Monday, February 24, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 4)

Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Ahad,12 Januari 2014. Malam tadi, Thohari diganti oleh orang Kalasan, Yogyakarta, yang tinggi, besar, tegap, dan berkepala plontos. Namanya Surajan. Pagi ini kembali ada pergantian petugas jaga. Kali ini orang asli Nganjuk bernama Warseno. Semuanya sama, eks tentara, tepatnya polisi militer di Guntur, Jakarta. Sebelum pergi, Surajan menitipkan bungkusan plastik. “Ini titipan dari Pak Fathanah untuk Pak Anas,” katanya sembari pamit dan mengenalkan petugas jaga yang baru, Warseno.

Dari Warseno, saya dapat informasi masih ada dua orang lagi yang bertugas bergantian. Namanya Amir Ishak dan Damuri. Warseno orangnya juga enak dan grapyak, khas orang Jawa Timur. Dari Warseno, saya sempat pinjam alat pel untuk bersih-bersih lantai. Biar lebih bersih dan segar.

Budi sempat melihat dan melontarkan ledekan. Dia meledek sambil menawarkan diri untuk mengepel. Saya jawab, sebagai bekas anak indekos, urusan bersih-bersih lantai bukanlah hal yang asing.

Dia lalu bertanya, apakah saya pernah membaca buku tentang Mandela. Saya menjawab, pernah menonton filmnya. Dia menasihati saya agar tenang dan sabar sebagai “tapol” (tahanan politik). Saya tidak tahu kenapa dia menyebut saya tapol.


Bagi siapa saja yang berada dalam tahanan, merasa kemerdekaannya diambil, saling menasihati untuk tenang dan sabar adalah hal penting dan relevan. Dia bilang, zaman berputar. Saya jawab, semua akan berlalu.

Dia bilang, siapa yang zalim akan dapat karmanya. Saya jawab, akan kembali kepada dirinya atau anak keturunannya, bisa langsung atau tidak langsung, bisa tunai, bisa juga dicicil.

Budi bilang, kalau umur panjang, ia akan melihat bagaimana karma itu bekerja. Saya menjawab, tidak usah menunggu dan mengharapkan begitu, karena semua berlaku atas ketentuan Tuhan. Kalau Tuhan menimpakan mudarat kepada makhluk-Nya, siapa pun tak dapat menghalangi. Kalau Tuhan mendatangkan rahmat, juga tidak bisa dicegah oleh kekuatan apa pun. Tetapi, saya setuju karma akan datang, tidak perlu dijemput atau diberitahu alamatnya, karena sudah punya alamat masing-masing yang akan didatangi.

Anas (Ketua Umum Partai) dan Ibas (Sekretaris Jenderal Partai), akrab karena 'Politik'.

Rupanya, media massa menjadikan Anas sebagai berita utama. Ada berita tentang kiriman makanan dan surat dari Tia yang ditolak petugas. Ada berita tentang tantangan KPK kepada Anas untuk bicara tentang keterlibatan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) kepada penyidik.

Kata Johan Budi, pernyataan harus disertai fakta dan bukti. Jangan asal ngomong. Tentu saja apa yang disampaikan Johan Budi itu benar adanya. Meskipun begitu, tidak bisa dihindari kesan melindungi Ibas. Sama dan sejalan dengan beberapa pernyataan dia sebelumnya. Kalau keterangan menyangkut Ibas selalu dijawab harus divalidasi dulu. Tidak harus dipanggil karena harus divalidasi dulu. Wajar saja, karena Ibas adalah anak presiden. Tidak mungkin anak presiden tidak mendapat perlakuan khusus.

Sama dengan Abraham yang berkali-kali statement-nya mirip dengan lawyer. Pernyataan Ketua KPK itu jika dicermati sudah menempatkan dirinya sebagai benteng hukum atau pengacara Ibas. Bahkan, pada suatu kesempatan malah menyerang Yulianis, seorang saksi, yang ia sebut sebagai orang aneh. Dibilang aneh karena hanya bicara dan tidak pernah tertuang ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Meskipun itu kemudian diprotes oleh Yulianis dan dinyatakan sudah termuat di dalam BAP, Abraham belum pernah berani merespons protes Yulianis tersebut.


Di media juga dibahas pernyataan yang katanya tidak lazim. Ucapan terima kasih saya dianggap statement kontradiktif atau kode-kode. Silakan saja dibahas dan dianalisis seperti apa. Kata-kata saya itu sudah menjadi milik publik dan bebas dipandang dari berbagai sudut, tergantung pada siapa yang melihatnya. Tafsirnya bebas dan demokratis.

Ucapan terima kasih kepada Ketua KPK, Abraham Samad layak disampaikan karena pada akhirnya saya ditahan juga. Berita tentang rencana penahanan saya sudah banyak (beredar) pada bulan Ramadan (tahun 2013) silam. Waktu itu disampaikan kepada publik bahwa penahanan akan dilaksanakan setelah Lebaran. Lalu ada perubahan alasan, ditahan setelah selesai audit investigasi BPK. Ternyata belum juga ditahan. Kemudian ada pernyataan beberapa kali yang intinya minggu depan dan minggu depan.

Karena belum juga ditahan, para wartawan tetap rajin memburu pernyataan pimpinan KPK. Jawabannya, pokoknya nanti akan ditahan. Begitu penjelasannya. Karena belum ditahan juga, kemudian muncul alasan kekhawatiran kalau ditahan malah bisa bebas demi hukum. Waktu terus berjalan, kemudian lahir wacana ditahan sebelum akhir tahun 2013. Dan belakangan ada alasan, karena ruang tahanan di KPK sudah penuh, lalu ada pernyataan lain menunggu selesainya pembangunan Rutan (Rumah Tahanan) KPK di Guntur serta serah-terimanya kepada KPK. Bahkan, Tempo pernah merilis foto calon ruang tahanan untuk Anas di Guntur.


Jadi, ketika Jumat, 10 Januari 2014, terbit surat perintah penahanan yang diteken Abraham Samad, segala ketidakpastian dan silang-sengkarut alasan tentang belum ditahannya Anas selesai sudah.

Wartawan dan saya tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan dan di mana akan ditahan. Kita boleh khawatir karena makin banyak alasan penundaan penahanan serta alasan yang berubah-ubah dan berbeda-beda akan menurunkan kredibilitas sang pembuat alasan. Saya sendiri juga tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tentang kesiapan ditahan dan sejenisnya.

Jadi, ucapan terima kasih itu saya sampaikan karena Abraham telah membuat dan meneken (menandatangani) surat yang membuat pasti kapan dan di mana saya ditahan. Kepastian untuk saya, untuk keluarga saya, untuk media, dan bahkan kepastian untuk Abraham sendiri.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

No comments: