Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Sunday, April 5, 2009
Musibah Beruntun dalam (Kemiskinan) Nalar dan Budi
Situ Gintung disambung dengan banjir dan longsornya bukit Tanah Datar Sumbar lagi-lagi memberi bangsa ini pembelajaran yang tidak habis-habisnya. Wahana pembelajarannya adalah dengan seonggok petaka yang menotok bukan hanya nalar melainkan nurani kita. Sayang seribu sayang, sulit disanggah betapa nalar (elite) kebangsaan kini kian menciut sementara nurani makin membebal dan membisu.
Dengan nalar, berhubung melimpahnya orang mati mubazir yang sering dijumpai membuat kita mempertanyakan eksistensi negara. Janganlah keburu nyeletuk pas bandrol bahwa mati adalah takdir; kematianlah takdir itu sedangkan medium matinya buat sebagian manusia tak terpisah dari irasionalitas atau nalar jeblok.
Rasionalitas mengunggulkan kausalitas dimana sesuatu akibat itu senantiasa disebabkan -dan sebaliknya. Seruan agar class action dilakukan termasuk dalam ranah rasional itu. Gugatan mesti dilemparkan kepada negara, cq pemerintah yang telah tidak becus mengelola tanggul cincin warisan Belanda itu; baik situnya an sich maupun kerangka lingkungan sebagai bagian integral situ. Dus, ada asumsi kelalaian pemerintah dalam musibah yang memilukan dan memalukan itu.
Dalam pada itu nurani pun segera menyeruak sembari mencungulkan tanya: “Sejak kapan pemerintah becus?” Bukankah berbagai versi tewasnya banyak warganegara dalam sekian musibah, notabene hanya memberitahukan ketidakbecusannya? Bukankah kepemimpinan puncak dari pemerintahan yang demokratis terkadang kental bangun citra dan wacananya atas seonggok problem kebangsaan tanpa aksi sepadan?
Begitulah desis hati kecil kolektif penduduk negeri yang banyak susahnya oleh desing-desing pelor kekonyolan yang sebagian penting ditembakkan oleh kepenguasaan tak kompeten. Pelor kekonyolan itulah yang telah memungkinkan kecelakaan udara, laut dan darat; banjir bandang, tanah longsor, Lumpur Lapindo, Situ Gintung.
Juga pada beberapa bunuh diri mereka yang kesulitan ekonomi dan menderita sakit, bahkan sampai pada perilaku yang sama: seorang murid lantaran gagal Unas. Ingat pula kita akan bagaimana mungkin belasan orang mesti tewas terinjak-injak saat menengadahkan tangan untuk kucuran zakat seorang dermawan yang merujuk pada ketakbecusan negara bersicepat mengalahkan kemiskinan rakyatnya.
Nurani terdalam yang persemayamannya di kalbu kebangsaan sering kumuh, terkadang berkata bahwa benar kata bijak: ”Hidup adalah apa yang kamu perbuat dan apa yang terjadi pada dirimu.” Kematian menjadi wadah kata-kata filosofis itu. Orang mati dengan cara menapaki medan perbuatannya sendiri, nenggak pil koplo bercampur minuman pengatrol stamina di kamar sempit dalam jeda kemesraan yang illegal.
Namun, tulisan ini lebih merujuk pada ujung akhir kata bijak. Bahwa, selama periode kepemerintahan yang sah terlalu banyak kematian warga yang cocok belaka dengan ungkapan hidup adalah “apa yang terjadi pada dirimu.” Kejadian mana persis justru mengakhiri hidup. Serangkaian kejadian yang sangat mungkin tidak akan terjadi manakala pemerintah, perusahaan dan badan-badan publik terkait mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara normal.
Toh kita pun lazim untuk amat yakin betapa sang kematian itu sanggup menerobos terali baja. “Digedongana lan dikuncenana” -begitu kata orang tua-tua tempo dulu- jika memang sudah datang temponya, orang akan mati. Inilah firman Tuhan dalam Qur’an: “Tidak ada Tuhan selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan.” (al-A’raaf: 158).
