*** Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF
Dunia tampaknya tengah menghadapi masa yang krusial bahkan menentukan akibat dari paradoks yang dihasilkan oleh peradaban mutakhirnya.
Selain oleh teknologi persenjataan yang kian menggiriskan, peradaban dunia juga berubah akibat kemajuan menakjubkan di bidang kesehatan, komputasi, hingga implementasinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Di saat bersamaan, teknologi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan pun tumbuh dengan tajam, termasuk dalam urusan pemerintahan atau kenegaraan, pengaturan ekonomi, praksis hukum, atau kreasi-kreasi artistik.
Secara ideal, dalam pengertian gagasan atau ide yang melandasinya, semua kemajuan itu bergerak, melebar, dan membuncah dalam sebuah tatanan global yang dipimpin dua komandan kembar: demokrasi (sebagai sistem ketatanegaraan) dan kapitalisme (sebagai sistem perekonomian).
Apa yang kemudian lalai, lengah, bahkan boleh jadi tak terpikir selintas pun, adalah kenyataan di balik semua kemajuan luar biasa dalam satu abad terakhir itu bukan hanya seakan melibas pencapaian sekian ribu tahun peradaban-peradaban dunia sebelumnya, tapi juga —dan ini yang terpenting— membuat kita alpa bila (setiap) peradaban itu juga memproduksi karya-karya negatif yang justru mendestruksi pencapaian-pencapaian “positif” di atas.
Hal itu terjadi lantaran, disyukuri atau tidak, kebudayaan hanya dilahirkan oleh satu golongan makhluk bernama manusia, makhluk yang notabene memiliki fitrah lengkap dengan kapasitasnya untuk “memilih”, mewarisi atau dianugerahi sedikit sifat ilahiah yang jaiz (boleh), yang secara diskriminatif tidak dimiliki makhluk lainnya di semesta ini.
Kapasitas dan sifat inilah yang mungkin secara biologis dimungkinkan karena adanya pertumbuhan volume otak manusia, dari mula 700-an hingga 1.300 cc, jauh meninggalkan kera, manusia tegak (Phitecanthropus Erectus) yang menjadi pendahulunya menurut logika evolusi Wallace atau Darwinian.
“Kebolehan memilih” dengan menggunakan volume otak itu memungkinkan manusia mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi kecenderungan (yang juga) paradoksal dan alamiah dalam dirinya: menjadi suci atau bejat, secara sosial, kultural, maupun spiritual. Hal itu terjadi tidak hanya di tingkat kolektif, juga individual. Bahkan kerap keduanya berkembang paralel dalam organ yang sama. Manusia bisa jadi pada dasarnya paradoksal jika tidak dibilang skizofrenik di tingkat awal.
Maka, apabila kita bicara demokrasi dan kapitalisme yang menjadi norma bahkan etika (tuntunan moral) dunia, sebaiknya kita tetap ingat, mafhum, bersikap dan bertindak berdasarkan “kejanusan” yang inheren di dalamnya. Demokrasi dan kapitalisme yang secara ideal sesungguhnya memiliki maksud yang luhur untuk memuliakan atau menciptakan kebahagiaan bagi manusia, ternyata juga menciptakan manusia-manusia yang —dilegitimasi oleh sistem-sistem itu— justru pelan-pelan meluluh-lantakkan maksud luhur itu.
Pernyataan Direktur Pelaksana IMF seperti kutipan di atas, yang disampaikan pada Forum Davos beberapa waktu lalu bukan hanya menjadi indikasi, melainkan juga —karena tingkat otoritasnya yang tinggi— menjadi bukti dari tragedi dunia Janus itu. “Kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh segelintir warganya,” kata Lagarde lebih lanjut, “... segelintir warga kaya telah menguasai sistem dan semua akses .... hal itu berlaku luas di banyak negara. Sistem pemerintahan dan perekonomian telah dikooptasi oleh sedikit orang kaya.” (Kompas, 21 Januari 2014).
Pernyataan keras lembaga seberpengaruh IMF itu diberi aksen yang konkret oleh Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam, di bagian lain di acara yang sama, di mana ia memaparkan data tentang total kekayaan 85 orang (0,00000002 persen dari penduduk dunia), yang memiliki kekayaan yang lebih banyak dari separuh penduduk dunia (3,5 miliar manusia). Total kekayaan secumit orang itu tak kurang dari 1,7 triliun dollar AS atau setara sepersepuluh lebih PDB Amerika Serikat, setimbang dengan PDB Brasil atau hampir tiga kali lipat dari PDB Indonesia.
Kabar kedatangan Bill Gates ke Indonesia, yang konon akan menggelontorkan tak kurang dari Rp 140 miliar untuk yayasan sosialnya tahun ini, juga memberi impresi ironis yang sama. Karena pada catatan majalah Forbes, pertambahan kekayaan triliuner Microsoft itu pada 2013 tidak kurang dari 11,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun. Bagaimana Anda membayangkan wajah dengan rambut palsu itu dengan angka-angka kekayaan tersebut?
Itu pun Bill Gates bukan yang terhebat. Warren Buffett, triliuner lainnya, membukukan pendapatan penghasilan terbesar sejagat pada 2013, senilai 12,7 miliar dollar AS atau Rp 155 triliun/tahun. Tapi dari total kekayaan, Gates dan Buffett masih di belakang Carlos Slim, sang juara dunia, dengan estimasi kekayaan pribadinya 73 miliar dollar AS atau sekitar Rp 876 triliun, setengah dari APBN kita pada 2013.
Anda tentu bisa membuat sedikit analisis, bila “janus-janus” kapitalis global itu, yang filantrofis di muka tapi monster di belakangnya, akan menciut menjadi sekitar 20-25 orang saja dalam kurun 10-15 tahun ke depan, di mana total kekayaan mereka akan mampu bukan hanya menggerakkan, bahkan mengendalikan perubahan-perubahan di tingkat global. Tragedi macam apa yang akan terjadi dalam dunia Janus seperti itu? Dalam mimpi pun Anda sulit menciptakan bayangannya.
Semua hal di atas tentu saja bukan semacam mitos tradisional macam leak atau jailangkung yang sekadar menciptakan rasa takut artifisial. Semua itu fakta berbasis data valid yang mestinya menjadi perhitungan kita, bukan saja ketika harus bekerja dalam sebuah perusahaan, mengatur organisasi bahkan pemerintahan, atau juga dalam usaha kita berkreasi di tingkat personal.
Dunia tengah menghadapi situasi yang sebenarnya kritis saat menghadapi masa depannya. Masa di mana masyarakat dunia tidak lagi ditaklukkan oleh kekejaman perang, penyakit atau bisul-bisul kebudayaannya, tetapi oleh sebuah fallacy yang melahirkan gergasi kapital demikian hebatnya.
Fakta ini semestinya membuat kita merenung dengan sangat dalam, saat misalnya kita menghasilkan profit yang bertambah persentasenya setiap tahun, atau menyaksikan orang miskin dan korban bencana yang untuk makan dengan standar umum saja begitu sulitnya. Apakah “sistem pemerintahan dan perekonomian yang telah terkooptasi” seperti konstatasi Christine Lagarde di atas memberi kita garansi akan masa depan yang lebih baik, atau justru memberi ruang dan peluang bagi ketertindasan baru dan bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang lebih mencekam dan menggiriskan?
Di tingkat lokal, data resmi juga memberi fakta serupa. Di mana 20 persen penduduk kita mendapatkan 49 persen dari pendapatan nasional (PN), berbalik dengan 40 persen penduduk miskin hanya mendapatkan 16 persen dari PN. Di antara 20 persen itu, 405 orang terkaya Indonesia memiliki harta tak kurang dari 120 miliar dollar AS (Rp 1.440 triliun) atau setara dengan APBN 2012. Dan, dari jumlah itu, hanya 0,2 persen penduduk kita saja yang menguasai 56 persen dari aset nasional.
Bagaimana kemudian kita bisa beramai-ramai berpesta, bahkan sudah begitu riuh dalam persiapannya, hanya untuk sebuah kata “demokrasi” yang tidak hanya menghabiskan uang rakyat ratusan triliun, tetapi juga hanya untuk membiayai cocktail kekuasaan kaum elite dan menyisakan infrastruktur hancur kaum alit?!
Bangsa ini membutuhkan cermin atau penggebuk besar untuk menyentak diri melakukan refleksi dan kontemplasi. Tragik dunia Janus tidaklah cukup pantas untuk diselebrasi. Niat harus diluruskan dan diluhurkan untuk menciptakan pikiran dan tindakan cerdas menanggapi realitas di atas, lokal maupun global, yang senantiasa terkait.
Kesadaran para pemimpin —daerah dan pusat— harus diperluas cakrawalanya, sehingga ketidaktahuan dan ketidakmengertian kemudian tidak menjadi ketidakpedulian pandir yang membuat negeri ini justru kian terperosok dalam tragedi-tragedi kemanusian yang sistemik di masa depan.
Kita tampaknya harus sungguh-sungguh berpikir ulang, apakah sistem-sistem yang kita rayakan secara berkala ini dapat dipertahankan dalam realitas yang membuat miris di atas? Apakah kunci yang dipegang tangan kanan Janus akan digunakan untuk membuka kuilnya di Laurentium dan perang pun terjadi sebagai akibatnya? Atau justru ia membuka pintu Eden di mana harapan dan kegemilangan manusia ada di dalamnya?
Hanya yang eling dan waspada yang bisa luput dari neraka paradoks Janusian yang mengintip tajam di balik hati kita.
Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 24 Februari 2014