Pemilihan presiden yang menguras energi telah usai. Hitung cepat semua lembaga survei, baik yang berpihak maupun yang independen, memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Yaitu Susilo Bambang Yudhoyono menang mutlak.
Yang pertama, tentu, kita mengucapkan selamat kepada SBY-Boediono yang mampu memenangi kepercayaan rakyat untuk melanjutkan kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan. Yang kedua, kita juga harus mengucapkan selamat kepada Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Mereka berenam adalah ksatria yang kita daulat untuk bertarung di panggung pemilu. Ruang kompetisi diciptakan buat mereka untuk bertempur. Merekalah wakil-wakil kita dalam pertarungan demokrasi.
Yudhoyono dan Kalla masih efektif sebagai presiden dan wakil presiden. Mereka berdua memerintah sampai dengan Oktober. Karena itu setelah pertempuran usai, kembalilah bergandeng tangan mengurus pemerintahan sampai akhir mandat.
Sebuah tabiat yang buruk dari pertarungan politik di negeri ini adalah tetap memelihara permusuhan setelah usainya pertempuran.
Jadi, kita ingin melihat sebuah persahabatan di antara keenam ksatria ini. Tentu tidak berarti bahwa mereka harus selalu sepakat satu sama lain dalam segala hal. Namun, yang dibutuhkan adalah sebuah semangat persahabatan dalam menyelesaikan perbedaan.
Karena itu, keinginan SBY untuk menempuh jalur hukum bagi mereka yang mencemarkan nama baiknya melalui kampanye hitam sebaiknya tidak dilanjutkan. Itu karena kampanye hitam menghajar semua calon.
Dalam rangka mengoptimalkan energi kepemimpinan nasional, kita berharap para ksatria ini diberi peran. Lihatlah bagaimana mantan Presiden AS Bill Clinton dan Jimmy Carter yang masih berperan di era kepemimpinan presiden dari kubu Republik dulu. Lihat bagaimana seorang Barrack Obama memberi peran penting bagi Hillary Clinton, lawan beratnya dalam pemilu.
Persahabatan begini tidak lalu berarti Megawati, misalnya, berhenti menjadi pemimpin partai yang beroposisi. Kalau oposisi ditambah lagi dengan Gerindra dan Hanura, mudah-mudahan Golkar juga mau, pemerintahan yang memperoleh legitimasi sangat kuat itu memperoleh pengawasan yang juga kuat.
Oposisi yang kuat baik bagi rakyat. Rakyat selalu diberi harapan tentang sebuah alternatif. Andai kata pemerintahan ternyata buruk, oposisi menjadi pilihan yang menjanjikan. Jadi, rakyatlah yang selalu disajikan alternatif terbaik.
Adalah berbahaya jika pemerintahan yang memiliki legitimasi rakyat yang kuat, ditambah legitimasi koalisi parlemen yang amat kuat, berdampingan dengan oposisi yang lemah. Pemerintahan seperti itu -seperti yang dikhawatirkan SBY terhadap KPK- akan berjalan tanpa kontrol.
Pada akhirnya kemenangan seorang petarung dalam pemilu presiden adalah kemenangan rakyat. Itu karena setelah menang, dia tidak menjadi pemimpin yang hanya melayani mereka yang memilihnya, tetapi melayani kita semua.
Editorial Media Indonesia, 9 Juli 2009
No comments:
Post a Comment