Kesantunan dinilai menyebabkan absennya perdebatan dalam acara debat tiga calon presiden yang ditayangkan di stasiun televisi swasta. Namun, menurut Anies Rasyid Baswedan PhD (40), pemandu acara itu, Kamis (18/6) malam, yang menyebabkan absennya debat adalah keterusterangan dalam mengekspresikan ide dan gagasan.
”Jangan tidak terus terang dengan alasan kesantunan,” ujar Anies mengenai debat tiga capres bagian pertama, yang bertema tata kelola pemerintahan itu. Acara bersejarah ini masih akan berlangsung empat kali dengan tema-tema berbeda dan pemandu berbeda-beda pula.
Anies menilai, yang tertangkap malam itu dari jawaban para capres sebagian lebih pada
to impress (memberi kesan), bukan
to express (mengungkapkan pendirian secara terus terang).
Bagi intelektual, pemikir, dan Rektor Universitas Paramadina itu, ”Pemimpin harus bicara secara terus terang dan lugas, tetapi santun. Itu gaya komunikasi politik modern.”
Pertanyaan yang diajukan Anies, yang tampil santun dan bersahaja, mencakup beberapa isu peka yang masih terus menjadi persoalan, seperti penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu karena peristiwa politik, masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta lumpur Lapindo yang menyengsarakan ribuan warga.
”Pertanyaan saya buat setelah mengadakan diskusi tertutup dengan dosen-dosen Paramadina dan beberapa kolega analis serta tokoh-tokoh muda untuk mendapatkan masukan tema-tema tentang tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum yang layak didiskusikan,” tutur Anies.
Dari masukan-masukan itu, Anies memilih 15 tema, kemudian ia mencari data-data dan menyusun pertanyaan secara serius. ”Tugas ini adalah amanat yang mulia,” ujarnya.
Untuk acara itu, ia mempersiapkan 15 pertanyaan, meski hanya enam yang kemudian dipakai. Kata Anies, ”Pemilihan pertanyaan baru dilakukan saat acara berlangsung.”
Noam Chomsky, Shirin Ebadi, Muhammad Yunus
Al Gore, Vaclav Havel, Amartya Sen Satu dari 100Nama
Anies Baswedan tercantum sebagai orang Indonesia pertama di antara
100 public intellectuals dunia pilihan majalah yang berwibawa,
Foreign Policy, edisi April 2008. Di antara para tokoh lainnya adalah tokoh perdamaian,
Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti
Shirin Ebadi,
Al Gore,
Muhammad Yunus, dan
Amartya Sen, serta
Vaclav Havel, filsuf, negarawan, sastrawan, dan ikon demokrasi dari Ceko.
Anies ditemui suatu siang pekan lalu di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jakarta. Ruang kerja seluas empat kali empat meter persegi itu dulu juga menjadi ruang kerja almarhum Nurcholish Madjid, tokoh demokrasi, pemikir, dan intelektual Muslim, serta pendiri dan rektor pertama Universitas Paramadina. Tak ada yang berubah di ruangan itu, kecuali tambahan rak buku.
Ketika diangkat menjadi rektor, Mei tahun 2007, usianya baru 38 tahun, menjadikannya rektor termuda di Indonesia. Ia merintis Program
Paramadina Scholarship dengan mengadopsi konsep yang biasa digunakan di universitas-universitas di Amerika Utara dan Eropa, yakni mencantumkan sponsor kuliah ataupun riset sebagai predikat penerima beasiswa.
Jika mahasiswa A mendapat beasiswa dari
The Jakarta Post, yang memang menjadi salah satu sponsor, di belakang nama mahasiswa dicantumkan nama sponsor, menjadi A, Paramadina,
The Jakarta Post Fellow. Predikat itu wajib digunakan dalam berbagai publikasi dan tulisan.
Paramadina mengumpulkan sponsor dari berbagai lembaga dan menyiapkan suatu tim, terdiri dari para dosen, untuk menyeleksi siswa terbaik —tak hanya dari segi intelektualitas— langsung ke berbagai kota. Mahasiswa penerima beasiswa tidak lepas hubungan dengan pemberi beasiswa sehingga tercipta jejaring lintas generasi, lintas strata sosial ekonomi, dan lintas geografi. Lewat program beasiswa ini jejak untuk masa depan dibangun bersama.
”Beasiswanya Rp 110 juta per mahasiswa dari luar Jakarta untuk empat tahun kuliah. Kami menyediakan asrama dan membebaskan mereka dari
tuition fee,” jelas Anies. Saat ini terjaring 69 mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Bagaimana Anda sampai pada gagasan itu?Saya tak mungkin mendapatkan yang saya dapatkan sekarang tanpa beasiswa. Para deputi saya juga bersekolah dengan beasiswa. Sekarang inilah waktu untuk membayar kembali semua yang pernah kita dapatkan.
