Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Saturday, December 26, 2009
R e c e h a n
Di Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendiri. Sejak Daendels membentangkan 1400 km “La Grande Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan ketika dinas pekerjaan umum Republik Indonesia membuka jalur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan sebagai ruang untuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan gerak, dari dunia modern yang dinamis dan tak tergantung langsung pada alam. Tapi apa yang kita alami kini? Dengan lekas bisa anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan hambatan; jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam. Jalan adalah lahan banjir.
Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendaraan ini berkembang biak dengan cepat. Dan dengan cepat pula mobil, sebuah tanda modernitas yang lain —teknologi dengan dinamika tinggi— telah terbalik posisinya: ia malah jadi simptom kesumpekan. Kita bisa hitung berapa meter persegi wilayah jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya jika ada 500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa kecilnya bagian kota yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah kongesti, inilah “batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”.
Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan dengan rada persis bagaimana akibat kongesti ini bagi hidup kejiwaan. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilometer dalam satu jam, terutama sekitar pukul tujuh malam hari? Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar yang tak terhingga?
Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap di jok mobil. Atau menulis sajak. Tapi saya tak tahu bagaimana orang lain memanfaatkan kemacetan itu —yang mengambil kira-kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seminggu, atau sekitar tiga hari kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas adalah implikasinya bagi kehidupan bersama. Kongesti itu —berjubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu— adalah sebuah gejala perpecahan sosial.
Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di sebelah, di depan, dan mungkin juga di belakangnya sebagai pihak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme, berlangsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mulut atau klakson). Menutup mata tidur juga bisa jadi sikap tak mengacuhkan orang yang di luar sana.
Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang disebut Hirsch, dalam The Social Limits to Growth, sebagai ”the tyranny of small decisions”: keputusan individual yang tak bertautan satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya membeli mobil, saya tak memikirkan apa dampaknya bagi kelancaran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca —hal-hal yang merupakan bagian kebersamaan.
Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat —yang biasa dibayangkan sebagai sebuah bangunan utuh— tak hadir. Polisi lalu lintas —jika pun ada— memperkuat raibnya keutuhan sosial itu, ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang sogok. Sebagaimana banyak orang menghayati mobil dan ruas jalan sebagai milik privat, polisi itu juga memberlakukan otoritasnya sebagai kekuasaan privat. Saya selalu mengatakan, korupsi adalah privatisasi kekuasaan yang didapat dari orang banyak.
Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang dan jasa masyarakat yang, dalam kata-kata Marx, “dikomunikasikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli.” Di kemacetan jalan Jakarta, kita tak lagi bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hukum, kelancaran, dan udara bersih.
Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan public spirit, moralitas dan semangat untuk kepentingan publik.
Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan mengendalikan kapitalisme dari bahaya “tirani keputusan-keputusan kecil”. Itulah inti dari “kompromi Keynesian”, cara Keynes untuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelanjutan. “Kompromi Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa diserahkan kepada pasar. Diakui bahwa public spirit selamanya perlu.
Ketika zaman neoliberal kini ditinggalkan, ketika “kompromi Keynesian” diangkat untuk dijadikan kebijakan lagi, timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus —dan bisa— memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia memaksimalkan kepentingan diri.
Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam “kompromi Keynesian” itu, bahwa para pejabat Negara yang jadi pengelola sistem sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai tersendiri?
Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya bebas dari “tirani keputusan-keputusan kecil”. Di atas saya telah sebutkan korupsi sebagai privatisasi kekuasaan. Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat bekerjanya apa “yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi?
Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos polisi di pojok perempatan. Mungkin jawabnya bukan di jalan-jalan yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan. Jawabnya ada di dekat kita sendiri.
Ketika Prita didenda Hakim —yakni petugas Negara yang tak adil— kita secara spontan berduyun-duyun datang untuk bersama perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan uang recehan —fragmen dari sebuah kesatuan yang tak nampak— yang justru menunjukkan sesuatu yang mengagumkan: kita belum menyerah kepada “tirani keputusan-keputusan kecil”. Kita adalah bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sampai hari ini.
Goenawan Mohamad
TEMPO, 14 Desember 2009
Friday, December 25, 2009
Sepasang "Sandal" Penjaga Umat
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah organisasi massa Islam yang usianya jauh lebih tua dari usia Republik Indonesia. Selama perjalanannya, kedua organisasi ini konsisten menjaga umat dan bangsa meski sering kali tak berjalan mulus.
”NU-Muhammadiyah itu ibarat sepasang sandal bagi bangsa Indonesia. Antara bagian kanan dan kirinya berbeda, tetapi ia harus digunakan bersama,” kata Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi saat menerima kunjungan rombongan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin Ketua Umumnya Din Syamsuddin di Kantor PBNU, Jakarta, Sabtu (19/12).
Sebagai sepasang sandal, ia harus digunakan bersama, tidak mungkin hanya digunakan sebelah bagian saja. NU dekat dengan kalangan masyarakat pedesaan, sedangkan Muhammadiyah akrab dengan kelompok masyarakat perkotaan. Sulit bagi tiap-tiap kelompok itu untuk berdakwah di luar kelompok masyarakat yang selama ini telah menjadi domain-nya.
Kunjungan itu dilakukan dalam rangka Peringatan Bersama Tahun Baru 1 Muharam 1431 Hijriah. Tahun sebelumnya, peringatan itu dilakukan di Kantor PP Muhammadiyah dengan tamu delegasi dari PBNU. Saling kunjung itu diharapkan bisa menjadi upaya mengeratkan dan mengharmoniskan hubungan antara NU dan Muhammadiyah meskipun berbagai perbedaan di antaranya tak mungkin dihilangkan.
Namun, keakraban di antara elite NU dan Muhammadiyah itu bukanlah cerminan kondisi sebenarnya di antara warga NU dan Muhammadiyah, seperti yang diungkapkan salah satu anggota rombongan dari Muhammadiyah. Di beberapa daerah, perseteruan warga dari dua aliran keagamaan itu bak api dalam sekam.
Ketidaksukaan di antara mereka memang jarang menimbulkan konflik terbuka seperti yang terjadi terhadap sejumlah kelompok agama lainnya. Perseteruan umumnya berakhir dengan ”perceraian” dalam hubungan sosial kemasyarakatan, seperti mendirikan masjid sendiri meskipun lokasinya bersebelahan atau menolak bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan kelompok lain.
Persoalan klasik
Ketidakcocokan itu hingga kini masih didasari oleh persoalan klasik berupa pemahaman dan proses ritual agama yang berbeda. Kondisi itu jelas berbeda dibandingkan kecemburuan sosial yang terbangun pada masa Orde Baru yang dibungkus dengan kecemburuan politik.
Saat itu warga NU benar-benar termarjinalkan, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, maupun politik. Sementara warga Muhammadiyah dinilai lebih beruntung karena lebih dekat dengan kekuasaan. Kondisi itu setidaknya terlihat dari penunjukan menteri agama selama Ode Baru yang biasanya diberikan Presiden Soeharto kepada kader Muhammadiyah.
Di luar persoalan klasik itu, kedua ormas Islam ini sebenarnya menghadapi persoalan yang sama saat ini, yaitu merebaknya aliran keagamaan yang cenderung eksklusif dan menolak akar budaya bangsa. Mereka sama-sama dihadapkan pada pengaruh paham keagamaan yang keras dan merebak tak hanya di wilayah perkotaan, tetapi hingga ke pelosok kampung.
Din mengingatkan, ”Ormas itu hanya alat, bukan tujuan, apalagi kalau dijadikan agama.” Karena itu, ketegangan di antara warga dua ormas itu harus diselesaikan bersama demi menghadapi persoalan bersama yang jauh lebih berat.
Pertentangan antara sebagian warga NU dan Muhammadiyah itu dinilai Din terjadi akibat kesalahpahaman dan kurangnya toleransi terhadap pemahaman kelompok lain. Dengan silaturahim di antara para elitenya, warga kedua ormas itu di tingkat akar rumput diharapkan akan mengikuti jejak itu.
Di luar persoalan keagamaan, NU dan Muhammadiyah juga perlu lebih menunjukkan kepeduliannya terhadap berbagai persoalan bangsa. Maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme berbaur dengan persoalan perubahan sosial yang dihadapi umat.
Masyarakat dihadapkan pada gencarnya kecenderungan materialisme, konsumerisme dan budaya inderawi yang semakin jauh dari nilai-nilai agama.
Semua persoalan itu membutuhkan benteng rohani yang kokoh bagi setiap warga negara. Kemiskinan, rendahnya kesejahteraan, dan tingkat pendidikan harus dijawab kedua pimpinan ormas itu agar warganya mandiri secara ekonomi, berdaya, dan berkemajuan. Para juru dakwah NU dan Muhammadiyah juga harus mampu memberikan jawaban bahwa nilai-nilai agama masih relevan dalam menjawab setiap persoalan hidup mereka.
M Zaid Wahyudi
KOMPAS, 24 Desember 2009
Label:
Din Syamsuddin,
Hasyim Muzadi,
Muhammadiyah,
NU,
Sandal
Wednesday, December 23, 2009
Presiden Merasa Akan Dijatuhkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menilai, saat ini terjadi fitnah dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk menggoyang bahkan menjatuhkan pemerintahannya, serta menghancurkan nama baik Partai Demokrat.
Yudhoyono menyatakan hal itu saat memberikan pengarahan pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Demokrat tahun 2009 di Jakarta, Minggu (6/12). Perilaku politik yang dimaksudkan Presiden berbentuk fitnah dan pembunuhan karakter itu adalah tudingan tentang aliran dana talangan Bank Century ke sejumlah kader Partai Demokrat, termasuk keluarganya.
Pada rapimnas itu, ia kembali menegaskan bantahan atas tudingan tersebut. Yudhoyono menegaskan, tak ada satu rupiah pun pendanaan bagi perjuangan Partai Demokrat yang tidak halal.
”Akal sehat saya mengatakan, perilaku politik seperti ini, paling tidak dalam jangka pendek, ingin menggoyang, mendiskreditkan, dan kalau bisa menjatuhkan SBY dan pemerintahannya. Jangka menengah dan panjang, ingin menghancurkan nama baik Partai Demokrat di muka rakyat agar pada Pemilu 2014 dilupakan dan diharapkan kalah total,” ujarnya.
Presiden meminta fitnah yang ditujukan kepada kader Partai Demokrat tak dibalas dengan fitnah. Politik adu domba yang sedang terjadi juga diharapkan tak memancing kader Partai Demokrat menggunakan pola politik serupa. Namun, fitnah mesti dijawab kader Partai Demokrat.
”Pertanyaannya sekarang, sebagai kader Partai Demokrat, relakah kita? Akankah kita biarkan kehormatan kita diinjak? Akankah kita biarkan masa depan kita sebagai partai yang sejak awal ingin berjuang dengan moral politik yang baik dihancurkan?” seru Presiden dari atas podium.
Seruan ini dibalas berulang kali dengan teriakan ”tidak” oleh pengurus dan kader partai yang menghadiri rapimnas.
Presiden menyampaikan, jalur hukum mesti ditempuh untuk menjawab fitnah serta pembunuhan karakter terhadap dirinya dan kader Demokrat yang lain. Selain itu, ia juga meminta kader partai yang jadi anggota Panitia Khusus Angket Bank Century di DPR mengupayakan pengungkapan masalah itu secara tuntas.
”Dengan penjelasan ini, saya ingin marilah kita tetap menggunakan jurus putih dalam melaksanakan politik. Jangan tergoda menggunakan jalur politik yang hitam,” ujarnya.
KOMPAS, 7 Desember 2009
Pertanyaan Adhie Massardi dari Komite Bangkit Indonesia
Ada banyak pertanyaan yang lebih substansial dalam kasus Bank Century, seperti tentang kebijakan pemerintah saat itu, yang antara lain menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu yang dikeluarkan Presiden Yudhoyono pada 15 Oktober 2008 ini dalam pertimbangannya adalah untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan yang saat itu sedang terjadi.
”Namun, perppu itu praktis hanya dipakai untuk Bank Century. Sebab ternyata tidak ada bank yang kondisinya seperti Bank Century,” jelas Adhie Massardi.
Pertanyaan lain, mengapa pada 14 November 2008 Bank Indonesia (BI) mengubah persyaratan rasio kecukupan modal (CAR) untuk bank dari 8 persen menjadi cukup hanya positif saja, tidak ada syarat minimal. Hal itu membuat BI menyetujui pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp 502,07 miliar. Saat itu Bank Century adalah satu-satunya bank yang memiliki CAR di bawah 8 persen.
Seperti telah disampaikan BPK dalam laporan audit investigasinya, perubahan kebijakan persyaratan CAR itu patut diduga dilakukan agar Bank Century menjadi memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari BI.
KOMPAS, 2 Desember 2009
Presiden Bantah Aliran Dana Bank Century kepada Tim SBY
”Dikatakan ada aliran dana dari Bank Century kepada tim politik SBY dalam jumlah besar. Saudara-saudara, di hadapan Allah, pada kesempatan yang baik ini, di forum pendidik yang mulia, yang memiliki perasaan, nurani, dan akal budi, saya ingin menyampaikan, berita itu 100 persen tidak benar,” ujar Presiden dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun 2009 dan Hari Ulang Tahun Ke-64 Persatuan Guru Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (1/12).
Presiden menyebutkan, fitnah, pencemaran nama baik, dan pembunuhan karakter, seperti yang dialaminya dan keluarga, berpotensi merusak demokrasi. ”Kalau politik yang kita harapkan makin bermartabat, sebagai cerminan dari demokrasi yang makin matang, tiba-tiba penuh dengan intrik, fitnah, saya harus mengatakan, keadilan bisa terinjak, demokrasi bisa rusak, dan peradaban dapat tercemar,” ujarnya.
KOMPAS, 2 Desember 2009
Jika Hak Angket Sampai Gembos
“Jika usulan hak angket ini sampai gembos, berarti yang menggembosi bukan paku, namun linggis.” Demikian disampaikan Akbar Faizal, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, menanggapi usulan DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki dana talangan ke Bank Century yang mengambil uang negara Rp 6,7 triliun ini.
KOMPAS, 2 Desember 2009
Tuesday, December 22, 2009
UFO Melayang-Layang di Lapangan Merah Moskow
Sebuah benda misterius terlihat di langit kota Moskow. Benda yang dikenali sebagai UFO (Unindetified Flying Object) telah memicu spekulasi bahwa kota itu telah dikunjungi oleh pesawat ruang angkasa asing.
Objek yang besar itu berbentuk piramida dan selama berjam-jam terbang di atas Lapangan Merah di ibukota Rusia. Warnanya abu-abu, namun detilnya samar ditangkap kamera video. Setidaknya ada dua video yang terpisah -satu difilmkan selama siang hari dan satunya lagi pada malam hari- kini menjadi sensasi di ranah online.
Belum ada komentar dari pihak polisi atau pejabat berwenang di Rusia. Laporan adanya objek besar di langit berbentuk piramida mencuat hanya beberapa hari setelah peluncuran rudal Rusia.
Hal ini juga memicu serentetan penampakan UFO di Norwegia. Spiral cahaya yang dramatis terlihat di bagian utara negara itu, yang mendorong teori bahwa itu disebabkan oleh meteor, yang sering disebut Bintang Utara.
Namun, Rusia kemudian mengungkapkan bahwa uji coba penembakan rudal antarbenua telah berakhir dengan kegagalan -ketika pada saat yang sama banyak pengamat menyaksikan pertunjukan cahaya spiral di pagi hari.
Nur Haryanto, SKYNEWS, TEMPO Interaktif, 19 Desember 2009
Giant Pyramid UFO 'Hovers Over Moscow'
A mysterious 'UFO' seen in the sky over Moscow has sparked speculation that the city has been visited by an alien spacecraft.
The pyramid-shaped object was said to have remained for hours over the Red Square in the Russian capital.
The fuzzy grey shape was apparently captured on film in at least two separate videos -one filmed during the daytime and another at night- which became an online sensation.
But sceptics suggested there would be thousands of videos, rather than just two, if the object really had remained in the skies for hours.
Russian police have not commented on the alleged sightings.
The reports of the pyramid come just days after a Russian missile launch set off a spate of UFO sightings in Norway.
The dramatic light spiral seen over the north of the country prompted theories that it was caused by a meteor, the Northern Lights or even aliens.
However, Russia later revealed that its test-firing of a new intercontinental missile had ended in failure - at the same time as observers witnessed the early morning light show.
Sky News, December 18, 2009
http://uk.news.yahoo.com/5/20091218/tod-giant-pyramid-ufo-hovers-over-moscow-870a197.html
UFO pyramid reported over Kremlin
A giant pyramid which appears to be a UFO hovering over the Kremlin has caused frenzied speculation in Russia that it is an alien spacecraft.
The object has been compared to an Imperial Cruiser in the Star Wars films and witnesses estimated it could be up to a mile wide.
Two film clips exist which appear to show the same object and footage has been repeatedly playing on Russian television news channels.
The shots, one taken at night from a car and one during the day, were both filmed by amateurs.
The 'craft' was said to have hovered for hours over Red Square in the Russian capital.
The clips of the 'invasion' have gone to the top of the country's version of YouTube.
The identity of the shape has not been confirmed. Russian reports ruled out a UFO but police refused to comment.
Nick Pope, a former Ministry of Defence UFO analyst, said it was "one of the most extraordinary UFO clips I've ever seen".
"At first I thought this was a reflection but it appears to move behind a power line, ruling out this theory."
A spokesman for aerospace journal Jane's News said: "We have no idea what it is."
Telegraph, 18 Dec 2009
http://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/howaboutthat/ufo/6781106/Russian-missile-failure-sparks-UFO-frenzy-in-Norway.html
Saturday, December 19, 2009
Aliran (Bola Panas) Dana Bank Century
Setelah kisruh ”KPK lawan polisi” dalam kasus hukum Bibit-Chandra mengalami pasang surut, kini stabilitas eksternal politik dalam negeri kembali menghangat melalui advokasi kasus Bank Century.
Ada banyak prediksi bahwa kasus Bank Century memiliki efek getar dahsyat karena terkait beberapa pejabat di episentrum kekuasaan. Tantangannya kini, bagaimana mencapai solusi agar kasus Bank Century tidak menjadi bola salju yang dapat menghancurkan semua optimisme yang terbangun setelah kita berhasil menyelenggarakan pemilu lalu.
Dua masalah
Sebenarnya, terkait Bank Century, ada dua isu utama yang menyedot perhatian publik.
Pertama, keterlibatan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dalam mengurus pencairan dana seorang deposan besar di Bank Century yang ditengarai banyak pihak sebagai abuse of power untuk kepentingan pribadi. Sinyalemen penyalahgunaan kewenangan ini mengusik rasa keadilan karena pada saat yang sama, nasabah kelas menengah ke bawah belum mendapat pembayaran sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perlindungan nasabah oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Sebagaimana diyakini publik, buntut dari kontroversi masalah ini telah dipandang sebagai sumber pemicu perseteruan KPK dan kepolisian beberapa waktu lalu.
Kedua, menyangkut kecurigaan masyarakat atas membengkaknya jumlah kumulatif penalangan penyelamatan Bank Century menjadi Rp 6.700.000.000.000 (6,7 triliun) yang digelontorkan lewat empat kali pengucuran dana. Kecurigaan masyarakat di bidang ini pun memiliki dasar, khususnya bila disandingkan dengan fakta persetujuan DPR tentang besaran dana talangan yang amat jauh di bawah nilai kumulatif itu, sebagaimana terungkap dalam rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Keuangan beberapa waktu lalu.
Dari dua hal itu, masalah Bank Century menggelinding bak bola panas yang dari hari ke hari mengembangbiakkan berbagai kecurigaan tentang adanya konspirasi jahat di balik kasus penyelamatan Bank Century.
Testimoni mantan Wapres JK, yang menyebut skandal ini sebagai perampokan bank terbesar selama era reformasi, turut menguak luka lama trauma masyarakat —khususnya kelas menengah— atas terulangnya kembali skandal BLBI jilid II yang amat menyakitkan rasa keadilan bangsa hingga kini.
Solusi
Suka atau tidak, kini perkembangan kasus Bank Century bukan saja sekadar soal perbankan sehingga masyarakat tidak lagi cukup diyakinkan hanya dengan jawaban dan argumen teknis perbankan semata. Persepsi publik telah jauh terbentuk dan mengerucut ke arah yang lebih mendasar dan krusial seputar korelasi aliran dana Bank Century dengan pendanaan kampanye pemilu/pilpres tempo hari. Mengesampingkan tren penilaian publik ini sama saja dengan memperkeruh situasi karena potensi politisasi terhadap kasus itu akan kian mendapat ruang gerak yang luas.
Karena itu, ada dua ranah solusi yang harus bersama-sama dijadikan jalan keluar untuk menuntaskan kasus Bank Century.
Kedua, masuk ranah hukum di mana aneka temuan penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat dan semua pihak yang berhubungan dengan aliran dana Bank Century harus diproses secara hukum oleh institusi penegak hukum tanpa pandang bulu. Perlu dicatat, kepastian hukum dalam penanganan kasus ini akan berbanding lurus dengan tingkat stabilitas politik kita pada masa mendatang, karena legitimasi pemerintahan kita kini amat dipertaruhkan dalam kasus ini.
Bila kasus Bank Century ditangani dengan cara itu, diyakini kasus ini akan merupakan episode penting yang amat bermanfaat bagi perkembangan bangsa ke depan.
Kastorius Sinaga, Sosiolog Universitas Indonesia
KOMPAS, 2 Desember 2009
Nyanyian "Sumbang" Century
Badan Pemeriksa Keuangan telah menyerahkan hasil audit investigatif Bank Century kepada DPR, Jumat (20/11). Kita meraba ada banyak keganjilan dan dugaan korupsi.
Jika ditemukan penyimpangan dan aliran dana politik, kasus ini bisa menjatuhkan kekuasaan korup. Atau sebaliknya. Ia pun berpotensi disalahgunakan menjadi sekadar posisi tawar politik yang juga tak kalah korup.
Kedua kemungkinan itu perlu sama-sama dicermati, termasuk kompleksitas skandal hukum, mafia peradilan, dan corruptor fight back terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang menemukan titik kritis belakangan ini. Tepatnya, terjadi dugaan rekayasa proses hukum dan kriminalisasi saat KPK mengusut skandal Bank Century dari kacamata pidana korupsi.
”Centurygate”
Penggunaan istilah gate di belakang Century mulai luas dilakukan. Membaca penggunaan gate, dari ”Watergate” di AS yang berujung turunnya Presiden Nixon (8/8/1974) hingga ”Buloggate” yang berujung jatuhnya seorang Presiden RI, memberi nuansa tersendiri dalam kasus ini. Namun, kita berharap, terma gate dapat menjadi simbol keseriusan pengusutan sejumlah kejanggalan dan permainan mafia di balik skandal Bank Century.
Dari aspek politik, mekanisme hak angket mulai bergulir dan sudah disetujui DPR. Meski sulit berharap banyak, proses ini patut dituntaskan. Demikian juga dengan KPK yang telah melakukan penyelidikan (6/2009).
Alasan paling sederhana di balik penuntasan ”Centurygate” adalah, kita tidak ingin fungsi dan keuangan negara dibajak kepentingan mafia. Titik kritis pengusutan korupsi dapat dilakukan dari kategorisasi dugaan pelanggaran Century dalam tiga logika.
Pertama, kejanggalan pembentukan Bank Century. Kedua, perkembangan status Bank Century yang dapat dipahami sebagai peringatan awal kemungkinan membebani keuangan negara dan merugikan publik.
Pada dua poin ini, kita bicara praktik mafia perbankan. Hal ini potensial memberi ruang kejahatan lain, seperti pencucian uang dan dana-dana yang sulit dipertanggungjawabkan secara hukum. Sepatutnya PPATK punya sarana dan kewenangan untuk meneropong fase ini.
Ketiga, kemungkinan desain kebijakan yang disusun untuk membenarkan pelanggaran. Kita perlu cermat melihat fenomena revisi peraturan Bank Indonesia yang dinilai melancarkan pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek dan penyertaan modal sementara. Sejumlah rapat dewan gubernur dan surat menyurat akan menjadi pintu untuk mencari aktor utama yang ngotot Century dibantu.
Dari titik ini, kita bisa paham, mengapa pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu menyuntik dana Rp 6,7 triliun. Masyarakat tentu sulit percaya jika Bank Century tidak dibantu, akan berakibat sistemik. Apalagi, audit BPK meragukan penilaian itu. Bahkan, PPATK punya catatan rekening mencurigakan terkait Bank Century.
Dari kacamata motif ekonomi-politik dan korupsi, fenomena ini dapat dijelaskan dengan terma ”pembajakan negara”. Secara sederhana, penggunaan sarana negara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pembiayaan politik dan keuntungan mafia bisnis, ini pembajakan negara.
Sandera politik
Jika saja state capture itu benar, agaknya kita bisa meramalkan nasib pihak yang ada di balik ”Centurygate”. Namun, kita berharap, teori itu hanya kekhawatiran berlebihan.
Di tengah kegeraman dan kecurigaan publik, skandal Century harus dituntaskan. Ini bukan hanya untuk menemukan ada-tidaknya korupsi dan persekongkolan jahat, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas pemerintah, terutama terkait informasi dana kampanye, pencucian uang, dan kabar penalangan kontroversial yang beredar di masyarakat.
Penyelesaian kasus ini tak boleh mengambang seperti banyak kasus sebelumnya. Ketidakjelasan penyelesaian akan menyandera pemerintah selamanya. Lihat saja megaskandal BLBI yang hingga kini dimasalahkan. Dan itu lekat di ingatan publik.
Sejumlah informasi kontroversial sudah beredar. Meski berulang kali dibantah, masyarakat tidak mudah percaya karena selama ini semua koruptor selalu membantah melakukan korupsi.
Demikian juga dengan hak angket. Masyarakat pasti tidak ingin angket ”Centurygate” hanya berakhir dengan posisi tawar politik koruptif. Apalagi, sejarah hak angket di DPR 2004 hampir cenderung gagal. Kita tak pernah tahu, konsesi apa yang didapatkan para pendukung hak angket dari kekuasaan atau mafia bisnis. Lihat saja angket BLBI yang kandas dalam proses lobi (Kompas, 11/6/2008). Begitu pula upaya mengungkap kasus Adaro, Lapindo, DPT, BBM, dan lainnya. Bukan tidak mungkin, sebuah hak angket dapat disulap menjadi ”ATM politik”.
Dengan demikian, bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemungkinan tak tuntasnya pengungkapan ”Centurygate” akan merugikan kredibilitas dan posisi politiknya. Jika KPK didukung mengusut, setidaknya SBY bisa paham, siapa ”koruptor dalam selimut” yang selama ini bersarang di lingkaran negara. Sebaliknya, jika angket bisa tuntas dan tak dijegal, diperkirakan SBY dan partainya tak akan tersandera politik jangka panjang, Meski, seperti nyanyian, harus diakui ada banyak nada sumbang dalam kasus ini.
Namun, nyanyian tak merdu ini sudah lama terdengar. Agar tidak menimbulkan kegaduhan publik, orkestra Century harus dibenahi, secara politik dengan penuntasan hak angket dan secara hukum dengan pengusutan dugaan korupsi oleh KPK.
Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW
KOMPAS, 2 Desember 2009
Label:
Bank Century,
BPK,
Centurygate,
Febri Diansyah,
KPK,
PPATK
Wednesday, December 16, 2009
Januari 2010, China "Serbu" Indonesia
Mulai 1 Januari 2010, Indonesia akan ”diserbu” China. Pernyataan ini bukan rumor, tetapi benar-benar akan terjadi jika Indonesia tidak mempersiapkan diri. Serbuan China ke Indonesia bukan berbentuk invasi militer, tetapi berwujud barang dan jasa kebutuhan masyarakat Indonesia sehari-hari. Hal ini sebagai konsekuensi sejak Indonesia ikut program ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) antara negara-negara ASEAN dan China.
Siapkah Indonesia?
Menghadapi ”invasi” China itu, apakah Indonesia sudah siap? Dilihat dari indikator perekonomian Indonesia beberapa waktu terakhir, memang terlihat ada kecenderungan meningkat dibanding awal dekade lalu. Namun, itu belum cukup sebagai perisai. Bahkan, krisis finansial global tahun 2008 masih juga menyisakan kelesuan ekonomi dunia yang juga berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri.
Sektor industri manufaktur di Indonesia yang pernah menjadi tumpuan pembangunan perekonomian, selain sebagai penyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang devisa lewat kinerja ekspornya, kini terbilang menurun. Sebagaimana dicatat Biro Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2009 ekspor manufaktur Indonesia merosot hampir 25 persen dari total 60,831 miliar dollar AS menjadi 45,632 miliar dollar AS.
Penurunan ini juga menurunkan total ekspor nonmigas sebesar 18,31 persen. Bahkan, dalam perhitungannya, Depperin juga memperkirakan penurunan nilai ekspor 12 industri manufaktur unggulan, seperti industri pengolahan kelapa sawit mentah (CPO), besi baja, otomotif, elektronika, pengolahan karet, pulp dan kertas, serta industri peralatan listrik sebesar 7,33 persen sepanjang tahun 2009.
Sementara realisasi impor Indonesia dari China selama semester pertama 2009 angkanya tidak kalah menakjubkan. Impor elektronika dari China sudah mencapai 30 persen atau senilai 300 juta dollar AS, 37 persen dari 57 juta dollar AS tekstil dan produk tekstil (TPT), 60 persen mainan anak-anak dari total 17 juta dollar AS, 14 juta dollar AS atau 50 persen produk alas kaki, belum lagi dalam bentuk produk makanan dan minuman.
Selama ini, penetrasi perdagangan China ke negara-negara lain tidak lepas dari kemampuan produksi domestik, selain adanya penerapan subsidi ekspor (tax rebate) 13 persen-17 persen oleh Pemerintah China sendiri.
Pada sisi lain, Indonesia masih dihadapkan pada lemahnya penguasaan teknologi, masih rendahnya kualitas SDM, tingginya tingkat suku bunga perbankan, dan disorganisasi struktur yang kian menyebabkan daya saing produk Indonesia, khususnya manufaktur, kian menurun.
Dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya saing Indonesia turun ke peringkat 51 dari 55 negara. Sementara dari World Economic Forum, daya saing Indonesia menduduki peringkat ke-54, di bawah negara-negara lain dalam kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Mengantisipasi ”invasi”
”Invasi” China tentu tidak akan membuat Indonesia kiamat. Untuk mengurangi dampaknya, pola industrialisasi dan perdagangan produk industri atau manufaktur harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan domestik. Harus ada upaya nyata pemerintah untuk membendung produk China dengan menambah investasi dari dalam dan luar negeri. Efisiensi produksi juga harus digenjot agar harga jual dapat berkompetisi dengan produk China yang akan masuk Indonesia tanpa bea mulai Januari 2010.
Pada hakikatnya, FTA akan bermanfaat bagi suatu negara karena memberi efisiensi biaya perpindahan barang melalui proses integrasi jalur ekonomi negara dalam suatu kawasan. Namun, FTA mempunyai prasyarat tersedianya infrastruktur cukup. Berbagai upaya pemerintah sejak Infrastructure Summit I dan II sampai Investment Summit awal Desember 2009 belum memberi hasil memuaskan. Infrastruktur masih menjadi wacana. Krisis listrik menjadi salah satu cermin belum menariknya Indonesia sebagai tempat menanamkan investasi di bidang infrastruktur. Juga biaya tinggi dalam tata niaga produk industri manufaktur Indonesia karena infrastruktur nasional yang buruk belum bisa dikurangi.
Pemenang Nobel 2008 Joseph Stiglitz mengatakan, acuan utama pembukaan perdagangan bebas adalah kesiapan industri domestik. Dengan daya saing Indonesia yang masih rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga di ASEAN, tentu akan menjadi bumerang jika Indonesia ikut ACFTA yang segera diberlakukan. Akan amat bijaksana jika dalam kondisi sulit bersaing seperti ini, Indonesia membatasi masuknya produk asing dengan berusaha memenuhi kebutuhan sendiri lebih dulu.
Kemandirian ekonomi suatu negara tidak lepas dari perencanaan yang baik terhadap kemampuan produksi domestik guna pemenuhan pasar domestik selain produksi keperluan ekspor berbahan baku lokal. Jika ini terjadi, pemanfaatan potensi lokal untuk domestik dan ekspor dapat optimal dan memberi manfaat maksimal dalam perekonomian.
Aris Yunanto, Pengajar FEUI dan Peneliti pada PSIE Institute
KOMPAS, 11 Desember 2009
Bandingkan dengan kutipan berikut:
When American Occupation troops withdrew from Japan, did they leave behind a truly independent country? Or did they leave in place a behind-the scenes network that determined much of the course of Japanese politics for decades to come?
Painstakingly researched, by authors who have between them over fifty years of experience in Japan, this book looks at aspects of the Japan-U.S. relationship that others have missed or avoided. At the heart of the book is the story of how a few men reversed the original policies of the Occupation, and went on to create a web of money and influence connecting Washington, New York, Tokyo, and Riyadh. These men set the stage for postwar bilateral relations, intrigues, and manipulations. Making the appearance on this carefully-set stage are the well connected arms dealer, Adnan Khasshoggi, several Japanese prime ministers, Emperor Hirohito, by way of a personal "message, " the Reverend Sung Myung Moon, the "nisei Onassis, " and the self-described "world's richest fascist, " amongst others.
[An Occupation Without Troops: Wall Street's Half-Century Domination of Japanese Politics. oleh: Glenn Davis, John G. Roberts. Penerbit: Yenbooks, Tokyo, Japan, 1996]
Monday, December 14, 2009
"Teori Konspirasi" Century
Kasus Bank Century dengan cepat memasuki ranah politik, melalui upaya hak angket di legislatif. Bisa jadi hal ini terinspirasi oleh preseden-preseden sebelumnya. Kita pernah melewati masa-masa sulit saat pemerintah harus menginjeksi modal (rekapitalisasi) Rp 650 triliun kepada bank-bank yang kolaps saat krisis 1998.
Preseden skandal Bank Bali —tagihan Bank Bali hampir Rp 1 triliun di bank-bank yang sudah dilikuidasi ternyata dapat dicairkan, lalu dananya diduga digunakan untuk kepentingan politik— boleh jadi memberi inspirasi dalam kasus Century.
”Teori konspirasi” pun kini bergulir. Intinya, Century sengaja diselamatkan agar dana penyelamatan bisa sebagian dialokasikan untuk belanja politik. Century diselamatkan pada 21 November 2008 saat para politisi sedang menyiapkan pemilu legislatif April 2009 dan pemilu presiden Juli 2009. Dari sisi kronologis, teori konspirasi ini menjadi masuk akal.
Biarlah aparat yang menelusuri, apakah benar penyelamatan Century adalah sebuah skema konspirasi untuk menggunakan dana penyelamatan bank untuk kepentingan pemilu? Tulisan ini menelaah dari sisi ekonomi, apakah penyelamatan Bank Century dapat dipertanggungjawabkan?
Waktu tak berpihak
Hal pertama yang harus dipahami adalah situasi saat Century dirapatkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Krisis Century terutama berangkat dari kejadian kalah kliring pertengahan November 2008.
Momentum ini hanya dua bulan sesudah kebangkrutan Lehman Brothers — bank investasi terbesar ketiga di Amerika Serikat— pada 15 September 2008. Kepanikan pun melanda Wall Street dan seluruh dunia. Indonesia juga terguncang, terutama para pemegang surat berharga di bursa efek. Harga saham di New York dan Jakarta rata-rata turun 50 persen. Mayoritas pelaku bursa menjual sahamnya dengan diskon besar karena takut di kemudian hari harganya lebih turun lagi.
Investor asing yang ada di Jakarta juga mengambil posisi jual saham-sahamnya. Dana hasil penjualan ditarik pulang ke negara asal. Kejadian ini bukan cuma terjadi di Jakarta. Praktis semua negara emerging markets mengalami penarikan dana global ke ”ibu kota” sektor finansial di New York atau London. Peristiwa ini disebut repatriasi modal.
Dampaknya, seketika rupiah melemah karena para investor asing menukar rupiah hasil penjualan sahamnya ke dollar AS. Jadi, jangan heran jika justru pada saat AS terkena krisis hebat, mata uangnya menguat. Kurs rupiah yang semula Rp 9.000 per dollar AS terjerumus ke Rp 12.000 per dollar AS. Cadangan devisa juga terkuras 7 miliar dollar AS, dari 58 miliar dollar AS ke 51 miliar dollar AS.
Dalam situasi kekeringan likuiditas, beberapa negara tetangga kompetitor kita, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, mengikuti jejak Hongkong yang menjamin 100 persen simpanan nasabah di bank (blanket guarantee). Ini dimaksudkan untuk mencegah kekeringan likuiditas atau agar tidak terjadi aliran modal ke luar negeri yang kian deras. Adapun Indonesia hanya menaikkan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per rekening nasabah.
Situasi ini akan kian runyam jika Century ditutup. Bayangkan, di Century saja ada seorang nasabah yang memiliki dana Rp 2 triliun. Jika Century ditutup, nasabah ini hanya bisa menarik dananya maksimal Rp 2 miliar, atau cuma 1,0 persen dari simpanannya. Jika di Century saja ada nasabah dengan simpanan Rp 2 triliun, bagaimana dengan bank-bank besar? Saat itu, aset Century sekitar Rp 14 triliun, sedangkan 10 bank terbesar asetnya antara Rp 60 triliun hingga Rp 340 triliun. Sangat boleh jadi, di bank-bank besar itu juga tersimpan dana-dana besar. Jika mereka panik, akan terjadi pemindahan dana ke bank-bank asing atau ke luar negeri.
Jika itu terjadi, sistem finansial kita akan terancam. Inilah yang disebut bahaya sistemik, yang saya pikir lebih rawan daripada bahaya yang ditimbulkan akibat proses kliring antarbank, di mana Century memiliki kewajiban kepada pihak lain.
Konkretnya, jika Century ditutup, ongkos langsungnya mungkin hanya beberapa triliun rupiah, dipakai untuk mengembalikan dana nasabah yang rekeningnya di bawah Rp 2 miliar. Namun, sebenarnya masih ada ongkos tidak langsung, yakni kepanikan pemilik dana besar di bank-bank lain, terutama bank-bank besar yang bukan BUMN. Jika psikologis pasar tak dapat dikendalikan, penarikan dana akan melebihi Rp 6,7 triliun, bahkan bisa saja melebihi aset Century saat itu, Rp 14 triliun.
Biaya penyelamatan sistem
Mahalkah dana Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan Century? Tergantung dari mana melihatnya. Secara absolut, angka ini memang besar. Namun, jika membandingkan dengan penyelamatan sistem finansial, di mana aset perbankan Rp 2.300 triliun, dana pihak ketiga Rp 1.700 triliun, dan pemberian kredit Rp 1.400 triliun, dana Rp 6,7 triliun tidak mahal.
Yang menjadi masalah, ke mana dana sebesar itu dialokasikan? Secara teoretis, dana itu digunakan untuk membayar kewajiban dan menyuntik modal sehingga persyaratan permodalan minimal dipenuhi. Namun, kita juga tidak boleh naif. Bisa saja ada ”penumpang gelap” yang ikut bermain pada saat pencairan dana.
Lebih jauh, mengapa dana penyelamatan yang semula Rp 632 miliar membengkak menjadi Rp 6,7 triliun? Dalam teknis akuntansi, itu terjadi karena subsequent event. Artinya, pada saat diaudit dua pekan sebelumnya, biayanya cuma Rp 632 miliar. Namun, pada hari-hari berikut, seiring dengan pemburukan kualitas aset secara cepat, ongkos penyelamatan pun membengkak. Namun, sekali lagi, tetap dimungkinkan adanya pembonceng dalam kasus ini. Soal inilah yang harus dikuak.
Adapun dari sisi kebijakan penyelamatan Century, kiranya sudah benar. Memang ada kritik, KSSK kurang memiliki data kuantitatif terukur sehingga kebijakan yang dipilih banyak mengandung keputusan kualitatif. Dalam situasi krisis, data kuantitatif tidaklah cukup. Masih diperlukan data ekonomi makro (kurs rupiah, aliran modal ke luar negeri, cadangan devisa) yang perlu diolah. KSSK sudah terdiri dari orang-orang teruji dengan baik, secara akademis maupun pengalaman empiris yang panjang.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 2 Desember 2009
Catatan dan Komentar:
1 triliun = 1.000 miliar = 1.000.000.000.000 (satu dengan 0 berjumlah 12).
Dana untuk menginjeksi modal (rekapitalisasi) kepada bank-bank yang kolaps saat krisis 1998 Rp 650 triliun = Rp 650.000.000.000.000.
Aset Century saat itu sekitar Rp 14 triliun = Rp 14.000.000.000.000.
Aset 10 bank terbesar antara Rp 60 triliun (Rp 60.000.000.000.000) hingga Rp 340 triliun (Rp 340.000.000.000.000).
Aset perbankan Rp 2.300 triliun (Rp 2.300.000.000.000.000), dana pihak ketiga Rp 1.700 triliun (Rp 1.700.000.000.000.000), dan pemberian kredit Rp 1.400 triliun (Rp 1.400.000.000.000.000).
Dana penyelamatan yang membengkak dari rencana semula Rp 632 miliar (Rp 632.000.000.000) menjadi Rp 6,7 triliun (Rp 6.700.000.000.000), berarti naik sebanyak Rp 6.068 triliun (Rp 6.068.000.000.000), atau naik 10 kali lipat lebih.
Bila 1 tahun = 365 hari, kemudian kita membayangkan punya ATM Rp 6,7 triliun, maka kita bisa menarik dana Rp 18 juta setiap harinya terus-menerus selama 1.000 tahun. Bila kita anggap 1 generasi manusia itu rata-rata umurnya 80 tahun, berarti penarikan ATM itu bisa berlangsung paling tidak hingga 12 keturunan. Dan pada tutup buku di tahun ke-1000, kita masih punya sisa uang tabungan Rp 130 miliar (Rp 130.000.000.000).
Dalam tulisan di atas A Tony Prasetiantono bertanya:
Mahalkah dana Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan Century? Tergantung dari mana melihatnya. Secara absolut, angka ini memang besar. Namun, jika membandingkan dengan penyelamatan sistem finansial, di mana aset perbankan Rp 2.300 triliun, dana pihak ketiga Rp 1.700 triliun, dan pemberian kredit Rp 1.400 triliun, dana Rp 6,7 triliun tidak mahal.
Bagaimana menurut para pembaca sekalian? Rp 6,7 triliun itu sedikit atau banyak, murah atau mahal?
Label:
Bank Century,
Konspirasi,
Miliar,
Triliun,
Uang
Friday, December 11, 2009
Bung...!!! Ayo Bikin Revolusi
BUNG! Bukankah telah berkali-kali kukatakan bahwa ada yang salah di negeri ini. Kita tak pernah tahu apa yang sedang terjadi di dalam kelambu kekuasaan. Mereka —yang sibuk mengklaim keberadaan kita sebagai rakyat— sedang memainkan lakon yang kian memusingkan.
Di dalam kelambu itu sedang ada intrik yang tertutup dan haram hukumnya diketahui oleh kita sebagai warga bangsa. Kita hanya menyaksikan satu fragmen ala opera sabun yang tak pernah jelas arahnya. Sementara mereka sibuk bersilat kata dan adu gertak, dan sesaat kemudian segera tersenyum tatkala kamera televisi menyorot.
Bung…!! Kita dibodoh-bodohi oleh situasi. Tidak ada yang mau memberikan penjelasan, sekadar agar kita sebagai kawula tidak bingung. Bukankah kau sendiri pernah bilang bahwa penguasa yang suka menyembunyikan sesuatu adalah penguasa yang menyimpan muslihat? Jika memang tak ada yang salah di sini, kenapa tidak buka-bukaan saja? Biar kita sama tahu, kalau perlu kita saling menahan dan tidak baku tikam dengan usus memburai di jalan-jalan.
Bung..!! Pemerintahan ini semakin tidak jujur. Aku punya firasat bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan, ibarat bangkai yang meskipun ditutup rapat, toh baunya tercium juga. Kita sama-sama mencium bau busuk. Tapi anehnya, tak ada satupun para pemimpin kita yang mau buka suara. Semuanya sibuk menjaga citra.
Di negeri ini, nilai-nilai kesatriaan sudah lama lenyap. Tak ada lagi manusia gagah perkasa yang berbesar hati mengakui kesalahan dan siap meletakkan lehernya untuk dipenggal sebagai hukuman. Negeri ini krisis manusia besar yang berbesar hati mengakui ada sesuatu yang terjadi.
Bung..!! Terlalu banyak dalih di negeri ini. Semuanya tenggelam di balik apologi dan alibi. Jiwa besar sudah lama tamat dikalahkan kepengecutan. Jikapun ada manusia berjiwa besar, rasa-rasanya tak akan mungkin membongkar sesuatu yang akan menyeret banyak petinggi-petinggi. Tapi, bukankah berkali-kali kau bilang bahwa dalih sebesar apapun akan kesulitan menutupi bau anyir bangkai yang menyengat di hidung rakyat?
Dan betapa bodohnya kita yang diam saja dan tidur seperti bayi, sementara firasat kita bergidik kala mengetahui apa yang terjadi. Kita sama-sama dungu kala hanya diam saja, tanpa melakukan apa-apa. Kalau kita terus diam begini, maka kebajikan bisa tenggelam. Dan keangkaraan akan menenggelamkan negeri kita.
Bung…!! Mari kita kepal tangan. Kita garami massa dengan samudera gagasan. Kita bakar mereka dengan api kesadaran yang kita sulut. Kita getarkan angkasa dengan sorak-sorai perlawanan. Kita akan teriak dengan gemuruh hingga membuat mereka terbirit-birit. Kita kalahkan mereka. Kita bikin peradaban baru tanpa korupsi, tanpa penindasan, tanpa kejahatan.
Bung..!! Marilah kita kembali ke jalan. Kita rapatkan barisan dan sama-sama teriak revolusi!!!!
Bung ... Ini REVOLUSI !!!
Yusran Darmawan
http://timurangin.blogspot.com/2009/12/bung-ayo-bikin-revolusi.html
P i n t u
Mereka saling tak kenal, tapi masing-masing mereka berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang perempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di perkebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengambil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore kota itu.
Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika mereka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dicegat penjaga.
”Mau ke mana?” tanya juru pintu.
”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama, dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan.
”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.
Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya sedang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya akan memakai —dengan diubah di sana-sini— parabelnya yang ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia diceritakan untuk kita.
Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Kalau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja. Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada pintu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada penjaganya, yang makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu ketiga saja, si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri tak berani melihat.”
Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alasan: ”Supaya nyonya tak merasa ada yang ketinggalan,” tapi perempuan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia hafal bagaimana gerak tangan penjaga itu menabok nyamuk, membersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari naik ke topi itu.
Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.
Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya bersinar dari bagian dalam gerbang. Hanya sebentar. Ketika dengan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap bunyi napas itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si nenek yang tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengarnya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan, kenapa selama bertahun-tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?”
Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya dari kutu No. 72, dan menjawab: ”Orang lain tak ada yang kemari, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.”
Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh beberapa puluh tahun yang lalu itu. Dan pintu itu ditutup.
Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat untuk membuat Hukum, yang ditulis dengan huruf ”H”, merupakan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang —semacam firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata yang tak boleh disentuh?
Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia bahwa Hukum sebenarnya tak pernah ada?
Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya menunggu. Menunggu. Entah sabar atau gentar, entah tawakal atau putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa dirinya tak layak, hingga tanpa digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri. Tapi mungkin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi antara bebas dan tak bebas —terutama menunggu Hukum, yang ditulis dengan ”H”.
Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyangka Hukum adalah Keadilan. Sangkaannya berlangsung sampai akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya yang sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu ada Keadilan itu sendiri.
Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.
Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia —seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau kayu atau logam itu….
Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini, meskipun ia meraga —dari kata ”raga”— di dunia.
Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan bahwa Hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki.
Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indonesia, melainkan dari sebuah negeri tempat hukum dibuat oleh Negara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada Republik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang utuh. Tapi bagi kita di Indonesia, apa yang bisa dikatakan tentang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu yang jangan-jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak jelas? Menjaga ”Hukum”, yaitu ketidakpastian?
Goenawan Mohamad
TEMPO, 7 Desember 2009
Tuesday, December 8, 2009
Ilmu Tak Tertulis Suatu Abad
Saya pendukung calon presiden Jusuf Kalla pada pilpres yang lalu. Demi itu, saya akhiri riwayat golput sejak pertama punya hak pilih pada era Soeharto.
Tetapi, saya menolak jika pengusutan kasus Bank Century diarahkan untuk utamanya mendongkel kepresidenan SBY. Biarkan gerakan angket di DPR, dukungan LSM, demi tegaknya keadilan. Janganlah sejak dini, aneka gerakan ini diagendakan untuk penggulingan kekuasaan.
Ilmu tak tertulis mengajarkan, pangkat dan kedudukan cuma ngunduh wohing pakarti. Keduanya buah dari kelakuan masa lampau dari yang bersangkutan maupun masa lalu orangtua dan nenek moyangnya.
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, pemimpin adalah cermin masyarakatnya. Keduanya jodoh ibarat suami-istri. Jika suami koruptor, hampir bisa dipastikan istrinya orang yang korup pula. Kalaupun sang istri bukan koruptor, karena belum punya pangkat dan kedudukan, setidaknya memiliki sifat-sifat dasar koruptor. Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukankah itu ”Pancasila”-nya korupsi?
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, sebagian besar rakyat, termasuk saya, mendoakan agar semua pejabat korup. Bawah sadar kita, bawah sadar ”aku”, yakni ingsun, tak menaruh hormat kepada pemimpin miskin yang mobilnya kelas Kijang seperti Baharuddin Lopa atau Sarwono Kusumaatmadja zaman dulu.
Padahal, Sastrajendra Hayuningrat dari pewayangan, salah satu molekul di antara samudera ilmu tak tertulis, mengajarkan, doa paling manjur adalah kehendak bawah sadar itu. Doa mujarab bukan yang terucap di mulut, terlintas di pikiran maupun terbersit di hati. Doa paling cespleng adalah gerakan bawah sadar kita yang, misalnya, tak menghargai istri pejabat dengan tas jelek, tidak bermerek. Alias diam-diam membuat doa paling mustajab agar suaminya korup.
Maka, gerakan angket kasus Bank Century, jika sejak awal diagendakan untuk mendongkel pemimpin yang diduga korup, sama dengan mendongkel masyarakat itu sendiri alias membuat kita berantakan dan bubar.
Mahkota raja
Ilmu tidak tertulis mengajarkan, sah seorang pemimpin berbuat kotor untuk mencapai cita-cita bersama. Ini karena kepemimpinan ada dalam ranah praktis, lahan kaum ksatria, weisya, eksekutif. Ini bukan tataran teori maupun ajang pergulatan intelektual yang bisa bersih. Ini bukan arenanya kaum brahmana yang maksimal kepraktisannya hanya berfungsi sebagai penasihat eksekutif. Ini tataran yang seru. Ini tatarannya para pelaksana yang harus berhadapan dengan jutaan manusia dengan berbagai perangai. Jadi bagaimana kita akan bersetuju dengan gerakan mengusut kasus Bank Century jika sejak awal diagendakan untuk menumbangkan pemimpin yang diduga kotor?
Ya, pemimpin mau tak mau mesti kotor. Maka Bung Karno pernah bilang strategi saja tidak cukup. Diperlukan taktik. Tetapi, taktik yang perubahannya relatif lama juga tidak cukup. Diperlukan siasat yang bisa berubah setiap detik tergantung sikon. Dalam siasat itu, lebih-lebih pada zaman sekarang, jer basuki mawa bea alias uang bicara.
Tak heran jika dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, calon yang tak terpilih, Surya Paloh, tidak tegas mengatakan dirinya tidak mengeluarkan biaya untuk perolehan suara. Ia hanya tersirat mengaku kalah kemampuan finansial dari kubu Aburizal Bakrie dalam menerapkan jer basuki mawa bea pada saat-saat terakhir sebelum pemilihan.
Itu baru lingkup partai. Terbayang jer basuki mawa bea sebesar apa lagi jika seseorang meraih posisi puncak di negeri ini.
Sebenarnya dari kalangan ilmu tertulis, Sartre, sudah ada wanti-wanti, kepemimpinan, baik cara pencapaiannya maupun cara menjalankannya setelah kedudukan itu tercapai, tidak mungkin bersih. Secara puitis, Rendra pernah menyadurnya dalam selarik sajak, ”Tanpa tangan-tangan kita kotor, tak mungkin kita ciptakan itu firdaus...”.
Ilmu tak tertulis dari dunia pewayangan mengajarkan, Rahwana, simbol angkara murka, sebenarnya sudah ingin bunuh diri setelah bertapa 50.000 tahun di Gunung Gohkarno. Rahwana putus asa berwujud buruk dan sifat jahat. Tetapi, dewa-dewa tidak mengizinkan. Alasannya, tanpa sisi gelap manusia, dunia tak terselenggara dalam harmoni hayuning bawono. Maka Rahwana tak mati-mati. Sukmanya selalu merasuki kaum pemimpin.
Ilmu tak tertulis dari kalangan teater tradisional seperti drama gong di Bali, degung di Pasundan, atau ketoprak di Jawa mengajarkan, tiap raja memerlukan mahkota yang indah. Sama halnya tiap pemimpin perlu diberi citra yang bagus, karena pemimpin bukan rohaniwan yang mungkin suci, tetapi belum tentu becus memimpin. Pemimpin itu pasti kotor atau setidaknya pernah kotor. Entah itu kotor karena uang, karena lumuran darah dan air mata pihak yang tak sepakat.
Jadi, sekali lagi, masihkah kita bersepakat dengan gerakan pengusutan Bank Century jika niat utama, dan mungkin satu-satunya, penggulingan kekuasaan?
Kearifan tradisional
Ilmu tak tertulis begitu banyak. Itu bukan saja ilmu saat Menkominfo Tifatul Sembiring membaca bahasa tubuh SBY dan dapat menyimpulkan sikapnya sebelum SBY resmi mengumumkan sikapnya atas rekomedasi Tim 8. Tetapi, itu juga ilmu yang digunakan masyarakat untuk sampai pada kesimpulan diam-diam, hanya melalui bahasa tubuh, tentang siapa sebenarnya Komjen Susno Duadji.
Ilmu tak tertulis adalah semua ilmu yang tidak diajarkan di bangku sekolah dan kuliah. Mengingat dunia akademis, bahkan untuk mengajarkan teater saja, memilih teater yang ada naskah tertulisnya, maka yang diajarkan kebanyakan teater Eropa. Lakon dan kearifan yang terkandung dalam teater tradisional, tak tertulis, teronggok, dan nyaris punah.
Padahal, kearifan tak tertulis itu bisa memberi tahu kita mengapa reformasi 1998 gagal? Karena reformasi itu didorong seluruh atau di antara ”Pancasila”-nya korupsi: Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukan pertama-tama didorong membuat perbaikan guna meraih kembali kejayaan Nusantara.
Ilmu tak tertulis mengajarkan kita semua untuk waspada dan hati-hati agar tidak terseret gerakan pengusutan kasus Bank Century jika agendanya cuma penggulingan penguasa yang belum tentu terbukti bersalah. Ilmu tak tertulis hanya membuat kita terpanggil mendukung gerakan itu jika agendanya adalah meraih kembali kejayaan Nusantara guna perbaikan nasib kita bersama. Yang lain-lain, jika pun terjadi, hanya dampak sampingan.
Sujiwo Tejo, Dalang
KOMPAS, 5 Desember 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)