dari 33 KK (kepala keluarga) di tempat kami, hanya sembilan KK yang masuk dalam DPT,” ujar Djoko.

Pejabat RT pun ada yang tak masuk namanya dalam DPT. Salah satunya, Tingka Adiati, Sekretaris RT 004 RW 08, Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Bintaro. ”Saya dan seisi rumah tak diundang ke TPS. Padahal, saya Sekretaris RT lho...!,” kata Tingka, heran.
Untuk menghibur warganya yang kehilangan hak pilih karena namanya tak ada dalam DPT, pengurus RT 04 RW 09 Kelurahan Rawabuntu, Serpong, menerbitkan surat pemberitahuan. Isinya, Kami beri tahukan dengan hormat dengan permohonan maaf bahwa Bapak/Ibu tidak diundang dalam pemilu legislatif, Kamis 9 April 2009, karena nama Bapak/Ibu tidak tercantum dalam DPT yang dikeluarkan oleh kelurahan.

Warga yang menerima pemberitahuan itu hanya bisa pasrah. Mereka mau marah, tetapi kepada siapa? Kondisi itu yang juga dialami Saiful Mujani, Direktur Lembaga Survei Indonesia, yang membuat analisis dan hitung cepat (quick count) pemilu. Ketiadaan namanya dalam DPT menjadi bukti empirik, untuk makin memperkuat analisisnya tentang kegamangan penyelenggaraan Pemilu 2009.

Padahal, pada Pemilu 2004 dan Pilkada DKI Jakarta, Saiful dan istrinya terdaftar sebagai pemilih. ”Kalau tidak bisa memilih, tak apa-apa. Kan sudah diwakili teman-teman. Tetapi, anak saya yang baru akan memilih untuk pertama kali marah-marah kepada ibunya karena tidak terdaftar,” tuturnya.
Sejumlah tahanan dan narapidana di Kalimantan Timur dan Jawa Tengah juga kehilangan hak pilih.

KOMPAS, 9 April 2009

No comments: