“Karena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada saya dengan senyum mengasihani. ”Karena itu kau tak mengerti ….”
Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak menyukai tarian itu, sebuah karya abad ke-18 yang tak menggugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya, menyimpulkan saya ”tak mengerti”.
Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya akan kata-kata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang merasa lebih kenal rakyat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang inlander.
Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa itu ”Jawa”?
Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi siapa saja yang datang dari Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi siapa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap ….
Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah orang yang dianggap penggerak ”separatisme” disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis laporan buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang ”telah banyak membunuh” orang Papua.
Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 1965-1966 juga telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.
Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject of ’Java’. Buku itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai identifikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan di pesisir utara Jawa Tengah di mana orang menggunakan bahasa yang berbeda-beda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering menonton wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan disebut ”Jawa”?
Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang ”Jawa” dengan modernitas. Wacana itu dan keinginan membentuk identitas itu muncul justru ketika modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa, masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kasunanan”, dan istana Mangkunegoro yang biasa disebut ”Mangkunegaran”.
Dari keduanyalah mula-mula orang bicara tentang ”Jawa”. Dunia ”Kasunanan” adalah dunia ”Jawa” yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari tatapan dan pemahaman para pengelola kolonialisme Belanda. Dunia ”Mangkunegaran”, yang lebih muda umurnya, punya kecenderungan sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut ”Langenharjan” adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana formal Belanda (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan kain batik. Berangsur-angsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara pernikahan orang di luar istana.
”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pemberton disebut sebagai the sense of hidden ’Java’. Ada yang kemudian membuatnya sebagai misteri yang memikat tentang ”Jawa”. Tapi, bagi saya, jangan-jangan yang disebut oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia Jawa” atau ”de geheime Javaansche wetenschap” itu satu pengakuan akan tak mungkinnya bahasa mana pun merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, sebagaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di negeri Antah Berantah.
Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu menganggap saya -yang berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik- dikatakan ”bukan orang Jawa”. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu ”Jawa” sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau permusuhan, atau pertalian.
Goenawan Mohamad, TEMPO, 1 Juni 2009
Michelle Jacquet DeSevren Branch (lahir di Phoenix, Arizona, 2 Juli 1983) adalah seorang penyanyi, pencipta lagu dan gitaris asal Amerika Serikat. Sebagai bayi prematur yang lahir 7 pekan lebih awal, nama depannya diambil dari sebuah lagu The Beatles yang berjudul "Michelle". Penyanyi blasteran Irlandia, Indonesia, Perancis, dan Belanda ini memiliki dua saudara. Nenek Michelle Branch dari ibunya lahir di Jawa Timur sehingga kemungkinan besar Michelle adalah keturunan Jawa.
Paul Slamet Somohardjo atau terkadang ditulis Soemohardjo (lahir di Paramaribo, 2 Mei 1943) adalah seorang politikus Suriname. Pada tanggal 30 Juni 2005 ia diangkat menjadi ketua Parlemen Suriname. Soemohardjo adalah seorang Suriname keturunan Indonesia atau mungkin lebih tepat disebut keturunan Jawa. Soemohardjo adalah pemimpin partai politik Pertjaja Luhur (kadangkala dieja sebagai Pertjajah Luwur atau Perdjaja Luhur dsb.). Partai politik ini terutama beranggotakan orang Jawa Suriname.
Sumber: Wikipedia
1 comment:
Itu Pak Harto (mantan Presiden-nya Orde Baru) dulu -kalo tak salah-juga bikin buku yg menceritakan ttg butir2 budaya Jawa, se-akan2 dia sudah menerapkan nilai2 ke-Jawa-an yg patut diteladani. Gak tahu-lah dia itu apa justru menyelewengkan ato tidak.
Post a Comment