Jurnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap kali sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang tak kelihatan. Bahkan di halaman majalah ini dan juga di Koran Tempo, bagian yang tak tampak sebenarnya lebih besar perannya.
Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat, foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja, perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keterampilan yang bertahun-tahun. Juga: pembentukan l’esprit de corps.
Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak kelihatan itu. Harian Indonesia Raya dulu hanya identik dengan Mochtar Lubis, Merdeka dengan B.M. Diah, Pedoman dengan Rosihan Anwar. Juga Tempo sering dianggap cukup bisa diwakili oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Harymurti, Toriq Hadad.
Betapa tak lengkapnya. Siapa yang pernah bekerja di dalam majalah ini tahu, seorang Goenawan Mohamad sebenarnya bergantung pada orang lain yang praktis tak pernah dapat tepuk-tangan.
Salah satu yang mengelak dari aplaus itu adalah Yusril Djalinus. Ia meninggal pekan lalu. Perkabungan keluarga besar Tempo hari-hari ini karena Yusril lebih dari sekadar seorang kolega.
Bagi saya, dialah pembentuk utama ethos Tempo, sikap kerja yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu, harus dicapai. Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak kurang penting: kerja sama yang saling mempercayai. Yusril, pendaki gunung itu (dia tokoh kelompok pencinta alam, ”Wanadri”), tak banyak berpidato di depan para wartawan agar ethos itu tertanam. Yusril langsung memberi contoh, dan ia membentuk sistem.
Saya mengenalnya sejak ia bekerja sebagai reporter baru di majalah berita Ekspres di tahun 1970. Saya mengenalnya sebagai seorang yang bicara halus dengan aksen Sunda, seorang pemuda kurus, tinggi, berambut rimbun. Mula-mula saya tak begitu memperhatikannya. Langsung di bawah saya ada sejumlah sastrawan yang waktu itu sudah mulai terkenal (misalnya Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Usamah) yang entah kenapa jadi wartawan. Karena sifat majalah itu yang dasarnya adalah kecakapan bercerita dalam tulisan—para sastrawan itu mengambil peran yang sentral. Di antara mereka, Yusril tentu tak menonjol.
Ia baru saja meninggalkan kuliahnya di Jurusan Publisistik Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan ia bukan seorang penulis yang canggih; tulisannya jelas, tapi nyaris kaku.
Hanya dengan pelan-pelan saya mulai menyadari: Yusril bagus dalam kerja tim dan ia tangguh. Ia tak pernah mengelakkan tugas. Majalah Ekspres, yang kami dirikan di tahun 1970, masih sebuah usaha yang merangkak. Dana tak tersedia banyak, juga untuk kerja sehari-hari. Pada suatu hari Yusril tak dapat uang transpor. Pemuda yang pernah membiayai kuliahnya dengan jadi tukang potret keliling dari desa ke desa ini memutuskan: ia berjalan kaki. Pada satu hari Jakarta yang terik, ditempuhnya jarak 20 kilometer dari Jatinegara sampai Pecenongan, bersama debu, karbon dioksida, dan keringat.
Ketika saya dan teman-teman lain, misalnya Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Bur Rasuanto, mendirikan majalah Tempo (setelah meninggalkan ramai-ramai majalah Ekspres), Yusril termasuk yang ikut bergabung.
Itu tahun 1971. Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat dan ketololan. Seperti Ekspres, mingguan baru ini mengambil model majalah berita Time dan Newsweek di Amerika. Tapi sebenarnya kami tak tahu bagaimana cara memproduksinya. Kami bahkan bekerja mula-mula tanpa melalui koordinasi. Peran satu orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain, dan sejumlah wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejumlah wartawan lain bisa menghabiskan waktu main biliar. Tiap pekan hampir selalu ada yang jatuh sakit kecapekan.
Setelah dua-tiga tahun, baru kami tahu ini tak beres. Kami mengundang seorang konsultan: Amir Daud, bekas wartawan Time di Jakarta.
Dialah yang mengajari kami membentuk organisasi dasar. Begitu tololnya kami hingga baru dari Amir-lah kami tahu perlunya menulis memo untuk teman sekerja, bila si rekan sedang bertugas di luar kantor. Dari Amir Daud pula kami mulai belajar bekerja efisien. Ia menyarankan agar kami punya seorang ”chief reporter” yang akan membagi tugas hingga distribusi tenaga kerja tak acak-acakan.
Penugasan, pesan Amir, harus tertulis. Ini memang akan membuat ia bisa diingat, mudah dikontrol, dan bila ada problem bisa dipindahkan langsung ke wartawan lain. Penugasan harus jelas dan ringkas. Bahkan Amir memperkenalkan kebiasaan memendekkan nama kami. Maka nama saya pun jadi ”G.M.”, Fikri Jufri jadi ”F.J.”, dan Yusril jadi ”Y.D.” (Amir, yang menyukai gaya Amerika, mengucapkannya ”Way-Di”). Akronimisasi nama itu melekat sampai hari ini.
Tempo beruntung: ”Y.D.” jadi chief reporter pertama. Yang patut diingat ialah bahwa pada awalnya jabatan ini—yang segera kami Indonesiakan jadi ”koordinator reportase” (diakronimkan jadi ”KR”)—tak ditunjuk dari atas. Saya sebagai pemimpin redaksi memutuskan agar pejabat KR dipilih para wartawan sendiri.
Y.D. bersama Harun Musawa terpilih dengan jumlah suara yang sama. Saya kemudian memasang Yusril di posisi itu. Harun Musawa, yang berminat pada sastra dan punya kemahiran menulis yang lebih, disiapkan untuk mengelola dan mengisi salah satu rubrik. Y.D. punya kelebihan yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Harun, ”Saya tak akan mungkin selugas Yusril dalam bersikap.” Harun lemah lembut; Yusril tegas dengan kombinasi yang langka: ia selalu bisa bercanda. Disiplin keras yang diterapkannya bisa tak terasa menekan, sebab segera setelah itu ada suasana bergurau.
Dari jabatan inilah, sejak 1976, Y.D. berkembang cepat. Kepemimpinannya produktif. Seperti dikatakan Harun, pada rekan dekatnya ini ada kemampuan memotivasi bawahan agar bekerja optimal. Seperti para pendaki tebing, reporter harus pantang menyerah untuk ”menembus sumber”. Berita harus diperoleh melalui rintangan apa pun.
Ethos inilah yang berkembang penuh dalam diri Dahlan Iskan (yang kemudian jadi pemimpin dan pembangun dan sekarang pemimpin grup media Jawa Pos), yang di awal tahun 1981 meliput terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas dengan korban 600 orang tewas. Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan selama tiga hari di sana tanpa memincingkan mata. Baru empat hari kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo.
Karni Ilyas, kini tokoh media televisi di Indonesia yang memimpin TV One dengan 1.200 karyawan, membawa ethos itu ke tempat kerjanya sekarang. Di kantor kerja Karni di Pulogadung, sebuah poster Tempo terpampang di salah satu dinding. ”Ke mana pun kantor saya pindah, [poster] ini akan saya bawa,” katanya.
Sebagai wartawan Tempo yang pernah menghasilkan laporan yang merupakan scoop, Karni mengingat Yusril sebagai orang yang tak mudah puas akan hasil kerja anak buahnya. Tapi dengan itu, kata Karni, para wartawan ”terpacu”. ”Yang tidak bisa akan terpental dengan sendirinya.”
Tapi jadi pemacu hanyalah salah satu kelebihan Yusril. Ia juga pembangun institusi. Bagaimana mengelola kerja para wartawan dan yang bukan wartawan, bagaimana melatih mereka terus-menerus, menilai mereka dengan sistematis, dan memberi mereka kesempatan berkembang—semua itu dimulai dari sistem yang dibangun Y.D..
Salah satu yang jarang ditilik ketika orang menelaah Tempo adalah sistem itu yang bisa membuat majalah ini memandang jurnalisme sebagai sebuah posisi ethis. Posisi yang bertahan hingga hari ini.
Jurnalisme sebagai sebuah posisi ethis yang diteguhkan Y.D. adalah kerja kewartawanan dengan sikap yang memandang orang lain dan merasa bertanggung jawab: jurnalisme yang tampil dengan kukuh bukan karena ia merasa unggul, melainkan justru ketika ia prihatin. Dengan keprihatinan kepada liyan, orang lain yang juga sesama, ia bertindak.
Posisi ethis itu dimulai ketika seorang wartawan tergerak buat menulis sesuatu, baik sebuah investigasi tentang ketidakadilan maupun sebuah cerita ringan yang menghibur. Segera ia dituntut dirinya sendiri untuk terbuka, juga kepada yang paling tak disukainya. Ia dituntut diri sendiri untuk tak culas. Ia diminta tak putus-putusnya untuk meraih apa yang baik dan yang benar, betapapun mustahilnya.
Di sini ethos yang ditanamkan Yusril dapat diikhtisarkan: Pertama, seorang wartawan harus pantang surut mendapatkan berita. Kedua, ia tak bisa dibeli. Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng, tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka, atau tertipu, karena kebohongan beritanya.
Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk mendapatkan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”amplop” dan suap. Prinsip ini tak bermula di majalah Tempo dan bukan dicanangkan oleh Y.D.. Yang dilakukan Yusril adalah memperkuat tembok hingga sogokan tak tembus ke tubuh organisasi. Y.D. memanfaatkan sistem produksi berita majalah ini: sebuah berita selalu hasil kerja tim yang anggotanya bisa berubah, dan sebuah berita selalu diperiksa setidaknya dua lapis redaksi.
Tapi tak hanya mencegah yang buruk. Y.D. juga menumbuhkan rasa harga diri ke kalangan wartawan. Departemen redaksi mengalokasikan dana yang cukup bagi tiap wartawan untuk bekerja. Yusril-lah yang pertama kali di tahun 1980-an merancang agar reporter mampu menjamu para humas—dan dengan itu membalikkan praktek sebelumnya, di mana sang reporter yang selamanya dijamu. Yusril juga yang mengharuskan wartawan menolak uang saku perjalanan yang disediakan satu lembaga yang mengundang, dan untuk itu ada dana dari kantor yang memadai.
Dari sini wartawan jadi oknum yang dihormati, dan pada gilirannya, merasa diri kukuh. Ia jadi subyek yang merdeka. Harga diri ini tampaknya terbawa ke saat yang paling kritis. Di tahun 1994, ketika Tempo dibredel, Rustam Mandayun, waktu itu Kepala Biro Yogyakarta, melakukan aksi protes terbuka bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan, satu hal yang penuh risiko di bawah rezim Soeharto. Saya bertanya kepadanya, kenapa ia memilih langkah itu, sementara ia punya keluarga. Rustam menjawab, tanpa suara yang heroik: ”Kan kita semua sudah dibiasakan menolak amplop, Mas.”
Jurnalisme adalah sebuah posisi ethis ketika ia bersiteguh untuk merdeka, sebab hanya dengan kemerdekaan itu rasa tanggung jawab dan harga diri tumbuh. Tapi seperti para pendaki gunung dan tebing, dalam kegigihan itu juga perlu dijalin rasa saling percaya dalam sebuah tim. Di sini, posisi ethis menyentuh ke sesama teman sekerja: tak boleh ada curang-mencurangi.
Berada di lapis pimpinan, Y.D. sangat peka akan soal itu. Itu sebabnya ia tak pernah mendahulukan kepentingan diri, justru ketika ia punya kekuasaan yang besar. Seperti dikenang Haryoko Trisnadi, direktur keuangan waktu itu, Yusril tak pernah mau menerima fasilitas apa pun tanpa aturan yang berlaku bagi siapa saja. Ia rela untuk tak ditunjuk jadi pemimpin redaksi.
Di tahun 1994 ada usaha dari Menteri Penerangan Harmoko dan Jenderal Prabowo Subianto, waktu itu menantu Presiden, untuk memecah belah dan mengendalikan Tempo dari dalam. Salah satu caranya membujuk Y.D. untuk jadi pemimpin redaksi. Yusril menolak dengan seketika. ”Yusril bukan orang yang akan berkhianat,” kata Zulkifly Lubis, rekan sekerjanya yang ikut membangun organisasi Tempo.
Dalam masalah-masalah ethis, saya selalu bersandar pada Yusril. Sebagai salah satu anggota dewan direksi, ia diberi kemungkinan mendapatkan saham di sebuah majalah yang dimiliki oleh Tempo. Tapi Yusril menolak. Ia teguh tak tertarik untuk memperbanyak milik dan menyukai yang mentereng dan gemerlap. Dengan itu ia pantas untuk menuntut sikap tangguh yang setara dari para wartawan.
Ia tahu l’esprit de corps dan kerja tim amat menentukan dalam ikhtiar itu. Pimpinan dan bawahan harus kompak, dan sebab itu manajemen pun harus bersikap adil terutama kepada yang bekerja di bawah: selain tak mementingkan diri sendiri, pimpinan tak boleh pilih kasih dan harus terbuka dalam pengambilan keputusan. Karena di Tempo ada Dewan Karyawan yang bertindak sebagai serikat sekerja dan tak ada pribadi yang memiliki modal secara langsung—saham dikuasai institusi yang separuhnya dikendalikan karyawan l’esprit de corps itu mudah ditumbuhkan.
Untuk itu pula Y.D. (bersama Bambang Halintar, M. Makhtum, Zulkifly Lubis, dan kemudian Meity Bachrul) menyusun cara evaluasi dan promosi yang transparan. Tak ada pengangkatan tanpa melalui jenjang karier dan jabatan yang jelas. Penilaian harus bisa diketahui orang yang dinilai.
Pada mula dan pada akhirnya, jurnalisme, justru di sisinya yang tak tampak, adalah setiakawan. Itu yang dijalankan Yusril sampai ia meninggal. Malam sebelum ia pergi, saya sempat mencium pipinya yang masih hangat. Saya tahu saya tak akan melihatnya lagi. Tapi saya tahu ia bukannya tanpa peninggalan yang tak ternilai.
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir Majalah Tempo Edisi 9 Februari 2009
Bang Yusril
Seorang wartawan dituntut kerja keras, tangguh, ulet, dan bergerak cepat. Suatu hari pada 1978, gas beracun muncrat dari kawasan Dieng dan menelan puluhan korban jiwa. Mayat bergelimpangan di jalan setapak, dan foto itu terpampang di sebuah koran Ibu Kota. "Apa kita juga dapat foto dan cerita seeksklusif itu?" begitu atasan saya di majalah Tempo menelepon.
Terus terang, saya belum mendapat apa-apa. Informasi baru diterima di Yogya malam hari, dan memberangkatkan "pasukan" pagi-pagi ada kendala. Baru siang hari bisa bergerak dengan mobil carteran. Hasilnya lumayan.
Begitu berita selesai diketik, ada lagi kendala, sehingga tak bisa dikirim hari itu lewat pos kilat khusus--cara mengirim berita tercepat saat itu. Lagi-lagi saya mendapat teguran. "Wartawan harus gesit dan bergerak cepat," kata atasan saya lagi.
Kenangan ini bukan untuk memperingati Hari Pers Nasional, yang baru saja lewat. Bukan pula untuk mengingatkan bahwa seorang jurnalis harus gesit dan cepat, sesuatu yang tak perlu lagi diingatkan sekarang. Saya bernostalgia karena ingat atasan saya itu, Yusril Djalinus, yang biasa saya panggil Bang Yusril.
Apakah gesit (atau kurang gesit) itu semata yang kemudian kami bahas? Tidak. Lebih penting dari itu adalah "kendala" yang saya sebutkan, yakni tidak adanya uang untuk menyewa mobil ke Banjarnegara, juga tak adanya uang untuk membeli film. Bahkan kemudian, karena harus mengeluarkan uang untuk menginap di losmen yang sederhana, untuk mengirim berita ke Jakarta pun tak ada uang. Terpaksa menunggu dibukanya kantor Pegadaian untuk menggadaikan barang dan kamera.
"Tempo harus diurus dengan manajemen yang benar," itu kesimpulan Bang Yusril, ketika saya, bersama Dahlan Iskan dan Zakaria M. Pase, dikumpulkan di Jakarta. Kami bertiga jadi ujung pembenahan di daerah: Dahlan dikirim dari Samarinda ke Surabaya, saya dikirim dari Denpasar ke Yogyakarta, Zakaria tetap di Medan. Jabatan kami keren, Kepala Biro, tapi tanpa surat, tanpa aturan, termasuk tak jelas berapa gajinya.
Tapi itulah awal pembenahan. Manajemen peliputan ditata, jenjang karier wartawan pun dirumuskan. Hari-hari yang sulit pada saat sistem komunikasi tidak secanggih sekarang. Pada 1978 itu, untuk menelepon ke Jakarta saja harus menunggu dua jam sambungan di kantor telepon. Semua kesulitan itu dilalui dengan gurauan. Bang Yusril tegas dan keras, tetapi tak pernah lupa terbahak-bahak.
"Tak apa-apa menggadaikan kamera asalkan jangan menggadaikan harga diri," katanya suatu ketika. Beruntung, kami terlatih hidup melarat, sehingga, ketika zaman bergerak maju dan "amplop" bertebaran, kami bisa menolaknya dengan senyum--tanpa juga bermaksud menyakiti hati sang pemberi yang mungkin menganggap hal ini biasa.
Bagi saya, Bang Yusril itu teman, terbiasa jail-menjaili. Juga jadi inspirator, idenya cemerlang meskipun ia tak suka menonjol. Sulit menemui kesedihan jika sudah bersama dia, termasuk saat Tempo dibredel.
Ketika saya menerima pesan pendek kabar Bang Yusril masuk rumah sakit, saya berada di daerah terpencil di Sulawesi. Sialnya, ketika mau berangkat ke Jakarta, ternyata saya harus mengurusi seorang guru kerohanian yang terserang stroke di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar, Jawa Tengah. Dan itulah hari Bang Yusril dibawa ke Purwakarta untuk istirahat selamanya. Saya pikir, Bang Yusril sengaja tak ingin saya antar, agar saya tak pernah merasa kehilangan. Ya, saya tak kehilangan Bang Yusril, saya hanya berpisah tempat, suatu ketika toh kami akan berjumpa untuk melanjutkan senda gurau itu.
Putu Setia, TEMPO, 14 Februari 2009