Hubungan mahasiswa dan perguruan tinggi tak boleh dipandang sebagai hubungan transaksional komersial.
Selama universitas memandang dirinya sebagai ”penjual” jasa pendidikan dan memandang mahasiswa sebagai ”pembeli” jasa pendidikan, komersialisasi pendidikan akan terjadi. Pendidikan tinggi di Indonesia harus memandang dirinya sebagai pendorong kemajuan bangsa dan memandang mahasiswa sebagai
agent of change, karena anak-anak muda bangsa ini yang akan meneruskan peran kita. Universitas Paramadina memilih mengambil peran menghasilkan
agent of change.
Pengelolaan pendidikan memang mahal. Itu tantangan bagi pimpinan universitas untuk kreatif membuat model-model pendanaan alternatif, baik dari pemerintah maupun swasta. Tantangan seperti ini tidak baru. Di negara-negara kapitalis saja pendidikan tinggi tetap dikelola sebagai pendorong kemajuan masyarakat.
Bagaimana manajemen pembiayaannya?Dari Rp 110 juta, kita keluarkan Rp 20 juta per tahun, sisanya di deposito. Di ujung tahun terakhir tersisa Rp 30 juta. Itu masuk
endowment fund sehingga setelah 10 tahun, program itu tak perlu sponsor lagi. Mahasiswa penerima beasiswa juga bisa menyumbang. Caranya dengan menyelesaikan kuliah lebih cepat.
Menciptakan harapanAnies terlibat dalam gelombang demokratisasi sejak mahasiswa. Ia menolak otoritarianisme Orde Baru. Meski aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam, temannya berasal dari berbagai kalangan.
Anies yang pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu memahami Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang tinggi, ”Baik dari suku, etnis, agama, kelompok, maupun geo-sosial-ekologi,” ujarnya.
Menurut Anda, bagaimana mengelola keberagaman?Kita buat pameran masjid di Jerman bekerja sama dengan
Goethe Institute. Kita ingin menyampaikan pesan, untuk mampu berbuat fair, adil, kita harus mampu melihat dari perspektif minoritas. Warga Muslim di Jerman tak akan bisa membangun masjid kalau tak ada penghargaan akan hak-hak beragama, penghargaan pada keberagaman, dan toleransi.
Dengan mempresentasikan kehidupan warga Muslim sebagai minoritas untuk menyadarkan Muslim mayoritas. Dengan begitu, ketika kita membuat aturan dan kesepakatan, harus digunakan perspektif sebagai mayoritas ataupun minoritas. Agama dan budaya harus dipandang sebagai sumber nilai yang tinggi, tak bisa direduksi dan disederhanakan menjadi hukum teknis.
Bolehkah agama dibawa ke ranah politik?Begitu agama dibawa ke ranah politik, segera terjadi distorsi. Wilayah politik adalah tempat menegosiasikan perundingan, dan karena itu, akan ada banyak kompromi. Itu wajar. Kalau kita mencampuradukkan antara agama dan politik, dalam arti negara dipaksa menjadi representasi agama, ya bagaimana, karena negara berhadapan dengan kesejahteraan rakyat.
Yang menjadi jembatan antara nilai agama dan realitas adalah manusia. Maka, manusia harus mampu menerjemahkan gagasan-gagasan dari nilai ke dalam realitas, dan bukan sebaliknya.
Kalau seseorang menjalankan hidupnya dengan andap asor, rendah hati, santun, dalam Islam namanya tawadu’, tak harus bilang, ”Saya melakukan ini karena agama saya mengajarkan itu”, tetapi just do it. Dengan demikian, nilai-nilai itu menjadi universal dan dapat diterima oleh semua.
Berpolitik dengan etika, dengan nilai, menurut saya, hanya terjadi kalau mampu menerjemahkan nilai-nilai ke dalam bahasa universal yang dapat dinegosiasikan. Sekarang ini agama, etnis, dan apa pun bercampur dalam isu identitas. Politik bukan soal itu, tetapi soal nilai-nilai, yang tak hanya bersumber dari agama, tetapi juga adat dan budaya.
Kita harus mulai berpikir melampaui simbol-simbol, logo. Masyarakat Indonesia ke depan harus mampu mengekspresikan itu. Ini yang diperlukan untuk merawat keberagaman kita.
Anda optimis?Dalam setiap tantangan, selalu ada jalan keluar. Optimisme. Tuhan mengajarkan untuk memandang dunia dengan optimisme. Sejak kecil, ibu dan bapak saya selalu menekankan soal optimisme ini.
Maria Hartiningsih, KOMPAS, 21 Juni 2009