Wednesday, December 16, 2009

Januari 2010, China "Serbu" Indonesia


Mulai 1 Januari 2010, Indonesia akan ”diserbu” China. Pernyataan ini bukan rumor, tetapi benar-benar akan terjadi jika Indonesia tidak mempersiapkan diri. Serbuan China ke Indonesia bukan berbentuk invasi militer, tetapi berwujud barang dan jasa kebutuhan masyarakat Indonesia sehari-hari. Hal ini sebagai konsekuensi sejak Indonesia ikut program ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) antara negara-negara ASEAN dan China.

Siapkah Indonesia?
Menghadapi ”invasi” China itu, apakah Indonesia sudah siap? Dilihat dari indikator perekonomian Indonesia beberapa waktu terakhir, memang terlihat ada kecenderungan meningkat dibanding awal dekade lalu. Namun, itu belum cukup sebagai perisai. Bahkan, krisis finansial global tahun 2008 masih juga menyisakan kelesuan ekonomi dunia yang juga berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri.

Sektor industri manufaktur di Indonesia yang pernah menjadi tumpuan pembangunan perekonomian, selain sebagai penyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang devisa lewat kinerja ekspornya, kini terbilang menurun. Sebagaimana dicatat Biro Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2009 ekspor manufaktur Indonesia merosot hampir 25 persen dari total 60,831 miliar dollar AS menjadi 45,632 miliar dollar AS.

Penurunan ini juga menurunkan total ekspor nonmigas sebesar 18,31 persen. Bahkan, dalam perhitungannya, Depperin juga memperkirakan penurunan nilai ekspor 12 industri manufaktur unggulan, seperti industri pengolahan kelapa sawit mentah (CPO), besi baja, otomotif, elektronika, pengolahan karet, pulp dan kertas, serta industri peralatan listrik sebesar 7,33 persen sepanjang tahun 2009.


Sementara realisasi impor Indonesia dari China selama semester pertama 2009 angkanya tidak kalah menakjubkan. Impor elektronika dari China sudah mencapai 30 persen atau senilai 300 juta dollar AS, 37 persen dari 57 juta dollar AS tekstil dan produk tekstil (TPT), 60 persen mainan anak-anak dari total 17 juta dollar AS, 14 juta dollar AS atau 50 persen produk alas kaki, belum lagi dalam bentuk produk makanan dan minuman.

Selama ini, penetrasi perdagangan China ke negara-negara lain tidak lepas dari kemampuan produksi domestik, selain adanya penerapan subsidi ekspor (tax rebate) 13 persen-17 persen oleh Pemerintah China sendiri.

Pada sisi lain, Indonesia masih dihadapkan pada lemahnya penguasaan teknologi, masih rendahnya kualitas SDM, tingginya tingkat suku bunga perbankan, dan disorganisasi struktur yang kian menyebabkan daya saing produk Indonesia, khususnya manufaktur, kian menurun.

Dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya saing Indonesia turun ke peringkat 51 dari 55 negara. Sementara dari World Economic Forum, daya saing Indonesia menduduki peringkat ke-54, di bawah negara-negara lain dalam kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.


Mengantisipasi ”invasi”
”Invasi” China tentu tidak akan membuat Indonesia kiamat. Untuk mengurangi dampaknya, pola industrialisasi dan perdagangan produk industri atau manufaktur harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan domestik. Harus ada upaya nyata pemerintah untuk membendung produk China dengan menambah investasi dari dalam dan luar negeri. Efisiensi produksi juga harus digenjot agar harga jual dapat berkompetisi dengan produk China yang akan masuk Indonesia tanpa bea mulai Januari 2010.

Pada hakikatnya, FTA akan bermanfaat bagi suatu negara karena memberi efisiensi biaya perpindahan barang melalui proses integrasi jalur ekonomi negara dalam suatu kawasan. Namun, FTA mempunyai prasyarat tersedianya infrastruktur cukup. Berbagai upaya pemerintah sejak Infrastructure Summit I dan II sampai Investment Summit awal Desember 2009 belum memberi hasil memuaskan. Infrastruktur masih menjadi wacana. Krisis listrik menjadi salah satu cermin belum menariknya Indonesia sebagai tempat menanamkan investasi di bidang infrastruktur. Juga biaya tinggi dalam tata niaga produk industri manufaktur Indonesia karena infrastruktur nasional yang buruk belum bisa dikurangi.

Pemenang Nobel 2008 Joseph Stiglitz mengatakan, acuan utama pembukaan perdagangan bebas adalah kesiapan industri domestik. Dengan daya saing Indonesia yang masih rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga di ASEAN, tentu akan menjadi bumerang jika Indonesia ikut ACFTA yang segera diberlakukan. Akan amat bijaksana jika dalam kondisi sulit bersaing seperti ini, Indonesia membatasi masuknya produk asing dengan berusaha memenuhi kebutuhan sendiri lebih dulu.

Kemandirian ekonomi suatu negara tidak lepas dari perencanaan yang baik terhadap kemampuan produksi domestik guna pemenuhan pasar domestik selain produksi keperluan ekspor berbahan baku lokal. Jika ini terjadi, pemanfaatan potensi lokal untuk domestik dan ekspor dapat optimal dan memberi manfaat maksimal dalam perekonomian.

Aris Yunanto, Pengajar FEUI dan Peneliti pada PSIE Institute
KOMPAS, 11 Desember 2009


Bandingkan dengan kutipan berikut:
When American Occupation troops withdrew from Japan, did they leave behind a truly independent country? Or did they leave in place a behind-the scenes network that determined much of the course of Japanese politics for decades to come?

Painstakingly researched, by authors who have between them over fifty years of experience in Japan, this book looks at aspects of the Japan-U.S. relationship that others have missed or avoided. At the heart of the book is the story of how a few men reversed the original policies of the Occupation, and went on to create a web of money and influence connecting Washington, New York, Tokyo, and Riyadh. These men set the stage for postwar bilateral relations, intrigues, and manipulations. Making the appearance on this carefully-set stage are the well connected arms dealer, Adnan Khasshoggi, several Japanese prime ministers, Emperor Hirohito, by way of a personal "message, " the Reverend Sung Myung Moon, the "nisei Onassis, " and the self-described "world's richest fascist, " amongst others.

[An Occupation Without Troops: Wall Street's Half-Century Domination of Japanese Politics. oleh: Glenn Davis, John G. Roberts. Penerbit: Yenbooks, Tokyo, Japan, 1996]

No comments: