Wednesday, April 8, 2009

Politik sebagai Janji


Ingar-bingar janji memekakkan telinga kita belakangan ini. Di negeri ini, selain musim hujan beneran, ada juga musim hujan janji. Datangnya lima tahun sekali, menjelang pemilu seperti saat-saat ini. Setelah itu, kita memasuki lima tahun musim menanti, yang lebih pantas disebut musim kemarau pemenuhan janji.

Persoalannya, apakah keliru menempatkan politik sebagai janji? Atau, bahkan, apakah pasti keliru kalau janji-janji politik lalu tak terpenuhi?

Bukankah seorang pemikir besar, seperti Jacques Derrida, justru pernah berwacana bahwa janji merupakan matra konstitutif politik sebagai ”demokrasi akan datang” (democracy to come)?

Justru karena dimensi janji tersebut, politik lalu mempunyai struktur messianik, mempunyai orientasi etis ekstratemporal untuk mengacu sehingga dapat melakukan penyempurnaan terus-menerus tak berkesudahan dalam mengejawantahkan ’K’eadilan. Baginya, bahkan seandainya tak terpenuhi, janji masih tetap merupakan matra penting politik karena betapapun gagal, upaya-upaya memenuhinya meninggalkan jejak janji tersebut: meninggalkan jejak-jejak pergulatan etis mewujudkan keadilan.

Seujung hidung
Kalau sense of humor kita belum ikut-ikutan defisit tergerus krisis finansial, kita bisa terpingkal-pingkal melihat politik janji parpol kita seperti terpampang pada iklan pemilu mereka.

Ada klaim sukses menurunkan harga BBM tiga kali berturutan. Padahal, tidakkah naik-turunnya harga BBM lebih bergantung pada harga minyak dunia?

Ada rebutan klaim sukses swasembada beras, padahal sama-sama tidak pernah memacul sawah. Ada yang mengulang gimmick basi kontrak-kontrakan politik. Ada yang mendadak prihatin dengan penderitaan rakyat; ada yang mendadak merasa jadi juru bicara petani; ada yang mendadak prihatin dengan merajalelanya korupsi.

Semacam itulah janji politik kita. Isinya cuma judul-judul mimpi atau klaim keberhasilan. Kurang programatis, defisit strategi apalagi kebijakan, dan terutama, alpa ideologis. Terkadang, bahkan ada unsur kibul-kibul yang sengaja pula.

Kesamar-samaran sebagai gaya, sekarang menggejala dalam komunikasi politik kita. Karena itu, ketika janji tak terpenuhi, lalu dengan mudah bisa berkelat-kelit lewat perdebatan semantik, seperti pada pemakaian ukuran tingkat kemiskinan BPS atau Bank Dunia. Padahal, miskin ya miskin, nganggur ya nganggur. Tren kenaikan atau penurunannya mestinya tak berbeda pakai penggaris mana pun.

Jangan-jangan segenap janji tersebut memang sekadar pragmatis. Yang penting rakyat percaya. Kalau kuasa sudah di tangan, urusan belakangan. Toh, rakyat Indonesia bukan masyarakat yang demanding; bukan penuntut yang bawel. Coba lihat, penandatanganan kontrak-kontrak politik pemilu lalu. Tak pernah ada yang menagih walau tak terwujud. Jadi, cuma gimmick politik seujung hidung.

Janji ideologis
Pada pemikiran Derrida, janji politik bukan hanya mungkin tak terpenuhi, melainkan bahkan tak mungkin sungguh terpenuhi.

Maksudnya tentu bukan membenarkan politik dusta seperti janji kampanye para politisi kita. Baginya, struktur messianik politik menempatkan idealitas ’K’eadilan -dengan K kapital; jadi keadilan pada posibilitas perwujudan paling optimalnya- sebagai janji di pengujung temporal politik. Jadi, janji tersebut bersifat tak berkesudahan (infinitudo) karena tak mungkin sepenuhnya tergapai; namun menjadi acuan bagi politik sebagai rangkaian pergulatan tanggung jawab etis manusia.

’K’eadilan sebagai janji politik, lalu menjadi acuan ziarah artikulatif setiap keputusan politik sebagai tindak nilai. Rangkaian tindak politik lalu laiknya pesawat ulang-alik terus-menerus pulang-pergi mencocokkan-mengejawantahkan di antara idealitas ’K’eadilan dengan masing-masing penerapan kontekstualnya.

Jadi, walaupun Derrida sendiri tidak suka dengan sebutan ini, politik semestinya mempunyai dimensi ”utopia” semacam ini. Utopia semacam ini berguna untuk menjadi acuan jangka panjang sehingga politik tak terjebak pada tetek bengek kekuasaan sesaat yang pragmatis.

Tepat di sinilah persoalan mendasar politik kita. Dalam politik, rumah utopia, rumah cita-cita politik, adalah ideologi. Kebijakan parpol-parpol kita tak pernah jelas karena ketidakjelasan ideologi mereka. Sungguh kesulitan besar untuk membedakan kebijakan mereka masing-masing atas isu-isu sentral di negeri ini.

Perubahan drastis kebijakan Amerika Serikat (AS) seharusnya menjadi pelajaran bagi kita mengenai arti sebuah ”janji” ideologis. Banyak pihak terheran-heran atas keputusan pemerintahan Barack Obama untuk lebih penetratif ikut campur menyelesaikan krisis finansial karena dianggap bertentangan dengan asas liberal yang dikampanyekan AS selama ini. Padahal, dalam tafsir atas doktrin negara minimal, ideologi sosial demokrat memang cenderung memberi peran lebih besar pada negara ketimbang ideologi liberal yang lebih konservatif karena penekanan lebih besar pada tanggung jawab negara menjaga kesejahteraan minimal masyarakat.

Lewat perubahan ini justru tampak jelas, anggapan sementara pengamat kita selama ini bahwa tak ada lagi jarak ideologis pada politik di AS, sama sekali tidak benar. Perbedaan konsep mengenai minimum peran negara tersebut hanyalah salah satu contoh kecil saja.

Celakanya, justru politik kita mengidap penyakit genting sehubungan dengan persoalan ini. Tiga dasawarsa pemberlakuan politik massa mengambang mengakibatkan anasir-anasir ideologis pada masyarakat kita tergerus habis pragmatisme kekuasaan. Akibatnya, politik tak lagi dipahami sebagai upaya mewujudkan cita-cita koeksistensial tertentu masing-masing dalam rangka ikut memberi aksentuasi pada imajineri kolektif kita sebagai bangsa. Politik lalu cuma dipahami sebagai upaya merebut kekuasaan dan kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan kelompok sendiri, kalau malah tidak kepentingan pribadi.

Politik kita menderita miopia, rabun jauh.

Budiarto Danujaya, Pengajar Filsafat Politik
KOMPAS, 2 April 2009

No comments: