Tuesday, April 14, 2009

Legitimasi Demokrasi Itu Lemah


Meski pemilu legislatif, 9 April, dinilai sesuai dengan peraturan, legitimasi proses berdemokrasinya itu sangat lemah. Lemahnya legitimasi disebabkan antara lain oleh banyaknya warga yang terpaksa kehilangan hak pilih karena persoalan administrasi.

Demikian dikemukakan dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, Haryatmoko, Jumat (10/4) di Jakarta. Ia menduga ada unsur kecurangan dalam proses pemilu kali ini karena warga yang kehilangan hak pilihnya, gara-gara tak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT), terjadi di banyak wilayah.

Tak hanya itu, banyaknya kekeliruan terbuka yang ditandai dengan masuknya ratusan laporan pelanggaran ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), menurut Haryatmoko, menambah fakta betapa Pemilu 2009 jauh dari berkualitas.

Dihubungi terpisah, Jumat, seorang korban luberan lumpur PT Lapindo Brantas, Sumitro, mengaku pesimistis dengan siapa pun yang terpilih menjadi wakil rakyat. ”Pemilu tidak membawa banyak perubahan sehingga tak ada banyak harapan,” kata dia.

Tak timbulkan masalah
Secara terpisah, ahli Sosiologi Hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo, mengharapkan Pemilu Legislatif 2009 yang dibiayai triliunan rupiah tidak menimbulkan persoalan baru yang besar dan lebih dahsyat dari persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia kini. Jika nanti timbul masalah hukum atas penyelenggaraan pemilu, penyelesaian hukumnya jangan dijalankan secara mutlak.

Penegakan hukum sebaiknya dilakukan dengan akal sehat, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. ”Jangan sampai pemilu justru menimbulkan keadaan yang tidak nyaman dan tak tenteram. Kalau ada apa-apa, carilah akal. Ingatlah, kesulitan bangsa saat ini sudah besar,” kata Satjipto.

Menurut Satjipto, Indonesia memang negara hukum dan hukum haruslah menjadi pedoman dalam bertindak. Namun, saat berbicara hukum harus ditegakkan, tipenya ada bermacam-macam. Ada hukum yang dilaksanakan tanpa kompromi, tetapi ada juga yang melihat hukum sebagai pedoman, untuk selanjutnya melihat lebih jauh apa yang bisa dilakukan hukum sehingga tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar.

”Ini yang saya namakan cara berhukum dengan akal sehat,” kata Satjipto. Jangan sampai penyelesaian hukum pemilu berlarut-larut dan justru menimbulkan masalah baru.

KOMPAS, 11 April 2009

1 comment:

David Pangemanan said...

PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675