Wednesday, June 3, 2009

Ekonomi Kerakyat-rakyatan


Frase ekonomi kerakyatan pertama kali dipopulerkan oleh Prof Dr Mubyarto. Frase ini makin populer di tangan Adi Sasono. Dan sekarang, menjelang Pilpres 2009, kembali frase ini bergulir ke ranah publik.

Mubyarto (1938-2005), guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, adalah doktor ekonomi lulusan Universitas Iowa, Amerika Serikat. Jelas dia seorang pakar ekonomi, bukan politikus. Namun, gagasan Mubyarto tentang Ekonomi Pancasila, yang identik dengan ekonomi kerakyatan, bukan hanya teori ekonomi, melainkan telah merambah ranah politik. Maka, selama tahun 1993-1998, Mubyarto terseret oleh arus besar kekuatan politik Orde Baru.

Ia diminta Soeharto menjadi Asisten Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), khusus untuk menangani desa miskin. Soeharto tidak suka dengan istilah desa miskin. Maka, kata itu dilunakkan menjadi ”desa tertinggal”. Program yang dirancang Mubyarto bersama seorang teman LSM-nya adalah membagi-bagikan uang yang disebut dana Inpres (instruksi presiden) Desa Tertinggal atau IDT.

Program ini disertai dengan penerjunan tenaga lulusan S-1 ke desa-desa penerima dana IDT. Agar tenaga S-1 itu kapabel, mereka dilatih secara kilat tentang pengembangan masyarakat oleh LSM tadi. IDT adalah sebuah proyek besar Orde Baru dengan alokasi dana yang juga sangat besar untuk kurun waktu itu.

Secara sosial maupun politik, proyek IDT gagal. Tahun 1997 fondasi Ekonomi Pancasila Indonesia, yang berpihak pada ”ekonomi kerakyatan”, juga mulai goyah. Lalu, tahun 1998 proyek itu rontok bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru. Anehnya, rakyat sendiri mudah lupa. Adi Sasono, Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), kembali mengusung isu ekonomi kerakyatan dan masih tetap laku. Ketika itu isu ekonomi kerakyatan menempel pada program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Kredit Usaha Tani (KUT) yang sebagian besar macet.

Kucing Deng Xiaoping
Ketika mereformasi perekonomian RRC, Deng Xiaoping (1904-1997), dicerca oleh lawan maupun kawan. Ia dituduh telah berkhianat kepada sosialisme (komunisme) dan lebih berpihak kepada kapitalisme. Jawaban Deng enteng. ”Saya tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”. Bagi Deng, komunis atau kapitalis tidak penting, asal bisa menyejahterakan rakyat.

Ketika akan berangkat ke Perancis untuk belajar, Deng ditanya sang ayah: ”Apa yang kau harap dari belajar ke Perancis?” Mengulang kata-kata gurunya, ia menjawab, ingin menimba ilmu dan kebenaran dari Barat untuk menyelamatkan China.

Secara konkret, Deng menyebut bahwa sosialisme tidak berarti membagi kemiskinan sama rata sama rasa. Rakyat di negeri komunis juga harus sejahtera dan boleh kaya. ”Kendali pemerintah dan pasar bebas, bukan perbedaan utama antara sosialis dan kapitalis. Kendali pemerintah terhadap perekonomian tidak selalu identik dengan sosialisme sebab kendali itu juga berada di bawah kapitalime. Sebaliknya, pasar bebas juga bisa terjadi di bawah sosialisme. Kendali dan kekuatan pasar, dua-duanya hanyalah cara untuk mengawasi kegiatan perekonomian”. Sejak itulah Deng mengubah wajah RRC dari sosialis menjadi komunis yang kapitalis.


Kata-kata Deng tentang kucing hitam dan kucing putih sebenarnya sebuah pernyataan politik. Bedanya, pernyataan itu bukan hanya sekadar alat, melainkan benar-benar target politik. Target utama Deng bukan sekadar menjadi pemimpin tertinggi, melainkan menyejahterakan rakyat RRC. Untuk itu ia akan pasang badan, bahkan sampai harus melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa Tiananmen.

Agar target itu tercapai, ia tidak mempertentangkan sosialis dengan kapitalis. Ia justru sangat memanfaatkan struktur sosial yang sudah dibangun Mao untuk ditempeli sistem ekonomi kapitalis. Populasi penduduk diatas satu miliar jiwa ia lihat sebagai berkah, bukan musibah. Maka, di tengah resesi dunia akibat keteledoran sistem kapitalisme AS, saat ini RRC bisa berbangga sebagai negeri dengan cadangan devisa terbesar dan nyaris tanpa utang.

Nasib Indonesia
Indonesia dengan populasi penduduk di atas 200 juta berada pada peringkat keempat setelah RRC, India dan AS. Tetapi kita melihat populasi penduduk yang besar itu sebagai musibah. Angkutan umum penuh pengasong dan pengamen. Trotoar kota besar dijejali pedangang kaki lima. Di ujung gang dan pertigaan jalan selalu ada “Pak Ogah” dan berjejal tukang ojek. Di terminal bus, stasiun kereta api, dan pelabuhan, selalu ada orang yang merebut tas dan menarik-narik paksa calon penumpang. Kita sekarang juga terkenal sebagai eksportir tenaga kerja Indonesia (TKI), terlebih TKW.

Meski penduduk RRC di atas satu miliar, tak ada yang berminat untuk menjadi TKC (tenaga kerja China) karena pemerintah bisa mengupayakan lapangan kerja bagi rakyatnya.

Di negeri eksportir TKI ini, dari zaman Mubyarto sampai Pilpres 2009, isu ekonomi kerakyatan masih sekadar alat politik, bukan target politik. Karena hanya sebagai alat, kalau tujuan sudah tercapai alat boleh dibuang, minimal disimpan untuk digunakan lagi pada Pemilu 2014.

Tahun 1999 pernah ada partai politik mengusung slogan “membela wong cilik”. Ini juga hanya alat politik, bukan target. Maka, ketika partai tersebut menang pemilu, wong cilik sah untuk dilupakan. Andai partai ini benar-benar menjadikan wong cilik sebagai target untuk diangkat martabatnya, dan untuk disejahterakan, rakyat pasti akan tetap mendukungnya tahun 2004, bahkan sampai tahun 2009 ini.

Dalam Pilpres 2009, mustahil isu ekonomi konglomerat diangkat, terlebih ekonomi untuk diri sendiri. Maka, tiga pasangan capres dan cawapres sama-sama berebut isu ekonomi kerakyatan. Tetapi, rakyat juga tahu bahwa di negeri ini yang sering dijanjikan bukan sesuatu yang akan benar-benar terjadi.

Sesuatu yang mirip anak, padahal jelas sudah bukan anak-anak lagi, akan disebut kekanak-kanakan. Orang bukan Barat yang bertingkah laku seperti orang Barat, disebut kebarat-baratan. Ekonomi yang seperti untuk rakyat, tetapi tidak benar-benar untuk rakyat, pas disebut sebagai ekonomi kerakyat-rakyatan.

F Rahardi, Penyair; Wartawan
KOMPAS, 28 Mei 2009

No comments: