Mungkin banyak yang sudah dengar tentang buku The Shock Doctrine, buku laris karangan perempuan aktivis Kanada, Naomi Klein, yang membongkar habis teori kapitalisme yang dinilai tidak bertanggung jawab dan berpotensi membawa bencana.
Apalagi dengan adanya krisis finansial dunia sekarang ini, prediksi yang ada dalam buku The Shock Doctrine mulai menjadi kenyataan. Karena saya kurang tertarik dengan masalah ekonomi, ketika buku ini menjadi pembicaraan banyak orang, saya hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi tidak terpanggil untuk memiliki dan membacanya. Namun, ketika Michael Winterbottom, sutradara Inggris (Jude, A Mighty Heart, Road To Guantanamo), membuat film dokumenter dengan judul sama, dengan Naomi Klein sebagai tokoh protagonis di dalamnya dan diputar di Berlin pula, saya dan tiga sineas Indonesia rela mengantre panjang masuk bioskop.
Film diawali dengan adegan hitam putih, di sebuah rumah sakit jiwa, dengan pasien yang sedang mengalami terapi kejut (shock therapy) menggunakan setruman listrik. Penonton dibuat bergidik dan dipersiapkan untuk masuk ke sosok ekonom yang terkenal dengan teori free-market yang sangat agresif, Milton Friedman.
Adegan-adegan bergulir selama hampir dua jam dengan mengombinasikan gambar-gambar dari arsip film hitam putih, arsip film berwarna yang sudah pudar, sampai gambar yang diambil sang sutradara pada era sekarang yang berwarna kinclong. Intinya: film ini berpihak kepada para korban kapitalisme agresif yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi ujungnya hanya menguntungkan penguasa yang diktator. Kita diajak melihat dan membandingkan kejadian-kejadian 40 tahun terakhir di negara-negara AS, Inggris, Cile, Argentina.
Film ini baru selesai diedit sehari sebelum pemutaran di Berlin dan kelihatannya untuk penayangan resmi di bioskop-bioskop dunia masih akan melewati beberapa tahap pengeditan untuk melancarkan struktur cerita. Kami, yang tidak mengerti apa-apa tentang teori ekonomi, dapat merasakan emosi dan nalar dari inti cerita yang ingin disampaikan pembuatnya. Bahwa sudah saatnya yang berkuasa memberhentikan agresi-agresi yang membuat dunia shock. Dan bagi kita yang tidak memegang kuasa, harus mau menolak agresi-agresi traumatis tersebut.
Semoga film ini akan sempat ditonton banyak orang, termasuk para pemimpin dunia, seperti Presiden Obama, Hillary Clinton, serta para pemimpin dan pembuat UU di negara kita.
Selesai menonton, kami hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata lewat film, penjelasan dan teori-teori yang begitu rumit bisa dipahami dengan jelas. Lalu muncul pertanyaan: ”Kapan ya kita bisa membuat film di Indonesia seperti ini, wong arsip film nasional kita saja tak lengkap".
Bukan hanya soal arsip. Saya jadi ingat ketika seorang sahabat yang karya dokumenternya bicara tentang perjuangan mahasiswa saat reformasi dipotong sensor habis-habisan, bahkan diganti judulnya supaya bisa tayang karena takut menyinggung pihak penguasa. Kalau masih begini, sulitlah Indonesia punya pembuat film dokumenter sekaliber Michael Winterbottom….
KOMPAS, 19 Februari 2009
The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism
In THE SHOCK DOCTRINE, Naomi Klein explodes the myth that the global free market triumphed democratically. Exposing the thinking, the money trail and the puppet strings behind the world-changing crises and wars of the last four decades, The Shock Doctrine is the gripping story of how America’s “free market” policies have come to dominate the world-- through the exploitation of disaster-shocked people and countries.
At the most chaotic juncture in Iraq’s civil war, a new law is unveiled that would allow Shell and BP to claim the country’s vast oil reserves…. Immediately following September 11, the Bush Administration quietly out-sources the running of the “War on Terror” to Halliburton and Blackwater…. After a tsunami wipes out the coasts of Southeast Asia, the pristine beaches are auctioned off to tourist resorts.... New Orleans’s residents, scattered from Hurricane Katrina, discover that their public housing, hospitals and schools will never be reopened…. These events are examples of “the shock doctrine”: using the public’s disorientation following massive collective shocks – wars, terrorist attacks, or natural disasters -- to achieve control by imposing economic shock therapy. Sometimes, when the first two shocks don’t succeed in wiping out resistance, a third shock is employed: the electrode in the prison cell or the Taser gun on the streets.
Based on breakthrough historical research and four years of on-the-ground reporting in disaster zones, The Shock Doctrine vividly shows how disaster capitalism – the rapid-fire corporate reengineering of societies still reeling from shock – did not begin with September 11, 2001. The book traces its origins back fifty years, to the University of Chicago under Milton Friedman, which produced many of the leading neo-conservative and neo-liberal thinkers whose influence is still profound in Washington today. New, surprising connections are drawn between economic policy, “shock and awe” warfare and covert CIA-funded experiments in electroshock and sensory deprivation in the 1950s, research that helped write the torture manuals used today in Guantanamo Bay.
The Shock Doctrine follows the application of these ideas though our contemporary history, showing in riveting detail how well-known events of the recent past have been deliberate, active theatres for the shock doctrine, among them: Pinochet’s coup in Chile in 1973, the Falklands War in 1982, the Tiananmen Square Massacre in 1989, the collapse of the Soviet Union in 1991, the Asian Financial crisis in 1997 and Hurricane Mitch in 1998.
1 comment:
INTELIJEN DAN KONSPIRASI
Beberapa komentar dan pandangan yang saya terima mempertanyakan konspirasi yang "sering" dilakukan intelijen. Wah..wah..wah, sungguh dahsyat pengaruh penciptaan opini publik yang membuat angker lembaga-lembaga intelijen di dunia dengan ketakutan adanya konspirasi. Apa sesungguhnya yang ada dalam hubungan antara intelijen dan konsep konspirasi?
Konspirasi adalah merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang disusun secara detail sedemikian rupa yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak yang bertujuan tertentu bergulir secara normal/wajar ditengah-tengah masyarakat. Konspirasi cenderung berkonotasi negatif karena tujuan-tujuan tertentu yang dirancang secara rahasia tersebut lebih banyak diisi oleh kepentingan golongan/kelompok yang melanggar kepentingan golongan/kelompok lain.
Dalam definisi yang lebih positif, konspirasi tidak ada bedanya dengan kerjasama rahasia untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya saja ketika Amerika Serikat dan sekutu Baratnya merestui integrasi Timor Timur ke dalam NKRI. Dalam kacamata kelompok Komunis Fretilin, kerjasama/persetujuan/dukungan rahasia AS kepada Indonesia merupakan suatu konspirasi, karena beragam peristiwa di Timor Timur (sekarang Timor Leste) tersebut seluruhnya terbungkus secara "baik" dalam genggaman kekuatan kelompok Liberal Barat yang anti Komunis.
Hanya karena intelijen yang hampir selalu bersentuhan dengan kerjasama rahasia tingkat regional maupun internasional, maka masyarakat awam akan langsung menuduh adanya suatu konspirasi tertentu dalam terjadinya persitiwa-peristiwa di masyarakat.
Contoh lain yang menarik adalah kasus Bom Bali dan terciptanya kelompok Jemaah Islamiyah. Masih banyak pihak di kalangan Muslim yang meyakini bahwa ada konspirasi Barat dalam mengkondisikan terciptanya kelompok teroris, misalnya dengan kejanggalan penanganan Hambali dan kasus Omar Faruq. Banyak pandangan ditengah-tengah komunitas Islam yang militan yang menduga kuat bahwa Hambali dan Omar Faruq adalah agen CIA, dan segala cerita Jemaah Islamiyah adalah hasil konspirasi kaum Yahudi dan kerjaan CIA untuk menjebak kelompok Muslim tertentu ke dalam aksi teror regional atau global. Bahkan pemicu peristiwa besar seperti 9/11 pun banyak diwarnai analisa konspirasi yang secara umum kita kenal sebagai teori konspirasi.
Teori konspirasi atau persekongkolan hanya suatu pendekatan (belum sah diakui sebagai teori) yang berusaha memahami serta menjelaskan latar belakang peristiwa atau rangkaian peristiwa tertentu (khususnya yang menarik perhatian khalayak banyak seperti pada peristiwa pembunuhan politik, krisis ekonomi, revolusi sosial, atau terorisme, dll) dari sudut pandang adanya kekuatan rahasia yang merancangnya dan menggulirkannya secara wajar. Kekuatan rahasia tersebut biasanya diterjemahkan kepada kelompok rahasia tertentu termasuk intelijen. Jalan cerita konspirasi umumnya bersifat memperdaya logika publik dan menghasilkan polemik yang tidak akan pernah diketemukan kebenaran hakikinya. Klaim pandangan konspirasi yang agak berlebihan misalnya peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah adalah hasil kerja para konspirator belakang layar yang memanipulasinya.
Benarkah kerjaan Intelijen selalu terkait dengan konspirasi?
Konspirasi dari konotasi negatif sangat jarang dilakukan oleh intelijen karena tingkat kerumitan rancangan kegiatannya bertingkat sampai minimal lima level yang terputus sebagaimana dasar penerapan operasi standar situasi perang. Hampir bisa dipastikan tidak akan terbongkar atau yang sering kita kenal sebagai a perfect crime, yang akan selalu dibantah oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian. Padahal apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai unsolved mystery cenderung dianggap sebagai bagian dari hasil kerja konspirasi. Namun dalam generalisasi kerja intelijen yang rahasia segala yang disentuh intelijen kemudian dibungkus dalam sudut pandang konspirasi, padahal terlalu ceroboh dan dangkal apabila hal itu dikerjakan oleh intelijen, apalagi bila langsung bersentuhan dengan tangan petinggi intelijen. Bisa jadi konspirator yang mudah tercium oleh publik adalah pelaku pemula bermodal kecil serta belum berpengalaman sehingga tampak belepotan di mana-mana.
Betapapun lemahnya suatu konspirasi, apabila dilakukan berdasarkan pada kerjasama sejumlah pihak untuk mencapai kepentingan bersama, maka cerita yang meluncur kepada publik akan samar dan sulit ditentukan mana yang benar. Hal itu didukung oleh fakta bahwa waktu terus berputar dan generasi berganti, sehingga akan banyak cerita yang terkubur begitu saja. Standar minimal terjaganya sebuah cerita konspirasi adalah minimal 25 tahun yaitu setara dengan boleh-tidaknya suatu file rahasia dibaca oleh publik sebagai bahan riset penelitian sejarah dan rekayasa sosial atau konstruksi masyarakat. Tetapi tidak sedikit kelompok rahasia yang membawa mati seluruh cerita konspirasi karena kuatnya prinsip kerahasiaan individu anggota-anggotanya.
Intelijen lebih banyak berurusan dengan kegiatan nyata menyelamatkan bangsa dan negara, ya memang kedengaran klise dan seperti manusia super yang waktunya habis untuk bangsa dan negara. Ideal sekali bukan?
Keseharian intelijen boleh dikatakan jauh dari wacana konspirasi, karena utamanya adalah deteksi dini atas setiap potensi ancaman kepada bangsa dan negara. Deteksi dini pada garis terdepan adalah akses kepada informasi yang diperlukan. Selanjutnya analisa dan akhirnya adalah rekomendasi yang seyogyanya diperhatikan oleh pimpinan negara.
Namun karena kemampuan individu intelijen yang rata-rata sudah terlatih dalam soal kerahasiaan, pesanan untuk melakukan kerjasama rahasia dalam rangka mewujudkan suatu peristiwa tertentu tidaklah terlalu sulit untuk dikerjakan dan hal ini hanya membutuhkan satu dukungan, yaitu dana segar.
Cukup jelas bukan?
Intelijen bukanlah konspirator, tetapi tidak sulit bagi intelijen untuk melakukan konspirasi.
Semoga Bermanfaat
Post a Comment