Sunday, May 10, 2009

PERBANKAN: Cari Untung di Atas Penderitaan


Dalam tiga bulan pertama tahun 2009, perbankan bisa dibilang tidak bekerja karena nyaris tidak ada pertumbuhan kredit. Meskipun malas, anehnya, perbankan tetap bisa menangguk untung besar. Perbankan tak peduli, terus memupuk laba meskipun lingkungan di sekitarnya tengah menderita.

Perbankan sah-sah saja mencari untung karena sebagai suatu entitas bisnis memang harus demikian. Namun, cara yang dilakukan perbankan sungguh keterlaluan.

Tugas utama perbankan sejatinya adalah menjadi intermediasi antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang memerlukan dana. Bank bekerja menghimpun dana sekaligus menyalurkannya sebagai kredit. Dari mekanisme itulah bank mendapatkan upah.

Selama triwulan I-2009, kredit praktis tidak bertumbuh. Posisi kredit pada minggu ketiga Maret 2009 mencapai Rp 1.286 triliun, tak banyak berubah dibandingkan dengan akhir Desember 2008 senilai Rp 1.285 triliun.

Di sisi lain, total laba bersih perbankan nasional tetap tumbuh dari Rp 7,05 triliun pada Februari 2008 menjadi Rp 7,68 triliun pada Februari 2009.

Pertanyaannya, dari mana perbankan memperoleh untung signifikan, padahal kredit tak mengalir? Jawaban sederhananya karena bank memainkan kebijakan suku bunganya.

Caranya, perbankan cenderung menahan suku bunga kredit di level yang tinggi. Kalaupun diturunkan, lajunya sangat lambat. Sebaliknya, bank dengan cepat menurunkan suku bunga simpanan yang merupakan biaya bagi bank.

Hasilnya, selisih antara harga yang dijual bank, yakni bunga kredit, dan harga yang dibeli bank, yakni bunga simpanan, semakin besar. Margin bunga bersih bank pun melonjak.

Selama periode Januari-April 2009, suku bunga acuan atau BI Rate telah turun 125 basis poin (bp) menjadi 7,5 persen. Pada bulan Mei, BI Rate turun lagi menjadi 7,25 persen.

Dalam periode yang sama, rata-rata suku bunga deposito satu bulan, yang mewakili bunga simpanan, turun 81 bp menjadi 7,89 persen. Adapun rata-rata bunga kredit hanya turun 42 bp menjadi 13,79 persen selama Januari-April 2009.

Ini membuat selisih antara bunga kredit dan bunga dana membesar menjadi 590 bp. Sebelumnya, selisih di antara keduanya hanya sekitar 400 bp. Jika dibandingkan antara bunga kredit dan BI Rate, selisihnya merupakan yang terbesar sejak krisis.

Ironisnya, perilaku perbankan tersebut dilakukan pada saat kondisi perekonomian tengah terpuruk akibat krisis keuangan global. Kinerja sektor riil jeblok akibat penjualan menyusut signifikan.

Di tengah kesulitan tersebut, sektor riil dan masyarakat makin tercekik karena harus membayar pinjaman bank yang bunganya tinggi. Dampaknya, alih-alih bisa bertahan atau bangkit, sektor riil justru makin tenggelam.

”Perbankan memang hanya cari untung. Mereka tidak peduli sektor riil bergerak atau tidak, perekonomian tumbuh atau tidak,” kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa.

Perbankan lupa bahwa sebenarnya mereka sangat bergantung pada sektor riil. Dalam jangka pendek, perbankan mungkin masih bisa eksis tanpa menyalurkan kredit. Namun, dalam jangka panjang, perbankan tentu saja hanya bisa hidup jika rajin menyalurkan kredit.

Fenomena perbankan yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan pihak lain makin mengonfirmasi betapa bank sama sekali tak bisa diharapkan sebagai pendorong pertumbuhan. Bank selama ini enggan menjadi pionir, membiayai sektor usaha yang belum tersentuh pembiayaan. Karena bank punya kemampuan analisa yang rendah terhadap banyak sektor usaha.

Sejumlah bankir mengatakan, dalam situasi krisis saat ini, perbankan harus memiliki modal yang kuat sehingga bisa bertahan terhadap guncangan likuiditas dan peningkatan kredit bermasalah. Sayangnya, para pemilik bank enggan menyuntik tambahan modal.

Karena itulah, bank mencoba meraih untung agar bisa meningkatkan modalnya. Namun, jika cara meraih untungnya seperti ini, sama saja bank secara perlahan menggali kubur sendiri.

M Fajar Marta, KOMPAS, 8 Mei 2009

No comments: