Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Wednesday, February 4, 2009
Susahnya Belanjakan Anggaran
Kekhawatiran krisis finansial global akan berdampak lebih buruk dari yang diperkirakan tampaknya mulai menjadi kenyataan.
Dana Moneter Internasional (IMF) pun merevisi pertumbuhan ekonomi dunia, hanya 0,5 persen. Perekonomian Amerika Serikat masih meraba-raba, apakah paket stimulus yang diusulkan Presiden Barack Obama sesuai dengan sasaran.
Beberapa analis ekonomi dunia yang semula yakin pertumbuhan ekonomi China akan terpangkas hanya sampai 8 persen mulai bicara angka yang lebih rendah, yaitu 5 persen.
Adapun Indonesia, kalau sebelumnya target pertumbuhan 5 persen dianggap moderat, kini pemerintah harus berusaha keras agar target 5 persen tercapai, dengan persyaratan ketat.
Belum ada resep jitu untuk segera mengakhiri krisis sekaligus mengembalikan pertumbuhan ekonomi pada pola normal. Dari pertemuan ekonomi dunia di Davos, tak banyak muncul optimisme. Salah satu pernyataan bagaimana menghadapi krisis terpaku pada pendekatan standar, yaitu mempertahankan rumah tangga untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Pernyataan itu tidak asing buat perekonomian Indonesia yang selama ini bergantung pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga di samping ekspor. Setelah ekspor melemah, konsumsi rumah tangga menjadi harapan pertumbuhan ekonomi.
Ketika swasta dan korporasi tidak dapat diharapkan, pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga menjadi komponen penting untuk menahan laju perlambatan perekonomian.
Ada dua topik penting terkait upaya mengoptimalkan pengeluaran negara, yaitu penyerapan anggaran dan peruntukannya. Sebagian besar anggaran baru terserap menjelang akhir tahun anggaran sehingga target penggunaan dan kualitas peruntukan anggaran dikorbankan.
Keseimbangan antara good governance dalam pengelolaan keuangan negara dan target pemakaian anggaran harus diselesaikan. Ini agar APBN 2009 bisa lebih berkualitas dalam penyerapannya serta memenuhi target yang diharapkan, terutama mempertahankan daya beli masyarakat, mempercepat proyek yang berpotensi menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan output perekonomian.
Penyerapan APBD
Adapun penyebab lambatnya penyerapan APBD lebih karena lambatnya penetapan peraturan daerah (perda) APBD. Tanpa perda APBD, pemerintah daerah hanya dapat melakukan belanja gaji untuk aparatnya. Tidak bisa dilakukan yang lainnya.
Pada tahun anggaran 2009, mayoritas pemerintah kabupaten dan kota belum menetapkan perda APBD-nya tepat waktu. Padahal, pemerintah pusat memberi sanksi penangguhan transfer dana alokasi khusus triwulan I-2009 atas keterlambatan itu.
Buruknya komunikasi politik antara pemda dan DPRD menjadi penyebab keterlambatan penetapan itu, selain penyebab teknis, seperti pemekaran daerah.
Di pusat, pemerintah dan DPR mempunyai komitmen yang kuat menyelesaikan proses APBN tepat waktu. Komitmen seperti itu belum membudaya di banyak daerah. Sering kali antara agenda pemda dan DPRD berbeda.
Kepedulian pemda dan DPRD terhadap dampak yang ditimbulkan apabila perda APBD ditetapkan terlambat sangat lemah.
Setelah APBD ditetapkan, bukan berarti masalah selesai. Belum adanya titik keseimbangan good governance keuangan negara dengan target penggunaan anggaran tetap jadi ganjalan yang memperlambat pemakaian APBD tahun berjalan.
Akibatnya, dana APBD menumpuk di rekening bank pemda, yang selanjutnya disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah uang bank daerah di SBI termasuk tertinggi dibandingkan dengan kategori bank lainnya.
Bank daerah tentu memberikan penghasilan bunga kepada pemda. Ini akan tercatat dalam pendapatan asli daerah (PAD). Mengingat PAD terkait dengan bagian belanja pemda dan DPRD, tidak mengherankan bila kedua pihak tidak khawatir APBD-nya tidak terpakai dan hanya tersimpan di bank.
Proses perencanaan di daerah juga masih lemah sehingga program atau proyek tidak bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran. Dengan sistem anggaran tahunan seperti sekarang, kelanjutan proyek terganggu karena harus menunggu pengesahan anggaran tahun berikutnya.
Dalam eksekusi proyek di daerah juga kerap muncul kebingungan terkait lemahnya koordinasi. Sering terjadi rebutan kewenangan antara beberapa instansi pusat dan pemda. Ketidakjelasan ini harus dituntaskan.
Dengan berbagai hambatan itu, alhasil surplus APBD seluruh Indonesia luar biasa besar. Ini disayangkan karena dana tersebut tidak menjadi kegiatan yang bermanfaat buat masyarakat, hanya jadi catatan surplus untuk APBD tahun berikutnya.
Perlu terobosan untuk mempercepat dan mengefektifkan penyerapan APBD sehingga tercipta manajemen keuangan daerah yang efisien, efektif, dan berdasarkan good governance.
Beberapa usulan yang bisa jadi pertimbangan, antara lain, membuat tahun anggaran yang berbeda antara pusat dan daerah, yakni daerah mempunyai tahun anggaran 1 April-31 Maret tahun berikutnya. Menerapkan penganggaran tahun jamak sehingga pengerjaan proyek berjangka menengah atau panjang tidak terganggu pergantian tahun anggaran. Menjadikan surplus APBD tahunan sebagai dana cadangan daerah tidak otomatis menjadi bagian dari APBD tahun berikutnya. Penggunaan dana cadangan harus dengan persetujuan DPRD.
Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi UI
KOMPAS, 2 Februari 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Ada Yang Salah Dalam Kelola Pemerintahan SBY
Thursday, 27 December 2007 17:56
Jakarta (GP-Ansor) : Sejumlah anomali atau penyimpangan dalam pemerintahan SBY-JK dinilai sebagai gejala yang salah dalam mengelola negara. Buktinya setelah UU disahkan DPR, Mahkamah Konstitusi terus membatalkannya.
“Sampai berapa banyak UU akan terus mengalami seperti itu, hal ini disebabkan karena DPR tidak membuka ruang aspirasi bagi rakyat,” demikian dikatakan Pengamat Ekonomi FEUI, Dr Faisal Basri dalam diskusi Catatan Kritis Akhir Tahun di Aula GP Ansor, 27 Desember 2007.
Hadir pula Rektor Universitas Paramadina, Dr Anis Baswedan, Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicated Dr Sukardi Rinakit, Indra J Piliang (CSIS), Ali Muchtar Ngabalin (F-BPD), Romo Beny Susetyo (KWI), Anas Urbaningrum (Ketua Partai Demokrat) dan Ketua Umum Ansor, Saifullah Yusuf. Sejumlah pengurus Ansor lainnya, Malik Haramain (Sekjen), H Tatang Hidayat (Ketua Ansor), Abdullah Azwar Annas (Ketua Ansor/Anggota F-PKB)], Mukhtar Hadyu (Wakil Sekjen), Maskut Chandranegara (Wakil Sekjen), Haryanto Oggie (Wakil Sekjen) dan sekitar 200 anggota Banser.
Dikatakan Faisal, kecenderungan seperti ini haruslah cepat dibenahi, karena biaya untuk membuat UU tidaklah sedikit. Apalagi pembuatan UU itu dibiayai dana APBN. “Pemerintah harus cepat tanggap,” ujarnya.
Disisi lain, Faisal mengecam keras Presiden SBY yang dinilai tak mampu membaca data kemiskinan yang ada di Badan Pusat Statistik. Karena setelah diamati secara seksama ternyata perekonomian tidak mengalami kemajuan dan bahkan semakin membuat kacau strata kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengamatan, jumlah orang miskin dan kaya di Indonesia berkembang pesat secara bersamaan. “Memang di satu sisi banyak orang yang menjadi kaya. Tapi di sisi lain, perkembangan orang miskin juga tak kalah pesatnya,” jelasnya.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini hanya dalam bidang jasa di perkotaan yang hanya dinikmati kalangan atas. “Sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, cenderung melemah. Malah pemerintah yang hanya memberikan kemudahan kepada orang yang sudah menikmati kemudahan (orang kaya) selama ini,” terangnya.
Sementara itu, baik Anis Baswedan (Paramadina), pada awalnya juga meragukan berbagai kebijakan dalam pemerintahan SBY. Karena banyak yang tidak pro rakyat. Namun semua itu harus disikapi secara optimis. “Biasanya yang membuat negara tidak stabil itu, ya pemerintah yang berkuasa, karena itu kita akan lihat ke depan apakah ada perubahan ,” ujarnya.
Sedangkan Anas Urbaningrum, mengakui berbagai kritikan kepada SBY itu adalah berdasarkan sebuah realitas yang ada. Karena itu untuk membangun bangsa agar lebih maju ke depan, perlu kiranya mengedepankan semangat optimisme ketimbang rasa pesimisme.
Post a Comment