Unen-unen Jawa tersebut memiliki padanan pada panglima perang tersohor di zaman Rasullulah SAW. Kholid Ibn Walid jelang berperang senantiasa berdoa agar jika pun akan tewas akan menjadikan kematiannya syahid. Ternyata dia mati di atas dipannya lantaran sakit, bukan sebagai seorang syahid. “Saya akan mati seperti matinya onta,” demikian desisnya dekat saat-saat sakaratulmaut-nya (Asy Sya’rawi;1990).
Secara demikian maka dimensi spiritual segala musibah bisa dibedakan apakah musibah itu berjalan sebagai “tragedi” atau lebih merupakan “tragika”. Dua terminologi itu, meski berkelindan, maknanya cukup terbedakan betapapun sering disalahgunakan secara terbalik- balik. Yang tragis dianggap tragedi, dan sebaliknya.
Tragedi adalah hasil dari konversi laku lajak (overacting) maupun miskinnya cerapan dan ungkapan nilai-nilai manusiawi. Kekonyolan, sembrono, kemalasan, ketegaan hati dan ketakcermatan merupakan unsur-unsurnya sehingga menghasilkan perceraian suami-isteri yang belum setahun nikah, tabrakan sepur, pesawat menghunjam laut di pantai Majene, kapal karam, kemiskinan struktural dan robohnya jembatan yang baru sepersepuluh dari ketahanan taksiran usia resminya.
Berbeda dari tragedi yang sangat melibatkan faktor human error dan kerapuhan mental, tragika maujud dalam kurban gempa bumi, tsunami, badai dan sambaran petir. Gempa dan tsunami di Aceh, DIY dan Jateng mewujudkan tragika memilukan; namun ketegaan ribuan orang yang memanipulasi data rumah rusak demi mengantongi dana rehab rumah berpuluh juta rupiah adalah tragedi.
Ke dua corak kejadian yang sama-sama membawa rasa sedih, depresi dan sering gangguan jiwa itu membutuhkan soft skill yang berlainan pula -sampai ke dalam akar instrumental kejiwaan manusia. Akar-akar itu adalah cipta (nalar), rasa (naluri nurani) dan karsa manusia.
Musibah yang diakibatkan oleh tragedi membutuhkan olah budi dengan nalar sebagai basisnya. Betapapun hari-hari ini digencarkan pelatihan motivasi yang membangkitkan potensi EQ dan SQ, kekuatan penalaran tidak pernah bisa kadaluwarsa, apalagi ditinggalkan.
Nalar adalah energi yang tak kurang spiritualnya semenjak “spiritual” adalah ajektif dari kata benda “spirit.” Modernitas Barat justru lahir dan dikembangkan berkat pradigma nalariah, “Co gito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada) dari Rene Descartes di abad XVI.
Betapapun budaya Jawa unggul dalam dimensi rasa (rahsa hidup), tak berarti mengesampingkan rasionalitas. Camkan Pangkur Jenggleng-nya Basiyo mengutip Serat Wedatama: “uripe sepisan rusak; nora mulur nalare pating saluwir” (Kerusakan hidup itu disebabkan oleh amburadulnya penalaran manusia).
Terhadap tragika yang sesungguhnya merupakan perangan hidup manusia universal, justru energi naluriah yang dibutuhkan kepionirannya tatkala manusia bijak mampu mencerap hikmah dibalik musibah. Energi-energi spiritual naluriah itu yang terpenting adalah iman kepada Tuhan dan rasa seni.
Dalam tugas mengelola naluri ini pun kita lemah berhubung dengan keberagamaan yang domain formalnya terlalu tinggi; di sisi lain estetika seni tergeser dari nilai dasar menjadi nilai instrumental kepariwisataan.
Dalam laku formal syariat keagamaan, sudah sering terbukti justru meriskir laku substansial yakni dulangan makna yang sulit terjadi. Dalam contoh kaum muslim, salat, puasa dan haji dianggap menjadi andalan ibadah, meski tanpa kehadiran budi-pekerti yang sesuai.
Berbagai pengajian lebih menawarkan tiket surga tanpa tebaran etos kerja dan kultur ilmiah. Ayat- ayat suci dijajakan bagaikan fosil.
Drs Slamet Sutrisno MSi, dosen Filsafat Perdamaian Fak Filsafat UGM.
Kedaulatan Rakyat, 4 April 2009
Label:
Agama,
Nalar,
Situ Gintung,
Tanah Datar,
Tragedi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment